POV ALDO
Hari ini hari sibuk, aku bingung entah bagaimana caranya bisa menstabilkan kembali keuaangan perusahaan, semenjak Feri menarik mitra, perusahaanku ini semakin merosot, aku tidak sabar menunggu waktu dimana Feri mengambalikan semuanya dan bertukuk lutut padaku atas putrinya, siapa dia yang berani mempermainkan aku dengan prinsipnya, sudah cukup aku hancur akan ia ambil Ina dariku, dan sekarang dia sendiri yang akan menyerahkan putrinya padaku, dan untuk Zura sendiri aku miris dengan nasibnya tapi tak bisa di pungkiri aku menyukainya dia tulus dan sangat mencintaiku jujur aku tidak ingin menghancurkan perasaannya, dengannya aku temukan sesuatu yang baru mungkin karna perbedaan umur yang terpaut begitu jauh sensasi dan pengalamannya juga terasa berbeda. Aku jadi dilemma akan perasaanku sendiri untuk Zura, belum lagi aku sering bertengkar dengan hatiku bahwa dia darah dagingku, walau hatiku berat meyakini itu anak Feri tetap aja itu membuat hatiku miris karna faktanTERIMA KASIH
“Aku pergi ngumpul sebentar ama temen, trus pulangnya kejebak macet.”ucapnya terdengar terbata untuk sejenak aku melihat matanya dalam-dalam. “Oh begitu? Aletta tidak kamu ajak?”tanyaku reflek dia menautkan alisnya. “Abang, maksudnya apa-apaan, mendikte kehidupan Zura. Terserah Zura donk mau berteman sama siapa aja.”ujarnya. “Terserah katamu, gak nyangka kamu sekaarang jadi pembangkang gini ya.” “Ayo sekarang kita turun, aku mau bilangin sama papa.”ujarku menyeret lengannya, dia beronta gak mau di bawa “Abang apa’an sih, emang Zura ngapain. Tadi Zura jalan sama kak Vano kok, makan di café trus pulangnya kejebak macet.” Ucapnya “Okey aku akan hubungi Vano.”ujarnya. aku kembali mengotak atik IG mau mencari social media Vano. “Abang kenapa sih gak percayaan banget sama Zura.”ujarnya, menyambar ponselku ,aku terheran melihat tingkahnya. “Kenapa kamu ambil ponsel abang?”tanyaku data
POV AZZAM. “Sudah diam!”bentakku saat menoleh pada Zura yang tak henti-hentinya menangis. “Dasar gak tau malu.”hardikku lagi dia menelan tangisnya dan kembali berkata. “Abang, jangan bilangin papa mama dulu Zura mohon.’’Ujarnya, aku tidak peduli dan tetap fokus menyetir. “Kenapa? kamu takut kah, kamu gak mikirin mereka sebelum lakuin semua ini, kamu bayangkan bagaimana sakit hatinya papa, kamu diam-diam temui om-om di Vila, papa bisa saja mati berdiri jika mengetahui ini.”ujarku, dia sesegukan menangis. Kembali aku fokus mengendarai mobil ini untuk pertama kalinya dan aku sedikit nervous mengendarai mobil di jalanaan, bersyukur aku bisa mengendarinya dengan aman sampai rumah, melihat aku yang membawa mobil mama sontak saja mendekat dengan rasa cemas. “Azzam kamu kok dah bawa mobil aja, apa yang terjadi ini?’’tanya mama saat melihat Zura tengah menangis. “Sekarang keluar kamu Zura.”titahku padanya mama me
POV INA. Dengan langkah gontai aku terus berjalan menuruni tangga aku linglung dan nanar air mataku terus saja menetes apa yang akan kami lakukan dengan kehamilan Zura, putriku masih terlalu belia. Aku berjalan pelan sembari bertumpu pada pada dinding, dadaku terasa sakit, aku melemah bersimpuh di pertengahan tangga itu sembari menangis histeris, “Kenapa harus seperti ini Tuhan, kenapa harus putriku. Dia kebanggaan papanya, sekarang bagaimana kami menutupi ini semua, aku tidak menyangka kehidupan rumah tanggaku akan berantakaan”rintihku bersimpuh “Hiks kenapa harus putriku.’’lirihku tertunduk. “Ina, mas bilang apa? kamu harus kuat.”terdengar suara penyemangatku membantuku berdiri, aku sesegukan menangis melihat matanya, “Mas, sepertinya apa yang kita takutkan terjadi, Zura dia..”ucapku tak sanggup untuk aku katakan, mas Feri tampak menghela nafas berat dan memelukku aku tau dia remuk, terasa jelas akan genggaman tangannya d
