Aku menghela nafas untuk menenangkan jantungku. Aku tidak pernah berpikir akan memulai percakapan ini dengan Lilly di umur segini. Satu hal yang patut kusyukuri adalah dia tidak bertanya secara gamblang dari mana asalnya seorang bayi. Kalau dia menanyakannya, maka kami akan melalui pembicaraan yang sulit. “Aku akan kembali ke kamarku sebentar, lalu aku akan pergi,” ujarku pada mereka sembari mengabaikan pembicaraan tentang bayi ini. “Kamu masih belum memberi tahuku ke mana kamu akan pergi,” ujar Gabriel. Apa boleh buat, aku baru saja akan memberi tahunya, tapi kemudian aku terdistraksi. Yah, dialah yang mendistraksiku. “Aku akan bertemu dengan Ava dan yang lainnya untuk makan siang.”Aku sangat tergoda untuk membatalkan janji dengan mereka dan tidur, tapi kuurungkan niat itu. Ava sudah menelepon beberapa hari sebelum kami pulang dari Rafles untuk mengajakku bergabung dengan mereka untuk makan siang di hari Sabtu. Aku langsung mengiyakannya tanpa berpikir bahwa aku akan terlalu lela
“Iya! Dia sudah tidak bersembunyi lagi!” ujarnya dengan berbinar-binar. Kebahagiaan dan keantusiasannya sungguh menular. “Dia bahkan secara tidak langsung sudah melamarku.”“Apa maksudnya melamar secara tidak langsung itu?” tanyaku dengan kebingungan. Dari pandangan yang lain, mereka juga sama bingungnya. Sungguh ambigu, itu terdengar seperti dia akan melamar atau tidak. Aku tidak pernah mendengar lamaran secara tidak langsung. “Yah, ketika kuberi tahu bahwa aku hamil, dia berkata bahwa dia berencana untuk melamar, tapi karena mukjizat yang secara tiba-tiba ini, dia akan memajukan lamarannya agar kami bisa menikah sebelum bayi kami lahir,” balasnya dengan mata yang masih berbinar dari kegembiraan dan kebahagiaan. Masuk akal. Aku mengerti mengapa dia mengatakannya sebagai lamaran secara tidak langsung. Kami berseru dengan senang saat kami memeluknya dan sekali lagi memberinya selamat. Kekasihnya yang sudah kembali sungguh berpengaruh pada sikapnya. Dia sekarang terlihat bebas. Beban
Seperti yang sudah kukatakan, aku sudah memaafkan Gabriel, jadi kenapa aku masih saja terjebak di masa lalu? Kenapa aku masih membandingkan dia dengan pria yang dulu? Jelas sekali dia sudah berubah, tapi otakku masih meragukannya.Apakah kalian tahu pepatah ‘kalau dia mau, dia pasti akan lakukan?’ Itulah yang terjadi dengan Gabriel sekarang. Dulu dia ogah-ogahan. Dia tidak mau mencintaiku. Dia tidak mau peduli padaku. Bahkan, dia sama sekali tidak menginginkanku ... Dan karena dia tidak menginginkanku, dia memperlakukanku seperti aku tidak ada artinya.Namun, di dalam lubuk hatiku, aku mengerti dia. Jika perhitunganku benar, dia menikahiku satu setengah tahun setelah gadis itu menghancurkan hatinya. Aku kenal kakakku Andrew, dia pasti memeras atau memaksa Gabriel untuk menikahiku.Aku tidak memikirkannya saat kami menikah. Faktanya, aku tidak ingin memikirkannya karena itu akan menghancurkan ilusiku bahwa dia menikahiku karena dia merasakan sesuatu untukku. Baru bertahun-tahun kemudian
