“Tadi itu sedikit berlebihan,” ujar Li Wei ketika sudah sampai di istana naga perak. “Hanya sedikit, tidak banyak.” Su Yin duduk di dekat suaminya. Lelah juga naik tandu karena tak biasa. “Kau tidak apa-apa?” “Hanya pusing. Aku akan kembali ke kamarku, mungkin kau ada pekerjaan.” Su Yin berdiri. Ia merasa lega karena akan kembali ke istana bagian belakang, tak harus satu kamar apalagi satu ranjang dengan Li Wei. “Tunggu.” Ucapan Li Wei membuat Su Yin mematung sesaat. “Untuk sementara, tinggallah denganku.” “Tapi.” Kesal Su Yin jadinya. “Ini demi keamanan. Aku tidak pernah tahu orang di luar sana sedang merencanakan apa dan kemalangan apalagi yang akan menimpamu, kau tidak punya pilihan lain selain ada di sisiku selamanya.” Li Wei tahu permaisurinya ingin menghindar lagi. “Nanti aku minta pelayan memindahkan barang-barangmu. Lagi pula kita ini suami istri, siapa yang berani melarang kita tidur satu kamar setiap hari dan setiap malam?” “Iya, tapi, kan, biasan—” “Sudahlah, tidak
Chang He—selir kiriman Ming Hua untuk Li Wei, sedang mengaduk shaoxing—arak beras dengan cita rasa manis dan kuat. Ia akan mengirimkan minuman itu untuk pangeran yang baru saja kembali dari perjalanan jauh. “Tentu saja aku harus menambahkan sebuah obat yang akan membuatmu tergila-gila padaku, Pangeran, hi hi hi.” Chang He tertawa sambil menutup mulutnya. Bubuk obat itu sudah biasa digunakan di rumah bordilnya untuk menjerat para tuan agar takluk di kaki para pelacur. Chang He melakukannya karena didesak Gui Mama agar segera merayu Li Wei. Dengan langkah pasti dan agak dilenggak-lenggokkan sedikit khas wanita malam, gadis itu membawa seteko arak dan akan memberikannya pada Pangeran Kedua. Suasana di depan kamar Li Wei cukup tenang. Fu Rong tidak ada dan tinggal beberapa pengawal serta pelayan. Chang He kemudian mengetuk pintu dengan perlahan. Dibuka, tentu saja ada Su Yin di sana. “Cari Li Wei, dia tidak ada mungkin pulang tengah malam,” ucap Su Yin sambil bertolak pinggang. “Ham
Kebersamaan keduanya terus berlanjut seakan tak mau terpisah. Begitu lekat dalam ingatan masing-masing ketika melewati detik demi detik dalam dekapan kekasih. Baju tak lagi jadi penghalang ketika penutup tubuh telah terbuka semuanya. Su Yin sebenarnya antar sadar dan tak sadar. Bibir ingin menolak tapi hatinya tak bisa berbohong bahwa rasa yang asing itu begitu ia sukai. Naluri sebagai wanita yang ingin disayang keluar dari lubuk hatinya. Terbiasa mandiri bertahun-tahun lamanya, ternyata pertahanan itu luntur dalam satu malam saja. Hingga permainan itu harus berakhir karena telah mencapai garis selesai. Li Wei bagai mengulang malam pertama yang singkat setelah pernikahan. Sedangkan hal demikian merupakan pertama kali bagi Su Yin. Entah apa yang akan terjadi besok pagi, yang jelas tubuh yang lelah butuh istirahat. *** Angin dingin di pagi hari usai hujan membuat Su Yin membuka matanya perlahan. Hal pertama yang ia lihat ialah bajunya yang berserakan di lantai bersama baju sang pan
