Su Yin berada di dapur. Ia bosan dengan rasa masakan yang cenderung hambar. Lalu ia racik sendiri bumbu-bumbu yang ada walau terlihat sesuka hati. Tak lama kemudian Li Wei datang menghampiri dan melihat ke dalam panci rebusan, ragam jenis sayur, tahu, telur setengah matang dengan wangi yang sangat kuat, sudah hampir matang. Sepasang suami istri itu memutuskan makan di dapur bersama para pelayan yang meniru menu dari Permaisuri Yin. Sejenak suasana di dalam istana naga perak menjadi hangat dan tak beku seperti dulu lagi. Su Yin yang keras kepala dan teguh pendirian tapi peduli pada sesama membawa perubahan suasana yang cukup baik. Para pelayan mulai bisa baca tulis dan mereka bisa makan dan istirahat dengan tenang. “Kalau sudah selesai makan, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.” Mangkok Li Wei telah kosong dari makanan. Ia sangat menikmati makanan yang dibuat istrinya. “Pentingkah? Aku sudah selesai.” Mangkuk Su Yin juga sudah bersih, masih ada sisa makanan cukup banyak di dalam
“Sugur, apa kita jadi memberi kejutan pada Li Wei malam ini?” tanya salah seorang lelaki dari suku serigala. “Tentu saja, aku tidak pernah bertarung dengannya di medan perang, aku jadi ingin tahu seberapa hebat dia. Suruh salah satu orang kita yang berani mati di garis depan untuk bertarung dengan Li Wei.” Sugur berbicara sambil mengambil air. Ia dan beberapa bawahan lelakinya berhasil menyamar menjadi pelayan di istana Putra Mahkota. Mereka sering bertemu sambil membicarakan rencana penyerangan tanpa ketahuan sebab pergerakannya gesit seperti serigala. “Baik, Sugur, tunggu saja kabar beritanya malam ini.” Lelaki itu pergi dan Sugur kembali menjalani pekerjaannya sehari-hari. Terkadang Sugur mendapat jatah mengisi air di bak mandi Pangeran Li Zu Min. Sering kali ia ingin menikam putra mahkota, tetapi ia tidak diperintahkan untuk itu. Tugasnya hanya mengawasi jalannya istana bagian dalam dan melaporkannya pada Tugur. Dari istana naga emas juga Sugur jadi tahu bahwa putra mahkota b
Dua hari sudah Su Yin dan Cang He bertukar peran. Risih polisi wanita itu menggunakan hanfu transparan milik seorang penyanyi dari rumah bordil. Cantik memang, tapi terlihat murahan sekali. Li Wei baru saja kembali setelah memeriksa persediaan untuk ekspedisi ke utara. Ia terlihat lelah dan merengut. Keduanya makan dalam diam tanpa berbicara seolah-olah memiliki beban yang begitu berat. “Aku ada janji dengan kakakku, kau tidur saja duluan,” ucap Li Wei ketika mengganti bajunya. “Bukannya istana ada jam malam dan tak boleh keluar?” tanya Su Yin sambil memainkan kaki. “Aku lelaki sudah biasa bergerak tanpa batasan. Jangan tinggalkan kamar ini tanpa perintah dariku.” “Hmmm.” Su Yin menjawab singkat saja. Hidupnya terasa membosankan di dalam istana. Ia susah berbaur dengan para putri karena kegiatan mereka melukis, merajut, dan membaca puisi. Satu pun tidak ada yang Su Yin sukai. Malam hari terus beranjak. Permaisuri Yin tak bisa tidur karena rasa panas yang menjalar dari kaki dan
