“Cepat bangun, Cempaka. Jangan tidur terlalu lama hingga membuatku merindukan senyumanmu,” terdengar suara seorang pria berbicara kepadaku.
Tak lama setelah mendengar hal itu, sebuah kecupan mendarat di dahiku. Aku yang terkejut dengan apa yang baru saja aku alami langsung membuka mataku.
Ternyata tidak ada siapa-siapa di dalam kamarku. Tapi ketika aku menoleh ke arah pintu, terlihat bayangan seseorang yang sepertinya baru saja keluar dari kamarku.
Bayangan seperti seorang pria, tapi siapa?
“Apakah itu tadi Dimas?” gumamku sambil mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi.
Aku yang masih sedikit terkejut kemudian mencubit pipiku. Sakit, itu yang aku rasakan saat aku mencubit tumpukan daging di wajahku yang sudah tidak seberisi seperti sebelumnya. Tapi, apakah yang aku dengar tadi dan merasakan seperti seseorang mengecupku adalah mimpi?
Mimpi seperti sebelumnya ketika aku bertemu dengan kedua orang tuaku, Ni Imah dan D
“Tuan Damar?” ucap Mbok Tumi.Pria yang selalu saja ceria itu kemudian mendekati kami berdua. Terlihat dari raut wajahnya dia sedang bahagia. Entah itu bahagia karena kembali ke rumah ini, atau bahagia karena hal yang lain. Tapi yang pasti aku ikut senang dengan kedatangan Damar.“Tuan Damar, kapan anda kembali? Bukankah seharusnya minggu depan anda baru kembali?” tanya Mbok Tumi.“Aku baru saja datang, Mbok. Aku datang ke sini karena ingin menemui calon kakak iparku,” jawab Damar sambil melirikku, “Maaf, maksudku menemui temanku,” lanjut Damar seperti sedang memperbaiki apa yang tadi dia katakan.Sebenarnya aku cukup terkejut ketika pria itu menyebut kata calon kakak ipar di depanku dan Mbok tumi. Bahkan ketika mengatakannya pria itu sambil melirikku. Apakah itu artinya dia sedang bercanda denganku atau sedang memberi tanda kepadaku bahwa Dimas akan menikah.“Hey, Cempaka. Kenapa kamu melamun?
“Apa Non Cempaka tidak ingin menjawabnya?” tanya Mbok Tumi.Aku yang tidak ingin masa laluku diungkit kembali hanya diam. Bukannya aku tidak ingin memberitahu wanita tua itu tentang masa laluku. Tapi aku takut ada orang yang mendengar pembicaraan kami, dan identitas yang selama ini aku sembunyikan akhirnya terbongkar.Mbok Tumi bertanya kepadaku, mengapa aku mengubah namaku yang sebelumnya dan menggantinya dengan nama Cempaka, padahal menurut wanita tua itu nama Ajeng lebih cocok denganku dibandingkan dengan nama pemberian Ki Joko.“Apa boleh saya tidak menjawabnya, Mbok?” ucapku setelah berpikir berulang kali, apakah aku harus jujur atau berbohong kepada adik dari Ni Imah itu.“Tentu saja, Non Cempaka. Mbok tidak akan memaksa non untuk menceritakannya bila non tidak mau,” jawab Mbok Tumi.“Terima kasih, Mbok. Nanti kalau saya sudah siap menceritakannya, pasti saya akan memberitahu mbok,” ujarku berus
“Mas Budi!” teriakku spontan.Aku segera bangkit dari tempat tempat tidur ketika melihat Wirya jatuh di lantai. Hatiku seperti teriris benda tajam begitu melihatnya tidak sadarkan diri seperti saat ini, dan aku langsung memeluknya dan menangis.“Non Cempaka? Apa yang terjadi?” tanya seorang pria yang baru saja masuk, “Bagaimana anda …,” lanjutnya menjeda apa yang dia katakan setelah melihatku berada di mana Wirya berada.Aku yang baru saja melepaskan pelukanku dari tubuh Wirya segera memperhatikan kedua kakiku. Sebuah kejadian tidak terduga baru saja aku alami, dan aku tidak tahu bagaimana hal ini bisa terjadi.“Ini tidak mungkin,” ucapku tidak percaya sambil memegang kedua kakiku. Sedangkan pria yang bertanya kepadaku tadi, dia dan beberapa pria lainnya segera mengangkat dan membaringkan Wirya di tempat tidur Mbok Tumi.“Non Cempaka, apa anda baik-baik saja?” tanya seorang pelayan
