Bram yang biasa langsung tertidur beberapa saat setelah pillow talk dengan sang istri, kali ini masih terjaga. Sebentar lagi dia akan menjadi ayah tiga anak. Mungkin juga beberapa tahun ke depan, menjadi ayah dari empat atau lima anak. Membayangkan itu dia sudah sangat bahagia. Rumahnya pasti ramai. Tapi saat itu Vanya sudah kuliah dan Sony sekolah menengah. Dia masih punya 'mainan baru' yang menghidupkan suasana di rumah disaat anak-anak yang sudah besar sibuk belajar. "Kamu nggak nikah lagi aja to, Le?" tanya seorang kerabat disaat Bram masih sendiri setelah tiga tahun Sandra meninggal."Belum, Bulek.""Saya belum kepikiran untuk menikah dalam waktu dekat ini.""Saya masih fokus ke anak-anak."Begitu jawaban Bram tiap kali ada yang bertanya. Sudah pasti mereka pada heran. Itu hal yang wajar, karena sebagai seorang laki-laki normal pasti butuh pendamping. Apalagi dia pria yang paket lengkap. Tidak hanya tampan dan kaya, tapi shaleh.Namun apa mereka tahu, kalau orang berpengalaman
"Sampai kapan kita begini, In?""Sampai kita merasa harus kembali atau lebih baik berpisah, Mas.""Kamu belum bisa memaafkanku?""Sudah kumaafkan.""Lalu tunggu apa lagi?""Kita cari waktu untuk fokus bicara berdua saja. Kasihan kalau Naina sampai mendengarnya."Akhirnya tidak ada kesepakatan lagi. Mereka pulang ke rumah yang berbeda. Indah juga mempertimbangkan tawaran pekerjaan dari seorang rekannya. Ini yang membuat Irwan galau. Naina pun sudah mulai terbiasa dengan keadaan sekarang ini. Dia enjoy dan bahagia. Apalagi di desa sana, memiliki banyak teman yang sebaya. Kalau tinggal di perumahan, Naina tidak mempunyai teman. Berkumpul dengan teman-temannya pas sekolah atau mengaji di TPQ."Kalau istrimu nggak juga mau berdamai, untuk apa kamu bertahan. Jika ingin pisah, ya kabulkan saja. Ribet." Papanya marah tadi sore.Tapi sang mama yang selalu memberinya semangat dan masukkan untuk terus bertahan."Jangan dengerin papamu. Kamu sadar kan kalau kamu yang salah. Kamu itu egois. Dengan
PERNIKAHAN- Menjemput Asa Kembali ke meja makan, tidak ada yang bertanya pada Bram. Bagi mereka, urusan dengan Dahlan pasti masalah pekerjaan.Ngobrol dilanjutkan tentang calon anggota keluarga baru. Sony sudah tidak sabar untuk menunggu adiknya lahir. Anak itu memang suka sekali adik bayi. Kalau bermain ke rumah teman-temannya, tak segan dia mengajak bermain atau menggendong adik dari temannya."Untuk sementara, Puspa nggak usah ngelakuin pekerjaan apapun. Banyakin istirahat sampai trimester pertama terlewati. Ingat pengalaman kemarin. Jangan sampai terjadi sesuatu lagi." Bu Dewi menasehati."Ya, Ma."Selesai makan, anak-anak langsung ke ruang depan karena sebentar lagi guru les mereka datang. Bu Dewi kembali ke rumah. Puspa duduk di ruang santai sambil membuka laptop. Mencari artikel parenting, new mom, dan berbagai artikel tentang kehamilan. Sementara Bram pamitan untuk keluar sebentar. Dia menemui sang mama di rumahnya."Ada apa?" Bu Dewi menghampiri Bram yang duduk di joglo.
