Gabriel Aku menatap kosong ke arah dokumen di depanku. Aku masih sangat-sangat merasa kesal. Maksudku, memang Laras pikir siapa dirinya sampai bisa menghina Hana?Aku tidak bisa fokus jadi aku berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir di dalam. Benakku berkecamuk oleh banyak hal. Aku sedang berpikir dan mencoba untuk memikirkan segala cara untuk membuat dirinya mencicipi rasa neraka di dunia. ‘Kenapa kamu semarah ini? Bukankah kamu memperlakukan Hana sama buruknya ketika pernikahan pertama kalian beberapa tahun lalu?’Suara hatiku menghantuiku, tapi aku tidak mau mendengarnya, sebab suara hatiku benar. Aku sama sekali tidak memikirkan perasaannya sebelumnya dan dia terus menerus kusakiti, jadi apa yang sudah berubah?Aku melihat sorot mata Hana yang syok dan terkejut ketika kutarik dirinya ke tengah ruangan dan mengancam siapa pun yang berani untuk menyakitinya. Ketika kami di kantor, dia memandangku seolah tidak mengenaliku. Seolah dia tidak mengerti diriku dan itulah kenapa aku mem
Aku memutuskan untuk mengabaikan mereka, lalu aku berdiri untuk mengambil mantelku dan meninggalkan kantorku. Aku tahu, aku tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaanku sekarang, jadi untuk apa repot-repot kucoba selesaikan sekarang?Aku mengirim pesan pada supirku untuk menyiapkan mobilku sebelum menuju lift. Beberapa menit kemudian, aku sudah ada di parkiran bawah tanah. “Pak Wijaya,” ujarnya sambil sedikit menunduk saat membukakanku pintu. Aku mengangguk padanya saat aku masuk. Dia juga turut masuk dan segera saja kami menjauh dari gedung. Untuk menghabiskan waktu, aku memutuskan untuk mengecek tabloid. ‘Gabriel Wijaya Akhirnya Menikah, Disadur dari Pernyataan yang Dirilis Oleh Forum Sosial Media Perusahaan Wijaya’‘Bujangan Paling Berharga di Kota Ini, Gabriel Wijaya, Sudah Tidak Melajang Lagi’‘Sang Penakluk Wanita, Gabriel Wijaya, Akhirnya Mengikat Janji Suci’‘Gabriel Wijaya Dinyatakan Sudah Laku’‘Siapa Wanita Beruntung yang Bisa Membuat Seorang Gabriel Wijaya Mengikatnya deng
HanaKeesokan paginya, Gabriel tidak terlihat saat aku sarapan dan bersiap-siap untuk pergi bekerja. Saat masuk ke mobil dan bertanya pada supir di mana Gabriel, barulah aku tahu bahwa dia sudah berangkat kerja lebih dulu.Ini pertama kalinya kami pergi bekerja secara terpisah sejak aku mulai bekerja untuknya. Aku tidak tahu apakah aku harus merasa lega atau justru sebaliknya.Karena dia tidak ada, aku memutuskan untuk mengantar Lilly ke sekolah terlebih dahulu. Antusiasmenya belum juga surut. Sepanjang perjalanan ke sekolah, dia terus berbicara tentang Shella. Aku mengenal putriku, dan aku tahu dia belum pernah sesemangat atau sebahagia ini ketika menyangkut seorang teman perempuan.Tentu saja, dia punya teman-teman di tempat kami yang lama, tapi tidak ada yang pernah dia bicarakan sebanyak ini. Aku bisa berkata bahwa teman-teman itu lebih seperti kenalan semata daripada sahabat untuk putriku.Dia tidak pernah mengundang mereka untuk menginap, dan jika ada yang mengundangnya, dia akan
