“Kamu fikir semudah itu.’’geram Feri dengan gigi tergetakkan dia beranjak kembali pada putrinya itu dan menyeretnya masuk.
“Papa Zura mohon, Zura tidak mau membebani papa dengan aib ini.”tangisnya beronta tak mau di suruhh masuk, aku hanya bisa tertunduk dengan rasa penyesalan“Ayo masuk!’’hardik Feri menarik kasar tangan anaknya.“Enggak!”teriak Zura yang membuat aku mengangkat leherku melihatnya.“Zura mohon pa, Zura sayang sama papa. biiarkan Zura pergi, Zura hanya beban untuk papa sekarang.’tangisnya sesegukan, untuk sejenak Feri diam dan kembali menyeretnya masuk.“Jika papa menganggap kamu beban papa akan membunuhmu saat kamu lahir”tandasnya, aku mendegup dan coba berdiri, namun kembali badanku jatuh tergopoh saat hantaman keras, aku merebah sembari menoleh siapa yang lakukan itu.“Bedebah!”hardik Azzam, aku mengatur naafas untuk tidak membalasnya, sepertinya dia baru datang dari luar gerbang hingga aku taTERIMA KASIH
POV AZZURA “Om”lirihku menoleh padanya saat mobil mama dan papa berlalu. Priaku itu memelukku erat dan berkata “Terima kasih telah datang padaku.”ujarnya aku mengangguk dan menghela nafas berat. “Aku datang karna anak ini, dia tanggung jawab om Aldo, aku bahkan tak tau sekarang hidup untuk siapa.’’ujarku dia menatapku dalam dan berkata. “Kamu hidup untukkuZura aku mencintaimu.”ujarnya, mataku sayu dan reflek merintikkan air mata. “Semoga kali ini, yang Om katakana itu benar.”desisku pelan, Om Aldo terdengar berdesih dan merangkulku masuk. “Ayo kita masuk, aku mohon jangan ragukan aku.”ucapnya dengan langkah gontai aku mengikuti langkahnya darahku masih terasa memanas dan badanku gemetar, bagaimana tidak, untuk pertama kalinya papa berkata kasar padaku dan bahkan sampai menyakitiku tadi, dari mulutnya terlontar kata bahwa dia telah menganggap
POVALDO. “Duta, coba kamu kirim data karyawan penerima tunjangan.”ucapku pada gagang telpon saat aku bicara pada Duta di ruangannya tak butuh waktu lama ada data masuk di email laptopku di atas meja kerja ini. “Misi Tuan.”ucapnya membuka pintu aku mengabaikan itu dan tetap fokus pada datanya. “Jumlah unjuk rasa itu tak sebanding dengan karywan yang mau bertahan bekerja disini?"ucapku pelan sembari me cek dengan seksama melihat jumlah karyawan yang terbilang jauh sedikit dari perkiraanku “Ini hanya kurang dari seribu karyawan?’’tanyaku lagi. “Ia Tuan, kita terlalu mencemaskan ini sebelumnya, padahal masih banyak yang mau bertahan dengan gaji kecil karna memang peluang kerja di luar sana itu susah,’’ucap Duta. Aku sedikit menghela nafas dan coba berkata, “ Ya sudah, kamu coba urus karyawan-karyawan ini, aku akan cek produksi kita, tolong kamu
Keesokannya harinya aku datang kesekolah untuk mengurus surat pindah namun sebelum kembali pulang aku teringat pesan Zura gegas aku mencari surat itu dan menemui Azzam di kelasnya. Kebetulan 10 menit lagi istirahat aku menunggu di taman yang tak jauh dari kelasnya, hingga bunyi bel bergema semua murid tampak berhamburan keluar, dari kelas IPS Yang tak jauh dari tempat aku duduk itu juga bisa terlihat Aletta datang dan menghampiri. “Kak Vano, “sapanya, ketiga gadis itu bergegas mendekat “Ya ada apa Ta?”tanyaku mereka bertiga lirik-lirikan. “Kak Vano katanya mau pindah sekolah ya?”timpal janet, sedikit aku mengangguk dan berkata. “Ya.”singkatku “Zura bagaimana kabarnya?’’tanyanya. “Baik,” “Kak Vano juga kenapa ikut berhenti sekolah disini?”ujarnya,, aku menghela nafas dan berkata. “Aku harus ikuti Om, pindah ke Ameriika lagi.”sahutku menyahut-nya ogahan. “Sebenarnya yang hamilin
