Aku melepas ciumanku dan mendekatkan kepalaku ke telinganya. “Kumohon katakan padaku bahwa kamu menginginkannya,” pintaku dengan nada penuh harap. Sudah lama sekali sejak kami melakukannya dan aku tidak tahan lagi untuk segera menerkamnya. “Tentu,” ujarnya dengan nafas berat saat dia kembali menggesekkan tubuhnya di atas diriku. Tidak sampai dia bisa menyelesaikan perkataannya, aku segera berdiri dan meraih tangannya kemudian menyeretnya ke kamarnya. Aku tidak berhenti ketika kulihat pintu kamarnya yang tertutup setengah. Aku menendang pintu kamar itu sampai menabrak tembok dan membuat Ava melonjak terkejut. Tubuhku sudah begitu siap dan panas, dan aku sudah tidak sabar. Tidak akan ada yang menghentikanku dari memilikinya seutuhnya sekarang, kecuali kalau dia memintaku untuk berhenti. Tapi, ada satu hal yang harus kupejelas terlebih dahulu. Aku menatapnya dan menurunkan bajunya lewat lengannya dan membiarkannya terjatuh di lantai. Dia menatapku, pupil matanya membesar. Nafasnya m
Dia meraih punggungku dan memegang pantatku untuk menarikku mendekat padanya. “Kumohon jangan berhenti, aku menginginkan ini, Rowan,” ujarnya sambil mendesah. Aku menggerakkan tanganku untuk kembali menaikkan kamisolnya dan memperlihatkan buah dadanya. Dari bilah bahunya, kulihat putingnya yang berwarna pink dan kecil. Terlihat seperti ceri dan aku ingin menjilat, menghisap, dan melahapnya. Aku mencubit dan memilinnya sampai putingnya mengeras. Dia mengangkat kepalanya dan menyandarkannya di bahuku. Aku menggenggam rambutnya yang masih mengelilingi lehernya dan mengepalkannya dan menolehkan kepalanya ke samping agar aku bisa menggigit dan menjilat lehernya. Aku benar-benar lapar akan dirinya. Dia seenak yang kupikirkan. Aku menggenggam kedua dadanya di tanganku dan meremasnya. Dia membusungkan dadanya dan kembali menggoyangkan pantatnya di kejantananku dan membuatku hampir kehilangan kendali diriku. Aku mundur darinya dan kemudian berkata dengan suara serak, “Lepas rok dan dalamanm
Dia benar-benar membuatku menggila. Pandanganku tetap terfokus pada kewanitaannya dan pantatnya saat aku berjalan ke arahnya. Ketika aku berdiri beberapa jengkal dari kewanitaannya, kutaruh sebelah tanganku ke punggungnya. Dia terbaring di sana dan aku ingin agar payudaranya tetap terlihat. Nafasnya terkesiap saat merasakan sentuhan pertamaku. Aku menyentuh lehernya dan menekannya. Dia mengerti apa yang kuinginkan dan segera merundukkan dirinya sampai menopangkan pipinya di tangannya untuk menyamankan posisinya.“Lebarkan kakimu lagi,” ujarku padanya sambil menekan punggung bawahnya.Dia melakukan apa yang kusuruh, tapi itu tidak cukup. “Lagi,” geramku padanya dan menekannya lebih lagi. Dia melebarkan kakinya lebih lagi dan aku menghentikannya saat sudah cukup lebar. Dengan kedua tanganku, aku mulai dengan pantatnya dan menjalari pinggangnya sampai di payudaranya yang menempel pada ranjang. Aku menyisipkan tanganku di bawah sana dan memainkan putingnya lalu kembali pada pinggangn