“Ya, tolong bantu aku,” jawabnya. “Boleh tolong ambil laporan mingguan dari setiap divisi? Karena kejadian kemarin, aku tidak bisa mengambilnya.”“Tentu, akan kulakukan. Aku akan menaruh tasku dulu di kantor, baru akan kuambil laporan itu.”Aku pergi setelah dia mengangguk. Aku bergegas ke kantorku lalu dengan cepat menaruh barangku sebelum pergi ke divisi lain. Ketika aku sampai di divisi pertama, atmosfir di ruangan itu terasa tegang begitu aku melangkah masuk ke sana. Semuanya menatapku. Aku benci diperhatikan dan aku harap mereka mengurus urusannya sendiri. Kuabaikan mereka, lalu aku melakukan keperluanku di sana sebelum pergi. Aku tidak bisa berteman, sebab Laras menyebarkan rumor bahwa aku merupakan seorang jalang yang tidur dengan Gabriel. Rumor itu cukup bagi yang lain untuk menghakimi dan menjauhiku. Aku menghela nafas lega saat aku sampai di divisi terakhir. Ada beberapa dari mereka yang memberiku senyuman hangat, tapi aku mengacuhkannya. Karena beritanya sudah tersebar, t
Nada suaranya yang tegas membuat siapa pun yang mendengarnya tidak bisa mendebatnya. Mereka yang mendengarnya harus setuju. “B ... Baik, Pak Wijaya,” ucapnya sambil terbata-bata. Raut wajahnya dihiasi oleh ketakutan akan ancamannya. “Sekarang, kembalilah bekerja. Kamu tidak dibayar di sini untuk mencari teman untuk bisa dimanfaatkan.”Pipinya merona karena malu sebelum dia berbalik badan dan bergegas menjauh. Orang di sekeliling bersikap seolah-olah mereka tidak melihat kejadian itu. Setelah itu, dia mengarahkanku ke dalam lift dengan lembut. Setelah pintunya tertutup, aku menoleh padanya. “Kamu dan kembaranmu kadang bisa begitu menakutkan,” ujarku dengan jujur. Aku sudah mendengar mereka. Mendengar soal duo dari Keluarga Wijaya. Bahkan orang tuaku takut akan mereka dulu, dan mereka bahkan saat itu belum berusia dua puluh tiga tahun. Mereka dengan mudah bisa membuat orang merasa terintimidasi. Mereka yang berani macam-macam dengan kembaran itu, tidak akan pernah pulih. Maksudku, a
“Sudah diputuskan, Shella dan aku sekarang teman baik,” ujar Lilly saat dia berjalan masuk ke dapur di mana aku tengah minum kopi saat koki kami menyiapkan sarapan. Hari ini hari Sabtu, jadi aku tidak bekerja dan dia libur sekolah. Hari ini kami hanya bersantai dan bermalas-malasan di rumah dan merilekskan diri. Setelah hari sibuk di kantor, aku perlu istirahat. “Wow, kamu sangat menyukainya ya?” tanyaku sambil menyesap kopiku dan mencoba menyembunyikan senyumanku. “Tentu,” ujarnya sambil duduk di meja bar sebelum mengambil sebuah pisang. “Ada banyak persamaan di antara kami. Dia suka menjelajah dan membaca sepertiku.”Ketika pertama kali dia mengatakan Shella, aku tidak berpikir mereka akan menjadi sepasang sahabat. Aku seharusnya tidak terkejut akan itu, sebab Lilly selalu membicarakannya setiap hari saat makan malam. Putri tercintaku tidak pernah memiliki sahabat. Seperti yang kukatakan, dia tidak berhubungan secara dekat dengan teman-temannya di sekolah lamanya. Aku tidak meng
“Bukankah itu gadis yang dibenci oleh Noah?” tanya Gabriel sambil menaikkan alisnya. Aku terkejut akan pertanyaannya, jadi aku melontarkan pertanyaan, “Kamu mengenalnya?”“Iya. Aku ingat Noah mengundang semua orang, kecuali dia ke pesta ulang tahunnya. Ava tidak menyukai idenya dan mereka sempat bertengkar hebat karena itu. Noah akhirnya mengalah, yah namanya juga Ava, dan dia mencintai ibunya. Shella datang ke pesta, tapi Noah mengabaikannya sepanjang waktu. Dia menghabiskan waktu di pesta dengan menjelajah atau menempel ke Ava.”Lilly, seperti biasanya, memutar bola matanya sebelum berkata. “Noah membencinya hanya karena Shella menyukainya. Aku tidak mengerti itu, tapi dia keren dan aku menyukainya. Kemarin kami resmi menjadi sahabat baik.”Gabriel tersenyum hangat padanya. “Kamu boleh mengundangnya menginap di sini kapan pun, Lilly. Apa pun buatmu.”Kali ini akulah yang memutar bola mataku. Gabriel jelas akan memanjakan Lilly. Syukurnya, aku akan ada di sini untuk memastikan dia ti
