“Sri,” panggilku begitu melihat siapa yang memanggilku.
Sri kemudian mendekatiku begitu melihatku, dan dia lalu menatapku sama seperti orang-orang. Bahkan dia juga memutar tubuhku dengan wajah yang terkejut.
“Mengapa kamu berpakaian seperti ini, Cempaka? Apa Tuan Dimas benar-benar menjadikanmu pelayannya?” tanya Sri.
“Hmmm, aku ….”
Belum juga aku sempat menjawab apa yang Sri tanyakan, seseorang tiba-tiba memanggilku. Sehingga aku dan Sri lalu menoleh ke arah sumber suara yang mengejutkan kami, dan ternyata yang memanggilku adalah orang yang tidak ingin aku temui.
“Wah, pakaian itu ternyata memang pantas untuk kamu. Kenapa tidak dari dulu kamu memakainya, Pe-la-yan!” hina Nirmala.
“Non Nirmala!” bentak Sri.
Melihat Sri membentak Nirmala, aku langsung menahannya. Tapi Nirmala bukannya mundur atau pergi, dia malah lebih merendahkan dan menghina kami. Sri yang sejak awal s
“I –iya, Tuan. Saya Cempaka,” jawabku gugup.Pria yang berdiri di depanku dan Sri kemudian mendekatiku, dan beberapa orang pria yang baru masuk langsung keluar ketika pria itu mengangkat salah satu tangannya.Apakah dia?Hatiku benar-benar berkecambuk ketika pria itu mulai mendekatiku dan Sri. Bahkan, tanganku terasa dingin seperti es, sehingga aku lalu menggenggam tangan Sri agar tidak pergi menjauh dariku.“Tidak perlu takut, Cempaka. Saya tidak akan menyakiti kalian berdua, kalian adalah tamu saya dan saya merasa sangat bahagia akhirnya bisa bertemu dengan kalian,” ucap pria itu sambil menatapku, “Oh iya, perkenalkan nama saya Adiyasha,” lanjut pria itu sambil mengulurkan tangan.“Adiyasha?” ucapku dan Sri bersamaan.Mengetahui yang ada di hadapan kami adalah pemilik rumah mewah ini, Sri segera turun dari tempat tidur dan menunduk, begitupun denganku. Walaupun aku kesulitan dan kesakitan melakukannya. Tapi aku harus melakukannya, demi menghormati orang yang sudah memberi kami tempa
“Cempaka, Cempaka, bangun!” panggil Sri yang terdengar di telingaku, dan tubuhku juga seperti digoyangkan oleh seseorang.“Sri,” panggilku ketika membuka mata.“Akhirnya kamu bangun juga, Cempaka? Apa kamu tadi bermimpi buruk?” tanya Sri menghela napas lega.“Mimpi? Apa maksudmu, Sri?” jawabku binggung.Sri yang duduk di sampingku kemudian menjelaskan kepadaku mengapa dia membangunkanku. Ternyata dia membangunkanku karena aku berteriak-teriak seperti orang ketakutan.“Memangnya tadi kamu mimpi apa, Cempaka? Apa kamu bermimpi dijadikan tumbal?” tanya Sri yang membuat mataku melebar menatap Sri.“Tu –tumbal?” ucapku binggung.Sri mengangguk menjawabku, dan aku kemudian mengumpulkan semua apa yang aku ingat dan yang terjadi tadi padaku. Mulai dari menunggu Sri dan Mbok Tumi, hingga Dimas berada di kamarku dan dia mengecup keningku. Setelah itu dia pergi, tapi ketika dia akan keluar wajahnya bukanlah wajah Dimas yang menemuiku melainkan berubah menjadi wajah Pangeran Dayu, pangeran seteng
Melihat bayangan orang yang berdiri di depan pintu membuat tubuhku bergetar. Bahkan tanganku terasa dingin dan keringat mulai membasahi tubuhku karena ketakutan.“Siapa di sana? Jawab aku!” teriakku lagi.Orang yang sedang berdiri di depan pintu itu masih saja diam tidak menjawabku. Sehingga aku kemudian memberanikan untuk melihat siapa yang berdiri di sana, tapi baru saja aku akan turun dari tempat tidurku bayangan itu tiba-tiba bergerak seperti akan masuk ke dalam kamar ini, dan aku akhirnya mengurungkan niatku untuk turun.“Mbok Tumi, bangun mbok! Ada orang di depan pintu,” panggilku lirih berusaha membangunkan Mbok Tumi yang sedang tidur.Mbok Tumi yang sepertinya tertidur pulas tidak menjawabku. Bahkan wanita tua itu malah menarik selimutnya lebih tinggi dari sebelumnya dan menyembunyikan seluruh tubuh dibalik selimut yang menghangatkannya, dan itu membuatku panik.Karena ketika aku menoleh lagi setelah gagal membangunkan Mbok Tumi, bayangan seseorang yang bergerak itu terus saja