Bu Harso sudah bisa duduk dan bertegur sapa sejenak dengan Bu Dewi. "Terima kasih sudah sudi datang, Bu.""Semoga Bu Harso lekas sembuh.""Mama sebenarnya hanya demam biasa, Tante. Tapi kepikiran banget sama Vanya dan Sony, jadinya malah ngedrop."Bram terusik dengan ucapan mantan adik iparnya. Seolah mengatakan karena kangen pada dua cucunya membuat sakit Bu Harso makin parah. "Bu Harso, nggak usah terlalu mikirin anak-anak. Mereka kan tinggal sama papanya. Vanya dan Sony baik-baik saja. Nggak kurang satu apapun. Mereka sehat. Puspa sangat perhatian dan sayang terhadap anak-anak. Jadi, Bu Harso nggak usah khawatir." Bu Dewi menjawab seraya memandang Bu Harso. Ucapannya pelan, tapi cukup mengena. Membalas ucapan Santi yang sok tahu tentang keadaan Vanya dan Sony."Bener, Nek. Bunda baik kok. Sebentar lagi Sony dan Kak Vanya mau punya adik." Sony menyambung perkataan sang nenek dengan netra berbinar-binar. Padahal apa yang dikatakannya cukup melukai perasaan nenek dan tantenya.Santi
Pertanyaan-pertanyaan Naina yang sulit dijawab oleh Indah. "Nduk, cobalah sholat istikharah. Mau sampai kapan kamu dan Irwan begini. Ayah nggak keberatan jika kamu ingin kembali.""Ayah, nggak sakit hati dengan ucapan Mas Irwan. Itu tuduhan, Yah. Bukan sekedar ucapan biasa.""Ayah ngerti. Irwan sudah meminta maaf dan berjanji akan berubah.""Dan Ayah sudah memaafkan?""Sesakit apapun, ayah bisa berdamai dengan Dikri yang sudah menodai adikmu. Sedangkan kesalahan Irwan hanya karena ucapan. Ayah nggak boleh egois mementingkan rasa sakit dalam hati sendiri. Sementara ada anak yang masih membutuhkan kasih sayang papanya."Kamu, terutama Naina, masih memiliki perjalanan yang panjang. Sedangkan ayah, hanya menikmati sisa usia. Ayah nggak ingin Naina yang nggak tahu apa-apa, menjadi korban perceraian kalian. Ayah sudah nggak ada, tapi Naina bisa saja akan membawa trauma perceraian kedua orang tuanya seumur hidup. "Selagi Irwan mau berubah. Nggak ada salahnya kamu kasih kesempatan, In. Kali
PERNIKAHAN- Menunggu Kabar"Kenapa? Apa terlalu cepat?" Irwan menenung Indah yang masih terdiam.Sebenarnya tidak terlalu cepat. Wajar dua bulan tidak ada physical touch, bagi pria yang sudah menikah pasti bukan hal mudah. Apalagi mereka sebenarnya sering sekali bertemu. Indah sendiri juga mengakui, kalau merindukan momen itu. Di mana selama menikah mereka tidak pernah melewatkan waktu bersama meski siangnya ada perdebatan karena sesuatu hal."In, aku tahu ini mungkin terdengar egois, tapi aku benar-benar ingin menghabiskan waktu bersamamu malam ini. Aku merindukanmu. Dua bulan ini rasanya seperti bertahun-tahun." Irwan menatap Indah dengan penuh harap, seperti seseorang yang kembali menemukan rumah setelah tersesat terlalu lama. Ia mengulurkan tangannya di atas meja, berharap Indah akan menyambutnya. Setelah beberapa detik dalam keraguan, Indah akhirnya meletakkan tangannya di atas tangan sang suami. Irwan langsung menggenggamnya. Sentuhan itu terasa begitu hangat.Sambutan tangan
