Mila memutar mi di dalam mangkuk bakso, lalu masukkan dalam mulutnya sampai penuh. Satria sampai takjub melihat nafsu makan gadis yang sedang emosi itu. Kurang pedas, Mila tambahkan cabai satu sendok, kurang, ia ingin tambahkan lagi tetapi mangkuk cabai itu diambil alih oleh Satria. “Nanti sakit perut, Tuan Putri. Jangan terlalu diikutin kalau lagi marah,” ucap pria di depan Mila, ia kemudian menyodorkan segelas air putih hangat ketika gadis tersebut mulai kepedasan. “Biar keluar semua keringat dan semua amarah, juga semua kenangan. Mila nggak mau hidup ada beban atau air mata atau hutang ini itu sama orang lain,” jawab Mila sambil memakan satu buah bakso langsung ke dalam mulutnya. Satria hanya tersenyum saja, justru tuan putri terlihat lucu ketika makan seperti orang kesurupan, bahkan masih tambah satu mangkuk lagi. Tak lupa pula ia membungkus untuk mama dan adiknya. “Pelan-pelan, Tuan Putri.” Satria menyodorkan tisu. Nyaris saja ia yang membersihkan noda kuah di tepi bibir Mila,
Amel kembali bangun di pagi buta. Ia sholat dulu baru mengemas dirinya. Wanita itu menahan batuk yang semakin menjadi, sudah tiga hari sejak kenyataan pahit terkuak rasa-rasanya fisik wanita itu semakin tak kuat, padahal ia belumlah berusia setengah abad. Ia tahan batuk semampunya, lalu mengambil kunci motor. Ia akan ke pasar untuk mulai lagi menjual nasi di warung sederhananya. “Mama mau ke mana?” tanya Mila yang baru bangun. “Ke pasar, mau jualan lagi hari ini. Kamu urus Fathan, ya, nanti pas Mama pulang dari pasar bisa antar dia sekolah,” jawab Amel. “Nggak, nggak boleh. Jangan jualan lagi, Ma. Biar Mila aja yang cari kerja baru di luar nanti.” Gadis itu menahan tangan mamanya. Ia sudah telanjur senang melihat mamanya hanya mengurus rumah saja dan tak perlu bersusah payah jualan. “Nggak usah, ah. Mama masih kuat, kok, lagian bosan juga bengong di rumah nggak ada kerjaan. Mama pergi dulu, ya.” Amel meraih kunci yang tergantung di paku. Mila ingin ikut, tapi ia harus mengurus adi
Dika sampai di rumah sakit, ia tak peduli lagi walau Sinta marah dengannya atau tidak. Yang jelas ia tak mau melihat Amel menderita, titik, tanpa bantahan lagi. Dari luar ia lihat Mila ditutupi selimut oleh Satria. Pria itu keluar, ia tahu seseorang telah datang. “Bagaiamana, Satria, keduanya?” Dika tak sabar ingin tahu. “Ibu Amel, sakitnya udah lama didiamkan seharusnya rutin konsumsi obat, jadi ya seperti ini. Terus Mila masih menangis, ngantuk baru berhenti.” Satria menjawab pertanyaan lelaki itu. “Kamu masih menjaga anak saya, walau udah berhenti kerja. Apa ada yang lain di antara kalian? Saya papanya, saya berhak tahu.” “Iya, seperti itulah, saya menjaga Amel walau nggak ada bayaran. Rencananya seumur hidup kalau memang berjodoh.” Terang benderang perasaan Satria bagai matahari yang bersinar.“Kalau memang jodoh saya minta kamu tidak bersikap pengecut seperti saya. Karena berada dalam tekanan Mama saya menelantarkan keduanya. Lucunya lagi, Mila memaafkan mama saya, tapi tidak
Bagian 26 Tenang dan Damai Peralatan di tubuh Amel telah dilepaskan, begitu juga dengan kondisinya yang semakin membaik. Wanita tersebut bahkan sudah keluar dari ruang ICU, ia dirawat di kamar VVIP. Meski demikian tak banyak orang yang boleh menunggunya. Mila merawat mamanya sangat telaten, ia di sana dan hanya saat mengurus adiknya saja baru pergi. Amel dapat merasakan napasnya sedikit lebih lega daripada beberapa hari lalu. Obat-obatan yang diberikan dokter juga selalu rutin diminum. Amel masih belum boleh pulang karena harus menjalani observasi. Dika ingin masuk, tapi dengan mantan istrinya menolak. Bagi wanita itu ia sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Hanya sebatas urusan dengan Mila saja. Amel sadar, tubuhnya yang kini rapuh tak akan bisa menjaga Mila terus-terusan. “Ma, Mila pergi jemput Fathan dulu, ya. Mama sendirian di sini, nggak apa-apa, kan? Nanti kalau sakit atau kenapa, tekan ini, perawat pasti datang, kok,” ujar Mila. Amel hanya mengangguk saja. Wajahnya masih s
