“Cempaka, apakah itu su –suara harimau?” tanya Sri dengan wajah ketakutan dan menggenggam tanganku erat.“Aku tidak tahu, Sri. Sekarang lebih baik kita segera pergi dari sini,” jawabku berbohong.Aku yang juga sama ketakutannya dengan Sri karena mendengar suara harimau, akhirnya mencari sebuah batang pohon yang ada di sekitarku. Begitu menemukannya aku lalu membawanya dan melanjutkan perjalanan kami.Tapi baru saja kami melangkah lagi suara harimau itu terdengar lagi, sehingga aku lalu mempercepat langkah kami.“Cempaka, bagaimana bila harimau itu mengejar kita?” tanya Sri dengan tubuh gemetaran.“Tetap jalan dan jangan berhenti, Sri. Satu hal lagi, jangan banyak berbicara,” jawabku, dan Sri mengangguk.Aku dan Sri meneruskan perjalanan kami secepat mungkin, dan suara harimau itu masih saja terdengar. Bahkan sekarang suara itu semakin dekat, dan itu membuat kami berdua semakin takut.
Mendengar suara teriakan seorang pria, membuatku dan Sri segera bersembunyi. Karena aku sangat takut sekali mereka akan menemukan dan menangkap kami. Walaupun aku tidak tahu mereka itu siapa. Apakah mereka termasuk orang-orang dari perkampungan di mana Jaka tinggal atau dari perkampungan yang lain dari hutan ini.“Bagaimana? Apa kalian berhasil menangkap mereka?” tanya seorang pria yang menunggangi kuda putih.“Maaf, Tuan Muda. Kami hanya berhasil menangkap satu saja,” jawab seorang pria yang sepertinya bawahan pria berkuda putih.“Tidak apa-apa, yang penting kita pulang tidak dengan tangan kosong. Kalau begitu kita pergi ke sebelah timur untuk mencari hewan buruan lain sebelum kembali,” perintah pria berkuda putih.Krak!“Siapa di sana?” teriak pria bertubuh tinggi yang berada di bawah pria berkuda putih.“Kalian berempat menyebar, dan cari siapa yang berada di sana!” perintah pria bertubuh tinggi pada empat pria yang baru saja datang.Empat pria yang diperintah itu kemudian menyebar
Melihat pria itu mengarahkan senjatanya dan meminta kami diam membuatku dan Sri ketakutan. Karena apa yang aku takutkan sepertinya akan menjadi nyata.Kami baru saja keluar dari kandang macan dan sekarang sepertinya masuk ke kandang buaya, dan pria yang ada di depan kami saat ini sepertinya akan membunuh kami berdua di tempat ini.“Tuan Muda,” panggil bawahan pria yang ada di depan kami.“Biar aku yang menangani dan membunuhnya!” cegah pria yang dipanggil tuan muda.Deg!Beberapa pria yang mendekati tuannya itu pun lalu mundur begitu mendengar perintah tuannya, dan itu membuatku dan Sri semakin takut. Karena pria yang ada di depan kami saat ini terlihat menatap kami tajam dengan wajah yang tidak bersahabat.“Kalian berdua tetap diam dan jangan bergerak bila tidak ingin celaka!” perintah pria itu ketika aku akan bangkit untuk melawan pria yang akan membunuh kami itu. Tapi aku lalu mengurungkan niatku ketika dia berkata seperti itu dan mengarahkan senjatanya lebih dekat kepadaku.Meliha