“Masuklah.” Akhirnya dia menjawab saat aku hampir menyerah dan berpikir dia masih tidur. Aku membuka pintu dan memasukinya, lalu kulihat dia duduk di kasurnya. Ketika dia melihatku, dia bergeser dan duduk di ujung kasur. Aku menutup pintu dan menyeberangi ruangan untuk mendekatinya. “Bagaimana makan siangmu bersama teman-temanmu?” tanyanya dengan nada mengantuk.“Sungguh mencerahkan.”“Bagaimana?”“Bisakah aku menanyakan sesuatu padamu? Dan janjilah untuk menjawabnya dengan jujur.”Dia lalu menoleh sepenuhnya ke arahku, dia sudah benar-benar sadar dari kantuknya. Pandangannya mengamati wajahku seolah dia tengah menerka apa yang ingin kutanyakan. Setelah lewat semenit, dia menganggukkan kepalanya. “Aku sadar bahwa mungkin Andrew mengancammu untuk menikahiku dulu. Karena kamu saat itu masih patah hati, kamu tidak mungkin langsung setuju untuk menikah, apalagi dengan gadis yang tidak kamu kenal. Bisakah kamu mengatakannya padaku apa yang menjadi ancamannya untukmu?”Aku tahu bahwa dia
“Sudah selesai.”Ketika aku tidak dapat menemukan gaun yang cocok untuk acara ini, Gabriel memanggil bantuan. Sebuah tim lengkap tiba sekitar tiga jam yang lalu untuk membantu merias wajah dan menyiapkan gaunku.Riasanku sempurna. Sang penata rias memilih tampilan yang elegan. Mataku dihiasi dengan eyeshadow lembut namun tegas yang memperdalam keindahan alaminya, dikelilingi bulu mata panjang nan lentik yang membuat tatapanku semakin memikat. Sentuhan emas yang berkilauan di sudut dalam mata memberikan kecerahan serta menonjolkan kehangatan tatapanku, sementara rambutku tergerai dalam gelombang natural dan terlihat berkilau seperti sutra di bawah cahaya lembut.Untuk gaunku, kami memilih gaun merah karena merah telah menjadi warna favorit Gabriel saat aku mengenakannya. Gaun itu adalah perpaduan menawan antara seksi dan elegan, dibuat dari satin berwarna merah rubi yang membalut lekuk tubuhku dengan indah. Leher gaunnya menjuntai cukup rendah untuk terlihat menggoda, sementara detail r
Aku keluar dari mobilku dan berjalan perlahan ke arah mansion dengan kedua tangan yang gemetar dan keringat yang mengalir di sekujur tubuhku.Aku masih tidak percaya bahwa ini semua telah terjadi. Bahwa aku akhirnya bercerai dari lelaki itu. Buktinya ada di dalam tasku. Aku di sini untuk memberikan surat terakhir padanya dan menjemput Noah.Aku mendengar suara yang terdengar samar-samar begitu memasuki rumah, lalu menghentikan langkahku begitu dekat dengan dapur.Sekarang aku dapat mendengar suara itu dengan jelas dan apa yang kudengar membuatku terpaku.Noah bertanya pada ayahnya, “Aku masih tidak mengerti mengapa Ayah tidak bisa tinggal bersamaku dan Ibu?”Aku mengepalkan tanganku yang bergetar ke arah dadaku. Hatiku hancur mendengar kesedihan dalam suaranya. Aku rela melakukan apa pun baginya, tapi perceraian ini harus tetap dilakukan.Pernikahan kami merupakan sebuah kesalahan. Segalanya tentang kami merupakan kesalahan. Butuh beberapa waktu bagiku untuk menyadarinya.“Kau tahu me
“Aku harus pergi, bisakah kamu menemani Noah? Aku tidak tahu berapa lama aku akan di rumah sakit.” Aku berkata dengan tergesa-gesa sembari mengambil tasku.“Tentu. Aku akan ke sana kalau ibuku datang ke rumah untuk menemani Noah.” Rowan menjawab, tetapi perkataannya tenggelam seiring aku merasakan telingaku berdenging.Tidak banyak yang bisa kupikirkan saat aku pamit pada putraku dan keluar dari rumah. Aku masuk ke dalam mobil dan mengendarainya ke arah rumah sakit. Memori masa kecil mulai membanjiri pikiranku.Aku tumbuh dengan minim kasih sayang. Aku adalah anak yang tidak dipedulikan oleh kedua orangtuaku. Anak kesayangan ayahku adalah kakak perempuanku, Emma. Dia selalu memanggilnya putri kecilnya. Putrinya. Lalu, anak kesayangan ibuku adalah kakak laki-lakiku, Travis. Dia adalah laki-laki yang tampan. Sedangkan aku, bukanlah anak kesayangan siapa-siapa. Aku hanyalah aku, Ava.Aku selalu merasa tidak diinginkan. Tidak diharapkan. Bukan hanya oleh orangtuaku, tetapi juga oleh saudar
