“Apa yang terjadi kepadaku, Sri. Cepat katakan!” desakku tidak sabar menunggu penjelasan dari temanku itu yang masih saja bungkam tidak melanjutkan apa yang dia katakan.
Sri menarik napas beberapa kali sebelum berbicara kepadaku. Tangannya pun terasa dingin ketika memegang tanganku, dan itu membuatku semakin tegang dan takut mendengar kenyataan yang akan Sri ceritakan kepadaku.
“Dengarkan aku baik-baik, Cempaka. Apapun yang aku katakan nanti, aku ingin kamu tetap semangat dan yakin akan sembuh,” ucap Sri dengan suara yang terdengar serak, “Sebenarnya kamu terkena racun, Cempaka. Racun itu membuat kakimu …,” lanjut Sri menjeda kalimatnya.
Sri tidak melanjutkan kata-katanya, tapi dia malah pergi dari kamar ini sambil menangis, dan itu membuatku semakin takut mendengar kenyataan yang sebenarnya terjadi.
Apakah yang terjadi pada kakiku saat ini karena racun itu, taukah ….
Begitu banyak pertanyaan
“S –Sri, ucapku terkejut ketika melihat temanku yang entah sejak kapan dia ada di tempat ini, “Sejak kapan kamu berada di sini, Sri?” lanjutku mengalihkan pembicaraan.“Jangan mengalihkan pembicaraan, Cempaka!”“Mengalihkan pembicaraan? Apa maksudmu, Sri?”Sri yang masih berdiri, kini duduk di sampingku. Wajah wanita itu tidak lagi sedih seperti sebelumnya. Tapi kali ini dia terlihat serius dan itu membuatku takut.“Tidak perlu berpura-pura, Cempaka. Bukankah kamu tadi mengatakan ‘Memangnya apa yang sudah aku lakukan kepadanya?’ siapa orang itu? Dan apa kamu sudah kamu lakukan?” cecar Sri membuatku terngaga.Aku tidak menyangka Sri mendengar apa yang aku katakan. Walaupun itu hanya kalimat terakhir, tapi hal itu cukup membuatku ketakutan.“Kenapa kamu diam saja, Cempaka? Siapa orang itu, dan apa yang sudah kamu lakukan kepadanya?” Sri mengulangi pertanyaannya.“Bukan siapa-siapa, Sri. Lupakan saja,” jawabku sedikit berbohong.Namun jawabanku itu sepertinya tidak membuat temanku itu un
“Non Cempaka, apa ada yang sakit?” tanya Mbok Tumi panik.Pertanyaan dari wanita tua itu seperti angin yang melewati telingaku. Karena saat ini aku masih menatap ke arah pintu di mana Sri tadi berada.“Non Cempaka!” panggil Mbok Tumi mengalihkan pandanganku.“Ma –maaf, Mbok. Tadi mbok bertanya apa?” jawabku sambil memasang wajah menyesal dan menahan sakit.Mbok Tumi bukannya menjawab apa yang aku tanyakam, tapi malah menggeleng dan meminta salah satu pelayan yang ada di kamar ini untuk memanggil tabib.“Maafkan saya, Mbok. Saya tadi hanya ingin menahan Sri, dan saya lupa kalau saya tidak bisa berjalan,” sesalku. Tapi wanita tua itu masih saja tidak bergeming.“Maaf mengganggu, Mbok Tumi. Tapi ada yang perlu saya sampaikan kepada mbok,” sela seorang pelayan wanita yang tiba-tiba masuk ke kamar ini dengan tergesa-gesa.Pelayan wanita muda itu lalu mendekat dan berbi
“Sri,” panggilku begitu melihat Sri berdiri di depan pintu.Mbok Tumi langsung menoleh ketika aku memanggil nama yang aku tanyakan kepadanya tadi. Tapi bukannya Sri masuk dan mendatangiku ketika aku memanggilnya, dia malah pergi tanpa mengatakan sepatah katapun. Bahkan raut wajahnya juga tidak sangat berbeda tidak seperti biasanya.“Mbok, bisakah mbok memanggilkan Sri agar datang ke sini?” pintaku pada wanita tua yang berdiri menatap pintu.Mbok Tumi tidak menjawab ataupun menolakku. Wanita tua itu hanya membeku dengan raut wajah yang tidak bisa aku artikan.“Mbok,” panggilku.“I –iya, Non. Ada apa? Apa non perlu sesuatu?” jawab Mbok Tumi terlihat terkejut.Melihat reaksi wanita tua itu membuatku curiga, tapi aku tidak mungkin bertanya langsung tentang yang terjadi. Tapi melihat sikap Sri dan Mbok Tumi saat ini bisa di pastikan pasti terjadi sesuatu yang tidak aku ketahui. Tapi apa?
