POV FERI
Aku Terduduk lesu di tepi ranjang hotel setelah bangun dari tidurku, kembali aku hela nafas sesak saat mematikan ponsel, ada beberapa panggilan tak terjawab darii Ina, aku lagi males bicara pada Ina sekarang, mungkin aku harus menjauh dulu dari hidupnya agar dia puas. Aku sudah sangat putus asa sekali sekarang, apa yang harus aku lakukan. Untuk menyembuhkan Ina segala cara sudah aku tempuh bahkan telah membawa wanita lain ke dalam rumah tangga kami, bergegas aku kekamar mandi dan berkemas, hari ini aku akan temui seseorang yang berpengaruh bagi hidup Ina.Yang selama ini selalu menannyakan kabar Ina dan berharap Ina baik-baik saja, ya itu ningsih ibu kandungnya Ina, aku tidak pernah beri tau Ina kalo aku masih aktif berkomunikasi dengan ibu kandungnya karna memang Ina tidak ingin bertemu dengan ibunya. Setelah selesai berkemas, aku keluar dari hotel dan melaju ke kontrakan mertuaku itu,Sesampai disana aku mengetuk pintu dengan tertatih dan terbopoh wanit
POV RARA “Tolong, jaga sikapmu, kamu tau siapa dia yang kamu ganggu?’’ucapnya lirih dengan gigi tergetakkan, aku coba menyimak dengan rasa cemas bahwa mba Ina bisa saja bertindak lebih, “Mba ini siapa?, saya hanya mencoba membujuk pacar saya.’’ujar Aldo, Mba Ina tampak menoleh ke lain arah, dan berkata. “Pacar katamu, dia itu sud-‘’ ucapan mba Ina aku cegat dan tergesa aku mengenggam lengannya. “Mba kita pulang aja ya, males juga ladeni dia”ujarku melirik Aldo. ‘’Tapi Ra, kita harus bicara.”ucapnya berusaha mencengkram lenganku namun melihat tatapan sinis mba Ina pada tangan Aldo membuat dia harus melepaskann pegangannya perlahan, merasakan Aldo tak mengenggamku lagi aku menyeret mba Ina dan menjauh. Sesampai di mobil, aku bungkam tak tau harus berkata apa pada mba Ina, dia menghidupkan mesin mobil dan menggerutu, “Banyak sekali orang yang tidak waras didunia ini”gerutunya, aku menghela nafas dan ber
Pagi berkunjung untuk pertama kalinya aku tidak semangat bangun pagi dirumah ini, rasanya aku tidak percaya bahwa aku akan pergi, aku mendengar suara dari dapur, reflek aku berdiri dan melihat sepasang kekasih itu, mas Feri tampak menemani mba Ina membuatkan sarapan sambil sesekali mencandainya entah kenapa hatiku hangat melihatnya, segera aku kembali kedalam dan bersiap untuk mandi. Aku harus siapkan barang-barangku, aku harus pergi seperti yang dikatakan mas Feri semalam, ku coba tarik nafas dalam dan membuangnya berat entah kenapa ada sesak didadaku, rasanya aku tidak sanggup untuk pergi. Di jam Sembilan pagi, aku sudah rapi dan beranjak keluar. “Ayo Rara kita sarapan dulu,”pinta mba Ina menyeretku ke meja, sontak aku nanar melihat tingkahnya aku coba melirik mas Feri untuk minta jawaban dari wajahnya namun dia memasang wajah datar, mungkin dia belum kasih tau mba Ina tentang semuanya, aku menghenyak di kursi dan coba diam. Mba Ina tampak senyum melirik se
POV RARA Tiga Hari berlalu, aku sudah sangat bosan dengan keadaan rumah yang selalu ribut, mama dan ayah tiriku selalu saja cekcok tentang keuangan yang semakin menipis salah sendiri dia memilih pria miskin setelah selama ini mama tak pernah inginpunya suuami kere mungkin karna mama merasa dia sudah kaya hingga membiyai hidup parasit itu, dalam lamunanku di kamar, mama datang meghampiriku, TRAKT Bunyi pintu kamar terbuka “Rara, kamu punya taabungan gak? Mama pinjam donk, mama dah setres ini, keuangan kita makin menipis”gerutu mama saat menemuiku, aku reflek geleng-geleng dengan sedikit terkekeh mendengar itu. “Ma, aku dah gak pulang sampai sebulanan, tapi pas aku pulang bukannya bertanya aku kemana aja? Aku gak punya uang mah, aku bekerja untuk diriku sendiri, lagian saat Rara butuh mama dimana?”tanyaku meliriknya mondar- mandir didepanku. Dia memijit sedikit dahinya dan berkata. “Mama tak habis pikir kenapa bisa mama s
POV INA Setelah dari kamar Rara tadi aku kembali kekamarku, bisa aku lihat mas Feri berdiri di balkon sembari menatap langit cerah, aku mendekat dan coba menyapanya. “Mas,” sapaku dia menoleh sebentar dan kembali menatap langit yang sudah mulai berbias jingga itu, dia tampak menggetarkan bibirnya seolah ragu tentang apa yang akan dia katakan. “Kamu terlalu fokus pada Rara hingga tak pedulikan phobiamu,’’ ujarnya, aku tertunduk dan coba menghela nafas berat. “Aku sudah menyerah mas, Ina merasa hidup Ina sudah normal. Sudah, kita tak perlu buang-buang waktu. Terima kasih kamu telah membawa Rara kerumah ini.’’ujarnya. mas Feri terdengar berdesih reflek meremas bahuku dan berkata. “Setelah semua ini, aku bahkan berharap kamu itu normal Ina, kamu tau? Sakit saat aku coba terangkan pada diriku bahwa istriku tidak normal. Tolong buat aku mengerti bahwa istriku baik-baik saja.”ujarnya. aku menatap bulat bolan matanya, “Ada