Aku melirik ke tempat penisku berada di depan liangnya dan memperhatikan saat aku memasukkan setiap ujung batangku dengan satu gerakan halus dan lambat. “Sialan, Ava.” Aku mengerang dalam-dalam saat dia berteriak di balik selimut. Dia mencengkeramku erat-erat, sungguh mengherankan spermaku tidak meluncur begitu aku berada di dalam. Saat aku di dalamnya, rasanya hangat dan lembut, enak sekali. Ini adalah salah satu hal termanis yang pernah aku rasakan, dan aku tahu ini adalah satu-satunya saat saya merasakannya. Aku menarik pinggulku ke belakang hingga hanya ujungnya yang tertinggal di dalam. Melihat liangnya yang berkilauan memeluk kejantananku membuatku menahan erangan dan melawan dorongan untuk menghajarnya. Perlahan, aku meluncur kembali ke dalam dan menahan diri, membiarkannya menyesuaikan diri dengan ukuran tubuhku. Begitu aku merasakannya rileks, aku meraih pinggulnya dan membantingnya ke depan. Pada saat yang sama, aku menariknya kembali ke arahku. Dia merintih, menangis, dan
Rowan. Sial, aku benar-benar gugup. Jantungku berdegup kencang dan aku tidak bisa menghentikan tanganku yang gemetaran. Terakhir kali kami meakukannya, kami masihlah muda dan tidak ada dari kami yang menginginkannya. Dia mencoba untuk kabur bersama anakku dan aku marah sekali pada seluruh semesta karena aku harus menikahi wanita yang kubenci. Sebagian diriku bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau Ava berhasil kabur. Tentu saja aku akan marah besar bahwa dia kabur dan membuatku berkesempatan untuk tidak mengenal anakku, tapi apakah kami akan bisa berjumpa dengan satu sama lain nantinya?Aku tidak memahaminya sebelumnya, tapi sungguh, aku benar-benar yakin bahwa Ava-lah belahan jiwaku. Butuh beberapa waktu bagiku untuk menyadarinya, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. “Bisakah kamu tenang?” geram Gabriel di sampingku. Aku menghela nafas dalam dan mencoba untuk menenangkan diriku, tapi benar-benar tidak berguna. Sepertinya aku tidak akan bisa tenang sampai meliha
“Ya, benar kata Paman Gabriel. Ibu tidak akan kabur. Ibu benar-benar antusias untuk menikahimu lagi. Ibu begitu bahagia sampai sepertinya senyumannya akan cukup membuat seseorang turut menjadi bahagia.”Dia tersenyum miring, yang mana senyumnya terlihat sama sepertiku dan Gabriel. Baru saja aku mau membalasnya saat musik pernikahan dimulai. Aku mulai berdiri tegak dan menatap ke arah pintu masuk. Yang pertama masuk adalah Calista. Warna yang digunakannya membuatnya terlihat bersinar, tapi aku tidak peduli baik padanya maupun Ruby yang berjalan mengikutinya. Aku hanya mau melihat putriku dan calon istriku. Liliana akhirnya berjalan masuk dengan keranjang kelopak bunga kecil dan menghamburkan kelopak-ke bawah. Dia sekarang berusia dua setengah tahun, pertunangan kami sudah satu setengah tahun yang lalu. Hatiku dipenuhi oleh kebahagiaan. Aku melihatnya sambil tersenyum saat Liliana mencoba sekuat tenaga untuk fokus pada tugasnya. Saat setengah jalan menuju altar, dia menyadari keberad
Prolog dari buku kedua. Gabriel. Aku duduk di kantorku dengan pikiranku yang menerawang. Kekhawatiran akan saudaraku membuat benakku sesak siang dan malam. Sudah beberapa bulan sejak keributan yang disebabkan oleh Emma dan sejak dia akan menikahi Ava sebab dia telah menghamilinya. Sejak di hari dia kehilangan Emma, dia tidak sama. Seolah sesuatu di dalam dirinya rusak. Seolah dia hanya sedang setengah hidup. Travis berkata padaku bahwa Emma juga sama, tapi sebagaimanapun aku juga menyayanginya, dia bukanlah kekhawatiran utamaku. Aku hanya akan tetap loyal pada Rowan tidak peduli apa yang dilakukannya. Aku menarik laciku dan mengambil sekotak rokok. Aku menyumat sebatang dan menghisapnya dan merasakan diriku sedikit tenang. Aku tahu ini kebiasaan yang buruk, tapi aku tidak bisa berhenti. Tidak ketika hanya inilah hal selain seks yang bisa membuat diriku tenang. Aku berdiri dari kursiku dan menatap kantorku. Aku sedang magang di perusahaan keluarga kami. Perusahaan ini sudah berdiri
