Titah Orangtua
“Aku berangkat, ya,” pamit Rafan sambil melangkah ke mobil setelah kucium punggung tangannya.
“Iya, hati-hati di jalan. Pulang kerja langsung ke sini, ada kejutan untukmu.”
“Iya, Sayang. Assalamualaikum.” Rafan sudah berada di dalam mobil. Senyuman hangat itu kini telah kembali. Aku pun membalas dengan senyum hangat paling indah.
“Wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,” balasku sambil menatap kepergiannya.
Ayah sudah pergi sejak tadi. Sebenarnya aku melarangnya bekerja, tetapi ia kekeh dengan keputusannya. Mau bagaimana lagi, itu adalah keputusan yang tidak bisa diganggu gugat.
Aku melangkah masuk ke rumah dan langsung menuju wastafel mencuci piring. Di dapur sudah ada Ibu yang baru saja selesai menyapu. “Lin, setelah cuci piring ke ruang tengah, ya. Ibu mau bicara.”
“Iya, Bu,” jawabku lalu mencuci piring yang jumlahnya hanya beberapa.
Perempuan Kedua ItuRafan sudah berangkat bekerja, sementara aku tidak tahu harus melakukan apa. Hari jumat yang penuh berkah, semoga Allah anugerahkan bahagia untuk sekarang dan seterusnya. Sejak tadi aku senyum-senyum sendiri, kaki seakan melayang di udara karena hati yang selalu berbunga-bunga.Ingin menatap senja, sore masih lama. Ingin melihat pelangi, hujan tidak turun. Pun ingin memandangi lelaki tampanku, ia sedang di kantor.Hampa. Sepi. Sunyi.Pekerjaan rumah sudah beres bahkan aku sudah selesai mandi. Jam masih menunjuk angka sembilan dan sejak tadi Ibu sudah pergi bersama teman-teman pengajiannya.Kuembuskan napas kasar. Baru saja ingin menelepon teman-teman, tetapi suara ketukan di pintu menghentikanku. “Siapa?”Saat daun pintu terbuka lebar, terlihat Marsha tersenyum penuh keangkuhan. Perempuan itu tetap cantik meski memakai pashmina. Aku sempat deg-degan karena tidak ada orang lain di rumah, tetapi sekarang tidak l
Selamanya Cinta“Fan, gimana keadaan ibu? Astagfirullah, serius aku benar-benar lupa beliau ada di rumah sakit,” ucapku memasang raut wajah sedih.Memang lupa karena pikiran terlalu banyak sehingga pada hal sepenting itu pun malah dilupakan. Semoga saja Ibu tidak kecewa pada menantu yang mengaku dicintai bagai putri kandung sendiri.“Baik, Sayang. Aku juga lupa ngasih tahu kamu kalau ibu sudah pulang dan cuma satu malam nginap. Katanya udah merasa lebih baik ngeliat kita, kata dokter itu faktor stres berat.” Rafan tersenyum sambil terus memasukkan pakian dalam mesin cuci untuk diperas airnya.Hari ini ia libur bekerja dan berniat membantuku menyelesaikan pekerjaan rumah. Setelah semua beres, kami akan pulang ke rumah sendiri dan kembali membersihkan sekaligus olahraga.Sebenarnya di rumah ibu tidak terlalu repot karena hanya perlu menyapu, mencuci pakaian sendiri dan mencuci piring. Untuk melap jendela memang jarang ka
Tetangga BaruHari minggu tidak ada aktivitas, Rafan hanya jogging sebentar karena sudah lama tidak berolahraga katanya. Untuk pakaian juga tidak ada yang harus dicuci. Andai ada anak-anak mungkin akan ramai rumah dengan gelak tawa atau tangis mereka saat saling berebut mainan.Andai, tetapi nyatanya belum ada bahkan di dalam rahim sekali pun. Padahal aku sangat berharap ada yang bisa diajak bercanda, paling tidak satu. Namun, seperti yang aku ucap pada Marsha bahwa ini hanyalah soal takdir. Lagian setelah ada perempuan kedua itu, kami tidak pernah lagi melakukan program hamil.Jadi, kemungkinan besar bahkan bisa dibilang mustahil untuk mendapat rezeki itu untuk sekarang. Aku hanya mampu duduk di teras rumah, menatap ke depan dengan pikiran yang melayang entah harus ke mana lagi. Rasa takut kini merajai hati, tepatnya takut kehilangan jika Rafan bosan menunggu.Anak adalah pelengkap bahagia dalam rumah tangga. Dengan anak pula banyak pahala yang akan dira
Duka SahabatkuRafan sudah berangkat kerja, saatnya berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. Tidak serumit istri yang berstatus ibu, aku hanya harus mencuci di mesin cuci sambil menyapu sedikit. Tidak ada anak-anak yang menjadikan rumah seperti kapal pecah, tidak ada tangis karena saling berebut mainan.Hanya dua jam semua sudah beres. Kini harus melangkah ke kamar mandi karena lauk dan nasi sudah disiapkan pagi tadi. Seperti inilah jika sendiri di rumah, tidak terlalu repot, tetapi kesepian resikonya.Sebelum masuk ke kamar mandi, kebiasaan seorang perempuan adalah mengumpulkan niat apakah harus membuang-buang air atau tidak. Aku tidak pernah gerah karena ada air conditioner di rumah. Notifikasi WhatsApp mulai mengusik pikiran, niatnya cuma lima menit pasti berlalu lima jam.Ada beberapa pesan dari Grup KUBIDCAM. Jemari segera membuka kolom percakapan itu dengan berdebar-debar.Mei Kubidcam[Suamiku kecelakaan dan meninggal di rumah sakit.]
