“Ma –Mas Budi?” ucapku tidak percaya sambil menatap pria itu tanpa berkedip.
“Mas Budi? Siapa itu Mas Budi, Cempaka?” tanya Sri yang terdengar di telingaku.
Terkejut dan tidak percaya, itulah yang aku rasakan saat ini. Hingga aku mengabaikan apa yang Sri tanyakan, dan melangkah menuju pria yang sudah sejak lama aku rindukan itu.
“Mas Budi,” ucapku sambil memperhatikan pria di depanku itu dengan mata berkaca-kaca, dan tak lama aku langsung memeluknya karena aku sudah tidak bisa membendung rasa rinduku lagi.
Bahkan, air mataku tanpa aku sadari juga ikut tumpah ketika aku memeluknya dan aku tidak memperdulikan lagi orang-orang yang melihat kami.
“Maaf, Nona. Bisakah nona melepaskan saya,” ucap Mas Budi sopan.
Aku yang masih belum mau melepaskan masku itu terus saja memeluknya, hingga sebuah tangan tiba-tiba memegang bahuku.
“Cempaka, lepaskan dia,” ucap seseorang di belaka
“Nirmala?” ucap Dimas lirih sambil menatap wanita yang sedang berdiri di depan pintu.Wanita yang mengejutkan kami itu lalu melangkah masuk menghampiri aku dan Dimas dengan wajah memerah, dan aku tidak tahu siapa wanita itu. Tapi bila aku dengar dari apa yang Dimas katakan tadi, sepertinya wanita itu bernama Nirmala.“Siapa dia, Dimas? Mengapa kalian berdua ada di ruangan ini?” tanya wanita yang bernama Nirmala.“Dia Cempaka, Nirmala. Dia tamuku,” jawab Dimas dengan raut wajah yang tidak bisa aku artikan.Wanita itu lalu memperhatikanku dari atas hingga ke bawah begitu melihatku, dan terlihat sekali dia sepertinya tidak suka kepadaku.“Tamu? Apa kamu yakin dia itu tamumu, Dimas. Dia seperti …,” ejek Nirmala menjeda kalimatnya sambil menatapku tidak suka, “Pe-la-yan!” lanjutnya.“Nirmala!” bentak Dimas dengan wajah memerah.“Di –Dimas,” ucap Nirmala terlihat terkejut, dan wanita itu lalu pergi dengan wajah yang terlihat marah.“Maafkan Nirmala, Cempaka. Dia memang seperti itu dan selal
Byurrr!“Cepat bangun!” teriak seseorang kepadaku.Aku yang tidak tahu sejak kapan aku tidak sadarkan diri kemudian berusaha membuka mataku yang terasa berat. Ketika mataku sudah terbuka sempurna, aku sangat terkejut melihat sosok seseorang yang berdiri di depanku.“Apa kamu masih ingat denganku, Pe-la-yan?” ucap Nirmala dengan nada yang terdengar ketus.Aku yang masih terkejut hanya menatap wanita itu. Karena untuk berbicara saja aku tidak bisa, karena mulutku di tutup dengan kain dan tanganku di ikat.Wanita itu lalu mendekatiku dan memegang wajahku dengan kasar dan menatapku penuh dengan kebencian.“Bagaimana rasanya di sekap seperti ini, Cempaka? Ups, maksudku Pelayan Cempaka?” ucap wanita itu sambil memegang daguku dengan kasar dan itu terasa sangat sakit, “Lepaskan kain penutup mulutnya,” lanjutnya memberi pada pria yang berada di belakangku.Kain yang menutupi mulutku akhirnya dib
“Jaka,” ucap Sri lirih sambil menatap pria yang sedang berdiri di depan kami.Aku dan Sri yang masih bersembunyi di balik pohon hanya diam melihat pria yang ada di hadapan kami. Karena aku tidak menyangka akan bertemu dengan Jaka di hutan ini.“Sri, tunggu!” cegahku ketika Sri akan keluar dari tempat persembunyian kami dan menemui Jaka.“Tapi, Cempaka.”“Sri, dengarkan aku. Aku tahu kamu mencintai Jaka, tapi kamu juga tidak boleh bertindak bodoh sampai membahayakan nyawamu. Bagaimana bila jaga datang bersama orang-orang dari perkampungan itu?” jelasku.“Tapi, Cempaka. Kamu lihat sendiri, Jaka datang seorang diri ke tempat ini, tidak bersama orang-orang dari perkampungan itu. Jadi bagaimana mungkin dia akan membahayakanku?”Rasanya sia-sia aku berbicara dengan Sri. Karena Sri sudah benar-benar di mabuk cinta sehingga dia tidak bisa berpikir jernih tentang situasi saat ini, dan yang ada dipikirannya sekarang adalah bertemu dengan Jaka, kekasih hatinya.Karena tidak ingin kami celaka, ak