Memang itu bukan bagianku. Rowan-lah yang bertanggung jawab atas akuisisi bisnis baru. Dia benar-benar bekerja dengan sangat baik di bagian itu, tapi sekarang ini dia sedang tidak dalam kondisi baik untuk melakukannya. Di usia kami yang ke dua puluh dua, kami melakukan pekerjaan kami dengan sangat baik. Bukannya aku menyombong, tapi seluruh orang di industri ini mengenal si kembar dari Keluarga Wijaya. Segalanya berjalan dengan lancar sampai Ava menghancurkan segalanya. Jalang itulah alasan mengapa kembaranku hancur.“Aku tahu, tapi bukan itu alasanku ke sini,” ujarnya dengan nada datar. Aku harus memujinya. Kalau dia mengambil alih bisnis keluarganya lebih awal, mungkin dia bisa menyelamatkan perusahaan mereka, sebab aku bisa melihat di balik matanya, Andrew itu orang yang tajam dan culas. “Lalu, apa maumu?”Aku tahu apa yang dilakukannya. Dia membuatku merasa cemas dan aku tidak menyukainya.“Mudah saja,” ujarnya dan aku menelisik pandangannya. “Aku ingin kamu menikahi adikku.”“K
EmmaAku berjalan ke kantor Mia untuk sesi terapi lagi. Seperti yang biasa, aku pertama-tama melepaskan sepatuku sebelum duduk. “Hai, Emma,” ujar Mia dengan senyuman yang ditujukan untukku. Senyumannya begitu ramah dan hangat seperti biasanya. Senyumannya membuatku merasa tenang dan rileks. “Hai, Mia.”“Oke, kamu tahu apa yang akan kita lakukan pertama-tama. ‘kan?”Dia bertanya dan aku menganggukkan kepalaku. Aku mengambil nafas dalam sebelum menutup mataku. Aku menelisik isi benakku. Aku tidak bisa terus berpegang padanya selamanya. Alih-alih, aku membiarkannya lepas tanpa menyelami isinya.Aku menepis pemikiran mengenai Calvin, Guntur, kakakku, Ibu, dan Ava. Aku menjernihkan pikiranku sampai tidak ada apa-apa di dalamnya. Sampai isi kepalaku kosong dan aku merasa damai. Ketika sudah selesai, aku membuka mataku. “Apakah kamu sudah siap untuk mulai?” tanya Mia yang memerhatikanku. Aku mengangguk, “Iya.”“Ketika kita terakhir kali berbincang, kamu memberi tahuku bahwa kamu siap un
“Aku tahu bahwa mungkin kamu bingung, tapi alasan aku memberi tahumu ini adalah karena aku ingin agar kamu memberikan kesempatan bagi Gabriel. Aku tahu bahwa dia mengacau sebelumnya, tapi kalau dilihat dirinya sekarang, aku bisa tahu bahwa dia mencintaimu. Kedua putraku ini menuruni kebodohan ayahnya kalau soal wanita yang dicintai mereka. Meskipun sebagian kebodohan Rowan itu disebabkan karena kami sebagai orang tua, baik aku, Antony, dan kedua orang tua Emma, kami mengacaukannya.”“Sarah ...” aku mencoba untuk menimpalinya, tapi dia memotongku. “Sepertinya memang dari genetik keluarga ini. Sepertinya peribahasa buah tidak jatuh jauh dari pohonnya itu benar, sebab kedua putraku menyakiti wanita yang dicintai oleh mereka, sama seperti yang dilakukan Ayah mereka padaku. Apa yang kuminta padamu adalah untuk memberinya kesempatan, sebab peribahasa yang sama juga berlaku dalam sisi positifnya. Ketika pria dari Keluarga Wijaya jatuh cinta, mereka mencintai wanita dengan sepenuh hati dan ji