Vanya dan Sony bergegas menaiki tangga. Sedangkan Bram melepaskan jaket lantas mencium kening istrinya. "Kamu tidak capek. Kenapa belum tidur?""Sengaja aku nunggu Mas dan anak-anak. Mama, mana?""Mama langsung aku antar ke rumah." Bram menurunkan sang mama di halaman rumahnya sendiri. Karena Mak Siti sudah menunggunya di teras depan.Bram merangkul sang istri untuk diajak naik ke kamar mereka. Puspa menyiapkan kaus dan celana pendek saat Bram membersihkan diri di kamar mandi."Bagaimana keadaan Bu Harso, Mas?" tanya Puspa setelah mereka berbaring di ranjang."Sudah mendingan.""Kapan boleh pulang?""Mas tidak tanya tadi.""Beliau sakit apa?""Karena faktor usia, Sayang. Beliau sudah sepuh. Untuk urusan mereka, tidak perlu kamu pikirkan. Mas tidak ingin terjadi apa-apa lagi sama kamu dan anak kita." Bram mengusap perut Puspa yang masih rata. "Kamu harus sehat, anak kita pun lahir dengan selamat," lanjutnya.Puspa mengangguk haru. Tiap hamil perasaannya memang sensitif begini. Selegowo
Irwan termenung sejenak setelah istrinya turun dari mobil. Dia kepikiran Denik. Kasihan sekali adik sepupunya itu. Semoga lahirannya dipermudah. Mereka tidak ada lagi tempat bersandar. Mamanya juga belum kembali pulih kendati sudah beberapa kali ke psikiater. Kemudian Irwan turun dan menemui anaknya di kamar. Bocah perempuan itu sangat bahagia saat terbangun, papanya sudah ada di dekatnya.***L***Suara ponsel Bu Lurah berdering saat mereka tengah sarapan bersama. Indah yang berdiri untuk mengambilkan ponsel milik ibunya."Siapa yang nelpon, In?" tanya Bu Lurah."Puspa, Bu." Indah memberikan ponsel pada ibunya.Wanita itu segera menjawab telepon dari si bungsu. Wajahnya spontan berubah berbinar-binar dengan senyum menghiasi bibirnya. "Alhamdulillah," ucapnya.Pak Lurah, Indah, juga Irwan memperhatikan dan heran. "Ada apa, Bu?" tanya Pak Lurah tak sabar setelah Bu Lurah meletakkan ponselnya di meja."Alhamdulillah, Yah. Puspa hamil enam minggu." Bu Lurah tidak bisa menyembunyikan keb
PERNIKAHAN - Nikah, yuk!Dikri memperhatikan seorang perempuan yang memakai setelan kantoran warna abu-abu berdiri di seberang jalan. Segera disusulnya Maya untuk diseberangkan. Karena lalu lintas sangat ramai."Kamu istirahat sampai jam berapa?" tanya Dikri saat mereka berjalan beriringan masuk ke rumah makan."Jam satu lebih tiga puluh lima menit. Tapi aku harus salat zhuhur juga."Mereka duduk dan langsung memesan makanan. "Kamu biasa makan siang di sini?" tanya Dikri."Nggak. Biasanya aku bawa bekal atau makan di kantin. Kebetulan hari ini aku nggak bawa karena tadi aku dan mama bangun kesiangan. Siang ini pas banget dapat traktiran." Maya terkekeh. Dia terlihat ceria daripada saat bertemu Dikri beberapa waktu yang lalu. "Oh ya, tadi kamu bertemu klien di mana?""Di Kertosono.""Setelah ini nanti langsung kembali ke kantor?""Iya. Kamu pulang jam berapa?""Jam empat. Kalau banyak kerjaan, kadang jam tujuh malam baru nyampe rumah.""Makan dulu, May." Dikri mempersilakan saat pra
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Maya memandangi suasana alun-alun yang selalu ramai di Minggu pagi.Meski mereka sudah berbincang-bincang, tapi Dikri tidak memberitahu bahwa ia pernah melihat mantan suami Maya bersama wanita lain di dalam mobil."Oh ya, kamu belum punya anak?""Pernikahanku sebenarnya dibilang baik-baik saja hanya dua bulan, Dik. Selebihnya kami pisah rumah hingga bercerai. Dia sudah membawa wanita lain ke rumah semenjak ketahuan selingkuh. Mungkin ini balasanku karena ninggalin kamu disaat sedang butuh dukungan.""Nggak, May. Jangan punya pikiran seperti itu. Anggap semuanya takdir." Dikri tidak ingin Maya punya pikiran demikian, karena dirinya juga bukan tunangan yang baik. "Nomer teleponmu masih sama?""Aku sudah ganti nomer semenjak menikah.""Boleh minta?""Iya."Keduanya menyimpan nomer masing-masing. Dilanjut berbincang hingga hari beranjak siang. "Sudah siang, aku mau pulang dulu, Dik. Kapan-kapan ketemuan lagi.""Kamu naik apa?"
