Aku bergerak mengikuti irama musik, dan kurasakan seluruh ketakutanku luruh. Sejujurnya, aku belum pernah ke klub sebelumnya. Aku tidak pernah menghadiri pesta manapun, kecuali pesta yang diselenggarakan karena pekerjaan orang tuaku. Ini adalah kali pertamaku. Orang tuaku bukan orang tua yang kolot, tapi aku tidak memiliki teman, dan aku merupakan penyendiri, sampai tidak ada orang di sekolah tahu aku hidup. Aku tidak diundang ke pesta, sesederhana karena aku begitu penyendiri, mungkin aku tidak tampak bagi mereka. Rasanya nikmat sekali untuk minum dan melupakan segalanya. Hari ini hari terakhir kami di Rafles, dan segalanya berjalan dengan lancar. Gabriel berhasil membuat mereka menyetujui syarat di kesepakatannya. Kami di sini, di klub mewah ini, sebab para investor mau merayakan kesepakatan ini, yang mana merupakan kesepakatan besar yang akan mendulang triliunan rupiah bagi Perusahaan Wijaya. Aku terus bergerak sesuai irama musik, mataku tertutup dan tanganku terangkat di udara.
Bibir Gabriel menyambutku begitu pintu di belakang kami tertutup. Ciumannya sungguh kasar, seolah ingin menghukumku. “Tidak ada yang boleh menyentuh apa yang menjadi milikku. Lalu, jangan lupa bahwa kamu milikku, Hana,” geramnya dengan nada suara yang dipenuhi oleh amarah. “Aku hanya sedang menari ketika dia menghampiriku,” ujarku untuk membela diriku. “Aku sudah mencoba untuk menjauh, tapi dia mencengkeramku.”Hubunganku dengan Gabriel sudah menegang selama beberapa hari ini. Ya, menegang, bukan karena segalanya memburuk, tapi malah segalanya berjalan dengan baik. Tidak ada hal lain yang terjadi setelah makan malam di malam itu. Kami makan, minum, dan berbincang. Yah, ciuman itu menjadi puncak acara kami malam itu. Kami banyak berciuman sejak itu. Ciumannya membuatku menginginkan lebih. Ciumannya sudah menjadi adiksiku. Memang ini gila, aku tahu itu, tapi aku tidak bisa menahan diri. Ketika dia menangkup bibirku, diriku seketika meleleh dalam pesonanya. Sudah empat hari berlalu se
Dia melepas celana dalamku, dan aku merasakan salah satu tangannya kembali menelusuri perutku dan menyusup di antara kakiku. Hatiku terasa ragu, tapi aku sangat mendambakan sentuhannya. Mulutku membuka karena ciumannya dan mendesah di ciuman kami, sembari kuangkat pinggulku untuk menyentuhnya dan memohon agar dia tidak berhenti. Jemarinya menyusuri kulitku dan menggerayangi klitorisku dan menggelitik syarafku di sana. Sial, aku akan segera klimaks. Kakiku mulai gemetaran di atas ranjang, kepalaku terjulur kembali ke ranjang. Gabriel bersenandung senang saat menciumi badanku, kakiku membuka lebar, yang mana menawarkannya pandangan menyeluruh ke area tubuh bagian bawahku. Mataku menatap pandangannya yang dipenuhi oleh nafsu saat menatapku. “Seksi sekali.” Dia memindahkan jarinya dari klitorisku untuk memasuki liangku di dalam, memilin pergerakannya untuk meraih pusat kenikmatanku. Badanku terlonjak, dan helaan nafas terkejut terlontar dari kerongkonganku. Gabriel menyeringai lebar di