Su Yin menghindar dengan memanjat dinding istana ketika manusia dengan wujud setengah serigala itu nyaris mencakarnya. Wajah yang menyerang tidak ketahuan sama sekali, semua tertutup bulu yang lebat. Pertarungan itu tidak seimbang, lelaki dengan cakar dan taring yang tajam tersebut bahkan telah merobek hanfu tipis sang permaisuri hingga penampilan Su Yin terlihat setengah tak berbaju. “Kenapa zaman dulu banyak sekali mahkluk-mahkluk aneh.” Su Yin duduk sambil mengatur napas. Ingin ia berlari tapi mahluk di depannya mengeluarkan sepuluh jari dengan kuku tajam. Pertarungan tidak dapat dihindari. Polisi wanita itu melawan dengan tangan kosong dan mengandalkan tendangan serta pukulan saja. Su Yin berhasil menghantam uluhati lelaki itu hingga mundur beberapa langkah. Namun, bukannya mengaku kalah, mahluk tersebut mundur untuk mengumpulkan kekuatan. Manusia dengan bulu-bulu lebat itu berlari menggunakan dua tangan serta kaki persis seperti binatang. Su Yin menganga sesaat tetapi ia lek
Aligur tinggal di dalam rumah bordil. Ia bisa mencium dari jarak jauh kedatangan Selir Agung ke tempat yang dijanjikan. Dukun sakti itu kemudian duduk bersila sambil memejamkan mata dan tak lupa membaca mantera. Secara ajaib kepalanya berputar dari depan ke belakang tanpa ada tulang yang patah sama sekali. Lalu karena cepatnya perputaran itu arwahnya pun keluar dan berubah menjadi seringan selendang merah yang ia gunakan. Aligur terbang menyusuri tempat-tempat gelap agar tak terkena cahaya matahari dan bersembunyi di balik kereta bangsawan dan sampai di rumah singgah Tugur. “Tuanku,” bisiknya di telinga Tugur yang sedang tidur. Lelaki dengan tubuh kekar itu langsung bangun. “Ada apa?” “Dia akan datang, untuk menyempurnakan rencanamu, kau siap? Anak itu akan jadi milik orang lain, jika kau tak siap aku bisa menghentikannya.” “Lalukan sesuai rencana, aku masih bisa membuat anak yang lain.” “Baik, Tuanku.” Aligur kemudian melesat terbang lagi seperti tadi dan langsung memasuki tub
Pagi harinya Ming Hua sudah membaik, setelah mandi dan mengganti baju serta berdandan ia menuju istana naga emas sambil pelayannya membawakan kudapan yang masih hangat. Kedatangannya diumumkan, kebetulan Bai Jing dan Putra Mahkota akan sarapan bersama. Sekalian saja mereka mengajak ibunda yang terlihat sibuk belakangan ini. “Kau terlihat pucat akhir-akhir ini, anakku, apa kau menjaganya dengan baik?” Ming Hua memegang tangan Bai Jing sambil menatap putranya. Sang permaisuri di istana bunga emas masih terkejut dan ketika dirinya hampir dilecehkan hingga terlihat tak sehat. “Tentu saja, Ibunda, Putra Mahkota menjagaku dengan baik. Nuyi (sebulan pelayan istana di dalam lingkungan istana) bawakan teh kesukaan ibuku, sekarang.” Perintah Bai Jing dan segera dilaksanakan oleh pelayannya. “Tidak perlu repot-repot, Ibu ke sini karena merindukan kalian. Lihat, ini kudapan kesukaanmu, ayo dimakan. Kau harus sehat agar bisa menjadi ibu,” ucap Ming Hua tanpa sadar hingga membuat senyum pangera
Malam hari ketika Su Yin sudah istirahat lebih dahulu, Li Wei masih memeriksa peta Dinasti Tang di mana kota Chang An sebagai pusat kota dengan beberapa kota besar dan desa yang masih baru. Beberapa di antara penduduk merupakan pelarian dari dinasti atau peradaban lain. Mereka mencari suaka dan perlindungan agar hidup aman. Tak bisa dipungkiri, selain Tang, masih banyak peradaban lain yang masih suka berperang. Suku Serigala hanya salah satu contoh. Desa bebatuan merupakan desa yang berada di luar pemerintah Tang dan pendudukan sangat primitif. Mereka masih memegang tradisi memakan daging manusia, yang mana korbannya ditunjuk oleh tetua desa. Bagi mereka yang masih patuh akan suka rela menumbalkan orang tersayang demi keberlangsungan adat istiadat. Bagi yang ingin meraih harapan hidup lebih baik akan kabur dari desa diam-diam. Ada yang berhasil ada yang tidak. Yang tidak berhasil kebanyakan dibunuh serigala jadi-jadian, yang berhasil kabur umumnya mengalami kesulitan beradaptasi de