“Tuan Dimas,” gumamku tidak percaya dengan apa yang aku lihat di hadapankuOrang yang berdiri sejak tadi di depan pintu ternyata benar-benar Dimas seperti dugaanku. Pria itu masuk setelah cukup lama berdiri di depan pintu, dan aku tidak tahu mengapa dia bersikap seperti itu. Apakah karena dia terlalu gugup untuk bertemu denganku, atau ada alasan lain yang membuatnya seperti itu. Tapi apapun alasannya, aku sangat bahagia dia sudah kembali dan itu membuatku gugup.“Mas Dimas,” panggil Nilam manja kemudian memeluk pria yang menjadi kakak tertuanya itu, “Kapan mas kembali?” lanjut Nilam setelah melepas pelukannya.Melihat Nilam bersikap manja seperti itu, membuatku iri dan teringat masa lalu. Ketika keluargaku masih baik-baik saja, dan malapetaka itu belum terjadi. Karena aku juga bersikap seperti apa yang Nilam lakukan saat ini bila bersama kakak-kakakkku.Andai saja Wirya mengingat masalalunya dan juga diriku, pasti
“Tenang, Nak Cempaka. Pak Nyoto hanya ingin mengobatimu saja,” ujar Mbok Tumi sambil memegang kedua bahuku.“Tapi benda itu untuk apa, Mbok?” tanyaku panik.“Benda ini untuk memeriksa kaki Non Cempaka. Jadi Non Cempaka tidak perlu takut. Karena benda ini tidak akan melukai kaki Non Cempaka,” jelas tabib.Mendengar penjelasan pria itu, aku tidak tahu harus mempercayainya atau tidak. Tapi Mbok Tumi terlihat tenang saja seperti tahu apa yang akan dilakukan pria itu.“Mbok, tolong pegangi Non Cempaka,” perintah pria tua itu.Tanpa menunggu persetujuanku, Mbok Tumi segera memegang kedua bahuku lebih erat dari sebelumnya, dan aku hanya bisa pasrah menerima apa yang mereka berdua akan lakukan.“Non Cempaka, sekarang saya akan melakukannya. Tapi sebelum itu, tolong pejamkan mata non,” ujar pria tua yang sekarang ada di depan kaki kiriku.“Apa itu harus, Pak?”Bukan
“Siapa di sana?” teriakku ketika melihat bayangan seseorang di depan pintu.Bukannya jawaban yang aku dapatkan, melainkan bayangan itu malah menghilang di balik pintu.“Siapa itu tadi? Apakah itu Dimas?” gumamku.“Ada apa, Nak Cempaka? Kenapa Nak Cempaka berteriak?” tanya Mbok Tumi yang masuk dengan terburu-buru.“Ta –tadi ada orang yang masuk ke kamar ini, Mbok?” jawabku gugup.Mbok Tumi terlihat terkejut ketika aku memberitahunya. Dia lalu melihat keluar pintu dan jendela untuk melihat orang yang aku maksud.“Tidak ada siapa-siapa, Nak Cempaka. Di luar kamar hanya ada penjaga yang menjaga kamar ini, dan mereka mengatakan tidak melihat siapa-siapa keluar dari kamar ini sejak mbok dan Non Nilam keluar dari kamar ini,” jelas Mbok Tumi.“Tidak mungkin, Mbok. Tadi saya lihat sendiri ada bayangan di depan pintu ketika saya baru saja bangun. Bahkan dia juga …,&r