Bagian 27 Keheningan “Ma, bangun.” Mila mengguncang tubuh mamanya. Tak ada pergerakan sama sekali, bahkan pergerakan napas walau perlahan juga tak terlihat. Gadis itu menepis prasangkanya, ia guncang kembali tubuh Amel. Tak juga ada pergerakan ia pun menekan tombol bantuan berkali-kali hingga perawat dan dokter jaga langsung berdatangan. “Tolong, Mama nggak bernapas,” ujar Mila dengan meneteskan air mata. Ia pun diminta mundur sejenak hingga para petugas medis bisa mengambil tindakan. Mulai dari diperiksanya denyut jantung, denyut nadi bahkan sensitifitas mata terhadap cahaya, juga tindakan lainnya. Dan pada akhirnya dokter hanya menggeleng saja. “Amelia, usia 42 tahun waktu kematian diperkirakan dua jam lalu,” tegas dokter itu lalu dicatat oleh perawat. Camila menutup mulutnya. Ia bahkan meminta dokter untuk memastikan bahwa mereka tak salah periksa. Namun, pihak medis hanya mengatakan sesuai fakta saja, sambil meminta Mila untuk sabar.Gadis berparas manis itu hanya duduk, diam,
Usai ditinggal oleh mama tercinta, kini di rumah itu hanya ada Mila dan adiknya saja. Gadis tersebut sedikit bingung dengan apa yang harus dilakukan. Fathan pulang di siang hari, sedangkan jika ia bekerja seperti biasa tentu Mila akan di rumah di sore hari dan tak sempat mengurus adiknya.“Mau kerja di mana, ya? Emang ada tempat yang mau terima kerja setengah hari sesuka hati,” gumam Mila sendirian. Tiga hari sudah ia libur kerja dan sudah saatnya menatap dunia meski tanpa sayap lagi. Tak ingin gadis itu kembali bekerja di tempat oma sebab sudah pasti akan bertemu Dika setiap hari, sedangkan ia belum atau bahkan tak akan pernah siap memanggil lelaki itu dengan sebutan papa.Ketika sedang asyik melamun, ponsel gadis itu berdering. Panggilan berasal dari nomor Oma. Ia angkat dan mencoba tersenyum saat menjawab setiap tanya dari wanita tua itu. Hingga sampai ke titik pembicaraan, Oma memintanya untuk kembali ke rumah tersebut. Keberatan Mila, sebab ia harus mengurus adik lelakinya. Bah
Bu Inah bukan tak menyadari kedekatan antara Satria juga cucu perempuannya. Apalagi pria itu tidak mau menerima bayaran lagi karena telah menjaga Mila di luar waktu yang telah dijanjikan. Namun, untuk urusan yang satu ini Oma tidak akan lepas tangan begitu saja. Jika pun Camila ingin menikah, tentu harus dengan yang selevel dan sepadan. Bibir Bu Inah terbuka ketika Mila menyuapkan bubur padanya. Ya, gadis itu telah kembali seperti dulu dan merawat neneknya sesuai dengan permintaan Satria. Ia masih bolak-balik rumah sederhana milik Amel setiap hari, sebab tak bisa meninggalkan Fathan. Dan satu hal yang tak bisa dilakukan Mila di sana, yaitu bersikap biasa saja dengan papa kandungnya. “Coba kamu ajak makan sekali-sekali papa kamu, Sayang. Udahan marahnya, ya. Papa kamu juga sedih ditinggal mama kamu, hanya tidak terlihat saja sama kita,” bujuk oma pada cucunya. Ia juga ingin melihat anak lelakinya bahagai walau tanpa kehadiran Amel. Atau mungkin Sinta sudah cukup berada di sisinya. D
Sudah Mila duga, di dalam rumah itu akan ada masalah lagi. Meski bukan karena dirinya seperti kata Sinta, tetapi tetap saja gadis itu merasa ia akar dari semua permasalahan tersebut. Bahkan ia berani berandai-andai jika dirinya tak usah dilahirkan saja, atau andaikan ia dan mamanya tak pernah menanggapi kehadiran keluarga itu. “Kalau sudah takdirnya pisah, pasti pisah juga walau kamu nggak pernah lahir, Mila,” ucap Sinta ketika memberi tahu keputusan gugat cerainya perlahan-lahan pada Bu Inah.“Mama minta maaf atas semua kesalahan dan sikap kerasa kepala Mama sama kamu dari dulu.” Mertua Sinta berjalan menggunakan tongkat mendekat ke arah menantunya yang sebentar lagi akan menjadi mantan. “Saya juga, Ma. Selama ini kita selalu jadi musuh yang beradu ketegangan urat. Mungkin setelah pisah baru kita bisa jadi teman.” Sinta memgang kedua tangan mertuanya dan mengecupnya dengan penuh khidmat. Terkadang semua hal membaik justru ketika sudah dipisahkan, dan ketika disatukan hasilnya tak a