PERNIKAHAN - Terungkap Bu Lurah tersenyum semringah melihat kedatangan putri dan menantunya. Puspa terlihat lebih cerah, tidak sepucat terakhir mereka pulang dari rumah sakit. "Ibu sama ayah rencananya mau nyambangi kamu, malah keduluan kamu yang ke sini." Bu Lurah mengusap kepala putrinya saat disalami. Bram pun melakukan hal yang sama."Aku tadi siang bikin sponge kek pisang, Bu." Puspa memberikan paper bag yang dibawanya. "Syukurlah kalau kamu sudah bisa beraktivitas. Ayo, masuk. Ayah tadi masih di belakang." Bu Lurah mengajak anak dan menantunya masuk ke rumah.Dari dalam muncul Pak Lurah yang tersenyum senang melihat anak kesayangannya. "Kamu sudah jauh lebih baik?""Alhamdulillah. Iya, Yah. Tadi siang kami konsultasi kedua ke dokter Anggi.""Ayah dan ibu selalu mendoakan yang terbaik buat kalian," jawab Pak Lurah. "Mbakmu sama suaminya sore tadi juga ke sini.""Bagaimana pertemuan dengan Pak Maksum tempo hari, Yah?" tanya Bram. Membuat Puspa memandang tidak suka. Dia belum t
Pak Lurah menegang. Kaget tentu saja. Bu Lurah pun sama. Tubuhnya sampai berkeringat dingin, padahal belum tahu siapa orang itu."Siapa, Nduk?" tanya Bu Lurah menahan tangis.Puspa menarik napas panjang berulang kali. "Dia lelaki yang kutolak saat mengungkapkan perasaannya. Aku nggak menyukainya. Dia juga sudah punya pacar. Waktu itu, aku ke rumahnya untuk mengantarkan sesuatu. Dan kesempatan itu digunakannya untuk melakukan perbuatan bejatnya." Sejenak Puspa berhenti sambil mengusap air mata dengan tisu. Tubuh Pak Lurah terguncang hebat oleh tangisnya yang tak bersuara. Lelaki itu menahan kedua matanya dengan ujung jemari. Kemudian Puspa melanjutkan cerita bagaimana kedua orang tua lelaki itu pun tahu, lalu membuat kesepakatan dan mengancam agar dia tidak memberitahu siapapun. Bahkan si ibu sempat merias wajah Puspa yang sembab supaya tidak dicurigai orang.Bu Lurah terpukul. Siapa orang tua yang sama biadabnya dengan sang anak? Siapa ibu yang tidak memiliki hati nurani dan empati
Puspa mengangguk. Nasehat ibunya bermakna begitu dalam. Meski tidak dijabarkan secara luas. Beberapa hari ini dia sudah melakukan apa tugasnya sebagai istri, kecuali urusan ranjang. Rasanya belum siap saja karena mengingat malam itu. Memikirkannya membuat tangan Puspa gemetar dan menjatuhkan sendok ke lantai."Kamu nggak apa-apa to, Nduk?" tanya Bu Lurah melihat tangan putrinya gemetar."Nggak apa-apa, Bu.""Hmm, kek buatanmu enak," puji Bu Lurah sambil makan kek yang sudah dipotongnya dan ditata di piring oval."Padahal aku baru belajar membikinnya hari ini, Bu. Tapi dibantuin sama mama mertua. Aku juga mau belajar memasak, agar menu makanan kami beragam.""Harus itu. Suami lebih suka kalau dimanjakan perutnya, apalagi yang bawah perutnya." Perkataan Bu Lurah yang tanpa tedeng aling-aling membuat pipi Puspa merona. "Jangan anggap ucapan ibu ini tabu atau nggak sopan. Ngajari anak sendiri kok dibilang tabu. Ibu juga bilang begini pada mbakmu. Biar para suami itu betah sama istrinya k
PERNIKAHAN- Malam yang Sempurna "Sebaik apa Rayyan?" Sorot netra Bram begitu lekat mengunci wajah istrinya yang serba salah.Puspa harus bagaimana? Apa mesti jujur saja agar tidak menimbulkan salah paham kali kedua. Bram paling benci di dustai bukan? Tapi pada dasarnya antara dirinya dan Rayyan belum sampai ada ikatan yang serius."Baik karena dia nggak bertingkah seperti cowok-cowok yang suka iseng. Dia nggak jahil juga, nggak pernah main perempuan." Itu jawaban Puspa. "Kamu yakin itu?""Kami berteman baik, Mas."Bram manggut-manggut. Padahal dia sudah tahu cerita mereka dari Dita tempo hari. Yang jelas, bisa dikatakan kalau Puspa sempat ada perasaan dengan cowok itu. Sempat hampir jadian, lalu Puspa menjauh setelah ternoda. Rayyan pria yang tampan. Bram masih ingat bagaimana wajahnya. Namun Bram memilih diam, karena jika mengatakannya jelas akan ketahuan kalau dia sempat menemui Dita di Surabaya.Bagaimanapun juga ia harus menepati janjinya pada Dita. Kalau tidak akan menceritaka
