Mendengar suara pintu seperti ada yang membuka, kami semua menoleh ke arah pintu dan seorang pria berbaju pengawal muncul dari balik pintu.
“Mbok Tumi, anda dipanggil oleh Tuan Dimas,” ujar pengawal yang baru saja masuk ke dalam ruangan ini.
Mbok Tumi hanya mengangguk menjawab pengawal itu, kemudian pergi mengikuti pengawal yang melangkah lebih dulu di depannya. Tapi ketika akan melewati pintu, wanita tua itu berbalik dan mengingatkan aku agar tetap berada di dalam kamar dan Sri harus mengawasiku. Kalau tidak, maka aku akan mendapat hukuman lebih berat dari hukuman saat ini.
Mendengar ancaman dari Mbok Tumi sudah dapat dipastikan bahwa usahaku merayunya tadi gagal, dan aku hanya bisa meratapi nasibku saat ini.
“Sudahlah, Cempaka. Lebih baik kamu melakukan apa yang Mbok Tumi katakan. Kalau tidak kita berdua pasti akan mendapat hukuman. Iya kalau itu hanya hukuman dari Mbok Tumi saja, bagaimana kalau Tuan Dimas juga menghukum kita berdua,&
Aku yang tadinya menunduk ketika menjawab Dimas, langsung terperanjat karena terkejut. Bahkan Mbok Tumi dan beberapa orang pengawal yang berada di sekitar kami juga sama terkejutnya dengan aku.“Tunggu apalagi! Apa kalian semua akan tetap di sini dan aku hukum!” usir Dimas.Mendengar hal itu Mbok Tumi dan para pengawal langsung pergi dengan tergesa-gesa. Sedangkan aku yang berada di depan Dimas, langsung mundur dan berbalik untuk meninggalkannya.“Siapa yang menyuruhmu pergi, Cempaka!” teriak Dimas ketika aku baru saja akan melangkah pergi.Aku langsung membeku ketika Dimas menghentikanku. Bahkan untuk berbalik saja aku tidak berani. Karena Dimas saat ini terdengar seperti orang yang sedang marah, dan itu mungkin karena pertanyaanku tadi kepadanya.“Ada apa denganmu, Cempaka? Apa kamu tidak ingin mendengar alasanku memberikan burung kesayanganku ini kepadamu?” bisik Dimas mengejutkanku.Karena merasa tidak
Dimas memang membisikan sesuatu ke telingaku. Namun aku tidak bisa mendengarnya karena suaranya sangat lirih hingga aku tidak bisa mendengarnya, dan itu membuatku seperti sudah ditipu olehnya.Bagaimana bisa orang akan mendengar apa yang dia katakan bila mengatakannya saja hampir tidak terdengar. Bahkan semut saja tidak mendengarnya, apa lagi aku.“Masih,” ketusku.“Benarkah? Tapi sayangnya aku tidak akan mengatakannya untuk kedua kalinya, dan itu sudah menjadi kesepakatan kita,” ejek Dimas.Mendengar hal itu, aku ingin memukul pria yang ada di depanku saat ini. Andai saja dia bukan tuan muda rumah ini dan orang yang sudah menolongku dan memberiku tempat berteduh, aku pasti sudah memukulnya tanpa ampun.“Tapi anda curang, Tuan Dimas. Anda sudah menipu saya,” ujarku kesal sambil menatapnya tajam.“Apa kamu bilang, Cempaka? Aku curang?” ucap Dimas sambil mendekatkan wajahnya kepadaku dan menatapk
“Seperti anak kecil saja,” ucap Dimas sambil mengusap pipiku.Aku yang terkejut langsung membuka mataku, tapi aku malah dibuat terkejut untuk kedua kalinya. Karena wajah Dimas begitu dekat denganku. Bahkan mata kami berdua saling bertemu, dan itu membuatku sesak. Sehingga aku lalu mengalihkan pandanganku ke arah lain untuk menutupi rasa gugupku saat ini.“Aku tadi hanya membersihkan sisa makanan yang ada di pipimu saja,” ucap Dimas.Kata-kata Dimas mampu membuatku menoleh kepadanya. Pria itu ternyata sudah tidak berada di dekatku lagi, melainkan sudah kembali ke tempat duduknya semula. Sedangkan Mbok Tumi yang tadi bersama kami sudah tidak ada.Kriet!“Apa aku mengganggu kalian?” tegur Damar begitu masuk.“Apa yang kamu lakukan di sini, Damar? Bukankah kamu seharusnya ada di luar kota?” jawab Dimas dengan nada ketus.Pria yang tadinya duduk itu kemudian berdiri ketika adiknya melangkah masuk. Bahkan raut wajah Dimas terlihat tidak suka dengan kehadiran adiknya itu.“Aku tidak jadi per