“Cepat bangun, Cempaka. Jangan tidur terlalu lama hingga membuatku merindukan senyumanmu,” terdengar suara seorang pria berbicara kepadaku.Tak lama setelah mendengar hal itu, sebuah kecupan mendarat di dahiku. Aku yang terkejut dengan apa yang baru saja aku alami langsung membuka mataku.Ternyata tidak ada siapa-siapa di dalam kamarku. Tapi ketika aku menoleh ke arah pintu, terlihat bayangan seseorang yang sepertinya baru saja keluar dari kamarku.Bayangan seperti seorang pria, tapi siapa?“Apakah itu tadi Dimas?” gumamku sambil mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi.Aku yang masih sedikit terkejut kemudian mencubit pipiku. Sakit, itu yang aku rasakan saat aku mencubit tumpukan daging di wajahku yang sudah tidak seberisi seperti sebelumnya. Tapi, apakah yang aku dengar tadi dan merasakan seperti seseorang mengecupku adalah mimpi?Mimpi seperti sebelumnya ketika aku bertemu dengan kedua orang tuaku, Ni Imah dan D
“Tuan Damar?” ucap Mbok Tumi.Pria yang selalu saja ceria itu kemudian mendekati kami berdua. Terlihat dari raut wajahnya dia sedang bahagia. Entah itu bahagia karena kembali ke rumah ini, atau bahagia karena hal yang lain. Tapi yang pasti aku ikut senang dengan kedatangan Damar.“Tuan Damar, kapan anda kembali? Bukankah seharusnya minggu depan anda baru kembali?” tanya Mbok Tumi.“Aku baru saja datang, Mbok. Aku datang ke sini karena ingin menemui calon kakak iparku,” jawab Damar sambil melirikku, “Maaf, maksudku menemui temanku,” lanjut Damar seperti sedang memperbaiki apa yang tadi dia katakan.Sebenarnya aku cukup terkejut ketika pria itu menyebut kata calon kakak ipar di depanku dan Mbok tumi. Bahkan ketika mengatakannya pria itu sambil melirikku. Apakah itu artinya dia sedang bercanda denganku atau sedang memberi tanda kepadaku bahwa Dimas akan menikah.“Hey, Cempaka. Kenapa kamu melamun?