Sesampai dirumah, aku memarkirkan mobil di garasi untuk sejenak aku mengatur nafasku memejamkan mata dan membuang sesak dada itu dengan nafas keras, air mataku kembali merintik untuk sejenak biar aku katupkan kelopak mata ini, untuk yang pertama kalinya aku merasakan kecewa yang begitu dalam, membayangan langkah kaki Zura pergi hanya membuat aku semakin sakit, kembali aku buka mataku dan menghapus air mata ini, aku menoleh ke arah pintu masuk sudah bisa aku lihat papa, mama menyambutku keluar. aku mendegup keluar mobil menyiapkan mental untuk menemui mereka keluar. “Dari mana kamu Azzam?”tanya papa. “Azzam abis menemui Zura pa, maaf.”singkatku kedua orang tuaku tampak tertegun sebentar. “Untuk apa?”tanyanya, aku menghela nafas dan coba berkata tegas agar terlihat tegar, “Azzam hanya ingin menemuinya, untuk terakhir kalinya dan sekarang. Dia sudah berangkat ke amerika.”ucapku
POV ALDO Perjalanan yang melelahkan setelah sampai Di LA, aku membawa Zura ke apartemenku dan Vano,aku minta untuk pulang kekediamannya bang Dirga. aku belum bisa menemui saudaraku itu karna hancurnya perusahaan papa dan selain itu dia pasti tidak suka aku datang membawa gadis belia dan terlebih lagi dalam keadaan hamil. “Kamu kembalilah Van, sampaikan salamku pada papamu.”ujarku saat melihat supir keluarga itu menjemput kami. “Lalu Om ?”tanyanya singkat. “Aku akan membawa Zura ke apartemen.”ucapku. Vano tampak menautkan alisnya “Tapikan Papa, ingin bertemu dengan Om.” “Nanti kami akan menemuinya.”ucapku, Vano melirik Zura yang hanya diam itu dan mengangguk pelan. “Ya sudah, sampai bertemu lagi.”ujarnya beranjak masuk kedalam mobil. “Om, kita mau kemana?”tanya Zura. Aku menghela nafas sedikit dan meremas bahunya. “Kita akan ke apartemennya om,”singkatku, wajahnya berubah.
Dua hari berlalu musim berganti serbuk putih telah bertebangan di udara, cuaca mulai dingin “Om….” panggil Zura dari dalam kamar, aku yang tengah berdiri di balkon apartemen itu datang menemuinya. “Ya sayang?”sahutku, bisa aku lihat anak itu gigil memegangi sikunya berselimutkan kain tebal, mukanya memerah dan bibirnya gemetar. “Kamu kenapa sayang?”tanyaku mendekat naik keatas ranjang. “Dingin.”singkatnya. “Ya ampun Zura, ini juga baru musim dingin pertama bagaimana nanti.’’ujarku dia menyandarkan kepalanya ke bahuku, reflek aku mengelus dahinya namun aku terkejut saat merasakan dahinya panas. “Sayang kamu demam?”tanyaku, dia tak menjawab aku merangkul dan membaringkannya di kasur. “Tunggu sebentar, biar om ambilkan obatnya.”ucapku pelan beranjak ke kulkas mencari persediaan obat, dua menit berlalu aku kembali dengan se embe
Sesampai didalam dia menghenyak di sofa sembari menyapu pandangan setiap sudut ruangan, aku menoleh pada Vano dengan tak habis pikir. “Sudah lama sekali aku tidak mengunjungi apartemen ini.”ucapnya aku berdengus dan beranjak kekamar mengganti pakaian handukku dan coba menghubungi Om Aldo. aku kesa sekali meliha kehadiran wanita itu di rumahku Tuuuuut Bunyi panggilan itu tersambung. Tak tabutuh waktu lama panggilan itu di jawab. “Hallo sayang.” “Om, Zura gak suka ya itu si Alice sok berkuasa dirumah kita, dia kesini dan izin tinggal. Zura gak mau.”gerutuku. “Maksudmu, Alice datang ke apartemen?”nadanya tak habis pikir. “Iya.”ketusku kesal “Berikan ponsel ini padanya.”pintanya aku kembali keluar kamar dan menemui wanita itu diruang utamanya. “Ini Om, Aldo mau bicara.”ucapku dengan bahasa inggris dia terkekeh. “Om?, kalian sangat manis sekali,’’ujarnya menyambar ponse
Sesampai di rumah waktu di jam tanganku sudah menunjukan setengah lima sore. Aku berdesih saat mematikan mesin mobil dan beranjak turun dari mobil. "Ini sudah jam berapa Azzam?"Tanya papa, Sontak saja langkahku terhenti dan menoleh ke sofa di ruang keluarga itu, aku putar balik dan menghampiri papa yang duduk di sofa. "Maaf Pa, Azzam tadi singgah sebentar di Mall, miminya Shanum nitip sesuatu. Jadi kami harus cari "ucapku., papa tampak menghela nafas sedikit berat dan berkata. "Sepertinya kamu belum cukup paham ya, kalo papa gak suka kamu dekat dengan Shanum."ujarnya, aku menautka. Alisku dan berkata. "Tapi-"ucapanku terhenti karna di cegat olehnya. "Gak perlu debat!, papa gak izinin yang udah gak usah bantah. Papa tau kamu anak baik. Dan kamu pasti nurut sama papa."ujarnya. Aku tak habis pikir dan coba menjawab dengan sopan. "Pah, Azzam tau. Papa