“Apakah makanannya sudah siap?” tanyaku ke pengurus rumah ketika aku memasuki dapur. Dia menjawab dengan senyuman lembut, “Belum, tapi akan siap dalam beberapa menit.”“Baiklah, biar aku menyiapkan mejanya.”Dia baru saja akan membantah, tapi dengan cepat kupotong argumennya. Aku mau membantu. Karena dia memasak, inilah setidaknya yang bisa kulakukan. “Apakah kamu perlu bantuan?”Aku menengadah dan melihat Ibu Gabriel dari sisi meja makan yang berlawanan. Aku menyusun piring di meja dan memberinya senyuman. “Iya. Tapi, aku hampir selesai.”Dia berjalan ke arahku dan mulai membantu menyusun gelas dan sendok. “Jadi, Hana, bagaimana perlakuan putraku terhadapmu?” tanyanya secara tiba-tiba. Aku tidak segera menjawab. Aku perlu beberapa saat untuk memikirkan pertanyaannya, bukan karena aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, tapi karena nada suaranya. Dia bukan hanya sedang memulai perbincangan. Dia benar-benar ingin tahu bagaimana perlakuan Gabriel terhadapku. Sepertinya aku terdia
“Kenapa aku membiarkan kalian berdua memengaruhiku dalam rencana kalian?” tanyaku dengan penuh nada frustasi sambil menatap Gabriel dan Lilly. “Sekarang, kita terlambat.”Mereka berdua sama sekali tidak terlihat merasa bersalah. Lilly tersenyum dan matanya berbinar akan kebahagiaan, sedangkan Gabriel mengulas senyumnya. Mereka berdua terlihat puas akan diri mereka sendiri. Aku menghela nafas kalah, bingung akan apa yang harus kuperbuat dengan mereka berdua. Aku bisa jelas melihatnya. Pasangan Ayah-anak itu selalu bekerja sama untuk membuatku kewalahan. Mereka selalu bergabung untuk ‘mengerjaiku’. Aku menatap sinis Lilly, lalu berucap, “Mana solidaritasmu?”“Ibu harus mengakui bahwa ini menyenangkan, ‘kan?” ujarnya sambil meraih lenganku dan Gabriel. Dia terlihat sangat bahagia. Bahkan, dia terlihat lebih bahagia dari biasanya sejak kami kemari. Tentu saja, kami memang bahagia, tapi tidak sebahagia ini. Lilly berhubungan baik dengan Eddy, tapi hubungannya tidak sebaik dengan hubunga
Aku memutar badanku untuk melihat ke sekeliling, sebelum akhirnya menatap Gabriel yang menatapku dengan penuh harap. “Rumah ini besar sekali, Gabriel!” Aku tahu bahwa masih ada banyak ruangan lagi, tapi akan kujelajahi lagi nanti. “Ada berapa banyak kamar tidur di sini?”Dia mendekat ke arahku. “Delapan kamar tidur dan dua kamar tamu.”Aku terpaku sampai tidak bisa berkata apa-apa saat kulihatnya. Tentu, kami memang tumbuh di rumah yang besar, tapi rumah itu hanya sampai memiliki lima kamar tidur. Itu juga sudah lebih dari cukup. “Sepuluh kamar tidur itu terlalu banyak Gabriel,” ujarku sambil tertawa kecil gugup. Apa yang akan kami lakukan dengan ruangan sebanyak itu?Dia kembali mendekat padaku, sebelum melingkarkan lengannya di pinggangku dan menarikku ke arahnya. Aku menempatkan tanganku di dadanya dan merasakan detak jantungnya yang berdegup. “Aku serius saat mengatakan bahwa aku menginginkan anak lagi, Hana.” Pandangannya menelisik secara dalam ke diriku. “Aku hanya tengah berj
Aku menatapnya dengan bingung. Aku mencoba untuk berbicara, tapi tidak ada yang bisa keluar dari mulutku saat pandanganku berganti dari Gabriel ke rumah itu. “Rumah ini cantik sekali!” seru Lilly. Keantusiasannya nampak saat dia melompat kegirangan, seolah dia benar-benar ingin meninggalkan kami dan memasuki rumah itu. “Di sinikah kita akan tinggal? Inikah rumah baru kita?”Pandangan Gabriel beralih dariku ke putri kami yang tersenyum lebar. “Kalau ibumu menyukainya, maka iya. Rumah ini akan menjadi rumah baru kita.”Pandanganku kembali ke rumah itu dan memandanganya dengan takjub. Rumah ini berdiri megah dengan berlatarkan perbukitan, kemegahannya terlihat dari berbagai sudut. Rumah ini perpaduan cocok antara elemen klasik dan modern, yang menggunakan eksterior marmer putih yang berkilauan di bawah cahaya matahari. Ada juga pahatan batu rumit di setiap sudut dan lekukan, membuat rumah ini terlihat elegan yang tidak akan lekang oleh waktu.Bagian pintu masuknya didominasi oleh sepasa