Maya diam sejenak. Ada jeda yang panjang, Maya tidak tahu harus mulai dari mana. Wajah Maya tertunduk. Sejujurnya, sejak ia bercerai, ia kerap membayangkan jika takdir membawanya bertemu Dikri lagi. Namun itu sungguh tidak tahu diri. Dia yang tega memutuskan pertunangan mereka disaat Dikri sedang terpuruk."Dikri, aku …" Maya menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku setelah kita ....""Setelah kamu menikah?" potong Dikri seolah tidak ada beban. Dia sudah melupakan dan tidak pernah dendam pada Maya setelah ditinggalkan.Maya mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. "Iya. Pernikahan itu nggak seperti yang kubayangkan. Setelah beberapa bulan, suamiku mulai berubah. Dia kasar, dan ternyata dia juga selingkuh. Aku malu cerita seperti ini sama kamu. Aku merasa sangat bersalah telah meninggalkanmu di saat-saat sulit demi menuruti keinginan orang tuaku."Kami memutuskan hubungan pertunangan waktu itu juga
PERNIKAHAN- Teman Lama"Kamu pakai baju seperti itu?" seloroh Bu Ira saat melihat Dikri keluar kamar hanya memakai kaus dan celana pendek."Iya, Ma. Memangnya kenapa?"Bu Ira tampak termangu sejenak. Kalau sang anak memakai baju seperti itu, berarti dia tidak sedang janjian sama cewek. "Oh, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan. Kamu mau ketemuan sama temanmu di mana?""Di car free day, Ma.""Jam segini car free day sudah buyar, Dik." Bu Ira memandang jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan."Kami cuman mau ngopi sama ngobrol. Siapa tahu ada prospek bisnis yang bisa kujadikan sampingan.""Ya sudah.""Aku pergi dulu, Ma. Motornya kubawa. Assalamu'alaikum.""Iya, hati-hati. Wa'alaikumsalam," jawab Bu Ira seraya membereskan meja makan. Kecewa. Ternyata belum ada tanda-tanda Dikri dekat dengan perempuan.Motor Dikri melaju pelan di jalan desa pinggir sawah. Sinar matahari semakin terang, membuat embun di dedaunan perlahan-lahan menguap dan menghilang. Namun, kesejukan pagi masih
"Semoga kamu selalu sehat sampai lahiran. Mbak ikut bahagia, Pus." Netra Indah berkaca-kaca. "Aamiin." Puspa merangkul sang kakak. Sekali pun sudah ikhlas menerima kondisinya, tapi dalam hati Indah, pasti berharap bisa hamil lagi. Untung ada Denny yang sangat menghiburnya.Dalam kesempatan itu, mereka foto bersama-sama dengan seluruh keluarga. Bram menggendong A'im seraya memeluk pinggang sang istri. Di samping kiri dan kanan berdiri Vanya, Sony, orang tua mereka dan kerabat yang lain. Angin yang semilir dan bulan purnama di angkasa sana, seolah menjadi saksi kebagian Bram dan keluarganya.***L***"Siapa yang ngasih lapis Surabaya ini, Ma?" tanya Dikri yang baru keluar dari kamarnya. Mencomot satu potong kue dan memakannya. Biasa kalau libur kerja, habis salat subuh kembali tidur dan bangun sekitar jam delapan pagi."Jiya yang ngasih. Semalam baru datang. Tadi Rayyan juga mencarimu ke sini. Mama bilang kalau kamu belum bangun.""Dia masih di sini?" Bram melihat ke luar lewat pintu.