Pria itu bukannya langsung menjawab pertanyaanku tapi dia malah tersenyum, dan itu membuatku semakin binggung dan ingin tahu siapa dia sebenarnya.“Kalian bisa memanggilku Dimas,” ucapnya setelah beberapa lama diam.“Dimas,” ucapku dan Sri bersamaan.Dimas, entah mengapa nama itu terdengar tidak asing bagiku. Bahkan raut wajahnya pun aku seperti pernah melihatnya. Entah ini hanya kebetulan saja atau aku memang pernah bertemu dengannya. Tapi di mana aku pernah bertemu dengan pria itu?“Cempaka, ada apa? Mengapa kamu melamun?” tegur Sri membubarkan lamunanku.“Siapa yang melamun, Sri. Aku hanya, hanya …,” jawabku binggung harus menjawab apa, dan yang bisa aku lakukan hanya tersenyum karena aku tidak bisa meneruskan kata-kataku.Sri dan Dimas menatapku dengan tatapan yang aneh, dan itu membuatku semakin terpojok dan tidak bisa berbuat apa-apa.’“Tuan Dimas, anda sudah dat
“Ma –Mas Budi?” ucapku tidak percaya sambil menatap pria itu tanpa berkedip.“Mas Budi? Siapa itu Mas Budi, Cempaka?” tanya Sri yang terdengar di telingaku.Terkejut dan tidak percaya, itulah yang aku rasakan saat ini. Hingga aku mengabaikan apa yang Sri tanyakan, dan melangkah menuju pria yang sudah sejak lama aku rindukan itu.“Mas Budi,” ucapku sambil memperhatikan pria di depanku itu dengan mata berkaca-kaca, dan tak lama aku langsung memeluknya karena aku sudah tidak bisa membendung rasa rinduku lagi.Bahkan, air mataku tanpa aku sadari juga ikut tumpah ketika aku memeluknya dan aku tidak memperdulikan lagi orang-orang yang melihat kami.“Maaf, Nona. Bisakah nona melepaskan saya,” ucap Mas Budi sopan.Aku yang masih belum mau melepaskan masku itu terus saja memeluknya, hingga sebuah tangan tiba-tiba memegang bahuku.“Cempaka, lepaskan dia,” ucap seseorang di belaka
“Nirmala?” ucap Dimas lirih sambil menatap wanita yang sedang berdiri di depan pintu.Wanita yang mengejutkan kami itu lalu melangkah masuk menghampiri aku dan Dimas dengan wajah memerah, dan aku tidak tahu siapa wanita itu. Tapi bila aku dengar dari apa yang Dimas katakan tadi, sepertinya wanita itu bernama Nirmala.“Siapa dia, Dimas? Mengapa kalian berdua ada di ruangan ini?” tanya wanita yang bernama Nirmala.“Dia Cempaka, Nirmala. Dia tamuku,” jawab Dimas dengan raut wajah yang tidak bisa aku artikan.Wanita itu lalu memperhatikanku dari atas hingga ke bawah begitu melihatku, dan terlihat sekali dia sepertinya tidak suka kepadaku.“Tamu? Apa kamu yakin dia itu tamumu, Dimas. Dia seperti …,” ejek Nirmala menjeda kalimatnya sambil menatapku tidak suka, “Pe-la-yan!” lanjutnya.“Nirmala!” bentak Dimas dengan wajah memerah.“Di –Dimas,” ucap Nirmala terlihat terkejut, dan wanita itu lalu pergi dengan wajah yang terlihat marah.“Maafkan Nirmala, Cempaka. Dia memang seperti itu dan selal
Byurrr!“Cepat bangun!” teriak seseorang kepadaku.Aku yang tidak tahu sejak kapan aku tidak sadarkan diri kemudian berusaha membuka mataku yang terasa berat. Ketika mataku sudah terbuka sempurna, aku sangat terkejut melihat sosok seseorang yang berdiri di depanku.“Apa kamu masih ingat denganku, Pe-la-yan?” ucap Nirmala dengan nada yang terdengar ketus.Aku yang masih terkejut hanya menatap wanita itu. Karena untuk berbicara saja aku tidak bisa, karena mulutku di tutup dengan kain dan tanganku di ikat.Wanita itu lalu mendekatiku dan memegang wajahku dengan kasar dan menatapku penuh dengan kebencian.“Bagaimana rasanya di sekap seperti ini, Cempaka? Ups, maksudku Pelayan Cempaka?” ucap wanita itu sambil memegang daguku dengan kasar dan itu terasa sangat sakit, “Lepaskan kain penutup mulutnya,” lanjutnya memberi pada pria yang berada di belakangku.Kain yang menutupi mulutku akhirnya dib
