“Mas Budi!” teriakku spontan.
Aku segera bangkit dari tempat tempat tidur ketika melihat Wirya jatuh di lantai. Hatiku seperti teriris benda tajam begitu melihatnya tidak sadarkan diri seperti saat ini, dan aku langsung memeluknya dan menangis.
“Non Cempaka? Apa yang terjadi?” tanya seorang pria yang baru saja masuk, “Bagaimana anda …,” lanjutnya menjeda apa yang dia katakan setelah melihatku berada di mana Wirya berada.
Aku yang baru saja melepaskan pelukanku dari tubuh Wirya segera memperhatikan kedua kakiku. Sebuah kejadian tidak terduga baru saja aku alami, dan aku tidak tahu bagaimana hal ini bisa terjadi.
“Ini tidak mungkin,” ucapku tidak percaya sambil memegang kedua kakiku. Sedangkan pria yang bertanya kepadaku tadi, dia dan beberapa pria lainnya segera mengangkat dan membaringkan Wirya di tempat tidur Mbok Tumi.
“Non Cempaka, apa anda baik-baik saja?” tanya seorang pelayan
“Tuan Dimas,” gumamku tidak percaya dengan apa yang aku lihat di hadapankuOrang yang berdiri sejak tadi di depan pintu ternyata benar-benar Dimas seperti dugaanku. Pria itu masuk setelah cukup lama berdiri di depan pintu, dan aku tidak tahu mengapa dia bersikap seperti itu. Apakah karena dia terlalu gugup untuk bertemu denganku, atau ada alasan lain yang membuatnya seperti itu. Tapi apapun alasannya, aku sangat bahagia dia sudah kembali dan itu membuatku gugup.“Mas Dimas,” panggil Nilam manja kemudian memeluk pria yang menjadi kakak tertuanya itu, “Kapan mas kembali?” lanjut Nilam setelah melepas pelukannya.Melihat Nilam bersikap manja seperti itu, membuatku iri dan teringat masa lalu. Ketika keluargaku masih baik-baik saja, dan malapetaka itu belum terjadi. Karena aku juga bersikap seperti apa yang Nilam lakukan saat ini bila bersama kakak-kakakkku.Andai saja Wirya mengingat masalalunya dan juga diriku, pasti
“Tenang, Nak Cempaka. Pak Nyoto hanya ingin mengobatimu saja,” ujar Mbok Tumi sambil memegang kedua bahuku.“Tapi benda itu untuk apa, Mbok?” tanyaku panik.“Benda ini untuk memeriksa kaki Non Cempaka. Jadi Non Cempaka tidak perlu takut. Karena benda ini tidak akan melukai kaki Non Cempaka,” jelas tabib.Mendengar penjelasan pria itu, aku tidak tahu harus mempercayainya atau tidak. Tapi Mbok Tumi terlihat tenang saja seperti tahu apa yang akan dilakukan pria itu.“Mbok, tolong pegangi Non Cempaka,” perintah pria tua itu.Tanpa menunggu persetujuanku, Mbok Tumi segera memegang kedua bahuku lebih erat dari sebelumnya, dan aku hanya bisa pasrah menerima apa yang mereka berdua akan lakukan.“Non Cempaka, sekarang saya akan melakukannya. Tapi sebelum itu, tolong pejamkan mata non,” ujar pria tua yang sekarang ada di depan kaki kiriku.“Apa itu harus, Pak?”Bukan
“Siapa di sana?” teriakku ketika melihat bayangan seseorang di depan pintu.Bukannya jawaban yang aku dapatkan, melainkan bayangan itu malah menghilang di balik pintu.“Siapa itu tadi? Apakah itu Dimas?” gumamku.“Ada apa, Nak Cempaka? Kenapa Nak Cempaka berteriak?” tanya Mbok Tumi yang masuk dengan terburu-buru.“Ta –tadi ada orang yang masuk ke kamar ini, Mbok?” jawabku gugup.Mbok Tumi terlihat terkejut ketika aku memberitahunya. Dia lalu melihat keluar pintu dan jendela untuk melihat orang yang aku maksud.“Tidak ada siapa-siapa, Nak Cempaka. Di luar kamar hanya ada penjaga yang menjaga kamar ini, dan mereka mengatakan tidak melihat siapa-siapa keluar dari kamar ini sejak mbok dan Non Nilam keluar dari kamar ini,” jelas Mbok Tumi.“Tidak mungkin, Mbok. Tadi saya lihat sendiri ada bayangan di depan pintu ketika saya baru saja bangun. Bahkan dia juga …,&r
“Ada apa, Nak Cempaka?” tanya Mbok Tumi terdengar binggung.“Itu, Mbok. Ada Sri di sana,” jawabku sambil menunjuk di mana Sri berada tadi.Mbok Tumi yang tadinya membantuku berdiri bersama dengan Pak Nyoto segera menoleh ke arah yang aku tunjuk. Ternyata Sri sudah tidak ada di sana.“Tidak ada siapa-siapa di sana, Nak Cempaka. Mungkin tadi Nak Cempaka salah lihat,” ujar Mbok Tumi.“Tidak, Mbok. Saya tidak salah lihat. Tadi Sri berdiri di sana melihatku,” terangku meyakinkan wanita tua itu.Mbok Tumi yang sepertinya masih tidak percaya aku melihat Sri kemudian melangkah keluar dari kamar ini. Begitu dia kembali, aku langsung bertanya kepadanya tentang keberadaan Sri.“Ayo kita teruskan saja latihannya, Nak Cempaka.” Jawab Mbok Tumi mengalihkan Mbok Tumi.“Tapi, Mbok. Sa—,” protesku.“Pak, tolong dibantu lagi latihannya Nak Cempaka,” sela Mb