Vanya melangkah pelan, karena tahu ada Puspa di sana. Menyadari itu Puspa mengambil jarak, duduk di kursi lain untuk memberi kesempatan Vanya bicara dengan papanya. "Papa kemarin bilang kalau kita mau liburan. Pas juga dengan ulang tahun adek. Kakak, ada ide kita pergi ke mana?" Bram memandang anak sulungnya."Terserah, Papa," jawabnya singkat. Tak ada lagi diskusi dan perdebatan lucu seperti sebelumnya. Anak perempuan yang identik manja dan dekat papanya, kini serasa makin menjauh. Tidak sehangat dulu. Tidak seperti hubungan Puspa dengan ayahnya yang penuh perhatian dan kasih sayang."Papa belum selesai bicara, Vanya," cegah Bram ketika Vanya berbalik hendak kembali ke meja makan."Vanya nggak punya ide, Pa. Terserah saja mau pergi ke mana."Suasana mendadak tegang. Puspa bangkit dari duduknya. "Aku siapin sarapan dulu. Sony, mau dibuatin susu nggak?""Mau, Bun." Sony mengekori bundanya ke dapur. Tinggallah Bram dan Vanya."Duduklah. Papa ingin bicara sebentar. Masih ada waktu." Ini
"Puspa."Puspa kaget saat suara itu terdengar bersamaan dengan tangannya yang diraih oleh Bram. Dia tidak menyadari suaminya sudah menyusul ke kamar, ketika tengah membuka gorden kaca pintu balkon."Untuk kesekian kalinya, mas minta maaf atas sikap Vanya.""Nggak apa-apa, Mas. Semua butuh proses bukan. Aku paham, dia belum bisa terima ada wanita lain yang menggantikan posisi mamanya.""Padahal Sandra tidak pernah tergantikan."Mendengar kalimat itu membuat Puspa terkesiap. Lantas kehadirannya sekarang dianggap apa?"Jangan salah pengertian, Puspa," ralat Bram cepat. "Kamu bukan pengganti. Kalian hadir di waktu yang berbeda. Tidak ada istilah pengganti di sini." Bram menunduk hingga ujung hidungnya menyentuh rambut Puspa. Aroma shampo yang segar, terhirup di penciumannya. Keinginan itu kembali menguasai.Dilihatnya jam tangan. Masih pagi.Kedua pergelangan tangan Puspa dipegang erat oleh tangan kiri Bram dan dikunci di belakang tubuh Puspa, membuat wanita itu tidak bisa bergerak selain
PERNIKAHAN - Buku Harian Bram panik setelah melihat puluhan panggilan terlewatkan. Ponsel memang ia tinggal di meja ruangan ketika menemui tamu di depan. Ada pesan masuk, share location yang dikirim oleh istrinya. Ada apa dengan Puspa? Diteleponnya balik tapi tidak ada jawaban yang membuatnya kian panik. "Dahlan, ikut saya," ajaknya pada lelaki yang baru selesai mengecek muatan di sebuah truk. Lelaki bertubuh gempal itu memberikan buku catatan pada Mbak Tika yang duduk tidak jauh darinya. Kemudian tergesa mengikuti bosnya yang melangkah ke arah rumah. "Kamu kendarai mobil saya, biar saya naik motor. Pergi ke lokasi yang saya kirimkan ke ponselmu." Bram bicara sambil mengirimkan lokasi pada Dahlan. Setelah itu Bram melesat dengan motor sportnya. Dia tidak akan bisa cepat kalau mengendarai mobil. Cemas melanda saat memacu motor dengan kecepatan tinggi. Kenapa Puspa sampai pergi ke sana. Bukankah tadi pamitnya hanya ke apotik. Apa yang terjadi dengan istrinya. Melihat bany
Bram menarik kursi dan duduk berhadapan dengan istrinya. "Kenapa kamu sampai ke kota, bukankah tadi hanya pamit ke apotik?""Maafkan aku, Mas. Aku tadi berpikir untuk sekalian belanja bahan kue. Pengen bikin kue ulang tahun buat Sony.""Kenapa tidak bilang. Mas bisa mengantarmu.""Mas, sibuk. Lagian sampai kapan aku bergantung pada Mas dengan hal-hal kecil seperti ini. Ini akan terlihat di mata orang kalau aku hanya menyusahkanmu saja, Mas.""Di mata siapa?"Puspa diam menunduk. Dia ingat dengan apa yang dibacanya tadi malam. Selesai mereka bercinta dan Bram tertidur, Puspa keluar kamar untuk mengisi teko air minum. Tanpa sengaja melihat buku bersampul soft pink di atas meja dekat dispenser. Puspa yang biasanya tidak pernah menyenggol apapun yang tampak asing dan sangat pribadi di rumah itu, sangat penasaran. Makanya dia membuka dan membacanya.(PEREMPUAN ITU TIDAK SEBANDING DENGANMU, MA. TIDAK SEBANDING JUGA DENGAN TANTE SANTI. MAMA YANG MANDIRI DAN MELAKUKAN APAPUN SENDIRI. DIA TER