“Jaka,” ucap Sri lirih sambil menatap pria yang sedang berdiri di depan kami.Aku dan Sri yang masih bersembunyi di balik pohon hanya diam melihat pria yang ada di hadapan kami. Karena aku tidak menyangka akan bertemu dengan Jaka di hutan ini.“Sri, tunggu!” cegahku ketika Sri akan keluar dari tempat persembunyian kami dan menemui Jaka.“Tapi, Cempaka.”“Sri, dengarkan aku. Aku tahu kamu mencintai Jaka, tapi kamu juga tidak boleh bertindak bodoh sampai membahayakan nyawamu. Bagaimana bila jaga datang bersama orang-orang dari perkampungan itu?” jelasku.“Tapi, Cempaka. Kamu lihat sendiri, Jaka datang seorang diri ke tempat ini, tidak bersama orang-orang dari perkampungan itu. Jadi bagaimana mungkin dia akan membahayakanku?”Rasanya sia-sia aku berbicara dengan Sri. Karena Sri sudah benar-benar di mabuk cinta sehingga dia tidak bisa berpikir jernih tentang situasi saat ini, dan yang ada dipikirannya sekarang adalah bertemu dengan Jaka, kekasih hatinya.Karena tidak ingin kami celaka, ak
“Seperti apa yang saya katakan sebelumnya, Cempaka. Bila kamu melewati pintu itu, maka kamu harus memilih. Kamu atau masmu yang akan hidup?” jawab Tuan Wisesa mengulangi pertanyaannya.“Ayah—,” ucap Dimas. Namun ayahnya segera menghentikannya dengan memberi isyarat.“Apa saya harus melakukannya, Tuan?” tanyaku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar.Pertanyaan yang Tuan Wisesa berikan benar-benar di luar dari perkiraanku. Bagaimana bisa dia bertanya seperti itu ketika Mas Budi atau Wirya tidak sadarkan diri. Apakah ini ada hubungannya dengan Pangeran Dayu?“Harus! Karena hanya itu saja yang bisa saya lakukan untuk meneruskan keturunan kalian,” tegas Tuan Wisesa membuatku tidak bisa berpikir.“Ma –maksud, Tuan?”“Ketika saya memutuskan untuk menyelamatkan kalian, ada hal yang harus digantikan untuk mengakhiri penjanjian terlarang itu, dan ayahmu s
“Cukup, Yah! Jangan—,” cegah ibu Dimas menghentikan suaminya. Namun Tuan Wisesa langsung menghentikan tindakan istrinya dengan memberi isyarat tangan.Ibu Dimas yang tadinya seperti menentang suaminya langsung terdiam begitu suaminya memberi tanda. Wanita itu seperti tidak berdaya bila suaminya seperti itu.“Jangan ada yang berani berbicara atau menyela apa yang saya katakan lagi. Bila tidak, jangan salahkan saya bila kalian tidak bisa berbicara lagi setelah itu!” ancam Tuan Wisesa.Mendengar ancaman Tuan Wisesa semua orang terlihat takut, termasuk aku. Tapi aku juga ragu apakah ancaman dari pemilik rumah ini benar-benar akan menjadi nyata atau tidak bila ada orang yang melanggarnya. Bila itu benar terjadi, itu artinya Tuan Wisesa bukan hanya kaya raya, tapi dia juga bukan orang biasa.“Cempaka, Wirya, saya tahu ini akan mengejutkan kalian berdua. Tapi ini adalah kebenarannya, dan kalian berhak tahu semua ini. Kalian be