“Apa Non Cempaka tidak ingin menjawabnya?” tanya Mbok Tumi.Aku yang tidak ingin masa laluku diungkit kembali hanya diam. Bukannya aku tidak ingin memberitahu wanita tua itu tentang masa laluku. Tapi aku takut ada orang yang mendengar pembicaraan kami, dan identitas yang selama ini aku sembunyikan akhirnya terbongkar.Mbok Tumi bertanya kepadaku, mengapa aku mengubah namaku yang sebelumnya dan menggantinya dengan nama Cempaka, padahal menurut wanita tua itu nama Ajeng lebih cocok denganku dibandingkan dengan nama pemberian Ki Joko.“Apa boleh saya tidak menjawabnya, Mbok?” ucapku setelah berpikir berulang kali, apakah aku harus jujur atau berbohong kepada adik dari Ni Imah itu.“Tentu saja, Non Cempaka. Mbok tidak akan memaksa non untuk menceritakannya bila non tidak mau,” jawab Mbok Tumi.“Terima kasih, Mbok. Nanti kalau saya sudah siap menceritakannya, pasti saya akan memberitahu mbok,” ujarku berus
“Mas Budi!” teriakku spontan.Aku segera bangkit dari tempat tempat tidur ketika melihat Wirya jatuh di lantai. Hatiku seperti teriris benda tajam begitu melihatnya tidak sadarkan diri seperti saat ini, dan aku langsung memeluknya dan menangis.“Non Cempaka? Apa yang terjadi?” tanya seorang pria yang baru saja masuk, “Bagaimana anda …,” lanjutnya menjeda apa yang dia katakan setelah melihatku berada di mana Wirya berada.Aku yang baru saja melepaskan pelukanku dari tubuh Wirya segera memperhatikan kedua kakiku. Sebuah kejadian tidak terduga baru saja aku alami, dan aku tidak tahu bagaimana hal ini bisa terjadi.“Ini tidak mungkin,” ucapku tidak percaya sambil memegang kedua kakiku. Sedangkan pria yang bertanya kepadaku tadi, dia dan beberapa pria lainnya segera mengangkat dan membaringkan Wirya di tempat tidur Mbok Tumi.“Non Cempaka, apa anda baik-baik saja?” tanya seorang pelayan
“Tuan Dimas,” gumamku tidak percaya dengan apa yang aku lihat di hadapankuOrang yang berdiri sejak tadi di depan pintu ternyata benar-benar Dimas seperti dugaanku. Pria itu masuk setelah cukup lama berdiri di depan pintu, dan aku tidak tahu mengapa dia bersikap seperti itu. Apakah karena dia terlalu gugup untuk bertemu denganku, atau ada alasan lain yang membuatnya seperti itu. Tapi apapun alasannya, aku sangat bahagia dia sudah kembali dan itu membuatku gugup.“Mas Dimas,” panggil Nilam manja kemudian memeluk pria yang menjadi kakak tertuanya itu, “Kapan mas kembali?” lanjut Nilam setelah melepas pelukannya.Melihat Nilam bersikap manja seperti itu, membuatku iri dan teringat masa lalu. Ketika keluargaku masih baik-baik saja, dan malapetaka itu belum terjadi. Karena aku juga bersikap seperti apa yang Nilam lakukan saat ini bila bersama kakak-kakakkku.Andai saja Wirya mengingat masalalunya dan juga diriku, pasti
“Seperti apa yang saya katakan sebelumnya, Cempaka. Bila kamu melewati pintu itu, maka kamu harus memilih. Kamu atau masmu yang akan hidup?” jawab Tuan Wisesa mengulangi pertanyaannya.“Ayah—,” ucap Dimas. Namun ayahnya segera menghentikannya dengan memberi isyarat.“Apa saya harus melakukannya, Tuan?” tanyaku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar.Pertanyaan yang Tuan Wisesa berikan benar-benar di luar dari perkiraanku. Bagaimana bisa dia bertanya seperti itu ketika Mas Budi atau Wirya tidak sadarkan diri. Apakah ini ada hubungannya dengan Pangeran Dayu?“Harus! Karena hanya itu saja yang bisa saya lakukan untuk meneruskan keturunan kalian,” tegas Tuan Wisesa membuatku tidak bisa berpikir.“Ma –maksud, Tuan?”“Ketika saya memutuskan untuk menyelamatkan kalian, ada hal yang harus digantikan untuk mengakhiri penjanjian terlarang itu, dan ayahmu s