Melihat Nirmala yang muncul dari balik pintu sontak membuat kami terkejut. Wanita itu selalu saja membuat kegaduhan bila datang ke kamarku, atau lebih tepatnya ketika bertemu denganku.“Sepupuku Nirmala, apa aku tidak salah lihat? Kamu berada di kamar pelayan?” ejek Damar sambil tersenyum.“Jangan mengejekku, Damar. Kamu sendiri, apa yang sedang kamu lakukan di sini?” ketus Nirmala.“Aku? Tentu saja aku mengunjungi dan menemani Cempaka, Sepupuku. Apa kamu tidak bisa melihatnya?” jawab Damar sambil merangkul Nirmala.Nirmala terlihat tidak suka dengan apa yang sepupunya itu lakukan. Karena dia langsung melempar tangan Damar dengan wajah kesal. Bahkan Nirmala langsung memalingkan muka dan membelakangi sepupunya itu.“Apa ada yang bisa menjelaskan, apa yang sedang terjadi di sini?” tanya seseorang yang sangat aku kenal tiba-tiba.“Mbok Tumi,” ucapku, Sri dan Damar bersamaan.Mbok Tumi yang sudah berdiri di depan pintu memandang kami satu persatu. Tatapannya yang tajam bagai elang membuat
“Tidak! Aku tidak akan mengikuti perintah mbok. Aku ingin menemui Cempaka, dan itu yang akan aku lakukan!” tegas Damar.“Tidak bisa! Tuan Damar silahkan pergi dari tempat ini. Kalau tidak saya akan melaporkannya pada tuan besar,” ancam Mbok Tumi tidak mau kalah.Damar yang tadinya menggebu-gebu, kini terlihat menciut. Bahkan pria itu terlihat menunjukkan wajah memelas kepada Mbok Tumi agar mengizinkannya bertemu denganku sebantar saja.“Maaf, Mbok. Kalau Tuan Damar tidak boleh menemui saya, maka izinkan saya untuk menemuinya sebentar saja,” selaku berusaha menengahi.Damar dan Mbok Tumi langsung menoleh ketika aku berkata seperti itu. Damar terlihat terkejut, tapi tidak dengan Mbok Tumi. Wanita itu menatapku dengan tatapan yang tidak dapat aku artikan, dan itu membuatku sedikit takut.“Baiklah, tapi hanya sebentar saja. Lima menit!” ucap Mbok Tumi setelah lama diam.“Benarkah, Mbok? Apa mbok serius?” tanya Damar seperti tidak percaya.“Kalau Tuan Damar bertanya lagi, maka saya tidak a
“Apa yang terjadi kepadaku, Sri. Cepat katakan!” desakku tidak sabar menunggu penjelasan dari temanku itu yang masih saja bungkam tidak melanjutkan apa yang dia katakan.Sri menarik napas beberapa kali sebelum berbicara kepadaku. Tangannya pun terasa dingin ketika memegang tanganku, dan itu membuatku semakin tegang dan takut mendengar kenyataan yang akan Sri ceritakan kepadaku.“Dengarkan aku baik-baik, Cempaka. Apapun yang aku katakan nanti, aku ingin kamu tetap semangat dan yakin akan sembuh,” ucap Sri dengan suara yang terdengar serak, “Sebenarnya kamu terkena racun, Cempaka. Racun itu membuat kakimu …,” lanjut Sri menjeda kalimatnya.Sri tidak melanjutkan kata-katanya, tapi dia malah pergi dari kamar ini sambil menangis, dan itu membuatku semakin takut mendengar kenyataan yang sebenarnya terjadi.Apakah yang terjadi pada kakiku saat ini karena racun itu, taukah ….Begitu banyak pertanyaan