Cerita Dari FarahKini aku ada di rumah Mei karena diantar Rafan sebelum ke kantor tadi. Di rumah duka ini hanya tersisa orangtua dan mertua Mei, sementara yang lain entah ke mana. Aku dan Mei kini berada dalam kamar, Farah izin menyusul siang nanti karena ada urusan penting.Mata perempuan yang tengah mengandung itu sangat bengkak dan marah. Ia lusuh seperti tidak punya tujuan hidup. Sebagai seorang sahabat aku gegas memberi motivasi dan saran-saran untuk mengembalikan semangatnya. Memang tidak semudah itu bangkit kembali ketika separuh jiwa telah pergi, tetapi Mei harus kuat. Ini bukan akhir dari segalanya.Anak dalam kandungan itu butuh Ibu yang kuat meski tanpa Ayah lagi. Bahkan ada orangtua, mertua dan yang lainnya termasuk aku membutuhkan dan menyayangi Mei. Ia tidak sendiri, ada Allah pula di hatinya. Perpisahan memang begitu menyakitkan, terlebih ketika sedang mengandung.Perih seketika menjalar dalam kalbu. Aku memeluk tubuh lemas itu seket
Terlalu SakitAku duduk di teras rumah bersama Farah dan Mei sambil menunggu Rafan. Sudah hampir jam enam, tetapi ia belum sampai juga. Rasa jenuh mulai menghampiri, akhirnya aku ikut pulang bersama Farah saja karena jalur kami searah.Dalam perjalanan tidak ada kata sepatah pun yang diucapkan. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing yang entah berujung ke mana. Bahkan pandangan seperti kosong saja mengingat cerita Farah tadi siang. Jangan-jangan ia mengantar Marsha pulang dulu baru menjemput atau masih bersama perempuan kedua itu.Aku mengembus napas kasar, lalu turun dari motor begitu sampai di depan gerbang. Mobil Rafan belum ada berarti ia masih di jalan mungkin. Farah pamit karena waktu magrib sudah dekat. Baru saja aku ingin membuka gerbang, tiba-tiba mata menangkap sesuatu yang membakar hati.Mobil Rafan berhenti di depan rumah si Benalu. Pintu mobil terbuka dan Diva turun dari kursi belakang. Ia kemudian melambai, sementara Rafan melajuka
Farah PahlawankuPukul delapan malam aku dan Rafan sudah duduk di meja makan. Kali ini hati sedang galau sehingga tidak ada mood untuk masak. Hanya ada sayur dan ikan goreng berlumur sambal. Sungguh, hampa rasanya berada di posisi saat ini. Jika saja tidak lapar, mungkin langsung tidur lebih baik.Namun, satu yang membuatku bertahan adalah usia kami bukan lagi remaja pacaran yang tidak ingin menyelesaikan masalah, langsung mengucapkan kata putus. Lagian ini adalah ikatan pernikahan dan bukan game yang bisa keluar masuk aplikasi kapan saja.“Sayang?”“Iya?”Aku harus berdamai dengan hati, pura-pura buta juga pura-pura tuli dengan sekitar. Jika saja ada yang mencoba mengusik ketenangan, biarkan saja karena akan capek dengan sendirinya. Singa pun tidak pernah membalas gonggongan anjing, tetapi ia selalu tampil berwibawa.Sabar itu ada batasnya, yakni kematian. Bersabarlah dengan sabar yang indah agar Allah ganjarkan paha
Sepeninggal AyahWeekend telah tiba, tetapi senyuman hangat belum juga tercetak di bibirku. Entah kenapa pagi ini aku ingin menangis padahal tidak ada yang melukai hati, Rafan pun merasakan hal yang sama katanya.Rasa gunda terus menyelimuti tubuhku, hingga kaki mondar mandi depan kamar sambil memegang ponsel. Bingung harus mengabari siapa atau entah. Kali ini aku dibuat bingung sama perasaan sendiri.Aku menghela napas lega dan berhenti mondar-mandir setelah melihat Rafan keluar dari kamar. Ia telah berpakaian rapi dengan warna abu basah, serasi denganku. Kami bahkan sudah mandi pagi tanpa tahu harus ke mana.“Sayang.”“Iya?”“Perasaanku makin gak enak. Kenapa, ya?”Baru saja aku ingin menjawab asal pertanyaan Rafan, ponsel tiba-tiba berdering. Panggilan dari Ibu menambah debar dalam dada. Kudekatkan ponsel ke telinga dan langsung terhubung. Di balik telepon terdengar tangis yang tertahan.