Pria itu bukannya langsung menjawab pertanyaanku tapi dia malah tersenyum, dan itu membuatku semakin binggung dan ingin tahu siapa dia sebenarnya.“Kalian bisa memanggilku Dimas,” ucapnya setelah beberapa lama diam.“Dimas,” ucapku dan Sri bersamaan.Dimas, entah mengapa nama itu terdengar tidak asing bagiku. Bahkan raut wajahnya pun aku seperti pernah melihatnya. Entah ini hanya kebetulan saja atau aku memang pernah bertemu dengannya. Tapi di mana aku pernah bertemu dengan pria itu?“Cempaka, ada apa? Mengapa kamu melamun?” tegur Sri membubarkan lamunanku.“Siapa yang melamun, Sri. Aku hanya, hanya …,” jawabku binggung harus menjawab apa, dan yang bisa aku lakukan hanya tersenyum karena aku tidak bisa meneruskan kata-kataku.Sri dan Dimas menatapku dengan tatapan yang aneh, dan itu membuatku semakin terpojok dan tidak bisa berbuat apa-apa.’“Tuan Dimas, anda sudah dat
“Ma –Mas Budi?” ucapku tidak percaya sambil menatap pria itu tanpa berkedip.“Mas Budi? Siapa itu Mas Budi, Cempaka?” tanya Sri yang terdengar di telingaku.Terkejut dan tidak percaya, itulah yang aku rasakan saat ini. Hingga aku mengabaikan apa yang Sri tanyakan, dan melangkah menuju pria yang sudah sejak lama aku rindukan itu.“Mas Budi,” ucapku sambil memperhatikan pria di depanku itu dengan mata berkaca-kaca, dan tak lama aku langsung memeluknya karena aku sudah tidak bisa membendung rasa rinduku lagi.Bahkan, air mataku tanpa aku sadari juga ikut tumpah ketika aku memeluknya dan aku tidak memperdulikan lagi orang-orang yang melihat kami.“Maaf, Nona. Bisakah nona melepaskan saya,” ucap Mas Budi sopan.Aku yang masih belum mau melepaskan masku itu terus saja memeluknya, hingga sebuah tangan tiba-tiba memegang bahuku.“Cempaka, lepaskan dia,” ucap seseorang di belaka
“Nirmala?” ucap Dimas lirih sambil menatap wanita yang sedang berdiri di depan pintu.Wanita yang mengejutkan kami itu lalu melangkah masuk menghampiri aku dan Dimas dengan wajah memerah, dan aku tidak tahu siapa wanita itu. Tapi bila aku dengar dari apa yang Dimas katakan tadi, sepertinya wanita itu bernama Nirmala.“Siapa dia, Dimas? Mengapa kalian berdua ada di ruangan ini?” tanya wanita yang bernama Nirmala.“Dia Cempaka, Nirmala. Dia tamuku,” jawab Dimas dengan raut wajah yang tidak bisa aku artikan.Wanita itu lalu memperhatikanku dari atas hingga ke bawah begitu melihatku, dan terlihat sekali dia sepertinya tidak suka kepadaku.“Tamu? Apa kamu yakin dia itu tamumu, Dimas. Dia seperti …,” ejek Nirmala menjeda kalimatnya sambil menatapku tidak suka, “Pe-la-yan!” lanjutnya.“Nirmala!” bentak Dimas dengan wajah memerah.“Di –Dimas,” ucap Nirmala terlihat terkejut, dan wanita itu lalu pergi dengan wajah yang terlihat marah.“Maafkan Nirmala, Cempaka. Dia memang seperti itu dan selal
Byurrr!“Cepat bangun!” teriak seseorang kepadaku.Aku yang tidak tahu sejak kapan aku tidak sadarkan diri kemudian berusaha membuka mataku yang terasa berat. Ketika mataku sudah terbuka sempurna, aku sangat terkejut melihat sosok seseorang yang berdiri di depanku.“Apa kamu masih ingat denganku, Pe-la-yan?” ucap Nirmala dengan nada yang terdengar ketus.Aku yang masih terkejut hanya menatap wanita itu. Karena untuk berbicara saja aku tidak bisa, karena mulutku di tutup dengan kain dan tanganku di ikat.Wanita itu lalu mendekatiku dan memegang wajahku dengan kasar dan menatapku penuh dengan kebencian.“Bagaimana rasanya di sekap seperti ini, Cempaka? Ups, maksudku Pelayan Cempaka?” ucap wanita itu sambil memegang daguku dengan kasar dan itu terasa sangat sakit, “Lepaskan kain penutup mulutnya,” lanjutnya memberi pada pria yang berada di belakangku.Kain yang menutupi mulutku akhirnya dib