Aku duduk di kursi rumah sakit yang dingin sembari menghela nafas. Ibu masih menangis sesenggukkan dan tidak dapat ditenangkan. Hatiku hancur melihatnya. Aku mengerti, tidak mudah rasanya kehilangan pria yang kamu sayangi, apalagi dengan cara yang di luar bayanganmu.Fakta bahwa ayahku meninggal masih membuatku tercengang. Aku yakin dia dapat sembuh, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, dan aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan sekarang.Kami tidak pernah bertatapan mata dan meskipun dia membenciku, aku mengasihinya. Bagaimanapun juga dia adalah ayahku, bagaimana aku bisa membencinya?“Apakah kamu baik-baik saja?” Rowan bertanya sambil duduk di sebelahku.Dia sampai sekitar satu jam yang lalu dan dia baru saja membuka suaranya sekarang. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan kekhawatiran yang dia tunjukkan. Bagaimanapun juga, dia tidak pernah memikirkan perasaanku sebelumnya.“Iya,” aku membalasnya.Aku belum menitikkan air mata setitik pun sejak kami mendengar kabar du
“Sudah selesai.”Ketika aku tidak dapat menemukan gaun yang cocok untuk acara ini, Gabriel memanggil bantuan. Sebuah tim lengkap tiba sekitar tiga jam yang lalu untuk membantu merias wajah dan menyiapkan gaunku.Riasanku sempurna. Sang penata rias memilih tampilan yang elegan. Mataku dihiasi dengan eyeshadow lembut namun tegas yang memperdalam keindahan alaminya, dikelilingi bulu mata panjang nan lentik yang membuat tatapanku semakin memikat. Sentuhan emas yang berkilauan di sudut dalam mata memberikan kecerahan serta menonjolkan kehangatan tatapanku, sementara rambutku tergerai dalam gelombang natural dan terlihat berkilau seperti sutra di bawah cahaya lembut.Untuk gaunku, kami memilih gaun merah karena merah telah menjadi warna favorit Gabriel saat aku mengenakannya. Gaun itu adalah perpaduan menawan antara seksi dan elegan, dibuat dari satin berwarna merah rubi yang membalut lekuk tubuhku dengan indah. Leher gaunnya menjuntai cukup rendah untuk terlihat menggoda, sementara detail r
“Masuklah.” Akhirnya dia menjawab saat aku hampir menyerah dan berpikir dia masih tidur. Aku membuka pintu dan memasukinya, lalu kulihat dia duduk di kasurnya. Ketika dia melihatku, dia bergeser dan duduk di ujung kasur. Aku menutup pintu dan menyeberangi ruangan untuk mendekatinya. “Bagaimana makan siangmu bersama teman-temanmu?” tanyanya dengan nada mengantuk.“Sungguh mencerahkan.”“Bagaimana?”“Bisakah aku menanyakan sesuatu padamu? Dan janjilah untuk menjawabnya dengan jujur.”Dia lalu menoleh sepenuhnya ke arahku, dia sudah benar-benar sadar dari kantuknya. Pandangannya mengamati wajahku seolah dia tengah menerka apa yang ingin kutanyakan. Setelah lewat semenit, dia menganggukkan kepalanya. “Aku sadar bahwa mungkin Andrew mengancammu untuk menikahiku dulu. Karena kamu saat itu masih patah hati, kamu tidak mungkin langsung setuju untuk menikah, apalagi dengan gadis yang tidak kamu kenal. Bisakah kamu mengatakannya padaku apa yang menjadi ancamannya untukmu?”Aku tahu bahwa dia