“Ada apa, Nak Cempaka?” tanya Mbok Tumi terdengar binggung.“Itu, Mbok. Ada Sri di sana,” jawabku sambil menunjuk di mana Sri berada tadi.Mbok Tumi yang tadinya membantuku berdiri bersama dengan Pak Nyoto segera menoleh ke arah yang aku tunjuk. Ternyata Sri sudah tidak ada di sana.“Tidak ada siapa-siapa di sana, Nak Cempaka. Mungkin tadi Nak Cempaka salah lihat,” ujar Mbok Tumi.“Tidak, Mbok. Saya tidak salah lihat. Tadi Sri berdiri di sana melihatku,” terangku meyakinkan wanita tua itu.Mbok Tumi yang sepertinya masih tidak percaya aku melihat Sri kemudian melangkah keluar dari kamar ini. Begitu dia kembali, aku langsung bertanya kepadanya tentang keberadaan Sri.“Ayo kita teruskan saja latihannya, Nak Cempaka.” Jawab Mbok Tumi mengalihkan Mbok Tumi.“Tapi, Mbok. Sa—,” protesku.“Pak, tolong dibantu lagi latihannya Nak Cempaka,” sela Mb
“Mbok tidak akan mengizinkan!” tegas Mbok Tumi.“Tapi, Mbok. Bukankah tadi mbok sudah berjanji kepada saya akan mengabulkan permintaan saya. Kenapa sekarang mbok mengingkarinya,” protesku sambil memasang wajah kecewa.Wanita tua yang terlihat marah itu terlihat binggung ketika aku mengatakan hal itu. Namun dia segera mengeluarkan kalimat pamungkasnya.Dia mengatakan akan menanyakan hal itu terlebih dahulu pada Dimas bila Dimas sudah kembali. Karena aku bukan pelayan biasa seperti yang lainnya, melainkan pelayan Dimas.“Apa itu harus, Mbok?”“Harus! Bahkan bila perlu kita ingin bernapas di tempat ini, kita harus meminta izin darinya,” jawab Mbok Tumi dengan penuh penekanan.Kata-kata Mbok Tumi benar-benar membuatku sangat kecewa, dan aku tidak tahu bagaimana harus membujuknya lagi agar dia mengizinkanku untuk kembali bekerja.“Mbok, kalau saya memang tidak boleh kembali bekerja. Apa
“Seperti apa yang saya katakan sebelumnya, Cempaka. Bila kamu melewati pintu itu, maka kamu harus memilih. Kamu atau masmu yang akan hidup?” jawab Tuan Wisesa mengulangi pertanyaannya.“Ayah—,” ucap Dimas. Namun ayahnya segera menghentikannya dengan memberi isyarat.“Apa saya harus melakukannya, Tuan?” tanyaku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar.Pertanyaan yang Tuan Wisesa berikan benar-benar di luar dari perkiraanku. Bagaimana bisa dia bertanya seperti itu ketika Mas Budi atau Wirya tidak sadarkan diri. Apakah ini ada hubungannya dengan Pangeran Dayu?“Harus! Karena hanya itu saja yang bisa saya lakukan untuk meneruskan keturunan kalian,” tegas Tuan Wisesa membuatku tidak bisa berpikir.“Ma –maksud, Tuan?”“Ketika saya memutuskan untuk menyelamatkan kalian, ada hal yang harus digantikan untuk mengakhiri penjanjian terlarang itu, dan ayahmu s
“Cukup, Yah! Jangan—,” cegah ibu Dimas menghentikan suaminya. Namun Tuan Wisesa langsung menghentikan tindakan istrinya dengan memberi isyarat tangan.Ibu Dimas yang tadinya seperti menentang suaminya langsung terdiam begitu suaminya memberi tanda. Wanita itu seperti tidak berdaya bila suaminya seperti itu.“Jangan ada yang berani berbicara atau menyela apa yang saya katakan lagi. Bila tidak, jangan salahkan saya bila kalian tidak bisa berbicara lagi setelah itu!” ancam Tuan Wisesa.Mendengar ancaman Tuan Wisesa semua orang terlihat takut, termasuk aku. Tapi aku juga ragu apakah ancaman dari pemilik rumah ini benar-benar akan menjadi nyata atau tidak bila ada orang yang melanggarnya. Bila itu benar terjadi, itu artinya Tuan Wisesa bukan hanya kaya raya, tapi dia juga bukan orang biasa.“Cempaka, Wirya, saya tahu ini akan mengejutkan kalian berdua. Tapi ini adalah kebenarannya, dan kalian berhak tahu semua ini. Kalian be