“Iya, Ayah,” jawab Lilly dengan senyuman manis sebelum kembali terfokus pada bukunya. “Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa lagi dalam beberapa jam ke depan.”“Manjakan dirimu, Hana. Kamu juga boleh ke pergi ke spa kalau mau,” ujar Gabriel dari belakangku. Aku hanya melambaikan tanganku padanya sebelum masuk ke lift. Beberapa menit kemudian, aku menuju ke mall. Kami sampai di mall dan aku keluar dari mobil sebelum berterima kasih pada supir. Aku mulai dari lantai pertama dan kemudian naik ke setiap lantai. Aku memutuskan untuk menunda spa, aku hanya akan berbelanja hari ini lalu kembali pulang. Beberapa jam kemudian, tanganku sudah penuh oleh tas belanjaanku dan aku belum menemukan sesuatu untuk dipakai kencan malam ini. Aku memutuskan untuk beristirahat sebelum aku lanjut. Aku menemukan sebuah kafe kecil yang terlihat nyaman. Sepertinya ini tempat yang tepat untuk minum milkshake di udara panas ini. Sial, aku hanya mau segera meletakkan tas belanjaan ini. Supir kami berkata dia tid
Sepanjang makan malam kami habiskan dalam diam. Dia memang harus minta maaf padaku, tapi aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Kalau aku harus jujur, aku tidak pernah mengira kalau Gabriel akan minta maaf padaku. Jadi, saat melihatnya melakukannya dengan tulus, aku dibuat tidak bisa berkata-kata. Kami selesai makan malam dan menelepon layanan kamar untuk kemari membereskan piring-piring kami. “Aku mau tidur. Apakah kamu perlu sesuatu sebelum aku tidur?” tanyaku begitu piring-piring sudah dibereskan dan karyawan hotel sudah meninggalkan kamar kami. Jauh di lubuk hatiku, aku merasa panik saat berpikir akan berbagi kamar dengan Gabriel, tapi mabuk udaraku menenggelamkan kecemasanku. “Aku juga mau tidur. Aku benar-benar lelah.”Aku menahan gelombang kepanikanku. Kupikir, aku akan tidur sebelum dirinya seperti biasanya. Hal itu akan memberiku waktu untuk rileks dan beristirahat sebelum dia bergabung dengan diriku. Aku sudah berpikir akan sudah tertidur saat dia memutuskan untuk ke ra
“Kamar mandi sudah kosong,” ujarku pada Gabriel ketika aku melangkah ke ruang tengah. “Aku sudah memesan makanan, silahkan makan tanpa menungguku.” Dia lalu berjalan melewatiku dan memasuki kamar mandi. Rasanya aneh kalau makan tanpa dirinya, dan aku juga tidak lapar. Jadi, aku mengambil ponselku dan memeriksa surel yang masuk, dan memikirkan apa saja yang dibutuhkan untuk besok. Aku tidak perlu menunggu lama, sebab kurang dari sepuluh menit kemudian, Gabriel sudah keluar dari kamar dengan kaus rumah dan celana panjang. “Kamu belum makan?” tanyanya sambil mengangkat alisnya saat menatap ke makanan.“Rasanya aneh kalau makan tanpa dirimu, padahal kamu yang memesan ini semua buat kita.”Dia menyeret kursinya dan mulai membuka makanan itu. Setelah mengambil beberapa porsi kecil, aku mulai makan. Aku sangat lelah meskipun sudah tidur di pesawat. Aku tidak bisa berhenti membayangkan kasur. Aku memang menolak untuk tidur bersama Gabriel, tapi sekarang aku tidak bisa berhenti memikirkanny