Seperti yang sudah kukatakan, aku sudah memaafkan Gabriel, jadi kenapa aku masih saja terjebak di masa lalu? Kenapa aku masih membandingkan dia dengan pria yang dulu? Jelas sekali dia sudah berubah, tapi otakku masih meragukannya.Apakah kalian tahu pepatah ‘kalau dia mau, dia pasti akan lakukan?’ Itulah yang terjadi dengan Gabriel sekarang. Dulu dia ogah-ogahan. Dia tidak mau mencintaiku. Dia tidak mau peduli padaku. Bahkan, dia sama sekali tidak menginginkanku ... Dan karena dia tidak menginginkanku, dia memperlakukanku seperti aku tidak ada artinya.Namun, di dalam lubuk hatiku, aku mengerti dia. Jika perhitunganku benar, dia menikahiku satu setengah tahun setelah gadis itu menghancurkan hatinya. Aku kenal kakakku Andrew, dia pasti memeras atau memaksa Gabriel untuk menikahiku.Aku tidak memikirkannya saat kami menikah. Faktanya, aku tidak ingin memikirkannya karena itu akan menghancurkan ilusiku bahwa dia menikahiku karena dia merasakan sesuatu untukku. Baru bertahun-tahun kemudian
“Iya! Dia sudah tidak bersembunyi lagi!” ujarnya dengan berbinar-binar. Kebahagiaan dan keantusiasannya sungguh menular. “Dia bahkan secara tidak langsung sudah melamarku.”“Apa maksudnya melamar secara tidak langsung itu?” tanyaku dengan kebingungan. Dari pandangan yang lain, mereka juga sama bingungnya. Sungguh ambigu, itu terdengar seperti dia akan melamar atau tidak. Aku tidak pernah mendengar lamaran secara tidak langsung. “Yah, ketika kuberi tahu bahwa aku hamil, dia berkata bahwa dia berencana untuk melamar, tapi karena mukjizat yang secara tiba-tiba ini, dia akan memajukan lamarannya agar kami bisa menikah sebelum bayi kami lahir,” balasnya dengan mata yang masih berbinar dari kegembiraan dan kebahagiaan. Masuk akal. Aku mengerti mengapa dia mengatakannya sebagai lamaran secara tidak langsung. Kami berseru dengan senang saat kami memeluknya dan sekali lagi memberinya selamat. Kekasihnya yang sudah kembali sungguh berpengaruh pada sikapnya. Dia sekarang terlihat bebas. Beban
Aku menghela nafas untuk menenangkan jantungku. Aku tidak pernah berpikir akan memulai percakapan ini dengan Lilly di umur segini. Satu hal yang patut kusyukuri adalah dia tidak bertanya secara gamblang dari mana asalnya seorang bayi. Kalau dia menanyakannya, maka kami akan melalui pembicaraan yang sulit. “Aku akan kembali ke kamarku sebentar, lalu aku akan pergi,” ujarku pada mereka sembari mengabaikan pembicaraan tentang bayi ini. “Kamu masih belum memberi tahuku ke mana kamu akan pergi,” ujar Gabriel. Apa boleh buat, aku baru saja akan memberi tahunya, tapi kemudian aku terdistraksi. Yah, dialah yang mendistraksiku. “Aku akan bertemu dengan Ava dan yang lainnya untuk makan siang.”Aku sangat tergoda untuk membatalkan janji dengan mereka dan tidur, tapi kuurungkan niat itu. Ava sudah menelepon beberapa hari sebelum kami pulang dari Rafles untuk mengajakku bergabung dengan mereka untuk makan siang di hari Sabtu. Aku langsung mengiyakannya tanpa berpikir bahwa aku akan terlalu lela
HanaAku mematut diriku sekali lagi di depan kaca. Aku tengah memakai celana jins highwaist dengan blus sutra. Rambutku dikuncir konde dengan agak berantakan, lalu aku menggunakan concealer dan maskara. Aku tidak terlalu banyak memakai riasan wajah. Kami pulang ke rumah sekitar pukul sembilan malam. Lilly sudah tertidur, jadi kami langsung ke kamar begitu sampai di rumah. Aku mengambil tasku, lalu keluar dari kamarku sembari memeriksa waktu. Aku punya waktu sejam sebelum harus ke restoran.“Mau ke mana kamu?” tanya Gabriel begitu aku memasuki dapur. Sial, lelaki ini sungguh tampan. Aku suka melihat Gabriel dengan memakai setelan. Sungguh dirinya terlihat seksi saat memakainya, tapi rasanya lain saat melihatnya tanpa alas kaki, kaus ketat, dan celana panjang. Rasanya lain saat melihatnya bertelanjang dada dengan celana panjang yang kedodoran. Aku sudah melihat semuanya, dan masih tidak bisa memutuskan gaya apa yang paling kusukai. Sepertinya yang paling kusukai adalah saat dia seda
