Pagi hari yang cerah, tapi tidak secerah wajah Dania. Hari ini Dania kembali lagi untuk menjalani serangkaian test di rumah sakit. Hatinya merasa was-was. Ia takut tidak bisa memberikan keturunan pada pria yang sangat dicintainya itu. Berkali-kali Yudistira berusaha membuatnya tenang, tapi semuanya itu sia-sia, sejak semalam Dania terus saja menangis. Walapun ia seorang psikolog, tapi hatinya tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran tentang keadaan rahimnya.Pagi jam 10, Dania di dampingi Yudistira sudah berada di rumah sakit, Hospital Healty. Dania pun sudah diintruksikan untuk menjalani serangkaian test. Dan Yudistira dengan setia menunggu. Hampir satu jam Dania di dalam bersama dokter. Tidak lama kemudian Dania keluar, bulir bening mengalir di pipinya. Dengan segera Yudistira menghampirinya.“Dania, ada apa?” tanya Yudistira begitu cemas, melihat Dania menangis.“Mas, rahimku harus diangkat,” ucap Dania lirih, hampir tak terdengar.“Apa? separah itukah?”Dania mengangguk dan menangi
“Siang, Dania,” ucap Andra, seraya tersenyum dan melangkah menghampiri Dania, yang siang itu bersiap-siap untuk meninggalkan rumah sakit.“Selamat siang Dokter Andra,” balas Dania dengan membalas senyuman Andra.“Aku dengar dari Dokter Ida, siang ini kamu di izinkan pulang. Jadi sebagai direktur utama Hospital Healty, saya mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan pada kami. Dan semoga sehat selalu,” ucap Andra, sambil menyerahkan satu buket bunga mawar warna merah muda kepada Dania.Dania mengulas senyum dan meraih bunga mawar dari tangan Andra, kemudian bunga mawar diciumnya.“Terima kasih, Dokter Andra,” ucap Dania pelan, air matapun menggenang di pelupuk matanya.“Hai, kenapa nangis. Dania, aku mau sharing denganmu, maukah kamu mendengar sebentar,” pinta Andra, dengan tatapan penuh harap pada Dania.“Baik Dokter, silakan,” balas Dania, sembari mempersilahkan Andra untuk duduk di sofa, dan kemudian Dania pun menyusul duduk di sofa.“Dania, sebenarnya aku juga mengala
Yudistira menuju Bandara Sutta dengan menaiki taxi, sebuah travel bag ditariknya, memasuki boording room, menaruh travel bag di kompartemen. Dan setelah itu, Yudistira mencari tempat duduk sesuai tiket. Tak lama kemudian pesawat take off. Sekitar 45 menit, pesawat akhirnya mendarat di bandara Ahmad Yani, Semarang – Jakarta.Yudistira berjalan cepat menuju keluar bandara Ahmad Yani. Mobil taxi yang sudah dipesannya, sudah menunggu di depan bandara. Dengan cepat ia menghempaskan pantatanya di jok belakang taxi, kemudian menunjukan alamat tujuan di layar ponsel. Dengan cepat taxi melaju ke lokasi yang dituju. Sekitar 40 menit Yudistira sudah sampai di lokasi.“Pak, bisakah tunggu sekitar dua jam, setelah acara ini selesai, antar saya ke pelabuhan Tanjung Emas,” pinta Yudistira pada sopir taxi.“Baik Pak, saya akan tunggu.” jawab sopir taxi.Sebelum keluar taxi, Yudistira merapikan kemeja dan memakai jas, Lalu menyisir rapi rambutnya, setelah itu keluar dari pintu taxi. Beberapa orang m
Keysha langsung menelepon Ika, setelah membaca isi chat dari Ika. Sambil berjalan keluar menuju hotel, wajahnya nampak cemas, beberapa karyawan hotel yang menyapa di abaikannya.“Halo Ika, sekarang dimana Ara?” tanya Keysha, jalannya semakin dipercepat menuju motor maticnya.“Bu Keysha, Ara di rumah sakit kota, dekat alun-alun,” jawab Ika, dengan gugup.“Aku, segera ke sana.”Keysha, menaiki maticnya dengan kecepatan tinggi, rasa kekhawatirannya pada Tiara, membuatnya ingin cepat sampai di rumah sakit. Beberapa menit kemudian, sampailah Keysha di rumah sakit kota, dan langsung bertanya ke resepsionis rumah sakit. Setelah mengetahui kamar perawatan Tiara, dilangkahkan kakinya cepat menuju kamar perawatan. Terlihat Ika sedang duduk di kursi depan kamar.“Ika, bagaimana keadaan Ara?”“Sudah membaik, tapi belum sadar. Di dalam ada Dokter,” jawab Ika.Tanpa menjawab, Keysha langsung masuk ke dalam kamar, dilihatnya Tiara, putri kecilnya terbaring lemah, di tempat tidur, segera Keysha men