“Iya, bukti. Tanpa bukti kalian tidak bisa menuduh keponakankan melakukan hal yang kalian tuduhkan,” ujar ibu Dimas dengan lantang.Semua orang hanya diam ketika ibu Dimas berkata seperti itu. Namun ayah Nirmala tiba-tiba mendekati istri Tuan Wisesa itu, dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan menunjukkan bukti yang dia minta.Tegang dan bertanya-tanya, mungkin itu yang ada dalam pikiran beberapa orang yang ada di sini, termasuk aku. Hal itu terlihat dari raut wajah mereka ketika melihat perdebatan antara kakak beradik itu.“Bukti itu ada di sini dan saya akan mengatakannya di depan kalian semua,” ujar ayah Nirmala tak kalah lantang dengan ibu Dimas.Ketegangan semakin terasa ketika ayah Nirmala mengatakan hal itu. Pria itu diam sejenak sambil menatap keluarganya, terutama kedua anaknya. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini, yang pasti itu bukan sesuatu yang mudah, dan itu terlihat sekali dari sorot matanya yang menampakkan k
Aku yang masih membeku kemudian berbalik dan menatap semua orang yang ada di dalam ruangan ini. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan, dan itu membuatku sangat tidak nyaman.“Mas Wisesa, apa maksud mas? Memangnya siapa Cempaka itu? Dan apa hubungannya dengan semua ini?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.Tuan Wisesa bukannya menjawab pertanyaan adik iparnya, tapi dia malah menatapku dan mendekatiku. Ayah Dimas itu lalu mengajakku untuk kembali ke tempatku semula dan dia mengenalkanku kepada kedua orang tua Nirmala bukan sebagai pelayan rumah ini. Melainkan sebagai wanita yang seharusnya memang menikah dengan Dimas.Mendengar hal itu membuatku sangat terkejut. Bukan hanya aku, tapi semua orang yang ada di ruangan ini. Bahkan aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar berusaha untuk memahami itu semua, tapi aku tetap tidak mengerti.“Apa maksud Mas Wisesa?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.“Apa
“Ayah, tidak usah membahas hal ini lagi. Nirmala sudah menerima keputusan Dimas. Jadi kita tidak perlu memperpanjang masalah ini,” ujar Nirmala masih sambil berdiri dan menatap kami semua secara bergantian.“Nirmala, apa maksudmu nak? Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Bukankah kamu ingin menjadi istri Dimas?” tanya ibu Nirmala terlihat heran.Bukan ibu Nirmala saja yang dibuat heran dan binggung, tapi kami semua yang ada di sini. Bagaimana bisa dia mengatakan menerima keputusan Dimas dengan semudah itu. Mencurigakan!“Benar Nirmala ingin menjadi istri Dimas. Tapi …,” Nirmala menggantung jwabannya dan menatapku sesaat, “Dimas tidak mencintai Nirmala, Bu. Dimas mencintai Cempaka, wanita yang duduk di samping Dimas saat ini,” lanjut Nirmala.“A –apa? Maksudmu pelayan wanita itu, Nirmala?” ucap ibu Nirmala terlihat terkejut.“Bulek!” bentak Dimas tiba-tiba
“A –ayah,” ucap Birawa terlihat terkejut.Pria yang baru saja datang itu terlihat sama terkejutnya seperti Birawa. Wajahnya yang hampir mirip dengan istri Tuan Wisesa tampak dingin menatap putranya itu, dan tak lama seorang wanita tiba-tiba muncul di belakang pria yang masih berdiri di depan pintu menatap dingin Birawa.“Birawa, kamu di sini nak?” ucap wanita tua itu dengan wajah yang tidak bisa aku artikan.Tapi wanita itu tidak bersikap dingin seperti ayah Birawa yang masih saja membeku. Wanita itu kemudian melangkah untuk mendekati Birawa. Namun pria yang bergelar ayah Birawa segera menahannya.“Ingat tujuan kita datang kemari!” tegas ayah Birawa sambil melirik wanita yang sepertinya istrinya.“Itu orang tua Nirlama dan Birawa,” bisik Damar tanpa aku tanya.Aku yang sudah menduga hal itu hanya diam, dan tidak menanggapi apa yang adik Dimas itu katakan. Walaupun awalnya aku cukup terkej