CalistaKakiku begitu pegal saat aku menaiki lift ke penthouse-ku. Ah, hari yang sama di mana aku bekerja lembur agar aku tidak perlu kembali ke apartemenku yang kosong. Aku sangat-sangat merindukan Reaper. Ketika kali pertama kudaratkan pandanganku padanya di rumah sakit setelah Ava tertembak, aku tidak terlalu memikirkan ketertarikan yang kurasakan padanya. Tentu, aku dengan cepat tertarik padanya, dan seolah jiwaku sudah mengenalnya, tapi dia adalah Reaper. Pria yang sama yang telah menculik salah satu sahabatku. Kalau aku harus jujur, aku tidak pernah merasakan ketertarikan seperti ini pada pria selain Reaper. Aku tidak tertarik pada seorang pria pada pandangan pertama saat kulihat mereka. Aku harus mengenalnya terlebih dahulu, baru aku bisa merasakan sesuatu. Tapi saat dengan Reaper, segalanya berbeda dan aku sungguh terheran dibuatnya. Aku hanya berpikir setelah pertemuan pertama itu, maka usailah. Kupikir itulah saat terakhir kulihat dirinya, dan rasa ketertarikanku akan den
“Gabriel.”Setelah dia mengetes liangku dan memastikan bahwa aku sudah siap, dia kembali menambahkan jarinya untuk dipompa masuk dan keluar, mencengkok dan menyapu titik kenikmatanku. Tidak butuh waktu lama untuk aku mencapai klimaks. Tatapan sayu Gabriel bertemu dengan tatapanku, bibir kami hanya berjarak seinci dari satu sama lain, dan deru nafas kami sampai terdengar oleh satu sama lain. Entah apa yang dilihatnya dari raut wajahku membuatnya tersenyum miring dan satu jemari lagi bergerak memutar perlahan di klitorisku. Aku menggesekkan diriku pada dirinya untuk mengejar kenikmatanku sendiri sampai seluruh tubuhku merinding akan sentuhannya. Dia terus mendorong, dan menggesekkan telapaknya di klitorisku serta terus memompanya sampai aku klimaks lagi dengan deruan nafas dan teriakan keras di kamar. Ketika pahaku akhirnya berhenti gemetar dan pandanganku sudah kembali jelas, aku menengadahkan wajahku ke arahnya. Rahang Gabriel menegang, dan pandangannya diselimuti oleh bara nafsu. A
Seperti beberapa pagi belakangan ini, aku terbangun dengan merasakan tangan Gabriel yang menjamah dadaku. Aku tidak tahu mengapa dia seperti itu, tapi entah mengapa hal ini selalu terjadi. Kami akan pulang hari ini dan aku tidak begitu tahu aku harus merasa apa. Kemarin, aku melewati batas ketika kubolehkan dia meniduriku. Aku merasa kalau aku tidak bisa mundur lagi. Jangan salah. Aku suka setiap menit yang kita lakukan kemarin. Aku menyukai setiap detik yang kulewati bersamanya beberapa hari terakhir ini, tapi aku masih takut bahwa segalanya ini bukanlah kenyataan. Aku takut bahwa aku akan segera terbangun dan menyadari ini hanyalah mimpi belaka.Sebagian diriku sangat menginginkan ini. Sedangkan, sebagian diriku yang lain masih skeptis akan apa pun yang terjadi di antara kami. Seolah bisa membaca pikiranku, tangan Gabriel yang semula di dadaku jatuh dan ganti untuk merengkuh pinggangku. Dia menarikku mendekat padanya, sampai aku bisa merasakan keinginan dan hasratnya melalui kulit