“Jaka,” ucap Sri lirih sambil menatap pria yang sedang berdiri di depan kami.Aku dan Sri yang masih bersembunyi di balik pohon hanya diam melihat pria yang ada di hadapan kami. Karena aku tidak menyangka akan bertemu dengan Jaka di hutan ini.“Sri, tunggu!” cegahku ketika Sri akan keluar dari tempat persembunyian kami dan menemui Jaka.“Tapi, Cempaka.”“Sri, dengarkan aku. Aku tahu kamu mencintai Jaka, tapi kamu juga tidak boleh bertindak bodoh sampai membahayakan nyawamu. Bagaimana bila jaga datang bersama orang-orang dari perkampungan itu?” jelasku.“Tapi, Cempaka. Kamu lihat sendiri, Jaka datang seorang diri ke tempat ini, tidak bersama orang-orang dari perkampungan itu. Jadi bagaimana mungkin dia akan membahayakanku?”Rasanya sia-sia aku berbicara dengan Sri. Karena Sri sudah benar-benar di mabuk cinta sehingga dia tidak bisa berpikir jernih tentang situasi saat ini, dan yang ada dipikirannya sekarang adalah bertemu dengan Jaka, kekasih hatinya.Karena tidak ingin kami celaka, ak
Aku yang mengerti dengan maksud Sri, kemudian segera mengajak Sri untuk bersembunyi. Karena bila kami sampai tertangkap meraka, maka hal itu bisa membahayakan kami berdua. Apalagi bila orang-orang itu adalah orang-orang dari perkampungan Jaka, maka kami bisa saja dijadikan tumbal dalam ritual mereka.“Cempaka, mengapa aku merasa seperti pernah melihat orang-orang ini. Apakah mereka itu dari—,” bisik Sri sambil memperhatikan orang yang sedang kami awasi.Aku langsung membungkam mulut Sri ketika melihat orang-orang yang sedang kami awasi mendekati tempat persembunyian kamia. Karena bila mereka sampai mendengar apa yang kami bicarakan, maka mereka akan menemukan kami berdua.“Bagaimana? Apa kalian menemukan sesuatu?” teriak seorang pria yang suaranya seperti aku kenal.“Tidak, Tuan. Kami tidak menemukan apapun di sini,” teriak pria yang tadi hampir saja menemukan kami.Pria yang ada di depan kami itu kemudian
Sri yang tadinya sudah akan mengikuti Tuan Dimas kemudian berbalik ketika melihatku masih diam di tempatku tanpa bisa meneruskan kata-kataku, dan itu membuat semua orang akhirnya menoleh ke arahku.“Ada apa denganmu, Cempaka? Apa kamu tidak bisa berjalan atau kamu sakit?” tanya Sri terlihat khawatir.“Aku … aku tidak akan ikut dengan kalian!” jawabku.Sri dan semua orang yang mendengarku terlihat terkejut. Tapi ini adalah keputusanku, dan aku tidak ingin kembali ke rumah keluarga Wisesa.“Apa maksud kata-katamu itu, Cempaka? Apa maksudmu kamu tidak ingin kita kembali ke rumah Tuan Dimas?” tanya Sri dengan wajah heran.“Bukan begitu, Sri. Aku, aku—,” jawabku binggung menjelaskan.“Aku apa, Cempaka?”Entah mengapa aku seperti seorang penjahat saat ini. Karena semua mata tertuju kepadaku, dan aku tidak bisa menjelaskan kepada mereka alasanku menolak kembali ke rumah keluarga Wisesa lagi.“Apa alasanmu tidak ingin kembali ke rumahku, Cempaka?” ucap Dimas tiba-tiba, dan itu membuatku terte
Aku dan Nirmala lalu menoleh ke arah sumber suara yang mengejutkan kami. Sosok pria bertubuh tinggi bertubuh tegap sedang berjalan menghampiri kami, dan wajah mengembang senyum yang membuatnya terlihat tampan.“Damar,” ucap Nirmala.“Apa kabar, Nirmala. Lama tidak kita tidak berjumpa,” ucap pria yang kini ada di hadapanku dan Nirmala.“Iya, Damar. Lama sekali, tapi sejak kapan kamu datang?”Melihat pembicaraan dua orang yang baru bertemu aku lalu undur diri, tapi pria itu malah menahanku.“Kamu siapa? Apa kamu pelayan baru di rumah ini?” tanya Damar.“Iya, Damar. Dia pelayan baru di rumah ini, dan aku sedang mengajarinya,” sela Nirmala.“Apa yang baru saja kamu katakan, Nirmala? Mengajarinya?”Damar kemudian tertawa setelah mengatakan hal itu, dan itu membuat wajah Nirmala menjadi cemberut, tapi Damar masih saja tertawa dan itu membuat Nirmala kemudian berb