“Iya, bukti. Tanpa bukti kalian tidak bisa menuduh keponakankan melakukan hal yang kalian tuduhkan,” ujar ibu Dimas dengan lantang.Semua orang hanya diam ketika ibu Dimas berkata seperti itu. Namun ayah Nirmala tiba-tiba mendekati istri Tuan Wisesa itu, dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan menunjukkan bukti yang dia minta.Tegang dan bertanya-tanya, mungkin itu yang ada dalam pikiran beberapa orang yang ada di sini, termasuk aku. Hal itu terlihat dari raut wajah mereka ketika melihat perdebatan antara kakak beradik itu.“Bukti itu ada di sini dan saya akan mengatakannya di depan kalian semua,” ujar ayah Nirmala tak kalah lantang dengan ibu Dimas.Ketegangan semakin terasa ketika ayah Nirmala mengatakan hal itu. Pria itu diam sejenak sambil menatap keluarganya, terutama kedua anaknya. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini, yang pasti itu bukan sesuatu yang mudah, dan itu terlihat sekali dari sorot matanya yang menampakkan k
Aku yang masih membeku kemudian berbalik dan menatap semua orang yang ada di dalam ruangan ini. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan, dan itu membuatku sangat tidak nyaman.“Mas Wisesa, apa maksud mas? Memangnya siapa Cempaka itu? Dan apa hubungannya dengan semua ini?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.Tuan Wisesa bukannya menjawab pertanyaan adik iparnya, tapi dia malah menatapku dan mendekatiku. Ayah Dimas itu lalu mengajakku untuk kembali ke tempatku semula dan dia mengenalkanku kepada kedua orang tua Nirmala bukan sebagai pelayan rumah ini. Melainkan sebagai wanita yang seharusnya memang menikah dengan Dimas.Mendengar hal itu membuatku sangat terkejut. Bukan hanya aku, tapi semua orang yang ada di ruangan ini. Bahkan aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar berusaha untuk memahami itu semua, tapi aku tetap tidak mengerti.“Apa maksud Mas Wisesa?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.“Apa
“Ayah, tidak usah membahas hal ini lagi. Nirmala sudah menerima keputusan Dimas. Jadi kita tidak perlu memperpanjang masalah ini,” ujar Nirmala masih sambil berdiri dan menatap kami semua secara bergantian.“Nirmala, apa maksudmu nak? Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Bukankah kamu ingin menjadi istri Dimas?” tanya ibu Nirmala terlihat heran.Bukan ibu Nirmala saja yang dibuat heran dan binggung, tapi kami semua yang ada di sini. Bagaimana bisa dia mengatakan menerima keputusan Dimas dengan semudah itu. Mencurigakan!“Benar Nirmala ingin menjadi istri Dimas. Tapi …,” Nirmala menggantung jwabannya dan menatapku sesaat, “Dimas tidak mencintai Nirmala, Bu. Dimas mencintai Cempaka, wanita yang duduk di samping Dimas saat ini,” lanjut Nirmala.“A –apa? Maksudmu pelayan wanita itu, Nirmala?” ucap ibu Nirmala terlihat terkejut.“Bulek!” bentak Dimas tiba-tiba
