Bagian 26 Tenang dan Damai Peralatan di tubuh Amel telah dilepaskan, begitu juga dengan kondisinya yang semakin membaik. Wanita tersebut bahkan sudah keluar dari ruang ICU, ia dirawat di kamar VVIP. Meski demikian tak banyak orang yang boleh menunggunya. Mila merawat mamanya sangat telaten, ia di sana dan hanya saat mengurus adiknya saja baru pergi. Amel dapat merasakan napasnya sedikit lebih lega daripada beberapa hari lalu. Obat-obatan yang diberikan dokter juga selalu rutin diminum. Amel masih belum boleh pulang karena harus menjalani observasi. Dika ingin masuk, tapi dengan mantan istrinya menolak. Bagi wanita itu ia sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Hanya sebatas urusan dengan Mila saja. Amel sadar, tubuhnya yang kini rapuh tak akan bisa menjaga Mila terus-terusan. “Ma, Mila pergi jemput Fathan dulu, ya. Mama sendirian di sini, nggak apa-apa, kan? Nanti kalau sakit atau kenapa, tekan ini, perawat pasti datang, kok,” ujar Mila. Amel hanya mengangguk saja. Wajahnya masih s
Bagian 27 Keheningan “Ma, bangun.” Mila mengguncang tubuh mamanya. Tak ada pergerakan sama sekali, bahkan pergerakan napas walau perlahan juga tak terlihat. Gadis itu menepis prasangkanya, ia guncang kembali tubuh Amel. Tak juga ada pergerakan ia pun menekan tombol bantuan berkali-kali hingga perawat dan dokter jaga langsung berdatangan. “Tolong, Mama nggak bernapas,” ujar Mila dengan meneteskan air mata. Ia pun diminta mundur sejenak hingga para petugas medis bisa mengambil tindakan. Mulai dari diperiksanya denyut jantung, denyut nadi bahkan sensitifitas mata terhadap cahaya, juga tindakan lainnya. Dan pada akhirnya dokter hanya menggeleng saja. “Amelia, usia 42 tahun waktu kematian diperkirakan dua jam lalu,” tegas dokter itu lalu dicatat oleh perawat. Camila menutup mulutnya. Ia bahkan meminta dokter untuk memastikan bahwa mereka tak salah periksa. Namun, pihak medis hanya mengatakan sesuai fakta saja, sambil meminta Mila untuk sabar.Gadis berparas manis itu hanya duduk, diam,
Usai ditinggal oleh mama tercinta, kini di rumah itu hanya ada Mila dan adiknya saja. Gadis tersebut sedikit bingung dengan apa yang harus dilakukan. Fathan pulang di siang hari, sedangkan jika ia bekerja seperti biasa tentu Mila akan di rumah di sore hari dan tak sempat mengurus adiknya.“Mau kerja di mana, ya? Emang ada tempat yang mau terima kerja setengah hari sesuka hati,” gumam Mila sendirian. Tiga hari sudah ia libur kerja dan sudah saatnya menatap dunia meski tanpa sayap lagi. Tak ingin gadis itu kembali bekerja di tempat oma sebab sudah pasti akan bertemu Dika setiap hari, sedangkan ia belum atau bahkan tak akan pernah siap memanggil lelaki itu dengan sebutan papa.Ketika sedang asyik melamun, ponsel gadis itu berdering. Panggilan berasal dari nomor Oma. Ia angkat dan mencoba tersenyum saat menjawab setiap tanya dari wanita tua itu. Hingga sampai ke titik pembicaraan, Oma memintanya untuk kembali ke rumah tersebut. Keberatan Mila, sebab ia harus mengurus adik lelakinya. Bah
Bu Inah bukan tak menyadari kedekatan antara Satria juga cucu perempuannya. Apalagi pria itu tidak mau menerima bayaran lagi karena telah menjaga Mila di luar waktu yang telah dijanjikan. Namun, untuk urusan yang satu ini Oma tidak akan lepas tangan begitu saja. Jika pun Camila ingin menikah, tentu harus dengan yang selevel dan sepadan. Bibir Bu Inah terbuka ketika Mila menyuapkan bubur padanya. Ya, gadis itu telah kembali seperti dulu dan merawat neneknya sesuai dengan permintaan Satria. Ia masih bolak-balik rumah sederhana milik Amel setiap hari, sebab tak bisa meninggalkan Fathan. Dan satu hal yang tak bisa dilakukan Mila di sana, yaitu bersikap biasa saja dengan papa kandungnya. “Coba kamu ajak makan sekali-sekali papa kamu, Sayang. Udahan marahnya, ya. Papa kamu juga sedih ditinggal mama kamu, hanya tidak terlihat saja sama kita,” bujuk oma pada cucunya. Ia juga ingin melihat anak lelakinya bahagai walau tanpa kehadiran Amel. Atau mungkin Sinta sudah cukup berada di sisinya. D