Bagian 56 “Umur 14 tahun sudah kawin, umur 17 tahun sudah dinikahkan, ckckckckc, apa saja kerja perempuan di zaman dahulu sampai menikah di usia dini.” Su Yin memakai hanfu warna hijau putih yang disediakan. Sejak Xu Chan meninggal karena dirinya, ia menolak dilayani secara pribadi oleh para pelayan. Lagi pula sebagai polisi ia sudah biasa hidup mandiri. “Kalau kau sudah selesai, bantu aku pakai baju,” ujar Li Wei dari ruangan sebelah. Ada sekat tipis antara tempat ganti baju keduanya. “Perasaan dia ini sudah besar, sudah pula menikah, masih juga pakai baju harus dibantu. Ah, kehidupan kerajaan ternyata membuatku sangat tertekan.” Su Yin mengikat rambutnya dengan sangat sederhana. Selanjutnya ia memperindah sendiri dengan beberapa tusuk konde emas saja dan perhiasan secukupnya. Kata Li Wei walau dirinya menolak dilayani, penampilan sebagai permaisuri seorang pangeran harus tetap dijaga. Selesai sudah ia berdandan, kini giliran membantu Pangeran Kedua mengenakan jubah agung berwarn
Rapat penting digelar di aula utama kerajaan. Para menteri datang dengan jubah resmi warna merah, ikat pinggang khusus dan taku lupa guangjin di kepala. Begitu pula para pangeran, mulai dari Putra Mahkota yang menggunakan jubah emas, lalu pangeran kedua, ketiga, keempat, kelima yang semuanya merupakan putra kaisar dari selir yang berbeda-beda. Rapat kali itu membahas tentang eksistensi para pemberontak di perbatasan wilayah selatan yang berhasil dibasmi oleh Li Wei waktu itu. Namun, tak semuanya habis diberantas. Sisa-sisa pemberontak tentu tetap ada. “Menteri Pertahanan harus memastikan wilayah selatan lebih kuat dari biasanya. Tambah alutsista kita dan latih para tentara dengan rutin, kau harus ke sana untuk memeriksanya langsung!” titah Yang Mulia. “Baik, Yang Mulia!” Menteri Ming yang menggunakan douli—topi dengan hiasan bulu burung menerima perintah itu. “Ayahanda, kita tetap harus waspada dengan Suku Serigala, mereka sangat mirip dengan serigala asli,” ujar Li Wei s
Suku Serigala—seperti yang dikhawatirkan oleh Li Wei sebenarnya sudah sejak lama ada di Chang An. Tepatnya ketika sang pangeran mulai meninggalkan medan pertempuran, mereka pun telah bergerak. Suku Serigala dibagi menjadi tiga matra, yaitu darat, laut dan udara. Pertahanan militer mereka sangat kuat. Lelakinya pilih tanding dan perempuannya siap mati demi melahirkan generasi pilih tanding demi kemajuan dan perluasan wilayah. Suku Serigala merupakan ancaman nyata bagi Chang An. Dan kini pertama kalinya mereka kalah perang ketika Pangeran Kedua menjadi jenderal utama. Lelaki itu adalah ancaman nyata dan tentu harus dibunuh termasuk istri, keturunan jika ada juga orang-orang di sekeliling Li Wei. Kemudian, rencana pun disusun dengan sangat keji. Matra dari angkatan darat turun tangan dan dibagi menjadi dua regu. Adalah dua orang saudara kandung bernama Tugur dan Dugur. Rencana mereka telah disetujui oleh Hulagur—raja mereka. Tugur menuju kota Chang An dan Dugur mulai berjalan ke Pegu
Su Yin berada di dapur. Ia bosan dengan rasa masakan yang cenderung hambar. Lalu ia racik sendiri bumbu-bumbu yang ada walau terlihat sesuka hati. Tak lama kemudian Li Wei datang menghampiri dan melihat ke dalam panci rebusan, ragam jenis sayur, tahu, telur setengah matang dengan wangi yang sangat kuat, sudah hampir matang. Sepasang suami istri itu memutuskan makan di dapur bersama para pelayan yang meniru menu dari Permaisuri Yin. Sejenak suasana di dalam istana naga perak menjadi hangat dan tak beku seperti dulu lagi. Su Yin yang keras kepala dan teguh pendirian tapi peduli pada sesama membawa perubahan suasana yang cukup baik. Para pelayan mulai bisa baca tulis dan mereka bisa makan dan istirahat dengan tenang. “Kalau sudah selesai makan, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.” Mangkok Li Wei telah kosong dari makanan. Ia sangat menikmati makanan yang dibuat istrinya. “Pentingkah? Aku sudah selesai.” Mangkuk Su Yin juga sudah bersih, masih ada sisa makanan cukup banyak di dalam