Seperti beberapa pagi belakangan ini, aku terbangun dengan merasakan tangan Gabriel yang menjamah dadaku. Aku tidak tahu mengapa dia seperti itu, tapi entah mengapa hal ini selalu terjadi. Kami akan pulang hari ini dan aku tidak begitu tahu aku harus merasa apa. Kemarin, aku melewati batas ketika kubolehkan dia meniduriku. Aku merasa kalau aku tidak bisa mundur lagi. Jangan salah. Aku suka setiap menit yang kita lakukan kemarin. Aku menyukai setiap detik yang kulewati bersamanya beberapa hari terakhir ini, tapi aku masih takut bahwa segalanya ini bukanlah kenyataan. Aku takut bahwa aku akan segera terbangun dan menyadari ini hanyalah mimpi belaka.Sebagian diriku sangat menginginkan ini. Sedangkan, sebagian diriku yang lain masih skeptis akan apa pun yang terjadi di antara kami. Seolah bisa membaca pikiranku, tangan Gabriel yang semula di dadaku jatuh dan ganti untuk merengkuh pinggangku. Dia menarikku mendekat padanya, sampai aku bisa merasakan keinginan dan hasratnya melalui kulit
“Gabriel.”Setelah dia mengetes liangku dan memastikan bahwa aku sudah siap, dia kembali menambahkan jarinya untuk dipompa masuk dan keluar, mencengkok dan menyapu titik kenikmatanku. Tidak butuh waktu lama untuk aku mencapai klimaks. Tatapan sayu Gabriel bertemu dengan tatapanku, bibir kami hanya berjarak seinci dari satu sama lain, dan deru nafas kami sampai terdengar oleh satu sama lain. Entah apa yang dilihatnya dari raut wajahku membuatnya tersenyum miring dan satu jemari lagi bergerak memutar perlahan di klitorisku. Aku menggesekkan diriku pada dirinya untuk mengejar kenikmatanku sendiri sampai seluruh tubuhku merinding akan sentuhannya. Dia terus mendorong, dan menggesekkan telapaknya di klitorisku serta terus memompanya sampai aku klimaks lagi dengan deruan nafas dan teriakan keras di kamar. Ketika pahaku akhirnya berhenti gemetar dan pandanganku sudah kembali jelas, aku menengadahkan wajahku ke arahnya. Rahang Gabriel menegang, dan pandangannya diselimuti oleh bara nafsu. A
CalistaKakiku begitu pegal saat aku menaiki lift ke penthouse-ku. Ah, hari yang sama di mana aku bekerja lembur agar aku tidak perlu kembali ke apartemenku yang kosong. Aku sangat-sangat merindukan Reaper. Ketika kali pertama kudaratkan pandanganku padanya di rumah sakit setelah Ava tertembak, aku tidak terlalu memikirkan ketertarikan yang kurasakan padanya. Tentu, aku dengan cepat tertarik padanya, dan seolah jiwaku sudah mengenalnya, tapi dia adalah Reaper. Pria yang sama yang telah menculik salah satu sahabatku. Kalau aku harus jujur, aku tidak pernah merasakan ketertarikan seperti ini pada pria selain Reaper. Aku tidak tertarik pada seorang pria pada pandangan pertama saat kulihat mereka. Aku harus mengenalnya terlebih dahulu, baru aku bisa merasakan sesuatu. Tapi saat dengan Reaper, segalanya berbeda dan aku sungguh terheran dibuatnya. Aku hanya berpikir setelah pertemuan pertama itu, maka usailah. Kupikir itulah saat terakhir kulihat dirinya, dan rasa ketertarikanku akan den
HanaAku mematut diriku sekali lagi di depan kaca. Aku tengah memakai celana jins highwaist dengan blus sutra. Rambutku dikuncir konde dengan agak berantakan, lalu aku menggunakan concealer dan maskara. Aku tidak terlalu banyak memakai riasan wajah. Kami pulang ke rumah sekitar pukul sembilan malam. Lilly sudah tertidur, jadi kami langsung ke kamar begitu sampai di rumah. Aku mengambil tasku, lalu keluar dari kamarku sembari memeriksa waktu. Aku punya waktu sejam sebelum harus ke restoran.“Mau ke mana kamu?” tanya Gabriel begitu aku memasuki dapur. Sial, lelaki ini sungguh tampan. Aku suka melihat Gabriel dengan memakai setelan. Sungguh dirinya terlihat seksi saat memakainya, tapi rasanya lain saat melihatnya tanpa alas kaki, kaus ketat, dan celana panjang. Rasanya lain saat melihatnya bertelanjang dada dengan celana panjang yang kedodoran. Aku sudah melihat semuanya, dan masih tidak bisa memutuskan gaya apa yang paling kusukai. Sepertinya yang paling kusukai adalah saat dia seda