Aku dan semua orang yang ada di tempat ini langsung menoleh ke arah sumber suara yang sudah mengejutkan kami. Nirmala berdiri dengan raut wajah sangat marah menatap Dimas hingga guratan otot di lehernya terlihat dengan jelas.“Kembali ke kursimu, Nirmala!” bentak Tuan Wisesa tak kalah nyaringnya dengan apa yang Nirmala lakukan. Bahkan aku saja sampai takut mendengarnya.Tapi wanita itu masih saja berdiri dan mengabaikan apa yang Tuan Wisesa katakan. Bahkan ibu Dimas yang duduk di sampingnya sampai berdiri untuk menenangkannya. Namun wanita itu masih saja tidak mau duduk sambil menatapku dan Dimas secara bergantian seperti akan menerkam kami.“Dengar, Dimas. Aku tidak menerima ini semua. Aku mencintaimu, dan hanya aku yang pantas menjadi istrimu!” tegas Nirmala.“Nirmala!” bentak Dimas yang kini berdiri dengan wajah memerah.Melihat perseteruan antara Dimas dan Nirmala membuat suasana ruangan ini mencekam. Hal ini
“Tenang saja Nirmala, semua akan baik-baik saja. Kamu akan menikah dengan Dimas, dan bude sendiri yang akan membuat hal itu terjadi,” ucap ibu Dimas sambil mengusap punggung Nirmala yang kini tengah menunjukkan wajah seperti teraniaya.Nirmala yang menunjukkan wajah sedih mengangguk menjawab apa yang ibu Dimas katakan. Mereka berdua kemudian melangkah mengikuti Tuan Wisesa. Sedangkan aku memilih untuk bersembunyi terlebih dahulu, daripada menampakkan batang hidungku di depan mereka. Karena mereka pasti tidak akan menyukainya.“Apa sudah bisa saya mulai?” ucap Tuan Wisesa sambil menatap sekitar.Semua orang yang ada di ruangan ini hanya mengangguk. Aku yang berdiri di pojokan hanya bisa menunduk, hingga Tuan Wisesa kemudian memintaku untuk bergabung bersama dengan mereka semua yang sedang duduk bersama, dan itu membuatku terkejut.“Kemarilah, Cempaka. Tidak perlu takut,” ucap Tuan Wisesa lagi.Semua mata memandangku tidak suka ketika pemilik rumah ini memintaku untuk mendekat, kecuali
Di dalam ruangan di mana aku berdiri saat ini sudah seperti ruang persidangan saja. Karena yang ada di dalam ruangan ini bukan hanya aku dengan Tuan Wisesa saja, tapi juga ada Dimas, Nirmala, Wirya dan beberapa orang lainnya yang tidak aku kenal.“Saya harap tidak ada yang berbicara ketika saya berbicara dengan Cempaka? Bila ada, maka silahkan keluar dari ruangan ini!” tegas Tuan Wisesa menggelegar ke seluruh ruangan.Semua orang yang ada di ruangan ini tidak ada yang menjawab atau membatah pemilik rumah ini. Mereka semua hanya menunduk sebagai tanda mengerti.Setelah itu Wirya dan beberapa orang pengawal yang ada di dalam ruangan ini kemudian keluar dan menutup pintu ruangan ini. Kini tinggal aku dan Keluarga Wisesa saja yang berada di dalam ruang tertutup ini.“Apa kamu tahu Cempaka mengapa saya memanggilmu ke sini?” tanya Tuan Wisesa.“Ti –tidak tahu, Tuan.” Jawabku dengan menunduk.“Kalau b