“Mel, ngomong apa, sih? Enggak lucu, tahu!” ujarnya.“Memang enggak lucu, Mbak, tapi itulah kenyataannya. Suami yang aku cintai setulus hati, adik laki-laki yang selalu Mbak Dwi banggakan ternyata seorang biseksual, pesakitan. Menyakitkan bukan? Tapi, inilah kenyataannya,” jawabku.“A—pa itu benar, Bay?” tanya Mbak Dwi. Mendengar itu aku hanya tertawa sumbang. Mana ada maling mau ngaku.“Mbak, tahu aku dari kecil mana mungkin aku melakukan itu,” jawab Mas Bayu tanpa mau menatap wajah Mbak Dwi.“Sudahlah Mas, katakan saja yang sejujurnya,” sahutku.“Tidak! Aku tidak menyimpang. Aku normal!” teriak Mas Bayu.“Tidak mungkin itu, Mbak. Aku kenal Bayu sebagai lelaki relegius,” bela Rania.“Kamu, tolong katakan yang sebenarnya. Jika kamu masih punya hati nurani,” ucapku pada Susi. Perempuan itu terlihat sangat ketakutan dan panik sampai meremas jari-jari tangannya.“Dia pelakor pastilah dia akan katakan yang jelek-jelek tentang Bayu biar dia bisa kembali pada Bayu dan kamu tersingkirkan,”
"Astaghfirullah ... Roni, kok, bisa! Jadi ini benar!?” pekik Mbak Dwi. Dia ternganga. Pasti Mbak Dwi tidak pernah menyangka sebab selama ini dia selalu saja membanggakan Rania alias Roni, sebagai wanita dermawan yang senang berbagi apalagi Mbak Dwi sudah dijanjikan mau diajak shopping dan beli mobil. Fantastis, kan?“Tidak! Ini pasti mimpi!” serunya lagi seraya menabok-nabok pipinya sendiri.“Lihat! Buka matamu lebar-lebar, Mbak! Manusia laknat ini sudah membohongi kita semua. Dia dan Mas Bayu sudah mencabik-cabik harga diri kita. Menjijikkan sekali. Masihkah Mbak Dwi membanggakan mereka?! Cuih! Bahkan bumi pun menolak kehadiran mereka,” ucapku lantang seraya kulempar rambut palsu milik Roni tepat mengenai wajah Mas Bayu. “Bagaimana bisa seperti ini? Oh, Tuhan! Apa salahku!” Mbak Dwi masih saja histeris. Wajar jika Mbak Dwi susah mempercayainya karena selama ini Roni perfect sekali dalam berpenampilan seperti wanita nyaris tak ada celah, jika tidak mengamatinya dengan jeli.“Ini nyat
"Tidak usah menjelaskan seperti apa pun, Bay. Tanpa kamu jelaskan aku sudah paham semuanya. Terlaknat, kamu! Kurang apa aku mendidikmu selama ini! Percuma kamu sekolah tinggi sampai sarjana kalau akhirnya jalanmu salah begini?! Malu, aku sungguh malu, Bay! Di mana otakmu sampai kamu tidak bisa membedakan mana yang benar dan tidak!” Mbak Dwi teriak histeris sampai memukul-mukul dadanya sendiri. Aku tahu pasti Mbak Dwi sangat kecewa sama seperti yang kurasakan dari awal aku tahu sampai saat ini.“Dan kamu dengan beraninya berdandan seperti wanita lalu datang ke sini untuk mengelabui kami semua! Dasar manusia laknat!” umpat Mbak Dwi pada Rania alias Roni.“Kami bukan manusia laknat, Mbak. Kami punya hak atas diri kami. Kami diciptakan berbeda. Kalian harus terima itu,” jawab Mas Bayu.Plak! Plak!Mbak Dwi menampar mulut Mas Bayu sampai berdarah. Tak kusangka tenaga Mbak Dwi kuat sekali.“Hak, kamu bilang? Ini otak isinya t*i semua jadi kamu tidak bisa berpikir jernih. Tidak ada hak asasi