Pelayan dan para penjaga sudah bersiap untuk berangkat. Namun, ada seseorang yang terlihat berlari menuju kereta iring-iringan pangeran. Su Yin mengenal gadis itu. Ru Yi datang membawa beberapa barang yang dibungkus menggunakan kain. “Pemaisuri, andai boleh, aku akan memilih ikut sebagai tabib dalam perjalanan kali ini,” ucap Ru Yi sambil mengatur napas. “Tidak usah, lanjutkan saja belajarmu, aku baik-baik saja, aku juga dokter, tapi ini apa?” tanya Su Yin sambil menimbang-nimbang. “Ada cream siang, cream malam, cream anti matahari dan cream awet muda, hi hi hi.” Ru Yi tersenyum kecil. Begitu yang ia pelajari dari buku yang dituliskan oleh Permaisuri Yin. “Oh, jadi dokter kecantikan rupanya.” Su Yin melirik Ru Yi dari ujung rambut sampai kaki. Gadis itu mengenakan baju tabib yang dari kualitas kain yang bagus dan membuatnya terlihat cantik. “Kau di sini tidak ada niat menikah?” Tiba-tiba aja pertanyaan sang permaisuri ke sana. “Ehm, malu, Permaisuri, umur hamba sudah 24 tahun. S
“Aku tidak butuh uang, tapi aku butuh tubuhmu.” Dugur muncul tiba-tiba saja dari belakang. Su Yin menoleh dan ia terkejut lalu sontak mundur beberapa langkah. “Besar sekali, ini orang atau raksasa?” gumam Su Yin dengan bibir mengeluarkan asap. “Bagaimana?” Dugur mengulurkan tangan dan berusaha membantu Su Yin berdiri, tapi permaisuri dengan mata jernih itu menolaknya. “Setelah kau membunuh Li Wei kau boleh membunuhku kalau memang itu yang membuatmu puas. Aku tidak akan menjual tubuhku dengan siapapun.” “Sombong. Di desaku banyak wanita yang mendamba untuk tidur dan punya anak dariku.” “Desamu berisi wanita-wanita tidak waras.” Su Yin berdiri dan ia meraih belati giok di pingganngnya. Dengan cepat ia melompat dan memotong tali temali yang menjerat pangeran kedua. Dugur melihatnya sambil tersenyum. Tali terpotong dan Su Yin mendekati suaminya. “Kita pergi dari sini, ayo.” Su Yin menarik Li Wei tapi lelaki itu diam mematung. “Sayang, kau kenapa?” Permaisuri keheranan. “Ha ha ha,
Su Yin berlatih pedang bersama An Mama di teras istana bulan. Polisi wanita itu melakukan kegiatan ekstra agar tubuhnya tak membeku diterjang cuaca dingin dari pegunungan. Kali ini ia dibimbing langsung oleh sang guru yang merupakan pelatih para pangeran. Dari pagi sampai beranjak siang hari Permaisuri Yin tidak menghentikan latihannya. Hingga kini ia menggunakan dua pedang di tangannya dan melakukan gerakan cepat melompat serta berguling di lantai. “Cukup, Nyonya, istitrahatkan tubuhmu.” An Mama memegang bahu Su Yin yang hampir menghantam tiang. “Ah, iya, aku juga sudah sangat lelah.” Permaisuri Yin memberikan pedangnya pada salah satu pasukan elite yang berlatih. Setelah selesai ia masuk ke dalam kamar sendirian dan di sana telah tersedia makanan yang dibawa para pelayan. Li Wei belum juga kembali sejak tiga hari yang lalu. Su Yin hanya mendapat kabar kalau pangeran baik-baik saja dan sedang menyusuri pegunungan untuk mencari tempat persembunyian Dugur. “Andai ini terjadi di k