Aku yang mengerti dengan maksud Sri, kemudian segera mengajak Sri untuk bersembunyi. Karena bila kami sampai tertangkap meraka, maka hal itu bisa membahayakan kami berdua. Apalagi bila orang-orang itu adalah orang-orang dari perkampungan Jaka, maka kami bisa saja dijadikan tumbal dalam ritual mereka.“Cempaka, mengapa aku merasa seperti pernah melihat orang-orang ini. Apakah mereka itu dari—,” bisik Sri sambil memperhatikan orang yang sedang kami awasi.Aku langsung membungkam mulut Sri ketika melihat orang-orang yang sedang kami awasi mendekati tempat persembunyian kamia. Karena bila mereka sampai mendengar apa yang kami bicarakan, maka mereka akan menemukan kami berdua.“Bagaimana? Apa kalian menemukan sesuatu?” teriak seorang pria yang suaranya seperti aku kenal.“Tidak, Tuan. Kami tidak menemukan apapun di sini,” teriak pria yang tadi hampir saja menemukan kami.Pria yang ada di depan kami itu kemudian
Sri yang tadinya sudah akan mengikuti Tuan Dimas kemudian berbalik ketika melihatku masih diam di tempatku tanpa bisa meneruskan kata-kataku, dan itu membuat semua orang akhirnya menoleh ke arahku.“Ada apa denganmu, Cempaka? Apa kamu tidak bisa berjalan atau kamu sakit?” tanya Sri terlihat khawatir.“Aku … aku tidak akan ikut dengan kalian!” jawabku.Sri dan semua orang yang mendengarku terlihat terkejut. Tapi ini adalah keputusanku, dan aku tidak ingin kembali ke rumah keluarga Wisesa.“Apa maksud kata-katamu itu, Cempaka? Apa maksudmu kamu tidak ingin kita kembali ke rumah Tuan Dimas?” tanya Sri dengan wajah heran.“Bukan begitu, Sri. Aku, aku—,” jawabku binggung menjelaskan.“Aku apa, Cempaka?”Entah mengapa aku seperti seorang penjahat saat ini. Karena semua mata tertuju kepadaku, dan aku tidak bisa menjelaskan kepada mereka alasanku menolak kembali ke rumah keluarga Wisesa lagi.“Apa alasanmu tidak ingin kembali ke rumahku, Cempaka?” ucap Dimas tiba-tiba, dan itu membuatku terte
Aku dan Nirmala lalu menoleh ke arah sumber suara yang mengejutkan kami. Sosok pria bertubuh tinggi bertubuh tegap sedang berjalan menghampiri kami, dan wajah mengembang senyum yang membuatnya terlihat tampan.“Damar,” ucap Nirmala.“Apa kabar, Nirmala. Lama tidak kita tidak berjumpa,” ucap pria yang kini ada di hadapanku dan Nirmala.“Iya, Damar. Lama sekali, tapi sejak kapan kamu datang?”Melihat pembicaraan dua orang yang baru bertemu aku lalu undur diri, tapi pria itu malah menahanku.“Kamu siapa? Apa kamu pelayan baru di rumah ini?” tanya Damar.“Iya, Damar. Dia pelayan baru di rumah ini, dan aku sedang mengajarinya,” sela Nirmala.“Apa yang baru saja kamu katakan, Nirmala? Mengajarinya?”Damar kemudian tertawa setelah mengatakan hal itu, dan itu membuat wajah Nirmala menjadi cemberut, tapi Damar masih saja tertawa dan itu membuat Nirmala kemudian berb