“Cempaka, siapa Pangeran Dayu?” tanya Sri setelah diam beberapa saat.Deg!Aku yang terkejut hanya bisa membeku dan melepaskan pegangan tangan Sri ketika dia bertanya kepadaku.Karena aku tidak menyangka temanku itu akan menyebutkan nama yang tidak ingin aku dengar. Tapi bagaimana Sri bisa tahu tentang pangeran Dayu, siapa yang sudah memberitahunya tentang pangeran setengah ular itu? Apakah mungkin?Berbagai pertanyaan mulai memenuhi kepalaku, tapi aku tidak berani untuk bertanya kepada Sri. Apalagi saat ini kami tidak sendiri, ada Mbok Tumi yang sedang bersama dengan kami.“Ada apa, Cempaka? Kenapa kamu diam saja?” tanya Sri membubarkan lamunanku.Aku yang binggung harus memulai dari mana untuk berbicara dengan Sri hanya menatap temanku itu, dan aku kemudian menatap Mbok Tumi yang sedang bersama dengan kami dan memintanya untuk meninggalkanku dan Sri untuk berbicara berdua, tapi Mbok Tumi hanya diam saja dan malah balik menatapku dan Sri secara bergantian.“Tolong tinggalkan kami ber
Nirmala yang masih berdiri di depan pintu kemudian berjalan menuju ke arah kami. Tapi ketika dia masuk, pandangannya hanya mengarah pada satu orang yang ada di dalam ruangan ini, yaitu Dimas.“Apa aku tidak boleh masuk ke dalam kamar ini, Dimas? Bukankah aku juga tinggal di rumah ini?” jawab Nirmala dengan suara angkuh seperti biasanya“Jangan membuatku tertawa, Nirmala. Bukankah kamu tidak pernah mau masuk ke dalam kamar pelayan seperti saat ini? Dan sekarang? Apa ada yang salah denganmu?” ejek Dimas.“Tidak ada yang salah denganku, Dimas. Aku hanya ingin menjenguk Cempaka saja. Lagi pula, bukankah Cempaka bukan pelayanmu? Jadi apa aku tidak boleh menemuinya?” jawab Nirmala sambil melirikku.Melihat cara Nirmala melirikku, entah mengapa aku merasa ngeri dengan wanita itu. Tatapan matanya ketika melihatku terlihat sekali penuh kebencian dan penuh amarah.“Benarkah? Apa kamu yakin dengan apa yang baru saja kamu katakan?” ejek Dimas lagi, dan kali ini aku sudah merasa tidak nyaman denga
Mendengar suara pintu seperti ada yang membuka, kami semua menoleh ke arah pintu dan seorang pria berbaju pengawal muncul dari balik pintu.“Mbok Tumi, anda dipanggil oleh Tuan Dimas,” ujar pengawal yang baru saja masuk ke dalam ruangan ini.Mbok Tumi hanya mengangguk menjawab pengawal itu, kemudian pergi mengikuti pengawal yang melangkah lebih dulu di depannya. Tapi ketika akan melewati pintu, wanita tua itu berbalik dan mengingatkan aku agar tetap berada di dalam kamar dan Sri harus mengawasiku. Kalau tidak, maka aku akan mendapat hukuman lebih berat dari hukuman saat ini.Mendengar ancaman dari Mbok Tumi sudah dapat dipastikan bahwa usahaku merayunya tadi gagal, dan aku hanya bisa meratapi nasibku saat ini.“Sudahlah, Cempaka. Lebih baik kamu melakukan apa yang Mbok Tumi katakan. Kalau tidak kita berdua pasti akan mendapat hukuman. Iya kalau itu hanya hukuman dari Mbok Tumi saja, bagaimana kalau Tuan Dimas juga menghukum kita berdua,&
Aku yang tadinya menunduk ketika menjawab Dimas, langsung terperanjat karena terkejut. Bahkan Mbok Tumi dan beberapa orang pengawal yang berada di sekitar kami juga sama terkejutnya dengan aku.“Tunggu apalagi! Apa kalian semua akan tetap di sini dan aku hukum!” usir Dimas.Mendengar hal itu Mbok Tumi dan para pengawal langsung pergi dengan tergesa-gesa. Sedangkan aku yang berada di depan Dimas, langsung mundur dan berbalik untuk meninggalkannya.“Siapa yang menyuruhmu pergi, Cempaka!” teriak Dimas ketika aku baru saja akan melangkah pergi.Aku langsung membeku ketika Dimas menghentikanku. Bahkan untuk berbalik saja aku tidak berani. Karena Dimas saat ini terdengar seperti orang yang sedang marah, dan itu mungkin karena pertanyaanku tadi kepadanya.“Ada apa denganmu, Cempaka? Apa kamu tidak ingin mendengar alasanku memberikan burung kesayanganku ini kepadamu?” bisik Dimas mengejutkanku.Karena merasa tidak
Dimas memang membisikan sesuatu ke telingaku. Namun aku tidak bisa mendengarnya karena suaranya sangat lirih hingga aku tidak bisa mendengarnya, dan itu membuatku seperti sudah ditipu olehnya.Bagaimana bisa orang akan mendengar apa yang dia katakan bila mengatakannya saja hampir tidak terdengar. Bahkan semut saja tidak mendengarnya, apa lagi aku.“Masih,” ketusku.“Benarkah? Tapi sayangnya aku tidak akan mengatakannya untuk kedua kalinya, dan itu sudah menjadi kesepakatan kita,” ejek Dimas.Mendengar hal itu, aku ingin memukul pria yang ada di depanku saat ini. Andai saja dia bukan tuan muda rumah ini dan orang yang sudah menolongku dan memberiku tempat berteduh, aku pasti sudah memukulnya tanpa ampun.“Tapi anda curang, Tuan Dimas. Anda sudah menipu saya,” ujarku kesal sambil menatapnya tajam.“Apa kamu bilang, Cempaka? Aku curang?” ucap Dimas sambil mendekatkan wajahnya kepadaku dan menatapk