Sudah Mila duga, di dalam rumah itu akan ada masalah lagi. Meski bukan karena dirinya seperti kata Sinta, tetapi tetap saja gadis itu merasa ia akar dari semua permasalahan tersebut. Bahkan ia berani berandai-andai jika dirinya tak usah dilahirkan saja, atau andaikan ia dan mamanya tak pernah menanggapi kehadiran keluarga itu. “Kalau sudah takdirnya pisah, pasti pisah juga walau kamu nggak pernah lahir, Mila,” ucap Sinta ketika memberi tahu keputusan gugat cerainya perlahan-lahan pada Bu Inah.“Mama minta maaf atas semua kesalahan dan sikap kerasa kepala Mama sama kamu dari dulu.” Mertua Sinta berjalan menggunakan tongkat mendekat ke arah menantunya yang sebentar lagi akan menjadi mantan. “Saya juga, Ma. Selama ini kita selalu jadi musuh yang beradu ketegangan urat. Mungkin setelah pisah baru kita bisa jadi teman.” Sinta memgang kedua tangan mertuanya dan mengecupnya dengan penuh khidmat. Terkadang semua hal membaik justru ketika sudah dipisahkan, dan ketika disatukan hasilnya tak a
Satria telah berpenampilan rapi, malam itu ia berencana akan menyatakan bahwa sejak diberi tugas mengawal tuan putri, sejak itu pula benih-benih rasa di antara mereka berdua telah tumbuh dan menjadi subur sampai sekarang. Meski pria itu sedikit minder, sebab Camila bukan upik abu lagi, melainkan Cinderella yang tidak kehilangan sepatu kacanya. Dengan menguatkan hati ia mengetuk pintu rumah tersebut. Sengaja Satria tidak mengatakan apa-apa pada Camila. Ia berencana akan memberi kejutan pada tuan putri. Jika rencananya untuk meminang gadis yang kini sudah bisa mengemudikan mobil sendiri itu disetujui, baru Satria akan membawa keluarganya ke hadapan Dika juga Oma. “Siapa di sana, Sayang, tamu Oma sudah datang?” tanya Bu Inah yang malam itu berpenampilan sangat rapi begitu juga dengan Camila. “Bukan, Oma. Ini Bang Satria datang,” jawab Camila. Gadis itu menaikkan sebelah alisnya. Meminta penjelasan apa yang dilakukan pria itu di rumahnya malam-malam. “Mau ketemu Papa sama Oma.” Satria
Dika memanggil Satria secara khusus ke kantornya. Ruangan itu tertutup dan hanya ada mereka berdua saja. Lelaki yang telah menjalani masa duda selama enam bulan itu tahu tadi malam Mila pulang agak larut. Ia hanya takut putrinya terjerumus pada hal-hal tak baik. Sebagai orang tua tentu Dika khawatir dengan keselamatan Mila. “Tadi malam kita belum sempat bicara. Ada apa kamu datang ke rumah? Pasti ada sesuatu yang ingin dibahas, terus tadi malam apa putri saya masih pulang dalam keadaan utuh? Tidak kekurangan sesuatu apa pun pada Mila. Kamu nggak ambil kesempatan dalam kesempitan, bukan?” tanya Dika. Dua orang itu berhadap-hadapan, cinta yang mereka miliki untuk Camila sama besarnya.“Mila masih saya pulangkan utuh-utuh tadi malam, Pak. Tidak ada yang berkurang dari dirinya, kami terutama saya masih bisa menahan diri dari hal-hal yang sebenarnya diinginkan,” jawab Satria apa adanya. “Lalu kedatangan saya tadi malam ingin serius menjalin hubungan dengan putri bapak tentunya.” “Oh, ya?
“Ya Allah, ribet sekali urusan untuk menikah dengan abdi negara ini.” Camila membaca berulang-ulang persyaratan yang baru saja dikirimkan oleh Satria. Ya, pernikahan mereka telah mendapatkan lampu hijau dari Oma. Cukup alot juga Dika memberitahu mamanya agar kesalahan yang sama tak terulang lagi seperti pada mendiang Amel dulu. Hanya perlu menunggu proses pengajuan selesai, dan lamaran resmi dari pihak keluarga Satria akan dilayangkan. “Kalau mau menyerah dari sekarang, bilang, Sayang. Nanti Oma lanjutkan perkenalan dengan Sadewa. Kan, anaknya lebih ganteng dan kaya daripada Satria,” jawab Oma yang melihat cucunya cemberut. “Eh, jangan Oma, nggak menyerah, kok. Baru juga mau diurus.”“Apa, sih, yang kamu lihat dari Satria. Secara akal juga lebih bagus Sadewa ke mana-mana,” tanya Bu Inah. Ia meredam egonya kali ini. Demi kebahagiaan Mila akan ia biarkan cucu perempuannya menikah dengan Satria. Meski setelah itu cucunya akan diboyong entah ke mana. Mengingat pemuda itu belum punya ru