“Alhamdulillah kamu udah sadar, Melsa,” ucap Mbak Dwi.Kupindai sekeliling ruangan, benar saja aku berada di rumah sakit. Badanku rasanya ngilu semua dan kepalaku pusing sekali.“Jangan banyak bergerak! Kata dokter, kamu harus banyak diam karena ada beberapa tulangmu yang patah. Lihat ‘tuh kakimu sampai digipsum gitu. Tangan kirimu,” juga ucap Mbak Dwi lagi. Benar sekali, pantas saja rasanya sakit sekali. Salahku melawan perempuan jadi-jadian itu, tapi kalau aku tidak melawan rasanya geram sekali.“Tentang Nayla, tenang saja. Dia aman di rumah sama ibu. Kamu fokus sama kesehatanmu, ya?” ujar Mbak Dwi lagi, seolah dia tahu apa yang ada di dalam pikiranku.“Aku haus, Mbak, aku minta minum,” pintaku. Gegas Mbak Dwi memberiku minum. Hampir satu gelas habis. Tenggorokanku rasanya kering.“Aku, sudah buat laporan ke kantor polisi mudah-mudahan segera ditangani. Ini sudah masuk penganiayaan dalam rumah tangga, KDRT dan perselingkuhan. Semoga nasib baik bagi berpihak pada kit, ya, karena kita
Pengakuan🌸🌸🌸[Bibirmu manis. Aku selalu merindukan itu.]Deg! Pesan dari siapa ini? Tak ada nama. Apa salah kirim?[Apalagi ada sensasi geli-gelinya dari kumis tipismu itu.][Besok aku pakai lingerie merah yang kamu belikan itu ya, Beb.]Beb? [Biar makin hot!]Belum reda keterkejutanku nomor tanpa nama ini terus saja mengirim pesan seperti tak sabar ingin segera dibalas.[Aku janji akan tahan lama, seperti maumu.][Gimana rasanya istrimu itu malam ini? Udah enggak legit ‘kan? Enakan punyaku ‘kan?]Astaghfirullah siapa ini? Kalau dari pesan yang dikirim secara beruntun pastilah sudah mengenal Mas Bayu.Gegas kuklik profilnya. Tidak ada identitas tertera. Foto hanya gambar dua ekor merpati putih yang berciuman. “Selamanya B.” Hanya itu tidak ada lagi.Ah, aku tidak boleh negatif thinking. Pasti ini orang salah kirim.Mana mungkin Mas Bayu selingkuh dia itu laki- laki setia.Ting!Lagi, kali ini sebuah foto. Segera kudownload. Astaghfirullah ... mataku memanas.Bagaimana tidak ini
“Mah, boleh tidak aku tidur di sini, ya? Papah di kamarku berisik telponan aja jadi, aku enggak bisa tidur,” pinta Naila. Lamunanku buyar.“Boleh, Sayang, sini Mamah peluk!”“Mah, Papah itu teleponan sama siapa si, kok manggilnya sayang-sayang? Kata Papah, itu cinta sejatinya Papah,” tutur Naila lagi.Astaghfirullah Mas Bayu, bisa-bisanya dia bilang begitu pada Naila. Jika di luaran sana orang-orang akan menutupi perselingkuhannya ini beda dengan Mas Bayu. Dia justru terang-terangan dan terkesan ingin membuat semua orang tahu. Apa si, bagusnya pelakor itu sampai membuat Mas Bayu tergila-gila begitu. Memang harus benar-benar buat perhitungan padanya.“Cinta sejati seorang laki-laki itu biasanya ibunya, Nak. Nah, mungkin papah begitu juga ke nenek kamu. Sudah tidak usah dipikirin yang penting Naila sama Mamah dan papah baik-baik saja,” jawabku asal.Ya, setidaknya sampai detik ini semuanya baik-baik saja. Entah besok atau lusa.Kudekap erat putri semata wayangku karena dia satu-satunya
“Kamu ngancam aku, Mas?!” gertakku, sengaja kukencangkan suaraku biar ibunya tahu.“Sssttt ... apa-apaan sih, kamu! Enggak perlu teriak gitu, dong!” Mas Bayu membekap mulutku.“Kenapa? Kamu takut orang tahu kebusukanmu? Berani berbuat berani bertanggung jawab dong, Mas!” sungutku.Kutinggalkan Mas Bayu yang hendak menyahut ucapanku. Gegas aku ke dapur membuat minuman untuk ibu mertuaku.Ini juga yang menjadi dilema untukku. Mertuaku baik sekali bahkan sudah seperti orang tua kandungku, tapi di sisi lain aku tidak mau bertahan dengan lelaki yang jelas-jelas sudah mengingkari janji pernikahannya padaku. Bagiku pengkhianatan adalah dosa besar yang tidak bisa aku tolelir apa lagi mereka sudah tidur satu ranjang. Berbagai peluh dan saling mencumbu. Haram jadah bagiku untuk kembali padanya. Jijik burung puyuhnya sudah dicelup sana-sini.“Buat minum apa bengong! Heran aku sama kamu, Mel, apa-apanya lelet. Gini kok, Bayu betah banget sama kamu!” omel Mbak Dwi, dia merebut gelas teh yang akan