Aku menghela nafas untuk menenangkan jantungku. Aku tidak pernah berpikir akan memulai percakapan ini dengan Lilly di umur segini. Satu hal yang patut kusyukuri adalah dia tidak bertanya secara gamblang dari mana asalnya seorang bayi. Kalau dia menanyakannya, maka kami akan melalui pembicaraan yang sulit. “Aku akan kembali ke kamarku sebentar, lalu aku akan pergi,” ujarku pada mereka sembari mengabaikan pembicaraan tentang bayi ini. “Kamu masih belum memberi tahuku ke mana kamu akan pergi,” ujar Gabriel. Apa boleh buat, aku baru saja akan memberi tahunya, tapi kemudian aku terdistraksi. Yah, dialah yang mendistraksiku. “Aku akan bertemu dengan Ava dan yang lainnya untuk makan siang.”Aku sangat tergoda untuk membatalkan janji dengan mereka dan tidur, tapi kuurungkan niat itu. Ava sudah menelepon beberapa hari sebelum kami pulang dari Rafles untuk mengajakku bergabung dengan mereka untuk makan siang di hari Sabtu. Aku langsung mengiyakannya tanpa berpikir bahwa aku akan terlalu lela
Hai pembaca terkasih, aku baru saja membaca komentar kalian dan kalian benar-benar memberi tahuku perasaan kalian. Setiap orang berhak atas pendapatnya masing-masing, dan aku menghormati itu. Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubah pandangan mereka, dan itu benar-benar tidak masalah.Aku telah menerima beberapa kritik yang sangat baik, dan aku ingin berterima kasih kepada mereka yang telah menunjukkan kesalahanku. Aku selalu kesulitan menulis bagian akhir cerita, dan itulah mengapa kadang-kadang terasa terburu-buru. Jangan khawatir, aku akan bekerja keras untuk memperbaikinya di buku berikutnya.Tentang Emma dan Calvin, aku ingin kalian semua mengerti bahwa ini memang selalu menjadi akhir yang direncanakan, setidaknya di buku ini.Emma tidak mencintai Calvin. Dia menyesal atas apa yang dia lakukan, tetapi dia tidak pernah mencintainya dengan kedalaman yang sama seperti Calvin mencintainya. Dengan kata lain, dia mencintai Calvin, tetapi dia tidak jatuh cinta padanya. Calvin pan
Hana. Aku seolah sedang melayang dalam langit ketujuh. Aku merasa hangat, damai, dan dicintai. Perlahan, aku terbangun. Gabriel di belakangku dengan tangannya yang merengkuhku. Dia selalu melakukan ini setiap kali kami tidur. Dia terus memegangiku, seolah takut kalau aku akan menghilang kalau dia tidak melakukannya. Aku menggeliat sedikit untuk lepas dari tangannya. Alih-alih melepasku, dia mengeratkan tangannya, yang mendorongku mendekat ke badannya. Aku berhenti ketika merasakannya. Ketika kurasakan kejantanannya yang mengeras, libidoku naik, dan aku segera menginginkannya. Aku ingin merasakannya memasukiku. Kehidupan ranjang kami sehat, tapi selalu ada waktu di mana aku menginginkan lebih. Dengan memiliki tiga anak, kadang sulit untuk mendapat waktu untuk berduaan. “Hmm,” geram Gabriel ketika aku menggesekkan pantatku di kejantanannya. Suaranya menggetarkan klitorisku. Aku melakukannya lagi, dan mengundang desahan seksi darinya. Gabriel mulai membubuhi punggung, pundak, dan