Mendengar seseorang memanggilku, aku langsung menoleh ke arah sumber suara itu. Ternyata orang yang memanggilku adalah Damar, dan pria itu lalu menghampiriku begitu aku melihatnya.“Tuan Damar, anda di sini?” tanya Mbok Tumi.“Iya, Mbok. Dan Mbok pasti sangat merindukanku,” jawab Damar sambil memeluk Mbok Tumi.“Tentu saja, Tuan Damar. Mbok sangat-sangat merindukan Tuan Damar,” jawab Mbok Tumi sambil memeluk balik Damar.Melihat kedekatan Mbok Tumi dan Damar, aku seperti melihat kedekatan seorang putra dengan ibunya, dan itu membuatku iri. Karena aku sekarang tidak tahu di mana ibuku berada saat ini. Apakah ibu masih hidup atau sudah mati karena Pangeran Dayu.“Oh iya, Tuan Damar kapan datang? Apa tuan dan nyonya besar tahu Tuan Damar datang?” tanya Mbok Tumi.Damar hanya tersenyum menjawab apa yang Mbok Tumi katakan, dan Mbok Tumi hanya menggeleng sambil tersenyum melihat tingkah pria itu. Karena sepertinya wanita tua itu tahu apa maksud dari senyuman Damar tersebut.“Ya sudah, sekar
“Sri,” panggilku begitu melihat siapa yang memanggilku.Sri kemudian mendekatiku begitu melihatku, dan dia lalu menatapku sama seperti orang-orang. Bahkan dia juga memutar tubuhku dengan wajah yang terkejut.“Mengapa kamu berpakaian seperti ini, Cempaka? Apa Tuan Dimas benar-benar menjadikanmu pelayannya?” tanya Sri.“Hmmm, aku ….”Belum juga aku sempat menjawab apa yang Sri tanyakan, seseorang tiba-tiba memanggilku. Sehingga aku dan Sri lalu menoleh ke arah sumber suara yang mengejutkan kami, dan ternyata yang memanggilku adalah orang yang tidak ingin aku temui.“Wah, pakaian itu ternyata memang pantas untuk kamu. Kenapa tidak dari dulu kamu memakainya, Pe-la-yan!” hina Nirmala.“Non Nirmala!” bentak Sri.Melihat Sri membentak Nirmala, aku langsung menahannya. Tapi Nirmala bukannya mundur atau pergi, dia malah lebih merendahkan dan menghina kami. Sri yang sejak awal s
“Seperti apa yang saya katakan sebelumnya, Cempaka. Bila kamu melewati pintu itu, maka kamu harus memilih. Kamu atau masmu yang akan hidup?” jawab Tuan Wisesa mengulangi pertanyaannya.“Ayah—,” ucap Dimas. Namun ayahnya segera menghentikannya dengan memberi isyarat.“Apa saya harus melakukannya, Tuan?” tanyaku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar.Pertanyaan yang Tuan Wisesa berikan benar-benar di luar dari perkiraanku. Bagaimana bisa dia bertanya seperti itu ketika Mas Budi atau Wirya tidak sadarkan diri. Apakah ini ada hubungannya dengan Pangeran Dayu?“Harus! Karena hanya itu saja yang bisa saya lakukan untuk meneruskan keturunan kalian,” tegas Tuan Wisesa membuatku tidak bisa berpikir.“Ma –maksud, Tuan?”“Ketika saya memutuskan untuk menyelamatkan kalian, ada hal yang harus digantikan untuk mengakhiri penjanjian terlarang itu, dan ayahmu s
“Cukup, Yah! Jangan—,” cegah ibu Dimas menghentikan suaminya. Namun Tuan Wisesa langsung menghentikan tindakan istrinya dengan memberi isyarat tangan.Ibu Dimas yang tadinya seperti menentang suaminya langsung terdiam begitu suaminya memberi tanda. Wanita itu seperti tidak berdaya bila suaminya seperti itu.“Jangan ada yang berani berbicara atau menyela apa yang saya katakan lagi. Bila tidak, jangan salahkan saya bila kalian tidak bisa berbicara lagi setelah itu!” ancam Tuan Wisesa.Mendengar ancaman Tuan Wisesa semua orang terlihat takut, termasuk aku. Tapi aku juga ragu apakah ancaman dari pemilik rumah ini benar-benar akan menjadi nyata atau tidak bila ada orang yang melanggarnya. Bila itu benar terjadi, itu artinya Tuan Wisesa bukan hanya kaya raya, tapi dia juga bukan orang biasa.“Cempaka, Wirya, saya tahu ini akan mengejutkan kalian berdua. Tapi ini adalah kebenarannya, dan kalian berhak tahu semua ini. Kalian be