“Hahaha selingkuh? Kalau ngarang itu enggak usah terlalu tinggi, Mel. Takutnya malah jadi do’a loh!” Tertawanya Mbak Dwi membahana. Dia tidak percaya dengan ucapanku. Tapi, memang sih, bagi yang tidak tahu pasti tidak akan percaya karena Mas Bayu memang tipe suami penyayang keluarga.“Bay, bilangin istrimu ini kalau udah enggak betah sama kamu tidak usah memfitnah kamu begini. Ngeri banget si, fitnahannya itu loh, perselingkuhan,” ucap Mbak Dwi lagi.Mas Bayu tersenyum sinis padaku. Dia pasti merasa menang karena kakak tersayangnya tidak percaya.Kumenatap iba pada mertuaku, beliau satu-satunya harapanku semoga saja percaya padaku. Lagi pula aku punya bukti perselingkuhan mereka.“Sebaiknya kamu istirahat, Nak. Ibu tahu kamu capek banget dengan tingkah Bayu yang tidak adil padamu. Ini salah Ibu, harusnya tegas agar Bayu tidak menomor duakan anak dan istrinya,” sahut ibu mertuaku.“Tidak, Bu! Aku tidak sedang berbohong. Aku ada buktinya, kok!” Gegas aku ke kamar mengambil HP. Akan aku
“Alhamdulillah kamu udah sadar, Melsa,” ucap Mbak Dwi.Kupindai sekeliling ruangan, benar saja aku berada di rumah sakit. Badanku rasanya ngilu semua dan kepalaku pusing sekali.“Jangan banyak bergerak! Kata dokter, kamu harus banyak diam karena ada beberapa tulangmu yang patah. Lihat ‘tuh kakimu sampai digipsum gitu. Tangan kirimu,” juga ucap Mbak Dwi lagi. Benar sekali, pantas saja rasanya sakit sekali. Salahku melawan perempuan jadi-jadian itu, tapi kalau aku tidak melawan rasanya geram sekali.“Tentang Nayla, tenang saja. Dia aman di rumah sama ibu. Kamu fokus sama kesehatanmu, ya?” ujar Mbak Dwi lagi, seolah dia tahu apa yang ada di dalam pikiranku.“Aku haus, Mbak, aku minta minum,” pintaku. Gegas Mbak Dwi memberiku minum. Hampir satu gelas habis. Tenggorokanku rasanya kering.“Aku, sudah buat laporan ke kantor polisi mudah-mudahan segera ditangani. Ini sudah masuk penganiayaan dalam rumah tangga, KDRT dan perselingkuhan. Semoga nasib baik bagi berpihak pada kit, ya, karena kita
"Tidak usah menjelaskan seperti apa pun, Bay. Tanpa kamu jelaskan aku sudah paham semuanya. Terlaknat, kamu! Kurang apa aku mendidikmu selama ini! Percuma kamu sekolah tinggi sampai sarjana kalau akhirnya jalanmu salah begini?! Malu, aku sungguh malu, Bay! Di mana otakmu sampai kamu tidak bisa membedakan mana yang benar dan tidak!” Mbak Dwi teriak histeris sampai memukul-mukul dadanya sendiri. Aku tahu pasti Mbak Dwi sangat kecewa sama seperti yang kurasakan dari awal aku tahu sampai saat ini.“Dan kamu dengan beraninya berdandan seperti wanita lalu datang ke sini untuk mengelabui kami semua! Dasar manusia laknat!” umpat Mbak Dwi pada Rania alias Roni.“Kami bukan manusia laknat, Mbak. Kami punya hak atas diri kami. Kami diciptakan berbeda. Kalian harus terima itu,” jawab Mas Bayu.Plak! Plak!Mbak Dwi menampar mulut Mas Bayu sampai berdarah. Tak kusangka tenaga Mbak Dwi kuat sekali.“Hak, kamu bilang? Ini otak isinya t*i semua jadi kamu tidak bisa berpikir jernih. Tidak ada hak asasi