“Tentu,” dia membalas senyumku tepat saat Henry berjalan mendekati kami.“Aku di sini untuk mencuri istriku yang cantik.” Suaranya serak, dan aku tak bisa menahan diri untuk tidak meleleh mendengar nadanya. Suaranya benar-benar seksi.“Dia milikmu.” Calvin melepaskanku dan menyingkir sebelum pergi.Henry menarikku ke dalam pelukannya, memastikan tidak ada jarak di antara kami. “Apakah kamu baik-baik saja? Punggungmu sakit? Kaki-kakimu bagaimana?”Lihat apa yang aku bilang? Dia mendominasi di dunia hukum, tapi perhatian dan penuh cinta sebagai pasangan. Aku bahkan tidak tahu bahwa aku punya tipe pria seperti ini sampai aku bertemu dengannya.“Aku baik-baik saja, cintaku, berhentilah khawatir,” ujarku sambil terkekeh dan menyeret diriku lebih dekat padanya.“Sudahkah aku memberitahumu bahwa aku mencintaimu?” tanyanya.Aku tidak bisa menahan senyum saat aku berdiri di ujung jari kakiku dan berbisik di bibirnya. “Sudah kamu katakan seribu kali hari ini, tapi aku tidak mengeluh.”“Kamu adal
Merrisa adalah salah satu pengiring pengantin perempuanku, begitu juga Ava, Calista, Ruby, Hana, dan Anjani. Mereka telah menjadi sahabatku selama empat tahun terakhir sejak kecelakaan itu. Tentu saja, aku tidak pernah bisa menggantikan Merrisa, dia sahabat terbaikku, tapi aku bersyukur memiliki mereka.Ditambah lagi, kemarin Merrisa memberitahuku bahwa dia berpikir untuk pindah ke sini. Aku sangat bersemangat. Aku menyayanginya, tapi kami mengakui bahwa menjalani persahabatan jarak jauh itu sulit. Aku benar-benar merasa di atas awan karena dia akan berada di dekatku.Musiknya melambat, dan Guntur mendekat, memecah semua percakapan lain.“Bolehkah aku berdansa denganmu, Ibu?”Seruan riuh para tamu terdengar, dan aku bersumpah hatiku langsung meleleh.“Tentu saja, putra tampanku,” jawabku sebelum menggenggam tangannya.Guntur sekarang sudah empat belas tahun, sudah jadi remaja. Bisa kalian percaya itu? Tingginya sudah sama denganku, dan aku yakin dalam beberapa tahun dia akan lebih ting
Emma. Aku menari dengan Merrisa, membiarkan musik menenggelamkanku. Aku merasakan sedikit rasa sakit di punggungku, tapi masa bodoh, sebab aku merasa sangat bahagia. Gaunku berayun mengikuti irama tubuhku sembari kami meneriakkan lirik lagu Cruel Summer milik Taylor Swift sekuat tenaga. Ava, yang hamil besar bergabung dengan kami. Aku tertawa sebab dia berpikir bahwa dia sedang menari, tapi tidak. Aku bahkan tidak tahu apa yang dilakukannya. Aku bisa menghitung saat-saat terbahagiaku dengan jari. Satu adalah ketika aku lolos ujian pengacara. Kedua, ketika Guntur memanggilku Ibu untuk pertama kali setelah bertahun-tahun lamanya, dan yang ketiga adalah hari ini, di hari pernikahanku.Kalian tidak salah dengar. Aku baru saja menikah, dan aku tidak pernah sebahagia ini. Ingat pengacara tampan yang kuberi tahu Ava saat ulang tahun James? Ya, dia tidak mau menyerah, tidak peduli berapa kali aku menolaknya. Dia terus bertanya hampir setiap hari. Aku lelah ditanyai hal yang sama setiap har
Jadi, kalian sudah sampai pada akhir dari Penyesalan Mantan Suami dan cerita sampingannya. Aku hanya mau berterima kasih pada kalian semua atas cinta dan dukungan kalian akan buku ini. Ini adalah buku terpanjang yang pernah kutulis, dan sejauh ini adalah yang paling sukses. Buku ini tidak akan sesukses ini kalau bukan karena dukungan kalian. Maka dari itu, terima kasih banyak. Terima kasih sudah menjadi bagian dari perjalanan buku ini dari awal sampai akhir. Hal ini sungguh berarti bagiku. Sekarang, aku mau mengumumkan bahwa buku Noah akan diunggah selanjutnya. Judulnya ‘Perjuangan Sang Milyuner untuk Pengampunan’. Aku masih mengerjakan plotnya, tapi akan kuunggah pada pertengahan Oktober, nantikan saja! Kita akan ada cerita sampingan soal Guntur dan mungkin satu lagi soal Lilly. Inilah sedikit intipan dari Perjuangan Sang Milyuner untuk Pengampunan. Di bawah ini hanyalah cuplikan kasarnya. ***Shella. Aku berjalan ke arah altar. Jantungku berdegup, dan langkahku lambat. Bunga mawa