POV FERI “Mas, aku pergi ke tempat mama untuk sementara waktu, mas tolong prioritaskan Rara, seperti aku dia juga butuh kamu mas, hak kami sama. Kita telah menarik Rara masuk kedalam keluarga kita,tolong prilakukan dia dengan baik, dia bukan pelampiasan hasratmu, dia juga pantas di cintai. Jangan cari aku, Ina akan kembali jika Ina ingin kembali, mas tenang saja untuk sekarang beri waktu untu Rara.”tulis Ina Reflek meremas kertas itu dan menghubunginya, aku dapati nomor itu aktif tapi tidak di angkat. Aku makin kesal hingga membuang ponsel dan kertas itu. Trakt… Bunyi pintu kamar terbuka Reflek aku menoleh dan melihat Rara di pintu pagi ini dia tampak berbeda dia terlihat pucat, tapi aku tidak peduli “Mba Ina kemana?, saya tidak melihatnya dari pagi.’’ujarnya. aku berdengus pelan dan berkata. ‘’Dia pulang aku akan menyusul, mungkin rumah ini akan kosong. Kamu bisa pergi. Atau tinggal disini terserah, aku tau kamu
POV RARA. “Mas Feri kok lama banget ya,”ujarku coba beranjak dan temui mereka dikamar. Aku terus saja berjalan hingga sampai di depan pintu kamar mba Ina, sontak aku diam mematung saat mendengar mba Ina berkata. “Sentuh aku mas?”ucapynya, aku langsung kepo dan mengintip pada daun pintu yang masih sedikit terbuka itu. Bisa aku lihat mas Feri mencoba menyentuh lekuk tubuh mba Ina lembut, untuk sejenak ada rasa ingin menghentikan, tapi kembali aku sadar akan posisiku, walau mas Feri telah mengikat aku dengan sebuah ikatan, tapi aku tau cintanya sama Mba Ina begitulah besar, nafasku tersengal dan air mataku merintik saat mas Feri cumbui istrinya aku lebih terkejut lagi reaksi mba Ina tidak ada perlawanan, aku membalik dengan sedikit mengelus dadaku dan terisak. Langkahku gontai kembali kekamar dengan air mata mengucur deras. “Mas kenapa Ini sakit sekali.”bisikku dengan sedikit mengelus dadaku. Aku meghempaskan badanku kekasur sembari menangis merintih
POV INA Di balkon kamar, aku termenung teringat akan kecemburuan Rara cukup beralasan tadi , apa salah wanita itu ? disini, akulah yang salah, kenapa juga aku mendatangi kamarnya dan mengatakan itu tadi. Ternyata begini rasanya saat merelakan sesuatu yang sangat berharga, kenapa dadaku terasa sesak saja saat membayangkan mas Feri membagi sentuhannya dengan wanita lain, pria yang sudah bersamaku bertahun-tahun, bahkan untuk bisa lebih intim saja dengannya aku butuh waktu yang cukup lama, hingga aku harus buat keputusan konyol membawa Rara kerumah ini. Percikan api cemburu yang selama aku lihat saat suamiku bersamar Rara membuat aku merespon banyak rasa yang sulit aku artikan, ada rasa ingin tau, ingin merasakan dan bahkan benci. Cemburu itu pasti, dia sudah sangat berjasa untukku hingga bisa aku dapatkan lagi keintiman saat bersama suamiku, tapi apa yang menyerubungi jiwa saat ini, kenapa aku egois bahkan aku, ingin Rara pergi dari sini. Apa salah wanita itu “
POV RARA Entah sudah berapa lama aku berdiri disini menatapi hamparan air yang menggenang dibawah jembatan, aku lelah dengan semua pelik ini, aku sudah terlalu mencintai mas Feri, bahkan aku tidak peduli itu pelampiasan hasratnya atau apa,, yang jelas hadirnya adalah sesuatu yang berharga untukku. Untuk pertama kalinya aku tidak suka dengan mba Ina. Kenapa dia pulih diwaktu yang salah, aku bahkan belum bisa menikmati waktu sedikit lebih lama dengan mas Feri, jika aku ingin meminta, aku ingin mengulang waktu itu dan tak akan menyia-nyiakan kesempatan berduaan dengannya, dan hari ini aku akan bawa mati kenangan ini, aku sudah bahagia bersama kenangan bersama mas Feri yang hanya beberapa jam itu. Aku mengenggam sebuah janji yang aku yakini tidak akan pernah dia ingkari tapi dalam sekejap janji itu goyah dan bahkan ingkar. “Maafkan Rara…. Rara juga harus pergi mas,”ujarku.sedikit aku melangkah pada besi penghalang. Jembatan air mataku merintik deras saat memejamk