“Cukup, Yah! Jangan—,” cegah ibu Dimas menghentikan suaminya. Namun Tuan Wisesa langsung menghentikan tindakan istrinya dengan memberi isyarat tangan.Ibu Dimas yang tadinya seperti menentang suaminya langsung terdiam begitu suaminya memberi tanda. Wanita itu seperti tidak berdaya bila suaminya seperti itu.“Jangan ada yang berani berbicara atau menyela apa yang saya katakan lagi. Bila tidak, jangan salahkan saya bila kalian tidak bisa berbicara lagi setelah itu!” ancam Tuan Wisesa.Mendengar ancaman Tuan Wisesa semua orang terlihat takut, termasuk aku. Tapi aku juga ragu apakah ancaman dari pemilik rumah ini benar-benar akan menjadi nyata atau tidak bila ada orang yang melanggarnya. Bila itu benar terjadi, itu artinya Tuan Wisesa bukan hanya kaya raya, tapi dia juga bukan orang biasa.“Cempaka, Wirya, saya tahu ini akan mengejutkan kalian berdua. Tapi ini adalah kebenarannya, dan kalian berhak tahu semua ini. Kalian be
“Iya, bukti. Tanpa bukti kalian tidak bisa menuduh keponakankan melakukan hal yang kalian tuduhkan,” ujar ibu Dimas dengan lantang.Semua orang hanya diam ketika ibu Dimas berkata seperti itu. Namun ayah Nirmala tiba-tiba mendekati istri Tuan Wisesa itu, dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan menunjukkan bukti yang dia minta.Tegang dan bertanya-tanya, mungkin itu yang ada dalam pikiran beberapa orang yang ada di sini, termasuk aku. Hal itu terlihat dari raut wajah mereka ketika melihat perdebatan antara kakak beradik itu.“Bukti itu ada di sini dan saya akan mengatakannya di depan kalian semua,” ujar ayah Nirmala tak kalah lantang dengan ibu Dimas.Ketegangan semakin terasa ketika ayah Nirmala mengatakan hal itu. Pria itu diam sejenak sambil menatap keluarganya, terutama kedua anaknya. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini, yang pasti itu bukan sesuatu yang mudah, dan itu terlihat sekali dari sorot matanya yang menampakkan k
Aku yang masih membeku kemudian berbalik dan menatap semua orang yang ada di dalam ruangan ini. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan, dan itu membuatku sangat tidak nyaman.“Mas Wisesa, apa maksud mas? Memangnya siapa Cempaka itu? Dan apa hubungannya dengan semua ini?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.Tuan Wisesa bukannya menjawab pertanyaan adik iparnya, tapi dia malah menatapku dan mendekatiku. Ayah Dimas itu lalu mengajakku untuk kembali ke tempatku semula dan dia mengenalkanku kepada kedua orang tua Nirmala bukan sebagai pelayan rumah ini. Melainkan sebagai wanita yang seharusnya memang menikah dengan Dimas.Mendengar hal itu membuatku sangat terkejut. Bukan hanya aku, tapi semua orang yang ada di ruangan ini. Bahkan aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar berusaha untuk memahami itu semua, tapi aku tetap tidak mengerti.“Apa maksud Mas Wisesa?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.“Apa
“Ayah, tidak usah membahas hal ini lagi. Nirmala sudah menerima keputusan Dimas. Jadi kita tidak perlu memperpanjang masalah ini,” ujar Nirmala masih sambil berdiri dan menatap kami semua secara bergantian.“Nirmala, apa maksudmu nak? Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Bukankah kamu ingin menjadi istri Dimas?” tanya ibu Nirmala terlihat heran.Bukan ibu Nirmala saja yang dibuat heran dan binggung, tapi kami semua yang ada di sini. Bagaimana bisa dia mengatakan menerima keputusan Dimas dengan semudah itu. Mencurigakan!“Benar Nirmala ingin menjadi istri Dimas. Tapi …,” Nirmala menggantung jwabannya dan menatapku sesaat, “Dimas tidak mencintai Nirmala, Bu. Dimas mencintai Cempaka, wanita yang duduk di samping Dimas saat ini,” lanjut Nirmala.“A –apa? Maksudmu pelayan wanita itu, Nirmala?” ucap ibu Nirmala terlihat terkejut.“Bulek!” bentak Dimas tiba-tiba