Tiga tahun kemudian.Emma.“Serius, Emma, kapan kamu akan mulai berkencan?” tanya Ava sambil duduk di sampingku.Aku memandang ke arah halaman belakang, dan aku tak bisa menahan senyum yang muncul di bibirku. Hari ini adalah ulang tahun anak laki-laki Travis dan Ruby. James, dinamai dari ayah kami, yang berusia satu tahun hari ini.Ruby dan Travis menikah sekitar dua tahun yang lalu. Travis langsung melamarnya setelah aku sadar dari kecelakaan yang hampir merenggut nyawaku. Kalian mungkin bertanya-tanya apa yang terjadi pada pengemudi itu. Dia saat ini sedang menjalani hukuman lima tahun penjara karena mengemudi sembarangan. Aku berharap dia belajar dari kesalahannya.Kembali ke Travis dan Ruby. Kurasa melihatku di rumah sakit membuatnya menyadari betapa singkatnya hidup manusia. Dia melamarnya, dan Ruby setuju. Mereka menikah saat musim semi. Sebagai hasil dari perbaikan hubunganku dengan Ava, aku dibawa masuk ke pertemanan mereka. Calista dan Reaper menikah dalam sebuah pernikahan k
“Tidak! Aku harus mengejan!” seruku sambil menggenggam baju Gabriel. Aku merasa seperti sudah gila. Seolah aku sudah kehilangan akal sehatku. Rasa sakit ini sungguh sudah membuatku gila. Untungnya, kami sampai di kamar sebelum aku melahirkan di koridor rumah sakit sialan ini. Aku menghela nafas lega saat memasuki ruangan, dan mereka mulai mempersiapkanku. Ava sudah di dalam. Aku bersyukur memiliki seseorang yang mengerti rasanya kemaluan terbelah dua agar manusia cilik itu bisa terlahir ke dunia. “Aku tidak bisa menahannya lagi,” ujarku sebelum mengejan sekuat tenaga. Aku bersumpah bisa merasakan belahan pantatku seolah terbelah, yang menambah rasa sakitku.“Ini semua salahmu!” seruku pada Gabriel sambil mencengkeram erat tangannya. Aku menatap tajam padanya dengan nafas yang menderu. Batang hidungku kembang-kempis untuk berusaha meraup sebanyak-banyaknya oksigen ke paru-paruku. “Ayo, Hana, ejanlah!” ujar Ava sambil menyeka keringat dari dahiku. “Jangan pedulikan Gabriel.”“Jaha
“Tidak apa-apa, sayangku. Ibu hanya akan melahirkan. Ingatkah yang Ibu katakan padamu apa yang akan terjadi ketika sudah waktunya?”Dia menganggukkan kepalanya. “Iya. Ibu bilang akan merasa kesakitan, tapi aku tidak seharusnya takut, sebab itu bagian dari melahirkan bayi ke dunia.”“Bagus,” ujarku sambil meringis saat sakit kontraksi kembali menghampiri. “Itulah yang terjadi sekarang, jadi janganlah takut.”Gabriel menggenggam tanganku dan membantuku keluar dari kamar. Aku bernafas melalui hidung dan mulutku, tapi jujur saja. Ini sama sekali tidak membantu, ‘kan?“Aku hanya tidak paham. Kenapa Ibu harus kesakitan? Kenapa bayinya tidak langsung lahir saja tanpa menyakiti Ibu?”Hal terakhir yang kuinginkan adalah menorehkan trauma pada putriku dengan menjelaskan padanya bahwa rasa sakit memang lumrah untuk mengeluarkan bayi dari diriku. Dia pasti akan ingin tahu mengapa bayi harus dikeluarkan dengan mengejan, dan aku harus menjelaskan bahwa bayi itu besar, dan jalan keluarnya lebih kecil