“Iya, bukti. Tanpa bukti kalian tidak bisa menuduh keponakankan melakukan hal yang kalian tuduhkan,” ujar ibu Dimas dengan lantang.Semua orang hanya diam ketika ibu Dimas berkata seperti itu. Namun ayah Nirmala tiba-tiba mendekati istri Tuan Wisesa itu, dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan menunjukkan bukti yang dia minta.Tegang dan bertanya-tanya, mungkin itu yang ada dalam pikiran beberapa orang yang ada di sini, termasuk aku. Hal itu terlihat dari raut wajah mereka ketika melihat perdebatan antara kakak beradik itu.“Bukti itu ada di sini dan saya akan mengatakannya di depan kalian semua,” ujar ayah Nirmala tak kalah lantang dengan ibu Dimas.Ketegangan semakin terasa ketika ayah Nirmala mengatakan hal itu. Pria itu diam sejenak sambil menatap keluarganya, terutama kedua anaknya. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini, yang pasti itu bukan sesuatu yang mudah, dan itu terlihat sekali dari sorot matanya yang menampakkan k
Aku yang masih membeku kemudian berbalik dan menatap semua orang yang ada di dalam ruangan ini. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan, dan itu membuatku sangat tidak nyaman.“Mas Wisesa, apa maksud mas? Memangnya siapa Cempaka itu? Dan apa hubungannya dengan semua ini?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.Tuan Wisesa bukannya menjawab pertanyaan adik iparnya, tapi dia malah menatapku dan mendekatiku. Ayah Dimas itu lalu mengajakku untuk kembali ke tempatku semula dan dia mengenalkanku kepada kedua orang tua Nirmala bukan sebagai pelayan rumah ini. Melainkan sebagai wanita yang seharusnya memang menikah dengan Dimas.Mendengar hal itu membuatku sangat terkejut. Bukan hanya aku, tapi semua orang yang ada di ruangan ini. Bahkan aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar berusaha untuk memahami itu semua, tapi aku tetap tidak mengerti.“Apa maksud Mas Wisesa?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.“Apa
“Ayah, tidak usah membahas hal ini lagi. Nirmala sudah menerima keputusan Dimas. Jadi kita tidak perlu memperpanjang masalah ini,” ujar Nirmala masih sambil berdiri dan menatap kami semua secara bergantian.“Nirmala, apa maksudmu nak? Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Bukankah kamu ingin menjadi istri Dimas?” tanya ibu Nirmala terlihat heran.Bukan ibu Nirmala saja yang dibuat heran dan binggung, tapi kami semua yang ada di sini. Bagaimana bisa dia mengatakan menerima keputusan Dimas dengan semudah itu. Mencurigakan!“Benar Nirmala ingin menjadi istri Dimas. Tapi …,” Nirmala menggantung jwabannya dan menatapku sesaat, “Dimas tidak mencintai Nirmala, Bu. Dimas mencintai Cempaka, wanita yang duduk di samping Dimas saat ini,” lanjut Nirmala.“A –apa? Maksudmu pelayan wanita itu, Nirmala?” ucap ibu Nirmala terlihat terkejut.“Bulek!” bentak Dimas tiba-tiba