Dugur dan Tugur merupakan saudara kandung. Di mana Tugur adalah kakak pertama. Mereka memiliki adik perempuan yang tak kalah bengis dan sadis sama seperti serigala. Ketiga saudara itu merupakan abdi setia dari Raja dari desa bebatuan bernama Bae Yung yang usianya telah menembus 200 tahun. Kali ini tiga saudara itu berbagi tugas. Yigur—bungsu perempuan melatih armada angkatan laut agar lebih kuat. Tugur menguasai kota Chang An dari dalam dan Dugur akan menghancurkan suku bintang yang diketahui menjalin perjanjian damai dengan Chang An. Dugur sudah lama tiba di Pegunungan Utara dan membuat rumah di dekat gunung. Ia tahan dingin karena tubuhnya berdarah panas seperti serigala. Selama ini lelaki dengan tubuh tambun dan kekar itu menunggu saat yang tepat dan ketika Li Wei datang, maka waktu itu telah tiba. Hanya saja Dugur salah perhitungan. Disangkanya Pangeran Kedua datang sendiri dan tak membawa sekutu yang hebat. Nyatanya sang pangeran datang bersama pasukan terbaik yang tidak dib
Su Yin membuka mata sambil menghembuskan napas dengan kuat. Di depannya sudah ada Li Wei yang duduk dan menatapnya begitu intens. “Bukannya tadi aku …” Su Yin mengingat kejadian yang belum lama berlalu. “Kau tidur di dekat kolam sambil memegang gelang. Kenapa tidur di sana, kita diberikan ranjang?” tanya Pangeran Kedua sambil membantu permaisuri duduk. “Aku tidak tidur.” “Dan?” “Ada yang masuk ke dalam kamarku, ada darah menetes di lantai mungkin masih ada jejaknya, dan tadi ak—” “Tidak ada jejak darah di lantai sama sekali, mungkin kau kelelahan.” “Kau mulai tidak percaya denganku.” Permaisuri balas menatap pangeran lebih dalam. “Kalau tahu di luar banyak kejadian aneh, tahu begini kau tidak akan kubawa.” “Kau pikir kalau di istana aku aman? Kau pikir selir agung tidak akan mencoba membunuhku, belum menteri lain yang tiba-tiba tidak suka denganku.” “Besok, kau bersama setengah pasukan elite akan aku kirim kembali ke istana.” “Aku tidak mau!” “Ini perintah!” Li Wei mengera
“Sayang, ayolah, jangan marah lagi. Aku kemarin hanya bercanda.” Li Wei membujuk permaisuri yang masih cemberut dan merengut sejak tadi malam. Saat mandi, saat makan, saat pakai baju sama saja bentuk wajahnya ditekuk terus. “Aku tak percaya denganmu, lihat tari perut saja bisa lupa diri apalagi kalau perempuan buka baju di depanmu.” Su Yin masih menghindari Li Wei. Dua orang itu sedang jalan santai di sepanjang pemukiman suku bintang. An Mama mengikuti dari belakang sambil memantau keamanan. “Kalau mau dari dulu sudah aku lakukan, untuk apa sembunyi-sembunyi darimu.” Pangeran Kedua menyentuh bahu permaisuri, tapi ditepis lagi. “Kenapa aku jadi cemburuan begini, ya? Gawat. Nanti saat kembali ke masa depan bisa-bisa aku labil dan mengganggu tugasku,” guman Su Yin ketika berjalan tak tentu arah. “Sayang, kau mau ke mana?” “Ke sana.” Usai menjawab, dokter forensik itu berlari tanpa arah yang jelas. Li Wei menyusul dengan cepat. “Mereka berdua seperti anak kecil saja. Apa tidak paha
“Hei, duduk, kau bikin malu saja.” Li Wei menarik tangan istrinya yang bersorak-sorak bergembira melihat pertunjukan lelaki kekar di depannya. “Lepas, jarang-jarang aku melihat seperti ini.” Su Yin tak mau dilarang. Kapan lagi bisa melihat pemandangan indah seperti sekarang. “Memang lelaki saja yang butuh banyak perempuan cantik,” gumamnya sambil suit suiiit. Semakin meriah pesta dengan ketukan gendang dan tarian pedang dari para lelaki. “Waaah, perutnya ada kotak-kotak delapan, eight pack, langka, sisiwiiiwiiiit.” Tingkah Su Yin membuat Li Wei memejamkan mata dan Ana Mama menahan senyuman sesaat. Ya, memang perempuan juga butuh hiburan tapi jangan terlalu terang-terangan juga memuji di depan suaminya. “Perut kotak-kotak begitu aku juga punya, perlu aku bukan baju di sini?”“Jangan, bikin malu saja nanti,” sahut permaisuri. “Heeh, kau yang bikin malu dari tadi. Lihat perempuan lain duduk manis, kau seperti cacing kepanasan.” “Pangeran, biarkan Permaisuri bahagia. Mungkin dia beta