“S –Sri, ucapku terkejut ketika melihat temanku yang entah sejak kapan dia ada di tempat ini, “Sejak kapan kamu berada di sini, Sri?” lanjutku mengalihkan pembicaraan.“Jangan mengalihkan pembicaraan, Cempaka!”“Mengalihkan pembicaraan? Apa maksudmu, Sri?”Sri yang masih berdiri, kini duduk di sampingku. Wajah wanita itu tidak lagi sedih seperti sebelumnya. Tapi kali ini dia terlihat serius dan itu membuatku takut.“Tidak perlu berpura-pura, Cempaka. Bukankah kamu tadi mengatakan ‘Memangnya apa yang sudah aku lakukan kepadanya?’ siapa orang itu? Dan apa kamu sudah kamu lakukan?” cecar Sri membuatku terngaga.Aku tidak menyangka Sri mendengar apa yang aku katakan. Walaupun itu hanya kalimat terakhir, tapi hal itu cukup membuatku ketakutan.“Kenapa kamu diam saja, Cempaka? Siapa orang itu, dan apa yang sudah kamu lakukan kepadanya?” Sri mengulangi pertanyaannya.“Bukan siapa-siapa, Sri. Lupakan saja,” jawabku sedikit berbohong.Namun jawabanku itu sepertinya tidak membuat temanku itu un
“Non Cempaka, apa ada yang sakit?” tanya Mbok Tumi panik.Pertanyaan dari wanita tua itu seperti angin yang melewati telingaku. Karena saat ini aku masih menatap ke arah pintu di mana Sri tadi berada.“Non Cempaka!” panggil Mbok Tumi mengalihkan pandanganku.“Ma –maaf, Mbok. Tadi mbok bertanya apa?” jawabku sambil memasang wajah menyesal dan menahan sakit.Mbok Tumi bukannya menjawab apa yang aku tanyakam, tapi malah menggeleng dan meminta salah satu pelayan yang ada di kamar ini untuk memanggil tabib.“Maafkan saya, Mbok. Saya tadi hanya ingin menahan Sri, dan saya lupa kalau saya tidak bisa berjalan,” sesalku. Tapi wanita tua itu masih saja tidak bergeming.“Maaf mengganggu, Mbok Tumi. Tapi ada yang perlu saya sampaikan kepada mbok,” sela seorang pelayan wanita yang tiba-tiba masuk ke kamar ini dengan tergesa-gesa.Pelayan wanita muda itu lalu mendekat dan berbi
“Seperti apa yang saya katakan sebelumnya, Cempaka. Bila kamu melewati pintu itu, maka kamu harus memilih. Kamu atau masmu yang akan hidup?” jawab Tuan Wisesa mengulangi pertanyaannya.“Ayah—,” ucap Dimas. Namun ayahnya segera menghentikannya dengan memberi isyarat.“Apa saya harus melakukannya, Tuan?” tanyaku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar.Pertanyaan yang Tuan Wisesa berikan benar-benar di luar dari perkiraanku. Bagaimana bisa dia bertanya seperti itu ketika Mas Budi atau Wirya tidak sadarkan diri. Apakah ini ada hubungannya dengan Pangeran Dayu?“Harus! Karena hanya itu saja yang bisa saya lakukan untuk meneruskan keturunan kalian,” tegas Tuan Wisesa membuatku tidak bisa berpikir.“Ma –maksud, Tuan?”“Ketika saya memutuskan untuk menyelamatkan kalian, ada hal yang harus digantikan untuk mengakhiri penjanjian terlarang itu, dan ayahmu s
“Cukup, Yah! Jangan—,” cegah ibu Dimas menghentikan suaminya. Namun Tuan Wisesa langsung menghentikan tindakan istrinya dengan memberi isyarat tangan.Ibu Dimas yang tadinya seperti menentang suaminya langsung terdiam begitu suaminya memberi tanda. Wanita itu seperti tidak berdaya bila suaminya seperti itu.“Jangan ada yang berani berbicara atau menyela apa yang saya katakan lagi. Bila tidak, jangan salahkan saya bila kalian tidak bisa berbicara lagi setelah itu!” ancam Tuan Wisesa.Mendengar ancaman Tuan Wisesa semua orang terlihat takut, termasuk aku. Tapi aku juga ragu apakah ancaman dari pemilik rumah ini benar-benar akan menjadi nyata atau tidak bila ada orang yang melanggarnya. Bila itu benar terjadi, itu artinya Tuan Wisesa bukan hanya kaya raya, tapi dia juga bukan orang biasa.“Cempaka, Wirya, saya tahu ini akan mengejutkan kalian berdua. Tapi ini adalah kebenarannya, dan kalian berhak tahu semua ini. Kalian be