“A –ayah,” ucap Birawa terlihat terkejut.Pria yang baru saja datang itu terlihat sama terkejutnya seperti Birawa. Wajahnya yang hampir mirip dengan istri Tuan Wisesa tampak dingin menatap putranya itu, dan tak lama seorang wanita tiba-tiba muncul di belakang pria yang masih berdiri di depan pintu menatap dingin Birawa.“Birawa, kamu di sini nak?” ucap wanita tua itu dengan wajah yang tidak bisa aku artikan.Tapi wanita itu tidak bersikap dingin seperti ayah Birawa yang masih saja membeku. Wanita itu kemudian melangkah untuk mendekati Birawa. Namun pria yang bergelar ayah Birawa segera menahannya.“Ingat tujuan kita datang kemari!” tegas ayah Birawa sambil melirik wanita yang sepertinya istrinya.“Itu orang tua Nirlama dan Birawa,” bisik Damar tanpa aku tanya.Aku yang sudah menduga hal itu hanya diam, dan tidak menanggapi apa yang adik Dimas itu katakan. Walaupun awalnya aku cukup terkej
Aku dan semua orang yang ada di tempat ini langsung menoleh ke arah sumber suara yang sudah mengejutkan kami. Nirmala berdiri dengan raut wajah sangat marah menatap Dimas hingga guratan otot di lehernya terlihat dengan jelas.“Kembali ke kursimu, Nirmala!” bentak Tuan Wisesa tak kalah nyaringnya dengan apa yang Nirmala lakukan. Bahkan aku saja sampai takut mendengarnya.Tapi wanita itu masih saja berdiri dan mengabaikan apa yang Tuan Wisesa katakan. Bahkan ibu Dimas yang duduk di sampingnya sampai berdiri untuk menenangkannya. Namun wanita itu masih saja tidak mau duduk sambil menatapku dan Dimas secara bergantian seperti akan menerkam kami.“Dengar, Dimas. Aku tidak menerima ini semua. Aku mencintaimu, dan hanya aku yang pantas menjadi istrimu!” tegas Nirmala.“Nirmala!” bentak Dimas yang kini berdiri dengan wajah memerah.Melihat perseteruan antara Dimas dan Nirmala membuat suasana ruangan ini mencekam. Hal ini
“Tenang saja Nirmala, semua akan baik-baik saja. Kamu akan menikah dengan Dimas, dan bude sendiri yang akan membuat hal itu terjadi,” ucap ibu Dimas sambil mengusap punggung Nirmala yang kini tengah menunjukkan wajah seperti teraniaya.Nirmala yang menunjukkan wajah sedih mengangguk menjawab apa yang ibu Dimas katakan. Mereka berdua kemudian melangkah mengikuti Tuan Wisesa. Sedangkan aku memilih untuk bersembunyi terlebih dahulu, daripada menampakkan batang hidungku di depan mereka. Karena mereka pasti tidak akan menyukainya.“Apa sudah bisa saya mulai?” ucap Tuan Wisesa sambil menatap sekitar.Semua orang yang ada di ruangan ini hanya mengangguk. Aku yang berdiri di pojokan hanya bisa menunduk, hingga Tuan Wisesa kemudian memintaku untuk bergabung bersama dengan mereka semua yang sedang duduk bersama, dan itu membuatku terkejut.“Kemarilah, Cempaka. Tidak perlu takut,” ucap Tuan Wisesa lagi.Semua mata memandangku tidak suka ketika pemilik rumah ini memintaku untuk mendekat, kecuali
Di dalam ruangan di mana aku berdiri saat ini sudah seperti ruang persidangan saja. Karena yang ada di dalam ruangan ini bukan hanya aku dengan Tuan Wisesa saja, tapi juga ada Dimas, Nirmala, Wirya dan beberapa orang lainnya yang tidak aku kenal.“Saya harap tidak ada yang berbicara ketika saya berbicara dengan Cempaka? Bila ada, maka silahkan keluar dari ruangan ini!” tegas Tuan Wisesa menggelegar ke seluruh ruangan.Semua orang yang ada di ruangan ini tidak ada yang menjawab atau membatah pemilik rumah ini. Mereka semua hanya menunduk sebagai tanda mengerti.Setelah itu Wirya dan beberapa orang pengawal yang ada di dalam ruangan ini kemudian keluar dan menutup pintu ruangan ini. Kini tinggal aku dan Keluarga Wisesa saja yang berada di dalam ruang tertutup ini.“Apa kamu tahu Cempaka mengapa saya memanggilmu ke sini?” tanya Tuan Wisesa.“Ti –tidak tahu, Tuan.” Jawabku dengan menunduk.“Kalau b