“Sugur, apa kita jadi memberi kejutan pada Li Wei malam ini?” tanya salah seorang lelaki dari suku serigala. “Tentu saja, aku tidak pernah bertarung dengannya di medan perang, aku jadi ingin tahu seberapa hebat dia. Suruh salah satu orang kita yang berani mati di garis depan untuk bertarung dengan Li Wei.” Sugur berbicara sambil mengambil air. Ia dan beberapa bawahan lelakinya berhasil menyamar menjadi pelayan di istana Putra Mahkota. Mereka sering bertemu sambil membicarakan rencana penyerangan tanpa ketahuan sebab pergerakannya gesit seperti serigala. “Baik, Sugur, tunggu saja kabar beritanya malam ini.” Lelaki itu pergi dan Sugur kembali menjalani pekerjaannya sehari-hari. Terkadang Sugur mendapat jatah mengisi air di bak mandi Pangeran Li Zu Min. Sering kali ia ingin menikam putra mahkota, tetapi ia tidak diperintahkan untuk itu. Tugasnya hanya mengawasi jalannya istana bagian dalam dan melaporkannya pada Tugur. Dari istana naga emas juga Sugur jadi tahu bahwa putra mahkota b
“Aku tidak butuh uang, tapi aku butuh tubuhmu.” Dugur muncul tiba-tiba saja dari belakang. Su Yin menoleh dan ia terkejut lalu sontak mundur beberapa langkah. “Besar sekali, ini orang atau raksasa?” gumam Su Yin dengan bibir mengeluarkan asap. “Bagaimana?” Dugur mengulurkan tangan dan berusaha membantu Su Yin berdiri, tapi permaisuri dengan mata jernih itu menolaknya. “Setelah kau membunuh Li Wei kau boleh membunuhku kalau memang itu yang membuatmu puas. Aku tidak akan menjual tubuhku dengan siapapun.” “Sombong. Di desaku banyak wanita yang mendamba untuk tidur dan punya anak dariku.” “Desamu berisi wanita-wanita tidak waras.” Su Yin berdiri dan ia meraih belati giok di pingganngnya. Dengan cepat ia melompat dan memotong tali temali yang menjerat pangeran kedua. Dugur melihatnya sambil tersenyum. Tali terpotong dan Su Yin mendekati suaminya. “Kita pergi dari sini, ayo.” Su Yin menarik Li Wei tapi lelaki itu diam mematung. “Sayang, kau kenapa?” Permaisuri keheranan. “Ha ha ha,
Su Yin berlatih pedang bersama An Mama di teras istana bulan. Polisi wanita itu melakukan kegiatan ekstra agar tubuhnya tak membeku diterjang cuaca dingin dari pegunungan. Kali ini ia dibimbing langsung oleh sang guru yang merupakan pelatih para pangeran. Dari pagi sampai beranjak siang hari Permaisuri Yin tidak menghentikan latihannya. Hingga kini ia menggunakan dua pedang di tangannya dan melakukan gerakan cepat melompat serta berguling di lantai. “Cukup, Nyonya, istitrahatkan tubuhmu.” An Mama memegang bahu Su Yin yang hampir menghantam tiang. “Ah, iya, aku juga sudah sangat lelah.” Permaisuri Yin memberikan pedangnya pada salah satu pasukan elite yang berlatih. Setelah selesai ia masuk ke dalam kamar sendirian dan di sana telah tersedia makanan yang dibawa para pelayan. Li Wei belum juga kembali sejak tiga hari yang lalu. Su Yin hanya mendapat kabar kalau pangeran baik-baik saja dan sedang menyusuri pegunungan untuk mencari tempat persembunyian Dugur. “Andai ini terjadi di k
