Terimakasih, sudah membaca hingga sejauh ini. Apabila ada kritik dan saran silahkan memberikan komentar. Terimakasih juga untuk anda yang telah memberikan rate dan gems untuk bukuku. Aku Mencintai Mu.
"Byurrr... " Jatuh dari atas haluan kapal.Tubuh Avani menghantam air laut kemudian tenggelam.Terlihat, gelembung-gelembung udara keluar dari dalam mulutnya, membentuk cincin-cincin air berukuran raksasa. Ia pikir, kisah hidupnya telah sampai pada titik akhirnya. Tapi dinginnya air laut segera menyadarkannya, bahwa ia belum mati. Setidaknya tidak dengan cara seperti ini. Ia buka matanya kecilnya, lalu dengan kekuatan yang tersisa ia mulai berenang kembali ke permukaan. " ... Bup-blup ... bwahh." Avani menyembulkan kepalanya ke atas air. Ia gelapan. Dengan dada yang masih berdegup kencang dan napas yang tersengal-sengal tak beraturan, gadis cantik itu berusaha untuk tetap tenang dan menguasai keadaan. Ia ambil napas dalam-dalam, lalu ia atur jalannya pernapasan. Ia berusaha tetap tenang, dan tak panik. Ini adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan, saat terdampar di tengah lautan. Di kondisi seperti ini, fokus dan tenang adalah kunci keselamatan. Ketika napasnya mulai
Tapi tak berselang lama ... terdengar suara tawa lemah tak jauh dari tempat Avani berada. "Hei ... aku di sini," seru Rin."Diam dan berhenti berteriak-teriak memanggil namaku," hardiknya. Terlihat ia tengah berusaha mengapungkan dirinya.Avani menoleh ke arah sumber suara, dan mata kecilnya langsung mengenali siapa pria yang menyahut panggilannya. Ia tersenyum. Tanpa banyak bicara, gadis cantik itu langsung berenang ke arah sang mafia dan langsung memeluknya."Aku kira aku kehilanganmu," ucap Avani dengan suara bergetar. Ia mengambil napas lega, kemudian mempererat pelukannya."Auw-auw ... Lepaskan aku! Apa kau berencana membunuhku," teriak mafia muda itu sembari meringis kesakitan. Avani terperangah dan langsung melepaskan pelukannya. Ia lupa, dada Rin terluka dan pelukannya yang terlalu kuat, telah menekan lukanya."Maaf! Aku lupa," ucap Avani spontan.Ia tatap Rin dengan saksama. Terlihat wajah pria itu pucat dan kuyu, seperti sedang menahan sesuatu. "Kau tak apa?" tanya Ava
Laut China Selatan di malam hari.Suasananya sunyi, sepi dan hening. Tak ada angin, tak ada gelombang, tak ada suara, selain suara keheningan.Lautan luas itu, kini tampak seperti cermin raksasa berukuran super besar. Avani meniup lighter di tangannya berkali-kali, berharap akan ada kapal yang melintas dan mendengar siulannya.Lagi.Lagi.Dan lagi.Sebelum akhirnya ia menyerah.Tak nampak ada kapal yang datang. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah kegelapan.Gelap.Gelap.Dan gelap.Hanya pantulan sinar bulan dan cahaya bintang-bintang, yang jadi penerang.Bibir pucat Avani bergetar. Ia genggam erat lighter hitam di tangannya dengan penuh keputus asaan."Tak apa, kita akan baik-baik saja. Sebentar lagi, pasti sebentar lagi, akan ada kapal yang lewat kemari," ucap Avani dengan suara bergetar. Ia hampir menangis.Ia masukkan lighter hitam itu ke dalam saku coatnya, kemudian menoleh ke arah suaminya.Terlihat, Rin hanya diam membisu di atas tong kayu di sampingnya. Wajah pucat p
Sebuah kapal militer berukuran besar, terlihat berlayar pelan di gelapnya Laut China Selatan yang mulai tenang usai badai besar menerjang. Kapal itu hitam, besar, dengan tiang lampu menyala berwarna merah dan putih di ujungnya. Sebuah landasan pesawat yang luas, dan dua buah radar terlihat berputar-putar tanpa henti di atas kapal. Berlayar pelan, kapal militer itu menyalakan lampu sorot besar dari atas haluan mengarahkannya ke permukaan air yang gelap, seperti sedang mencari sesuatu. Di kejauhan .... Avani menatap kapal besar itu dengan tubuh gemetar, basah dan pucat. Tangan kecilnya, memeluk erat tubuh suaminya yang terdiam kaku di atas tong kayu. Ia tersenyum. "Sayang, ada kapal melintas di dekat kita. Kau tenang saja aku akan memberitahu mereka kita ada di sini," ucap Avani dengan suara bergetar. Bibirnya gemeletuk menahan dingin. Segera, tangan kecilnya, merogoh saku coat abu-abunya lalu mengeluarkan lighter pemberian Rin dari dalam sana. Gemetar, ia genggam erat ligh