Beberapa menit kemudian, kami sudah berada di luar kamar kami, dan tiba-tiba perasaan asing menyergapku. Gabriel membuka pintu dan mendorongnya terbuka. Kami disambut oleh foyer yang dihiasi oleh lantai marmer yang berkilauan di bawah cahaya lembut lampu gantung yang mewah dan mencetak pola menawan di tembok. Lalu, ada area tengah yang luas, dihiasi oleh sofa empuk dan jendela besar yang memanjang dari lantai hingga langit-langit, yang menangkap bayangan kota yang memukau, mereka berkilauan layaknya lautan bintang-bintang. Terdapat juga sistem hiburan yang dapat membuat malam kami semakin nyaman, lalu ada juga dapur cantik dengan peralatan masak dari stainless steel dan meja dapur luas yang sempurna untuk memasak berbagai makanan. Ruang makan yang mewah juga memiliki suasana hangat, diperuntukkan untuk pertemuan antar kerabat. “Sepertinya kamu menyukainya?” tanya Gabriel dengan nada menggoda. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Seperti yang kukatakan, keluargaku juga sempat kaya, ka
Pesawat jet ini sedikit mengalami lonjakan di landasan. Tangan Gabriel menyelamatkanku dari jatuh terjerembab saat pesawat sudah mendarat. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil memandangku. “Ya.”Setelah Gabriel memberi tahuku soal wanita yang pernah dicintainya, tidak banyak yang terjadi setelah itu. Dia masih membawa luka yang masih menghantuinya. Luka yang masih membekas dalam dirinya.Aku bisa melihatnya dari sorot matanya setelah dia memberi tahuku segalanya. Dia tidak mau membicarakannya lagi. Dia sudah menceritakan hal soal dirinya yang tidak diketahui oleh orang lain, bahkan oleh saudara kembarnya. Aku tidak mendorongnya untuk melanjutkan ceritanya setelah itu. Aku tidak mendorongnya untuk memberi tahuku apa yang terjadi setelah dia mengetahui kebenarannya, atau apa yang terjadi pada wanita itu. Perasaannya saat ini rentan, dan aku paham bahwa dia butuh waktu untuk menenangkan dirinya, jadi aku memberikan ruang baginya. Aku menghabiskan setengah waktuku dengan memba
Bukankah cinta itu rasanya indah sekali? Tapi aku merasakan sesuatu telah terjadi. Sesuatu telah berubah. Kalau segalanya baik-baik saja, dia pasti akan bersama dirinya sekarang. Dia tidak akan pernah menikahiku. Suaranya serak saat dia melanjutkan perkataannya. “Segalanya berjalan dengan sempurna. Dia sangatlah luar biasa dan setiap harinya aku terus jatuh cinta lebih lagi padanya. Aku belum memperkenalkannya pada Rowan, sebab aku menginginkannya bagi diriku sendiri. Aku tidak menyembunyikannya, tapi aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya sebelum dia bertemu dengan keluargaku. Setiap hari aku bangun sambil berpikir, betapa beruntungnya diriku bisa menemukan seseorang sepertinya. Kamu tahu dunia kita, Hana, dan kamu tahu menemukan orang yang cocok tidaklah mudah.”Seperti itulah bagaimana cara kerja lingkungan kami. Sulit untuk menemukan seseorang yang benar-benar mencintaimu. Beberapa pernikahan di lingkungan kami hanyalah kesepakatan bisnis semata dan hanya sedikit pern
“Hana?” panggilnya. “Oh, maaf. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri tadi.” Aku lalu menggelengkan kepalaku untuk menepis pemikiranku. “Ya, aku sudah selesai berkemas.”“Baguslah, ayo pergi.”Sejam kemudian, kami sudah duduk di jet pribadi Gabriel. Tapi kali ini, aku menemaninya untuk menandatangani sebuah kesepakatan bisnis. “Apakah segalanya baik-baik saja? Apakah kau membutuhkan sesuatu? Aku bisa memanggil pelayan untuk membawakanmu apa pun yang kamu inginkan,” ujar Gabriel begitu jetnya lepas landas. Lihat apa yang kumaksud? Dia sangat perhatian. Di pernikahan pertama kami, dia tidak seperti ini. Aku tidak mengingat apa yang dilakukan Gabriel pernah menorehkan senyuman padaku. Bahkan, yang terjadi sebaliknya. Dia tidak pernah memikirkan apa yang kubutuhkan atau kuinginkan. Dia tidak pernah peduli apakah aku nyaman atau tidak. Dia tidak pernah peduli apakah aku hidup atau tidak. Dia hanya benar-benar tidak memedulikanku. Tapi sekarang sudah berbeda, itulah mengapa aku merasa ru