“Iya, bukti. Tanpa bukti kalian tidak bisa menuduh keponakankan melakukan hal yang kalian tuduhkan,” ujar ibu Dimas dengan lantang.Semua orang hanya diam ketika ibu Dimas berkata seperti itu. Namun ayah Nirmala tiba-tiba mendekati istri Tuan Wisesa itu, dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan menunjukkan bukti yang dia minta.Tegang dan bertanya-tanya, mungkin itu yang ada dalam pikiran beberapa orang yang ada di sini, termasuk aku. Hal itu terlihat dari raut wajah mereka ketika melihat perdebatan antara kakak beradik itu.“Bukti itu ada di sini dan saya akan mengatakannya di depan kalian semua,” ujar ayah Nirmala tak kalah lantang dengan ibu Dimas.Ketegangan semakin terasa ketika ayah Nirmala mengatakan hal itu. Pria itu diam sejenak sambil menatap keluarganya, terutama kedua anaknya. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini, yang pasti itu bukan sesuatu yang mudah, dan itu terlihat sekali dari sorot matanya yang menampakkan k
Aku yang masih membeku kemudian berbalik dan menatap semua orang yang ada di dalam ruangan ini. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan, dan itu membuatku sangat tidak nyaman.“Mas Wisesa, apa maksud mas? Memangnya siapa Cempaka itu? Dan apa hubungannya dengan semua ini?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.Tuan Wisesa bukannya menjawab pertanyaan adik iparnya, tapi dia malah menatapku dan mendekatiku. Ayah Dimas itu lalu mengajakku untuk kembali ke tempatku semula dan dia mengenalkanku kepada kedua orang tua Nirmala bukan sebagai pelayan rumah ini. Melainkan sebagai wanita yang seharusnya memang menikah dengan Dimas.Mendengar hal itu membuatku sangat terkejut. Bukan hanya aku, tapi semua orang yang ada di ruangan ini. Bahkan aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar berusaha untuk memahami itu semua, tapi aku tetap tidak mengerti.“Apa maksud Mas Wisesa?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.“Apa
“Ayah, tidak usah membahas hal ini lagi. Nirmala sudah menerima keputusan Dimas. Jadi kita tidak perlu memperpanjang masalah ini,” ujar Nirmala masih sambil berdiri dan menatap kami semua secara bergantian.“Nirmala, apa maksudmu nak? Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Bukankah kamu ingin menjadi istri Dimas?” tanya ibu Nirmala terlihat heran.Bukan ibu Nirmala saja yang dibuat heran dan binggung, tapi kami semua yang ada di sini. Bagaimana bisa dia mengatakan menerima keputusan Dimas dengan semudah itu. Mencurigakan!“Benar Nirmala ingin menjadi istri Dimas. Tapi …,” Nirmala menggantung jwabannya dan menatapku sesaat, “Dimas tidak mencintai Nirmala, Bu. Dimas mencintai Cempaka, wanita yang duduk di samping Dimas saat ini,” lanjut Nirmala.“A –apa? Maksudmu pelayan wanita itu, Nirmala?” ucap ibu Nirmala terlihat terkejut.“Bulek!” bentak Dimas tiba-tiba