Dugur dan Tugur merupakan saudara kandung. Di mana Tugur adalah kakak pertama. Mereka memiliki adik perempuan yang tak kalah bengis dan sadis sama seperti serigala. Ketiga saudara itu merupakan abdi setia dari Raja dari desa bebatuan bernama Bae Yung yang usianya telah menembus 200 tahun. Kali ini tiga saudara itu berbagi tugas. Yigur—bungsu perempuan melatih armada angkatan laut agar lebih kuat. Tugur menguasai kota Chang An dari dalam dan Dugur akan menghancurkan suku bintang yang diketahui menjalin perjanjian damai dengan Chang An. Dugur sudah lama tiba di Pegunungan Utara dan membuat rumah di dekat gunung. Ia tahan dingin karena tubuhnya berdarah panas seperti serigala. Selama ini lelaki dengan tubuh tambun dan kekar itu menunggu saat yang tepat dan ketika Li Wei datang, maka waktu itu telah tiba. Hanya saja Dugur salah perhitungan. Disangkanya Pangeran Kedua datang sendiri dan tak membawa sekutu yang hebat. Nyatanya sang pangeran datang bersama pasukan terbaik yang tidak dib
Su Yin membuka mata sambil menghembuskan napas dengan kuat. Di depannya sudah ada Li Wei yang duduk dan menatapnya begitu intens. “Bukannya tadi aku …” Su Yin mengingat kejadian yang belum lama berlalu. “Kau tidur di dekat kolam sambil memegang gelang. Kenapa tidur di sana, kita diberikan ranjang?” tanya Pangeran Kedua sambil membantu permaisuri duduk. “Aku tidak tidur.” “Dan?” “Ada yang masuk ke dalam kamarku, ada darah menetes di lantai mungkin masih ada jejaknya, dan tadi ak—” “Tidak ada jejak darah di lantai sama sekali, mungkin kau kelelahan.” “Kau mulai tidak percaya denganku.” Permaisuri balas menatap pangeran lebih dalam. “Kalau tahu di luar banyak kejadian aneh, tahu begini kau tidak akan kubawa.” “Kau pikir kalau di istana aku aman? Kau pikir selir agung tidak akan mencoba membunuhku, belum menteri lain yang tiba-tiba tidak suka denganku.” “Besok, kau bersama setengah pasukan elite akan aku kirim kembali ke istana.” “Aku tidak mau!” “Ini perintah!” Li Wei mengera
“Sayang, ayolah, jangan marah lagi. Aku kemarin hanya bercanda.” Li Wei membujuk permaisuri yang masih cemberut dan merengut sejak tadi malam. Saat mandi, saat makan, saat pakai baju sama saja bentuk wajahnya ditekuk terus. “Aku tak percaya denganmu, lihat tari perut saja bisa lupa diri apalagi kalau perempuan buka baju di depanmu.” Su Yin masih menghindari Li Wei. Dua orang itu sedang jalan santai di sepanjang pemukiman suku bintang. An Mama mengikuti dari belakang sambil memantau keamanan. “Kalau mau dari dulu sudah aku lakukan, untuk apa sembunyi-sembunyi darimu.” Pangeran Kedua menyentuh bahu permaisuri, tapi ditepis lagi. “Kenapa aku jadi cemburuan begini, ya? Gawat. Nanti saat kembali ke masa depan bisa-bisa aku labil dan mengganggu tugasku,” guman Su Yin ketika berjalan tak tentu arah. “Sayang, kau mau ke mana?” “Ke sana.” Usai menjawab, dokter forensik itu berlari tanpa arah yang jelas. Li Wei menyusul dengan cepat. “Mereka berdua seperti anak kecil saja. Apa tidak paha
“Hei, duduk, kau bikin malu saja.” Li Wei menarik tangan istrinya yang bersorak-sorak bergembira melihat pertunjukan lelaki kekar di depannya. “Lepas, jarang-jarang aku melihat seperti ini.” Su Yin tak mau dilarang. Kapan lagi bisa melihat pemandangan indah seperti sekarang. “Memang lelaki saja yang butuh banyak perempuan cantik,” gumamnya sambil suit suiiit. Semakin meriah pesta dengan ketukan gendang dan tarian pedang dari para lelaki. “Waaah, perutnya ada kotak-kotak delapan, eight pack, langka, sisiwiiiwiiiit.” Tingkah Su Yin membuat Li Wei memejamkan mata dan Ana Mama menahan senyuman sesaat. Ya, memang perempuan juga butuh hiburan tapi jangan terlalu terang-terangan juga memuji di depan suaminya. “Perut kotak-kotak begitu aku juga punya, perlu aku bukan baju di sini?”“Jangan, bikin malu saja nanti,” sahut permaisuri. “Heeh, kau yang bikin malu dari tadi. Lihat perempuan lain duduk manis, kau seperti cacing kepanasan.” “Pangeran, biarkan Permaisuri bahagia. Mungkin dia beta