“A –ayah,” ucap Birawa terlihat terkejut.Pria yang baru saja datang itu terlihat sama terkejutnya seperti Birawa. Wajahnya yang hampir mirip dengan istri Tuan Wisesa tampak dingin menatap putranya itu, dan tak lama seorang wanita tiba-tiba muncul di belakang pria yang masih berdiri di depan pintu menatap dingin Birawa.“Birawa, kamu di sini nak?” ucap wanita tua itu dengan wajah yang tidak bisa aku artikan.Tapi wanita itu tidak bersikap dingin seperti ayah Birawa yang masih saja membeku. Wanita itu kemudian melangkah untuk mendekati Birawa. Namun pria yang bergelar ayah Birawa segera menahannya.“Ingat tujuan kita datang kemari!” tegas ayah Birawa sambil melirik wanita yang sepertinya istrinya.“Itu orang tua Nirlama dan Birawa,” bisik Damar tanpa aku tanya.Aku yang sudah menduga hal itu hanya diam, dan tidak menanggapi apa yang adik Dimas itu katakan. Walaupun awalnya aku cukup terkej
Aku dan semua orang yang ada di tempat ini langsung menoleh ke arah sumber suara yang sudah mengejutkan kami. Nirmala berdiri dengan raut wajah sangat marah menatap Dimas hingga guratan otot di lehernya terlihat dengan jelas.“Kembali ke kursimu, Nirmala!” bentak Tuan Wisesa tak kalah nyaringnya dengan apa yang Nirmala lakukan. Bahkan aku saja sampai takut mendengarnya.Tapi wanita itu masih saja berdiri dan mengabaikan apa yang Tuan Wisesa katakan. Bahkan ibu Dimas yang duduk di sampingnya sampai berdiri untuk menenangkannya. Namun wanita itu masih saja tidak mau duduk sambil menatapku dan Dimas secara bergantian seperti akan menerkam kami.“Dengar, Dimas. Aku tidak menerima ini semua. Aku mencintaimu, dan hanya aku yang pantas menjadi istrimu!” tegas Nirmala.“Nirmala!” bentak Dimas yang kini berdiri dengan wajah memerah.Melihat perseteruan antara Dimas dan Nirmala membuat suasana ruangan ini mencekam. Hal ini
“Tenang saja Nirmala, semua akan baik-baik saja. Kamu akan menikah dengan Dimas, dan bude sendiri yang akan membuat hal itu terjadi,” ucap ibu Dimas sambil mengusap punggung Nirmala yang kini tengah menunjukkan wajah seperti teraniaya.Nirmala yang menunjukkan wajah sedih mengangguk menjawab apa yang ibu Dimas katakan. Mereka berdua kemudian melangkah mengikuti Tuan Wisesa. Sedangkan aku memilih untuk bersembunyi terlebih dahulu, daripada menampakkan batang hidungku di depan mereka. Karena mereka pasti tidak akan menyukainya.“Apa sudah bisa saya mulai?” ucap Tuan Wisesa sambil menatap sekitar.Semua orang yang ada di ruangan ini hanya mengangguk. Aku yang berdiri di pojokan hanya bisa menunduk, hingga Tuan Wisesa kemudian memintaku untuk bergabung bersama dengan mereka semua yang sedang duduk bersama, dan itu membuatku terkejut.“Kemarilah, Cempaka. Tidak perlu takut,” ucap Tuan Wisesa lagi.Semua mata memandangku tidak suka ketika pemilik rumah ini memintaku untuk mendekat, kecuali
Di dalam ruangan di mana aku berdiri saat ini sudah seperti ruang persidangan saja. Karena yang ada di dalam ruangan ini bukan hanya aku dengan Tuan Wisesa saja, tapi juga ada Dimas, Nirmala, Wirya dan beberapa orang lainnya yang tidak aku kenal.“Saya harap tidak ada yang berbicara ketika saya berbicara dengan Cempaka? Bila ada, maka silahkan keluar dari ruangan ini!” tegas Tuan Wisesa menggelegar ke seluruh ruangan.Semua orang yang ada di ruangan ini tidak ada yang menjawab atau membatah pemilik rumah ini. Mereka semua hanya menunduk sebagai tanda mengerti.Setelah itu Wirya dan beberapa orang pengawal yang ada di dalam ruangan ini kemudian keluar dan menutup pintu ruangan ini. Kini tinggal aku dan Keluarga Wisesa saja yang berada di dalam ruang tertutup ini.“Apa kamu tahu Cempaka mengapa saya memanggilmu ke sini?” tanya Tuan Wisesa.“Ti –tidak tahu, Tuan.” Jawabku dengan menunduk.“Kalau b