“Apakah Ibu benar-benar harus pergi?” tanya Lilly dengan pandangan yang berganti-ganti ke arahku dan koper yang terbuka di kamarku. Aku benci persiapan di menit-menit terakhir, tapi kami benar-benar sibuk di kantor selama beberapa hari terakhir ini, jadi setiap kali aku sampai di rumah, yang bisa kupikirkan hanyalah tidur. Kakiku sangat pegal dan aku tidak memiliki tenaga untuk melakukan hal selain makan dan tidur. “Ya,” balasku dengan lembut. “Ada sebuah kesepakatan penting dan ayahmu harus di sana untuk menandatanganinya ...”“Aku tidak paham mengapa aku tidak boleh ikut dengan Ibu? Aku mau melihat bagaimana cara Ayah melakukannya, cara dia menyetujui sebuah kesepakatan.”Aku tengah melipat sepotong pakaian terakhir, sebuah blus satin berwarna biru sebelum memasukkannya bersamaan dengan baju yang lainnya. Setelah selesai, aku menutup koperku sebelum menaruhnya di lantai.“Kamu pasti paham kalau kamu tidak boleh ikut,” jawabku sambil duduk di kasur. “Kenapa tidak?”“Karena kamu mas
Pernahkah kalian dibuat kehilangan kata-kata oleh perkataan seseorang? Seolah mereka membuatmu tidak bisa mengucap sepatah kata pun dan merasa bodoh di waktu yang sama? Itulah apa yang diperbuat oleh perkataannya padaku. Aku benar-benar membeku mendengar perkataannya sampai aku merasa merinding. Aku melihat sorot mata dan mendengar nada suaranya. Dia benar-benar serius dan baru saja melontarkan sebuah janji. Sebuah janji yang mau dipenuhinya. Apa yang kalian katakan pada situasi seperti ini? Bagaimana kalian menjawabnya? Apa jawaban kalian?Sisi dirinya ini benar-benar asing bagiku. Beri aku Gabriel yang arogan, egois, kasar dan yang suka menyakitiku, maka aku akan tahu bagaimana cara menanganinya. Tapi, sisi dirinya yang ini? Aku sama sekali buta akan sisi yang ini. Aku tidak tahu apa-apa soal bagaimana cara untuk berurusan atau menanganinya. Aku menyetujui pernikahan ini dengan tujuan yang jelas. Aku tahu apa yang sedang kuperbuat. Aku sudah bersiap untuknya, tapi sekarang, dia su
Dia berjalan ke arah bar kecil di pojok kantornya dan mengambil satu pak es serta menyelimutinya dengan handuk sebelum kembali ke arahku. Dengan lembut, dia meraih tanganku dan menempatkan es itu di atasnya. “Apakah sakit?” tanyanya dengan begitu lembut, sampai aku hampir tidak mendengarnya.“Sedikit.”“Aku tidak mengira kalau kamu akan berani untuk meninju seseorang.”Aku tertawa, sebab aku juga tidak mengira aku akan seberani itu. “Aku sudah tidak tahan lagi dan langsung beraksi tanpa berpikir lagi. Maafkan aku, sebab aku membuatmu dalam masalah. Seharusnya aku tidak meninju dia. Perilaku itu tidak menunjukkan citra diri dari seorang istri bos dengan baik.”Dia mendekatkan dirinya dan menatap intens ke mataku. “Jangan pernah minta maaf untuk membela dan mempertahanku dirimu sendiri, Hana. Kamu itu istriku, biarkan mereka tahu bahwa kamu bukanlah orang yang bisa sembarangan diinjak-injak.”“Aku tidak paham. Apakah kamu tidur dengannya?” Aku menyemburkan pertanyaan itu secara tiba-ti