"Astaghfirullah ... Roni, kok, bisa! Jadi ini benar!?” pekik Mbak Dwi. Dia ternganga. Pasti Mbak Dwi tidak pernah menyangka sebab selama ini dia selalu saja membanggakan Rania alias Roni, sebagai wanita dermawan yang senang berbagi apalagi Mbak Dwi sudah dijanjikan mau diajak shopping dan beli mobil. Fantastis, kan?“Tidak! Ini pasti mimpi!” serunya lagi seraya menabok-nabok pipinya sendiri.“Lihat! Buka matamu lebar-lebar, Mbak! Manusia laknat ini sudah membohongi kita semua. Dia dan Mas Bayu sudah mencabik-cabik harga diri kita. Menjijikkan sekali. Masihkah Mbak Dwi membanggakan mereka?! Cuih! Bahkan bumi pun menolak kehadiran mereka,” ucapku lantang seraya kulempar rambut palsu milik Roni tepat mengenai wajah Mas Bayu. “Bagaimana bisa seperti ini? Oh, Tuhan! Apa salahku!” Mbak Dwi masih saja histeris. Wajar jika Mbak Dwi susah mempercayainya karena selama ini Roni perfect sekali dalam berpenampilan seperti wanita nyaris tak ada celah, jika tidak mengamatinya dengan jeli.“Ini nyat
“Mel, ngomong apa, sih? Enggak lucu, tahu!” ujarnya.“Memang enggak lucu, Mbak, tapi itulah kenyataannya. Suami yang aku cintai setulus hati, adik laki-laki yang selalu Mbak Dwi banggakan ternyata seorang biseksual, pesakitan. Menyakitkan bukan? Tapi, inilah kenyataannya,” jawabku.“A—pa itu benar, Bay?” tanya Mbak Dwi. Mendengar itu aku hanya tertawa sumbang. Mana ada maling mau ngaku.“Mbak, tahu aku dari kecil mana mungkin aku melakukan itu,” jawab Mas Bayu tanpa mau menatap wajah Mbak Dwi.“Sudahlah Mas, katakan saja yang sejujurnya,” sahutku.“Tidak! Aku tidak menyimpang. Aku normal!” teriak Mas Bayu.“Tidak mungkin itu, Mbak. Aku kenal Bayu sebagai lelaki relegius,” bela Rania.“Kamu, tolong katakan yang sebenarnya. Jika kamu masih punya hati nurani,” ucapku pada Susi. Perempuan itu terlihat sangat ketakutan dan panik sampai meremas jari-jari tangannya.“Dia pelakor pastilah dia akan katakan yang jelek-jelek tentang Bayu biar dia bisa kembali pada Bayu dan kamu tersingkirkan,”
“Terserah saja Mbak, aku tidak peduli apa pun yang terjadi nantinya. Mau Mbak Dwi ketua geng, ataupun hanya anggota yang jelas kalau perempuan ini tidak mau menjelaskan yang aku minta tadi, maka video ini dalam hitungan detik akan aku sebarkan,” jawabku.“Sudahlah Mel, aku sudah minta maaf dan tolong biarkan Susi pergi,” pinta Mas Bayu.“Tolong izinkan aku pergi ... kalau tidak, maka akan terjadi sesuatu pada anakku. Nyawa anakku jadi taruhannya” sahut Susi. Sebenarnya kasihan, aku yakin dia sudah mendapat ancaman dari Rania.“Kamu tidak usah takut. Jika terjadi sesuatu pada anakmu berarti pelakunya sudah diketahui. Hidup dan mati itu di tangan Allah bukan ada pada pengancam itu. Andai kamu yang di posisiku, pasti kamu juga akan melakukan hal sama. Kita ini sama-sama perempuan, bukankah sesama perempuan harus saling support? Cepat katakan, aku tidak ada waktu lama hanya untuk menunggu pengakuanmu.”“Tidak! Aku tidak berani. Tadi aku hanya salah ucap saja,” tolak Susi.“Sudahlah Mel,
“Ba—gaimana bisa, kamu sama dia, Ran?” tanya Mas Bayu. Rania buang muka enggan menjawab lalu duduk di dekat Mbak Dwi. Aku pun sebenarnya heran dari mana Rania bisa tahu bahwa yang ada di video yang kami lihat perempuan ini? Hebat sekali dia atau mereka sudah saling kenal?“Ma—af Mas, aku harus mengakui ini jika tidak dia akan menyakiti anakku,” ungkap perempuan di depanku, sementara Rania tersenyum sinis.“Ta—pi, kita sudah putus hubungan,” sangkal Mas Bayu.“Mau putus atau tidak yang jelas aku sudah bawa perempuan Dajjal ini di hadapanmu dan keluargamu, Mas. Jadi, keluargamu tahu yang sebenarnya dan tidak akan menyalahkanku,” sahut Rania. “Lagi pula siapa yang menyalahkanmu, Ran? Kok, kamu merasa jadi tersangka?” timpalku. Rania terlihat kikuk.“Sudah berapa lama kamu menjalin hubungan dengan adikku? Apa saja yang sudah kamu dapatkan darinya? Dasar pelakor!” bentak Mbak Dwi seraya menjambak rambut perempuan itu. Tak dihiraukannya rintihan kesakitan dari mulut perempuan itu.“Kami su