“Ayo turun, kita sudah sampai.” Li Wei melompat dari kuda terlebih dahulu lalu menyambut turun Su Yin dari kereta. Mereka semua termasuk para pelayan menggunakan mantel bulu tebal karena udara di Pegunungan Utara sangat dingin daripada biasanya. “Waaah, tanpa salju saja aku sudah hampir membeku.” Sang permaisuri memeluk dirinya sendiri. Asap dari bibirnya keluar dan gigi nyaris gemeratakan. “Tenang saja nanti aku peluk kau sepanjang hari agar tak kendinginan.” Pangeran Kedua mengedipkan sebelah matanya. “Gayamu, baru buka baju saja sudah beku kulit duluan.” Hampir Su Yin tak tahan dingin kalau tak menggunakan mantel tebal sebanyak dua lapis. Tak lama kemudian para penjaga yang berasal dari Suku Bintang datang meyambut rombongan Pangeran Kedua. Mereka mempersilakan Li Wei dan Su Yin untuk bertemu dengan kepala suku. Yun Chi adalah nama ketua suku sekaligus ayah dari Yun Zi. “Kami memeri hormat pada Pangeran Kedua sekaligus Permaisuri Yin selaku utusan dari Chang An.” Yun Chi mem
Selir Agung sedang minum teh di pagi hari yang cerah. Secerah senyumnya dibalut gincu merah merekah. Lalu Gui Mama datang mendekat dan berbisik padanya. “Hamba sudah mengirim orang untuk membunuh Pangeran Kedua di perjalanan.” Kata demi kata menyeramkan terucap dengan senyuman gigi emas Gui Mama. “Bagus, penghambat takhta putraku harus segera dibasmi. Yang berani melawanku akan mati.” Ming Hua menghabiskan teh dan menikmati sarapan yang lezat di atas meja. Setelah itu ia pun berjalan mengelilingi taman yang indah, kemudian lanjut mengunjungi istana naga emas. Begitu terus yang Selir Agung lakukan dalam satu minggu terakhir. Hingga pada suatu hari ia melihat putra dan menantunya tak saling bertegur sapa di meja makan. “Kalian baik-baik saja?” tanya Selir Agung. Baik Putra Mahkota dan permaisurinya mengangguk saja. Kejadian malam tadi benar-benar mengguncang kesadaran dan kesabaran keduanya. “Aneh sekali, biasanya Bai Jing sangat murah senyum,” gumam Ming Hua sambil memindahkan ma
Putra Mahkota pergi ke kuil yang berada dalam naungan Departemen Sihir dan Perbintangan. Ia sedang galau luar biasa. Istrinya diam seribu bahasa dan ibunya pun akhir-akhir ini senang menyendiri. Tak ada yang tahu apa isi wanita. Ditambah Li Zu Min masih terbeban dengan permintaan Li Wei. “Sepertinya Pangeran punya banyak sekali beban hidup.” Shen Du menyalakan dupa dan memberikan pada Putra Mahkota. “Aku merasa kesialan menerpaku bertubi-tubi, meski tidak ada yang bicara terang-terangan di depanku, tapi aku tahu mereka bilang kalau ini karma ibu.” Li Zu Min melakukan persembahayangan dengan sungguh-sungguh kali ini. “Tenangkan hatimu, Pangeran, sebisa mungkin kita harus mencegah terjadinya peristiwa bulan purnama berdarah.” “Itu juga yang mengganggu isi hatiku. Belum ada keanehan yang aku temui sejak beberapa hari yang lalu. Semua pelayan terlihat biasa-biasa saja di depanku, tapi …” “Tapi apa, Pangeran.” “Salah satu pelayan ibuku menghilang dan tidak ada jejaknya sama sekali.