Rayyan mengangguk. "Jiya juga asli sini, Mas. Cuman kerjanya di Kediri. Kantornya bersebelahan dengan kantor saya." Rayyan mengulas sedikit kedekatan mereka, juga menyebutkan tempat tinggal Najiya. Bram yang asli kota angin, tahu desa tempat tinggal gadis itu.Pesanan mereka datang dan langsung makan sambil berbincang. Puspa lega, Rayyan sudah menemukan tambatan hatinya. Tidak terbelenggu lagi oleh kisah mereka yang tidak pernah kesampaian.Puspa menghindari bertemu pandang dengan lelaki itu. Karena binarnya masih terlihat ada cinta untuknya. Bram bisa membawa keadaan menjadi sangat nyaman dan hangat. Dia bertanya, juga menceritakan tentang kondisi perekonomian sekarang ini. Berbagi pendapat dengan Rayyan. Bram yang disangkanya kaku oleh Rayyan, bisa seramah itu dan cukup enak diajak berbincang.Tentu saja. Sebab Bram seorang wirausaha yang sering berhadapan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Tentang cemburu, bukan tidak ada lagi rasa itu. Namun dia tahu bagaimana cara menge
PERNIKAHAN- Masih Normal "Kenapa Mbak Santi itu nggak pernah bersikap ramah sedikit saja sama aku ya, Mas?" Puspa penasaran. Saat itu mereka sudah di perjalanan."Kamu kepikiran tentang hal itu?" "Nggak, sih. Heran saja.""Nggak usah heran. Memang ada orang yang seperti itu. Sudah tabiatnya. Jika nasehat manusia tidak bisa menyadarkannya, biar Allah saja yang menegur dengan cara-Nya."Puspa merinding mendengar ucapan suaminya. Pak Maksum, istrinya, dan Dikri saja bisa menyadari kesalahannya dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik. Kenapa Santi yang tidak separah mereka, tidak juga mau berubah.Mungkin dia menganggap sikapnya itu hal yang wajar. Jadi tidak pernah merasa keliru. Kalau terlalu fatal seperti keluarga Pak Maksum, sangat kentara dan akhirnya membuat mereka bisa instrospeksi diri.Bram pun sudah tidak mempermasalahkan keluarga mertuanya hendak seperti apa. Bukan urusannya lagi, selagi mereka tidak menghasut Vanya dan Sony. Anak-anak pun sekarang sudah mengerti, mana
"Nggak apa-apa, Pa. Aku sudah bisa menerima semuanya. Setahun ini, aku merasa hidupku jauh lebih tenang. Aku sekarang lebih fokus ke Dikri, memastikan dia segera menikah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun.""Papa juga mengingatkan Dikri untuk segera berumahtangga."Kembali keheningan menerpa. Dikri yang diam-diam menajamkan pendengaran dari balik pintu kamar, cukup geram. Kedua orang tuanya masih juga berbelit-belit seperti anak muda."Kalau Papa ingin menikah lagi, monggo. Di usia tua, perlu juga pendamping hidup supaya ada teman. Tapi selesaikan dulu urusan di antara kita." Bu Ira bicara dengan pembawaan yang kalem. Tidak ada amarah dan emosi seperti dulu.Pak Maksum menghela nafas panjang. "Apa papa sudah nggak diberikan kesempatan lagi untuk kembali bersama kalian, Ma? Papa tahu terlalu sering menyakiti. Namun papa sudah menyadari kesalahan itu."Papa ingin menghabiskan masa tua dengan keluarga kita. Biar Dikri tenang dan bisa memikirkan untuk masa depannya."Bu Ira memandang l
Ponsel Bram di atas meja kecil berdering. Puspa melihat siapa yang menelepon. "Mas, ada telepon dari Bu Harso.""Angkat saja.""Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bukan suara Bu Harso, tapi suaranya Santi."Ada apa, Mbak?""Aku mau bicara sama Mas Bram.""Mas Bram lagi sibuk, Mbak. Ada pesan apa nanti saya sampaikan.""Sebentar saja. Bisa nggak?" Wanita di seberang memaksa."Nggak bisa diganggu Mas Bram-nya, Mbak. Jangan khawatir, nanti pasti saya sampaikan." Puspa jadi geram. Memangnya mau bicara apa. Bram pun sudah memberitahu Santi atau Bu Harso, kalau ada urusan yang mungkin perlu disampaikan ke Vanya dan Sony, bisa bicara langsung pada Puspa. Tapi wanita itu sepertinya tidak percaya padanya."Besok malam, ada acara arisan keluarga di rumah mama. Vanya dan Sony disuruh datang atau biar aku yang jemput mereka.""Oke. Nanti aku kasih tahu ke Mas Bram."Panggilan langsung ditutup begitu saja tanpa mengucapkan salam. Bram mendekat sambil mengendong A'im. "Ada apa?""Mbak Sant