“Allahuakbar! Allahuakbar!”Lantang suara azan terdengar. Aku menyudahi perseteruan ini. Tak kuhiraukan mereka. Gegas aku masuk ke kamar untuk melaksanakan salat Maghrib.Terserah saja mereka mau berpolah seperti apa. Toh, enggak ada manfaatnya lagi untukku. Kulihat ibu mertuaku sudah menggelar sajadah bahkan sedang melaksanakan salat sunah. Sedang Naila masih asyik dengan ponsel neneknya. Kali ini kutak menegur Naila kenapa kembali bermain ponsel. Barangkali mertuaku ada maksud lain memberikan ponselnya lagi pada Naila. Mungkin itu cara ibu mertuaku mengalihkan perhatian Naila. Beliau tidak mau cucunya teringat adegan menjijikkan antara papahnya dengan perempuan lain. Walau bagaimana pun juga Naila itu manusia normal pasti lambat laun akan semakin paham.“Sudah dulu ya, main HP-nya kita salat dulu, Nak!” Naila langsung mengangguk dan beranjak ke kamar mandi.Kusimpan HP Mas Bayu di tempat aman. Aku akan bawa HP itu sebagai bukti, meski tidak yakin kalau Mas Bayu akan membiarkan HP-n
“Eh, anak kecil kok tahu ciuman segala? Kalau ngajarin anak yang bener, Mel!” sahut Mbak Dwi. Ah, jengah sekali, selalu saja dia menyalahkan aku dan berkata yang tidak-tidak tentang pola asuhku. “Ngaca dulu Mbak kalau mau ngomong! Noh, kaca di ruang tengah besar,” jawabku.“Malah ngajarin aku? Kamu lupa aku itu lebih tua dan aku lebih tahu tentang kehidupan dan pola asuh anak? Anak itu diajarin yang bener biar enggak buka-buka privasi orang tua. Masa iya, video ciuman begitu sampai anak tahu. Kamu juga aneh, ngapain juga buat video begituan. Biarpun cuma ciuman, tapi itu enggak pantas kalau ditonton anak!” ujar iparku lagi seraya menoyor kepalaku. Pasti Mbak Dwi mengira kalau itu video antara aku dan Mas Bayu.“Naila, lihat video siapa, Nak?” tanyaku. Malas aku meladeni Mbak Dwi. Bisa-bisa Mas Bayu dan pacarnya bisa lolos lagi dari tuduhan.“Pakai tanya segala! Ya, jelas video kalian berdua lah! Siapa lagi? Makanya tadi aku bilang jangan buat video aneh-aneh. Itu bahaya! Kalau Naila
“Hah, kamu pakai rambut palsu, Ran!” Mbak Dwi terlihat sangat terkejut begitu juga dengan mertuaku dan Mas Bayu. Sialnya Rania pakai ciput. Aneh sekali!Memanglah benar kata dokter dan orang-orang itu. Kaum pelangi itu aneh dan gila. Mereka akan melakukan berbagai cara untuk membenarkan penyimpangannya ataupun menyembunyikan identitasnya.Nasibku harus berurusan dengan mereka. Andai ... ah, andai saja aku bisa menghilang dari sini tentu sudah aku lakukan sejak pertama kali mengetahui perselingkuhan mereka. Sainganku berat sekali. Mungkin juga dia seorang psikopat!“Kenapa kamu pakai rambut palsu, Ran? Kenapa rambutmu? Kok, diam saja?” cecar Mbak Dwi.Pasti dia sedang memikirkan jawabannya. Kata Wina, sahabatku, aku tidak boleh gegabah jika tidak mau berakibat fatal. Kalau menuruti hawa nafsu dan emosi sudah kuhajar mereka dan kutarik ciputnya itu.Wina bilang, jalani dengan santai seraya atur strategi. Karena menurutnya Tuhan sudah menyiapkan keadaan yang sangat epik untuk membongkar