POV AZZAM Seminggu telah berlalu sekarang Zura terpaksa berhenti sekolah, sedangkan aku harus haadapi como’ohan dan pertanyaan yang tidak mengenakan dari teman-teman, mau bagaimana lagi semuanya memang sudah terlanjur kacau seperti ini. “Kak Azzam.” Sapa Shanum saat aku berjalan pasti menuju perpust. “Ya Shanum?” “Kakak, kakak Zura kenapa ya, apa benar ya di ceritakan orang-orang itu?”tanyanya aku menghhela nafas dan tak mau menjawab pertanyaan . “Aku harus ke perpus Shanum maaf.’’ucapku kembali beranjak. “Eh kakak, maaf. Abis Shanum kesel kak masa orang-orang bilang Kak Zura hamil.”ucapnya “Maaf Shanum aku gak mau bahas ini.”ujarku dan kembali ke perpust Shanum tampak membuntuti langkahku ke perpust. “kebetulan Shanum juga mau ke perpus kak.”ujarnya aku memandangnya datar dan berkata, “Ya sudah.”singkatku, kembali berjalan menuju perpus namun langkah kami kembali berhenti saa
POV AZZAM Seminggu telah berlalu sekarang Zura terpaksa berhenti sekolah, sedangkan aku harus haadapi como’ohan dan pertanyaan yang tidak mengenakan dari teman-teman, mau bagaimana lagi semuanya memang sudah terlanjur kacau seperti ini. “Kak Azzam.” Sapa Shanum saat aku berjalan pasti menuju perpust. “Ya Shanum?” “Kakak, kakak Zura kenapa ya, apa benar ya di ceritakan orang-orang itu?”tanyanya aku menghhela nafas dan tak mau menjawab pertanyaan . “Aku harus ke perpus Shanum maaf.’’ucapku kembali beranjak. “Eh kakak, maaf. Abis Shanum kesel kak masa orang-orang bilang Kak Zura hamil.”ucapnya “Maaf Shanum aku gak mau bahas ini.”ujarku dan kembali ke perpust Shanum tampak membuntuti langkahku ke perpust. “kebetulan Shanum juga mau ke perpus kak.”ujarnya aku memandangnya datar dan berkata, “Ya sudah.”singkatku, kembali berjalan menuju perpus namun langkah kami kembali berhenti saa
POV FERI Kembali aku menyibukkan diri di kantor setelah sepekan berlalu. Sekarang aku harus bisa meluangkan waktu banyak dirumah, selain untuk mengurus Zura aku juga harus perhatikan kehamilan Ina, walau aku sudah bayar asisten untuk penjagaan segala macam, aku ingin aku sendiri yang menjaga Keadaan rumah, Zura bisa saja nekat menemui pria itu. “Bambang, apa semuanya sudah siap?”tanyaku saat menempelkan gagang telpon di telingaku bicara dengan Asistenku yang tengah di ruang meeting. “Sudah pak,” “Ya sudah, buat meeting selanjutnya kamu handle sendiri ya, aku mungkin akan pulang. “ujarku. “Baik pak siap.”ucapnnya. aku meutup telpon itu dan bersiap hendak pulang. Langit sore sudah membaur jingaa dengan pasti aku lajukan mobilku pulang kekediamanku, bertahun-tahun rumah itu tempat penghapus penatku tapi kali ini sumber segala keresahan hati berada disana, dan ketenangan itu telah sirna terseba
POV ALDO. Dua bulan berlalu keadaan perusahaanku semakin miris saja. Feri berhasil merebut juga mitraku yang di luar negri, entah apa yang bisa aku lakukan sekarang terlebih rasa rinduku untuk Zura juga sangat meenyiksa ini dia tengah mengandung anakku saat masih belia, aku tau sangat sulit baginya menjalani hari-hari seperti itu . Baagaimanapun Anak itu tidak salah. aku tau hingga detik ini Feri tak mau perkarakan ini mengingat kondisi Zura dan mental anaknya , apa yang harus aku lakukan hati kecilku tak ingin menyiksa Zura jauh lebih dalam seperti ini tapi keadaan sekarang tak sesuai yang aku rencanakan tadinya aku fikir dia akan memohon padaku dan akan memberikan padaku mitraku dan sekaligus Zura, Tapi ternyataa Feri malah memilih menerima Zura dan merawat aib itu, aku serasa jadi pecundang sekali sekarang bahkan ancaman apapun tidak akan mempan padanya, mengviralkan ini, sama saja aku menjerumuskan diriku sendiri karna telah menggaul
“Kamu fikir semudah itu.’’geram Feri dengan gigi tergetakkan dia beranjak kembali pada putrinya itu dan menyeretnya masuk. “Papa Zura mohon, Zura tidak mau membebani papa dengan aib ini.”tangisnya beronta tak mau di suruhh masuk, aku hanya bisa tertunduk dengan rasa penyesalan “Ayo masuk!’’hardik Feri menarik kasar tangan anaknya. “Enggak!”teriak Zura yang membuat aku mengangkat leherku melihatnya. “Zura mohon pa, Zura sayang sama papa. biiarkan Zura pergi, Zura hanya beban untuk papa sekarang.’tangisnya sesegukan, untuk sejenak Feri diam dan kembali menyeretnya masuk. “Jika papa menganggap kamu beban papa akan membunuhmu saat kamu lahir”tandasnya, aku mendegup dan coba berdiri, namun kembali badanku jatuh tergopoh saat hantaman keras, aku merebah sembari menoleh siapa yang lakukan itu. “Bedebah!”hardik Azzam, aku mengatur naafas untuk tidak membalasnya, sepertinya dia baru datang dari luar gerbang hingga aku ta