“Mbok tidak akan mengizinkan!” tegas Mbok Tumi.“Tapi, Mbok. Bukankah tadi mbok sudah berjanji kepada saya akan mengabulkan permintaan saya. Kenapa sekarang mbok mengingkarinya,” protesku sambil memasang wajah kecewa.Wanita tua yang terlihat marah itu terlihat binggung ketika aku mengatakan hal itu. Namun dia segera mengeluarkan kalimat pamungkasnya.Dia mengatakan akan menanyakan hal itu terlebih dahulu pada Dimas bila Dimas sudah kembali. Karena aku bukan pelayan biasa seperti yang lainnya, melainkan pelayan Dimas.“Apa itu harus, Mbok?”“Harus! Bahkan bila perlu kita ingin bernapas di tempat ini, kita harus meminta izin darinya,” jawab Mbok Tumi dengan penuh penekanan.Kata-kata Mbok Tumi benar-benar membuatku sangat kecewa, dan aku tidak tahu bagaimana harus membujuknya lagi agar dia mengizinkanku untuk kembali bekerja.“Mbok, kalau saya memang tidak boleh kembali bekerja. Apa
“Ternyata kamu sudah bangun, Cempaka.” Tegur seseorang mengejutkanku.Aku yang masih terkejut dengan apa yang baru aku alami, kini dibuat terkejut kembali untuk kedua kalinya. Aku kemudian mengedarkan pandanganku ke arah orang yang sudah menegurku. Ternyata yang baru saja menegurku adalah orang yang sudah lama tidak aku temui.“Tu –Tuan Dimas,” ucapku dengan mata melebar.Melihat Dimas berjalan menuju ke arahku, membuatku membeku. Bahkan jantungku juga ikut-ikutan tidak bisa aku kendalikan ketika melihat wajah Dimas yang sudah lama tidak aku lihat.Sesak dan ingin lari dari tempat ini, itu yang aku alami saat ini. Karena hatiku rasanya tidak karuan dan pikiranku benar-benar kosong tidak bisa memikirkan apa-apa lagi.“Ada apa, Cempaka? Apa kamu terkejut?” tanya Dimas sambil menunduk dan mendekatkan wajahnya kepadaku.Aku yang tidak ingin Dimas mendengar suara jantungku yang berdetak sangat kencang saat ini, memilih untuk mundur dari tempatku berada sebelumnya. Karena akan sangat memalu
“Nirmala?” ucap Dimas terlihat terkejut, “Bagaimana kamu bisa ada di sini?” lanjutnya.Melihat Nirmala ada di sini, aku yang tadinya merasa tegang menunggu jawaban Dimas, kini sedikit lebih tenang. Hanya saja kini rasa tidak nyaman mulai menghinggapiku. Karena wanita angkuh yang baru saja datang menemui kami menatapku dengan tatapan penuh kebencian seperti biasanya.“Maaf, Tuan Dimas. Saya permisi dulu,” pamitku menghindari masalah dengan Nirmala.“Tidak, Cempaka. Tetap di sini dan jangan pergi ke mana-mana,” cegah Dimas begitu aku baru akan melangkahkan kaki.“Apa yang kamu lakukan, Dimas!” bentak Nirmala sambil mendekati kami dengan wajah memerah, “Dia itu hanya pelayan. Jadi untuk apa kamu mencegahnya pergi,” lanjutnya sambil sesekali melirikku.“Nirmala!” bentak Dimas dengan raut wajah memerah dan mengepalkan tangannya.Bentakan Dimas ke Nirmala mampu mem
“Mana wanita yang bernama Cempaka? Cepat panggilkan dia!” teriak seseorang lagi.“Mbok itu siapa?” tanyaku sedikit takut.“Biar mbok melihatnya, Nak Cempaka. Nak Cempaka di sini saja dan jangan kelur dari sini,” jawab Mbok Tumi, dan aku pun mengangguk.Mbok Tumi segera keluar ketika mendengar suara teriakan yang memanggilku lagi. Suara seseorang yang sepertinya suara seorang pria. Tapi siapa orang itu? Dan mengapa dia memanggilku dengan berteriak-teriak seperti orang yang kesetanan?Suara teriakan orang itu terus saja terdengar. Bahkan dinding bangunan yang aku tempati saat ini seperti ikut bergetar bersamaan dengan suara teriakan orang tersebut, dan semakin lama teriakan orang itu semakin tidak terkendali.“Apa yang harus aku lakukan?” gumamku bimbang memikirkan apa yang harus aku lakukan, “Keluar saja atau tetap di sini seperti pengecut?” lanjutku sambil berjalan mondar-mandir.Aku yang merasa tidak memiliki masalah dengan orang lain, akhirnya memutuskan untuk menemui orang itu. Aku