“Ayo turun, kita sudah sampai.” Li Wei melompat dari kuda terlebih dahulu lalu menyambut turun Su Yin dari kereta. Mereka semua termasuk para pelayan menggunakan mantel bulu tebal karena udara di Pegunungan Utara sangat dingin daripada biasanya. “Waaah, tanpa salju saja aku sudah hampir membeku.” Sang permaisuri memeluk dirinya sendiri. Asap dari bibirnya keluar dan gigi nyaris gemeratakan. “Tenang saja nanti aku peluk kau sepanjang hari agar tak kendinginan.” Pangeran Kedua mengedipkan sebelah matanya. “Gayamu, baru buka baju saja sudah beku kulit duluan.” Hampir Su Yin tak tahan dingin kalau tak menggunakan mantel tebal sebanyak dua lapis. Tak lama kemudian para penjaga yang berasal dari Suku Bintang datang meyambut rombongan Pangeran Kedua. Mereka mempersilakan Li Wei dan Su Yin untuk bertemu dengan kepala suku. Yun Chi adalah nama ketua suku sekaligus ayah dari Yun Zi. “Kami memeri hormat pada Pangeran Kedua sekaligus Permaisuri Yin selaku utusan dari Chang An.” Yun Chi mem
Selir Agung sedang minum teh di pagi hari yang cerah. Secerah senyumnya dibalut gincu merah merekah. Lalu Gui Mama datang mendekat dan berbisik padanya. “Hamba sudah mengirim orang untuk membunuh Pangeran Kedua di perjalanan.” Kata demi kata menyeramkan terucap dengan senyuman gigi emas Gui Mama. “Bagus, penghambat takhta putraku harus segera dibasmi. Yang berani melawanku akan mati.” Ming Hua menghabiskan teh dan menikmati sarapan yang lezat di atas meja. Setelah itu ia pun berjalan mengelilingi taman yang indah, kemudian lanjut mengunjungi istana naga emas. Begitu terus yang Selir Agung lakukan dalam satu minggu terakhir. Hingga pada suatu hari ia melihat putra dan menantunya tak saling bertegur sapa di meja makan. “Kalian baik-baik saja?” tanya Selir Agung. Baik Putra Mahkota dan permaisurinya mengangguk saja. Kejadian malam tadi benar-benar mengguncang kesadaran dan kesabaran keduanya. “Aneh sekali, biasanya Bai Jing sangat murah senyum,” gumam Ming Hua sambil memindahkan ma
Putra Mahkota pergi ke kuil yang berada dalam naungan Departemen Sihir dan Perbintangan. Ia sedang galau luar biasa. Istrinya diam seribu bahasa dan ibunya pun akhir-akhir ini senang menyendiri. Tak ada yang tahu apa isi wanita. Ditambah Li Zu Min masih terbeban dengan permintaan Li Wei. “Sepertinya Pangeran punya banyak sekali beban hidup.” Shen Du menyalakan dupa dan memberikan pada Putra Mahkota. “Aku merasa kesialan menerpaku bertubi-tubi, meski tidak ada yang bicara terang-terangan di depanku, tapi aku tahu mereka bilang kalau ini karma ibu.” Li Zu Min melakukan persembahayangan dengan sungguh-sungguh kali ini. “Tenangkan hatimu, Pangeran, sebisa mungkin kita harus mencegah terjadinya peristiwa bulan purnama berdarah.” “Itu juga yang mengganggu isi hatiku. Belum ada keanehan yang aku temui sejak beberapa hari yang lalu. Semua pelayan terlihat biasa-biasa saja di depanku, tapi …” “Tapi apa, Pangeran.” “Salah satu pelayan ibuku menghilang dan tidak ada jejaknya sama sekali.