“A –ayah,” ucap Birawa terlihat terkejut.Pria yang baru saja datang itu terlihat sama terkejutnya seperti Birawa. Wajahnya yang hampir mirip dengan istri Tuan Wisesa tampak dingin menatap putranya itu, dan tak lama seorang wanita tiba-tiba muncul di belakang pria yang masih berdiri di depan pintu menatap dingin Birawa.“Birawa, kamu di sini nak?” ucap wanita tua itu dengan wajah yang tidak bisa aku artikan.Tapi wanita itu tidak bersikap dingin seperti ayah Birawa yang masih saja membeku. Wanita itu kemudian melangkah untuk mendekati Birawa. Namun pria yang bergelar ayah Birawa segera menahannya.“Ingat tujuan kita datang kemari!” tegas ayah Birawa sambil melirik wanita yang sepertinya istrinya.“Itu orang tua Nirlama dan Birawa,” bisik Damar tanpa aku tanya.Aku yang sudah menduga hal itu hanya diam, dan tidak menanggapi apa yang adik Dimas itu katakan. Walaupun awalnya aku cukup terkej
Aku dan semua orang yang ada di tempat ini langsung menoleh ke arah sumber suara yang sudah mengejutkan kami. Nirmala berdiri dengan raut wajah sangat marah menatap Dimas hingga guratan otot di lehernya terlihat dengan jelas.“Kembali ke kursimu, Nirmala!” bentak Tuan Wisesa tak kalah nyaringnya dengan apa yang Nirmala lakukan. Bahkan aku saja sampai takut mendengarnya.Tapi wanita itu masih saja berdiri dan mengabaikan apa yang Tuan Wisesa katakan. Bahkan ibu Dimas yang duduk di sampingnya sampai berdiri untuk menenangkannya. Namun wanita itu masih saja tidak mau duduk sambil menatapku dan Dimas secara bergantian seperti akan menerkam kami.“Dengar, Dimas. Aku tidak menerima ini semua. Aku mencintaimu, dan hanya aku yang pantas menjadi istrimu!” tegas Nirmala.“Nirmala!” bentak Dimas yang kini berdiri dengan wajah memerah.Melihat perseteruan antara Dimas dan Nirmala membuat suasana ruangan ini mencekam. Hal ini
“Tenang saja Nirmala, semua akan baik-baik saja. Kamu akan menikah dengan Dimas, dan bude sendiri yang akan membuat hal itu terjadi,” ucap ibu Dimas sambil mengusap punggung Nirmala yang kini tengah menunjukkan wajah seperti teraniaya.Nirmala yang menunjukkan wajah sedih mengangguk menjawab apa yang ibu Dimas katakan. Mereka berdua kemudian melangkah mengikuti Tuan Wisesa. Sedangkan aku memilih untuk bersembunyi terlebih dahulu, daripada menampakkan batang hidungku di depan mereka. Karena mereka pasti tidak akan menyukainya.“Apa sudah bisa saya mulai?” ucap Tuan Wisesa sambil menatap sekitar.Semua orang yang ada di ruangan ini hanya mengangguk. Aku yang berdiri di pojokan hanya bisa menunduk, hingga Tuan Wisesa kemudian memintaku untuk bergabung bersama dengan mereka semua yang sedang duduk bersama, dan itu membuatku terkejut.“Kemarilah, Cempaka. Tidak perlu takut,” ucap Tuan Wisesa lagi.Semua mata memandangku tidak suka ketika pemilik rumah ini memintaku untuk mendekat, kecuali
Di dalam ruangan di mana aku berdiri saat ini sudah seperti ruang persidangan saja. Karena yang ada di dalam ruangan ini bukan hanya aku dengan Tuan Wisesa saja, tapi juga ada Dimas, Nirmala, Wirya dan beberapa orang lainnya yang tidak aku kenal.“Saya harap tidak ada yang berbicara ketika saya berbicara dengan Cempaka? Bila ada, maka silahkan keluar dari ruangan ini!” tegas Tuan Wisesa menggelegar ke seluruh ruangan.Semua orang yang ada di ruangan ini tidak ada yang menjawab atau membatah pemilik rumah ini. Mereka semua hanya menunduk sebagai tanda mengerti.Setelah itu Wirya dan beberapa orang pengawal yang ada di dalam ruangan ini kemudian keluar dan menutup pintu ruangan ini. Kini tinggal aku dan Keluarga Wisesa saja yang berada di dalam ruang tertutup ini.“Apa kamu tahu Cempaka mengapa saya memanggilmu ke sini?” tanya Tuan Wisesa.“Ti –tidak tahu, Tuan.” Jawabku dengan menunduk.“Kalau b