Yudistira melajukan jeep dengan kecepatan sedang, di sebelahnya Keysha duduk dengan wajah menatap jendela mobil.“Dimana lokasi pembangunannya?” tanya Yudistira.“Di Pulau Menjangan, kamu akan sulit menuju ke sana. Kenapa tadi meminta menyetir sendiri,” balas Keysha kesal.“Baiklah kalau begitu kita tidak ke lokasi pembangunan,” gerutu Yudistira. Dengan menambah kecepatan, ia menuju Pantai Ujung Gelam. Dalam hitungan menit Yudistira sampai di pantai yang ia kunjungi pagi tadi.“Turun, aku mau bicara dengamu,” ucap Yudistira ketos pada Keysha.Dengan berat hati, Keysha turun. Kini ia harus siap dengan berbagai pertanyaan dari mantan suaminya itu. Yudistira berjalan ke arah pantai, dan berhenti di bawah pohon, tempat yang nyaman untuk berbicara, Keysha berdiri di samping Yudistira, menatap deburan-deburan ombak yang menghantam pantai.“Kenapa kamu pergi Sha, tanpa berbicara padaku?” tanya Yudistira dengan nada kesal.“Mas Yudis, sudah membaca suratku ‘kan, itu alasannya.”“Jangan bohon
Malam semakin larut, Yudistira menyuruh Pak Dito, untuk kembali ke rumah. Setelah itu mengajak Keysha ke beach party.“Sha, ini malam terakhir aku di Karimun Jawa, dan aku ingin menghabiskan malam ini di beach party. Kamu harus temani aku,” pinta Yudistira, setengah memaksa.“Tapi, ini sudah larut malam, aku harus menemani...,” Keysha menghentikan ucapannya, dan itu membuat Yudistira penasaran.“Menemani siapa?” tanya Yudistira, mengerutkan dahi, dan menatap lekat Keysha, hingga mata keduanya saling tatap.“Tidak, siapa-siapa. Baiklah aku temani Mas Yudis ke beach party,” ucap Keysha menyanggupi permintaan Yudistira, karena tidak ingin Yudistira terus bertanya tentang kehidupannya.Dengan menaiki jeeb, keduanya menuju pulau cemara. Malam semakin dingin, angin laut berhembus pelan. Hiburan malam yang eksotis dengan lampu warna-warni menambah semarak pantai, menghibur para wisatawan, musik tertengar hampir di setiap penjuru pantai, mengiringi para tamu menari dan berdansa. Yudisistra d
Yudistira shock, mendengar pernyataan Keysha. Yudistira tidak menyangka, jika ibunya mengetahui kehamilan Keysha, ia menghempaskan kasar tubuhnya di bangku taman, dengan kedua tangan memegang kepalanya. Keysha pun duduk di sebelah Yudistira, menghela napas panjang, dan menghembuskannya pelan.“Ibu, tidak menginginkan bayi yang aku kandung. Ibu tidak ingin, Mas Yudistira mengakui anak yang belum tentu darah dagingmu,” jelas Keysha. Netra menatap Yudistira yang masih memegang kepalanya dan menekuri sepatunya.“Tapi Sha! seharusnya kamu bilang padaku,” protes Yudistira.Keysha tersenyum tipis, tangannya mengusap air mata yang hampir jatuh ke pipi, bibirnya mulai berucap, walaupun sebenarnya ia enggan.” Ibu, memberiku pilihan, menggugurkan kandungan dan tetap bersamamu atau pergi dengan kehamilanku.”Yudistira seketika menoleh ke arah Keysha. ”Ibu, bicara seperti itu Sha?”“Iya, Mas. Dan aku lebih memilih mempertahankan anakku, siapapun ayahnya. Oleh karena itu aku memilih pergi,” jela
Rani, nampak terkejut, ia tak menyangka Yudistira mengetahui hal ini dari Rendi. Rani mendesah kasar, lalu menatap Yudistira yang tengah menatap tajam ke arah Rani.“Benar, Kamu adalah anak Haris,” jawab Rani pelan, tapi terdengar jelas di telinga Yudistira.Yudistira terkejut mendengar pengakuan ibunya. Sebuah pengakuan yang ia tunggu bertahun-tahun itu, benar–benar membuatnya shcok, ia tidak menyangka, selama ini ternyata begitu dekat dengan orang yang ingin dicarinya.“Jadi Haris, adalah laki-laki yang menyebabkan, aku lahir di dunia ini?” tanya Yudistira.“Benar.”“Kenapa, ibu tidak bilang padaku.”“Karena ibu mau balas dendam pada Haris. Dan ibu sudah melaksanakannya, Haris di penjara semuanya atas rencana ibu.”Yudistira melebarkan matanya, sungguh ia tidak menyangka, ibunya yang sembuh dari depresi, bisa melakukan balas dendam seperti itu. Bahkan Yudistira membayangkan ia akan tidak mampu melakukan balas dendam seperti itu.“Apakah Bu Ena, terlibat dalam kasus Haris?”“Tidak, E