“A –ayah,” ucap Birawa terlihat terkejut.Pria yang baru saja datang itu terlihat sama terkejutnya seperti Birawa. Wajahnya yang hampir mirip dengan istri Tuan Wisesa tampak dingin menatap putranya itu, dan tak lama seorang wanita tiba-tiba muncul di belakang pria yang masih berdiri di depan pintu menatap dingin Birawa.“Birawa, kamu di sini nak?” ucap wanita tua itu dengan wajah yang tidak bisa aku artikan.Tapi wanita itu tidak bersikap dingin seperti ayah Birawa yang masih saja membeku. Wanita itu kemudian melangkah untuk mendekati Birawa. Namun pria yang bergelar ayah Birawa segera menahannya.“Ingat tujuan kita datang kemari!” tegas ayah Birawa sambil melirik wanita yang sepertinya istrinya.“Itu orang tua Nirlama dan Birawa,” bisik Damar tanpa aku tanya.Aku yang sudah menduga hal itu hanya diam, dan tidak menanggapi apa yang adik Dimas itu katakan. Walaupun awalnya aku cukup terkej
Aku dan semua orang yang ada di tempat ini langsung menoleh ke arah sumber suara yang sudah mengejutkan kami. Nirmala berdiri dengan raut wajah sangat marah menatap Dimas hingga guratan otot di lehernya terlihat dengan jelas.“Kembali ke kursimu, Nirmala!” bentak Tuan Wisesa tak kalah nyaringnya dengan apa yang Nirmala lakukan. Bahkan aku saja sampai takut mendengarnya.Tapi wanita itu masih saja berdiri dan mengabaikan apa yang Tuan Wisesa katakan. Bahkan ibu Dimas yang duduk di sampingnya sampai berdiri untuk menenangkannya. Namun wanita itu masih saja tidak mau duduk sambil menatapku dan Dimas secara bergantian seperti akan menerkam kami.“Dengar, Dimas. Aku tidak menerima ini semua. Aku mencintaimu, dan hanya aku yang pantas menjadi istrimu!” tegas Nirmala.“Nirmala!” bentak Dimas yang kini berdiri dengan wajah memerah.Melihat perseteruan antara Dimas dan Nirmala membuat suasana ruangan ini mencekam. Hal ini
“Tenang saja Nirmala, semua akan baik-baik saja. Kamu akan menikah dengan Dimas, dan bude sendiri yang akan membuat hal itu terjadi,” ucap ibu Dimas sambil mengusap punggung Nirmala yang kini tengah menunjukkan wajah seperti teraniaya.Nirmala yang menunjukkan wajah sedih mengangguk menjawab apa yang ibu Dimas katakan. Mereka berdua kemudian melangkah mengikuti Tuan Wisesa. Sedangkan aku memilih untuk bersembunyi terlebih dahulu, daripada menampakkan batang hidungku di depan mereka. Karena mereka pasti tidak akan menyukainya.“Apa sudah bisa saya mulai?” ucap Tuan Wisesa sambil menatap sekitar.Semua orang yang ada di ruangan ini hanya mengangguk. Aku yang berdiri di pojokan hanya bisa menunduk, hingga Tuan Wisesa kemudian memintaku untuk bergabung bersama dengan mereka semua yang sedang duduk bersama, dan itu membuatku terkejut.“Kemarilah, Cempaka. Tidak perlu takut,” ucap Tuan Wisesa lagi.Semua mata memandangku tidak suka ketika pemilik rumah ini memintaku untuk mendekat, kecuali
Di dalam ruangan di mana aku berdiri saat ini sudah seperti ruang persidangan saja. Karena yang ada di dalam ruangan ini bukan hanya aku dengan Tuan Wisesa saja, tapi juga ada Dimas, Nirmala, Wirya dan beberapa orang lainnya yang tidak aku kenal.“Saya harap tidak ada yang berbicara ketika saya berbicara dengan Cempaka? Bila ada, maka silahkan keluar dari ruangan ini!” tegas Tuan Wisesa menggelegar ke seluruh ruangan.Semua orang yang ada di ruangan ini tidak ada yang menjawab atau membatah pemilik rumah ini. Mereka semua hanya menunduk sebagai tanda mengerti.Setelah itu Wirya dan beberapa orang pengawal yang ada di dalam ruangan ini kemudian keluar dan menutup pintu ruangan ini. Kini tinggal aku dan Keluarga Wisesa saja yang berada di dalam ruang tertutup ini.“Apa kamu tahu Cempaka mengapa saya memanggilmu ke sini?” tanya Tuan Wisesa.“Ti –tidak tahu, Tuan.” Jawabku dengan menunduk.“Kalau b