Lotus Hall. Tak terasa sudah hampir dua bulan Maeera dikurung di mansion tanpa pernah ke luar. Selain di kurung, Gin juga membatasi aksesnya menghubungi orang luar dengan menyita kembali ponsel yang ia berikan. Gadis bodoh itu, kini menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar, belajar dan belajar. Belajar cara menjadi seorang wanita kaya dan terpelajar. Belajar cara menjadi seorang Avani Lie yang sempurna, dan hasilnya tak terlalu buruk, ia kini berubah menjadi sedikit lebih anggun dan tau cara membawakan diri. Selama menghabiskan lebih banyak waktu di mansion, hubungannya dengan Gin Yuta dan Kai Yuta kini menjadi semakin dekat. Kini ia menjadi pusat perhatian dua orang tuan muda di keluarga Yuta. Saat siang sang adik tiri, Kai Yuta akan datang dan bermain-main dengannya dan saat malam, sang kakak Gin Yuta akan menemaninya. Untungnya, selama dua bulan ini, Gin tak tau jika adik tirinya sering berkunjung ke mansion, jika tahu, pasti perang besar akan terjadi. Tak hanya
Siang hari di mansion Lotus Hall. Maeera berjalan gontai memasuki ruang belajar dengan wajah kuyu dan ekspresi penuh tekanan. "Ahhhh ... Kapan semua sandiwara ini akan berakhir. Aku lelah sekali," ucap gadis bermata besar itu sembari melunglaikan tubuhnya ke atas kursi kesayangan Gin di ruang belajar. Ia rebahkan kepalanya ke atas meja di samping kursi, dengan ekspresi penuh dengan kebosananan. "Andai aku tak kabur dari pernikahanku," gumam Maeera sembari menatap birunya laut Samudra Hindia di siang hari dari balik dinding kaca di ruang besar itu. "Apakah jalan hidupku akan tetap serumit ini?" Maeera mengela napas panjang. "Hufftt ... mungkin sama, atau bahkan lebih buruk," ucap Maeera lirih lalu mulai memejamkan mata. Ia lelah memikirkan arah jalan hidupnya. Tapi baru sebentar memejamkan mata, tiba-tiba ia merasakan ada seseorang yang datang, lalu menaruh sesuatu tepat di depan wajahnya. Penasaran, Maeera membuka matanya. Terlihat, sekotak besar kue Macaron kini berada tepat d
Maeera tersentak kaget dan langsung tersedak mendengar perkataan Kai Yuta. Ia tak menyangka, adik tirinya itu selama ini diam-diam jatuh cinta padanya. Gadis miskin dari desa dengan wajah biasa-biasa saja. "Uhuhukk ... Uhkkkk ... Uhkkkk ... " Maeera tersedak. Macaron yang ia makan tersangkut di tenggorokannya. Segera, Kai menepuk-nepuk punggung Maeera dengan wajah panik. "Kau tak apa?" tanya Kai.Maeera menganggukkan kepala sembari menepuk-nepuk dadanya. "Hmmmm ... Aku tak apa, hanya sedikit tersedak," jawab Maeera sembari mengangkat tangannya meminta Kai berhenti menepuk-nepuk punggungnya. "Aku lupa tak membawa air minum, kalo begitu, aku akan mengambil air minum untukmu," seru Kai panik lalu berdiri dari tempat duduknya. Maeera memegang tangan Kai yang hendak berdiri pergi, memintanya untuk tetap duduk."Aku tak apa, aku sudah baikan. Aku hanya sedikit tersedak karena mendengar kata-katamu," terang Maeera. "Maaf jika perkataanku mengagetkanmu," kata Kai, lalu kembali duduk di
Pulau Koch. Rin Leung terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, selang infus masih terpasang di tangan kirinya. Setelah terbaring tak sadarkan diri selama lebih dari dua hari, mafia muda itu akhirnya siuman. Kini ia berada dalam masa pemulihan. "Oh! Kau sudah bangun," tanya Avani yang baru saja datang dari luar. Terlihat ia membawa paper bag kecil berisi buah-buahan dan beberapa makanan ringan. Rin yang sedang duduk bersandar di ranjang, tersenyum melihat kedatangan Avani. "Maaf, aku tadi pergi keluar saat kau tidur. Aku membeli beberapa makanan untukmu?" terang Avani sembari berjalan ke arah meja tak jauh dari Rin. Ia mengeluarkan beberapa makanan ringan dan buah-buahan dari dalam paper bag yang ia bawa, lalu menatanya dengan rapi di atas meja. "Dari mana kau mendapatkan uang?" tanya Rin penasaran. Matanya melihat barang-barang yang di keluarkan Avani dari dalam paper bag. "Uang?? Aku mendapatkannya dari asisten rumah tanggamu, Gulbi. Dia memberikan banyak uang padaku. A