POV AZZAM“ Pihak Shanum sama sekali tidak mengubris.” Ucap Naira melempar ponselnya ke atas ranjang, sejenak aku abaikan itu dan mencari pakaianku di lemari. Naira terus saja mendumel.“Udah ya Nai, jangan terlalu di pikirkan, ngabisin tenaga tau lebih baik kita bahas yang lain.’’“Tapi Kak,kayaknya kakak itu jauh lebih santai menghadapi ini?’’ Ucapnya tak habis pikir, sedikit aku menoleh pada Naira dan mengenakan piyama tidur.“Ya ampun Nai, kamu juga ngapain terlalu di pikirin? Lagi pula ini bisa di selesaikan, tanpa harus kamu buang-buang tenaga, karna kan kenyataannya, bayi itu bukan tanggung jawabku.’’ Geramku tak habis pikir, Naira terdiam sejenak dan tertunduk dengan manyun, aku menghela nafas panjang dan membuangnya, melihat istriku terdiam begitu aku mendekat padanya dan duduk di sampingnya.“Aku ak
POV INA.“Papa…,” panggilku saat mencari mas Feri di kamar, karna sibuk dengan urusan rumah, aku jadi sedikit mengabaikannya, aku melihat berkas dan laptop mas Feri di atas kasur namun bunyi mobilnya terdengar melaju keluar pagar.“Loh mas Feri mau kemana?’’ bisikku membuka jendela aku menoleh ke barang-barangnya di kasur mendekat dan menghenyak di kasur,“Mungkin mas Feri keluar sebentar, kalau ke kantor gak mungkin dia tinggalkan barang-barangnya.” Bisikku, aku memeriksa tas dan dan dompetnya, sedikit aku menautkan alis melihat ada kartu nama dokter spesialis,“Mas Feri, konsul pada dokter spesialis penyakit dalam buat apa?’’ bisikku coba mengotak atik semua berkas dan tasnya, namun aku tidak temukan apa-apa selain kartu nama itu, aku mulai cemas dan coba menghubunginya.Tuuuuuuut…..Panggilan itu tersambung dan
POV AZZAM.Ting nong…Bunyi bel bergema, Aku yang tengah menunggu Naira di ruang keluarga itu sedikit beringsut dan menoleh kea rah pintu, bisa aku lihat Art bergegas membukakan pintu. Aku juga menyusul karna aku tau itu papa, mama dan yang lainnya.“Siang papa..” sambutku pada keluargaku, dengan girang dua adik gadisku mengejar, akupun bersimpuh mendekap keduannya, mungkin mereka sangat merindukannku karna sudah beberapa minggu tidak bertemu.“Bang Azzam, Tata sangat merindukan bang Azzam.’’ Ucap bibir mungil salah satu dari mereka. Aku tersenyum manis dan mengacak rambut keduanya.“Abang Azzam, juga sangat merindukan kalian.”“Papa mama, ayo semua masuk.” Ajak Naira yang telaah turun dari kamarnya, aku berdiri dan mengajak mama masuk.“Ayo pa..”
POV RARA.Dengan langkah gontai aku temui mas Bagas di kliniknya, semenjak pertikaian itu dia tidak pernnah menemuiku kerumah tidak mau bicara denganku atau bahkan mengusirku, langkahku terhenti saat mendengar chanel televise yang di tonton mas Bagas adalah berita terbaru tentang Shanum, tampak media mengkrumini apartemen anakku itu, aku mendegup dan berniat hendak kembali mas Bagas pasti tidak senang dengan berita ini.“Kamu lihat, anak yang besar karna asuhanmu.”ucapnya tanpa menoleh akupun menghentikan langkahku dan menoleh padanya.“Dia hanya bisa buat malu keluarga.”geramnya, aku menghela nafas dan bersiap hendak pergi lagi, mengajak bicara mas Bagas dalam kondisi seperti ini juga tampaknya sia-sia lebih baik aku pergi sekarang.“ Kamu mau kemana?” cegatnya, langkahku kembali terhenti dan enggan menoleh.“