Aku menggelengkan kepalaku dan menepis pemikiran itu. “Ibu tidak tahu. Ayah bilang ini kejutan.”“Aku suka kejutan!” serunya. “Astaga,” gumamku. “Ayo pergi.”Lilly secara hati-hati menaruh bukunya sebelum melompat turun dari ranjangnya. Dia meraih tanganku dan menarikku keluar dari kamarnya. Kami melihat Gabriel menunggu kami di pintu sambil menyilangkan kakinya, dan melipat tangannya di dada bidangnya. Dia mengenakan kaus berleher V hitam yang terlihat ketat di pundaknya. Paha berototnya dibalut oleh celana jins Calvin Klein. Pose tubuhnya seperti ini membuatnya lebih menarik. “Suka apa yang kamu lihat?” goda Gabriel dengan senyuman miring. Perkataannya menarikku dari pemikiranku. “Hmm,” gumamku.Lilly mendecakkan lidahnya, untuk mengingatkanku bahwa dia ada di sini. “Aku tahu Ayah itu tampan, tapi kalian berdua ini menjijikkan.”“Tunggu saja sampai kamu bertumbuh dewasa dan bertemu dengan pria yang membuat jantungmu berdegup,” godaku sambil mencubit pipinya dengan lembut. “Setiap
Hana“Aku ingin kamu dan Lilly menemaniku ke suatu tempat,” ujar Gabriel.Aku di kamar kami dan melipat baju bersih. Memang, kami memiliki asisten rumah tangga, tapi aku tidak terbiasa untuk dibantu dalam pekerjaan rumah. Rasanya aneh bahwa aku terbiasa melakukan segalanya sendirian, dan sekarang ada orang lain yang melakukan hal itu untukku. Aku suka sibuk. Aku tidak bisa menghabiskan akhir pekan dengan tidak melakukan apa-apa. “Orangtuamu akan kemari untuk makan malam, Gabriel. Apakah kamu sudah melupakannya?” tanyaku. Aku membawa sebagian dari baju yang sudah terlipat itu dan berjalan menuju lemari kami yang luas, di mana aku menaruhnya sesuai tempatnya. Gabriel itu sepertiku, sangat rapi. Sedangkan Eddy tidak, dan hal itu sering membuatku kesal sampai aku marah. Kami menikah, jadi kami harus menemukan cara untuk betah tinggal bersama dengan kekurangan masing-masing. Memang tidak mudah, tapi kami selalu menemukan jalannya. Aku keluar dari tempat lemari dan melihatnya terduduk di
HanaSudah hampir dua minggu sejak Gabriel membuat janji padaku yang meluluh lantakkan seluruh pertahananku, aku hampir memberinya kesempatan kedua. Aku bersumpah, aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan sebahagia ini. Hidupku bersama Eddy memanglah indah, tapi saat bersama dengan Gabriel, hidupku jauh lebih indah lagi. Mungkin karena Gabriel-lah pria yang kucintai. Dialah pria yang memiliki tempat di hatiku selama hampir satu dekade. Bohong kalau kukatakan aku tidak takut. Masih ada sebagian kecil diriku yang berpikir segalanya akan berbalik. Lagipula, ini bukan kali pertama dalam hidupku, di mana orang yang kukasihi diambil dariku. Ada juga ketakutan bahwa segalanya berjalan dengan begitu mudah, ah kalian tahu lah. Seperti, bukankah seharusnya segalanya sedikit lebih sulit? Sedikit lebih susah. Sedikit lebih menantang ... atau hanya ini sisi diriku yang tidak mau maju?Mungkin aku terbiasa untuk tidak mendapat apa yang kuinginkan, yang mana membuatku bertanya-tanya ketika akhirn