POV INA.Aku sangat di buat sibuk dengan acara yang akan mendatang, tapi tak mengapa demi Azzura aku harus lakukan semua ini, pesta pernikahan yang terbaik yang sesuai dengan impiannya."Mama sayang, mama dari mana sih."sambut putriku itu mendekap dan mencium pipi, sedikit aku berdengus dan tersenyum hangat."Mama habis dari gedung, dan kamu tau semua gedung itu bagus-bagus, mama jadi bingung mau sewa yang mana." ucapku, Zura sedikit manyun dan menghenyak di sofa."Kok mama gak ngajak?" aku menggeleng dan ikut juga menghenyak."Memang harus ya bawa kamu?""Ya iyalah, oh iya, mama tadi kekantor papa, papa mana?" tanyaku, aku sedikit melapas blezer dan meletakkan tas. 'papa lagi sibuk jadi mama pulang duluan oh iya, aanak-anak mana. Mama capek mau langsung istiraahat.""Ya udah mama istirahat aja, ma kalau baju pengantinyaya boleh gak Zura aja yang pilih bareng Vano?"tanya anakku, aku te
POV AZZAMPagi hari ini, kami tegah bersantai di ruang keluarga, selain menghibur mbak natsya yang tengah bersedih karna pengkhianatan Arga, Naira juga sedikit kurang enak badan, dan aku tak bisa kekantor melihat kondisinya."Selamat siang tuan nyonya." ucap Art, kemi semua menoleh."Ya ijah?""Itu nyonya, aden Arga pulang, dan dia-"ucapan Inem berhenti karna mbak Natsya berdiri, Naira yang tiduran di pahaku dari tadi juga beringsut untuk duduk"Apa mas Arga, membawa wanita itu?"bisiknya aku juga penasaran dan menoleh ke pintu, papa dan mama mertua juga tampak menyimak, hingga tak butuh waktu lama mereka bertiga masuk, dan tentunya bersama Shanum. Aku mendegup. Naira menggertakkan rahangnya dan berdiri, namun aku cegat dengan mencengkram lengannya."Sayang, jangan. Kita cukup nyimak saja."bisikku."Berani sekali dia, d
POV NAIRA.Kak Azzam tega sekali padaku, dia menyalahkan sikapku dan memperdulikan Shanum. Apa aku salah kalau aku menamparnya,“Ah sudahlah, aku bisa setres. Lebih baik sekarang aku temui mbak Natsya dulu di kamar.”bisikku sembari berjalan kekamar mbak natsya walau kesal dengan tingak dua pria dirumah ini yakni kak Azzam dan mas Arga, aku harus kasih perhatian pada mbakku, bagaimanapun sekarang dia sangat terpuruk sekali“Mbak….,’’ panggilku saat sudah sampai di pintu kamarnya, sedikit aku terheran karna kamarnya sunyi, aku mengerinyitkan dahi dan coba berfikir.“Apa mbak Nats, menemui mas Arga sekarang?”bisikku, aku membalik bergegas menuruni anak tangga dan berpapasan dengan papa dan mama di bawah.“Nai, kamu bukannya baru pulang ya kok pergi lagi?” tanya mama, aku sedikit menghela nafas dan berkata.
POV RARA.Sudah lelah aku mencari Shanum kemanapun, semalam dia pergi dari rumah karna marah padaku dan sekarang ini sudah hendak malam lagi,, nomornya belum lagi aktif aku sangat bingung sekali. Mana sekarang papinya sudah tidak peduli lagi padanya aku harus cari anakku kemana bahkan aku gak tau sekarang dia diimana, terkahir yang aku tau dia dekat dengan seorang pengusaha iparnya nya Azzam, mungkin aku bisa menghubungi Azzam?“Semoga saja aku masih punya kontaknya.”bisikku mengotak atik ponsel, namun aku kesal karna aku tidak punya kontak Azzam selain mas Feri.“Apa aku hubungi mas Feri? Tapikan nanti aku tanya apa? Mungkin aku bisa tanyakan nomor Azzam? Tapi apa nanti aku tidak dianggap sok akrab? Ah sialan sekali..”gerutuku sendiri akhirnya dengan ragu aku menghubungi juga nomor iitu.Tuuuuuuut.Aku gemetar saat panggilan itu tersambung
POV INA.Bahagia tak terhingga saat mas Feri rangkul dan peluk aku, menyaksikan kebahagian putrinya setelah sekian lama ia tampak merelakan Zura dengan orang yang tepat.“Akhirnya Zura menemukan seseorang yang sangat mencintainya,”lirihnya, bisa aku lihat ada yang terbendung di sudut matanya, aku terharu bersandar di bahu bidang suamiku itu.“Semoga selamanya kita akan tetap dapatkan kebahagiaan, jangan ada kesedihan lagi pah.”lirihku, mas Feri mengusap kepalaku dan mengecup keningku.“Hidup akan terus berjalan mama, suka duka itu pasti ada, hanya saja bagaimana kita menghadapinya.’’tuturnya aku tersenyum simpul dan berkata.“Dan aku ingin menjalani suka duka itu bersama Papa selamanya.’’ujarku mas Feri terkekeh kembali mendekapku erat.“Jangan manja, kamu ini tidak muda lagi. coba biasakan tanpa diriku.&rsq