Ruby dan Calista seharusnya datang beberapa menit lagi, tapi aku tidak bisa tenang. Sejujurnya, aku tidak tahu mengapa aku begitu gugup. “Ava, haruskah kupersiapkan minuman dan makanan ringan untuk tamumu?” tanya Teresa sambil berjalan ke ruang tamu. Aku menganggukkan kepalaku. “Boleh, ide bagus. Terima kasih.”Liliana tidur dengan tenang di ranjang lipatnya. Noah di sekolah, dan Rowan bekerja. Aku menghela nafas dengan frustasi. Noah masih kesal padaku karena memaksanya mengundang Shella ke pesta ulang tahunnya. Dia tidak bicara padaku. Ketika aku bertanya atau berbincang dengannya, dia hanya menatapku dengan tajam. Perilaku dan sikapnya semakin membuatku kesal. Aku mengerti dia tidak menyukai gadis itu, tapi menolak untuk mengundangnya saat yang lain hadir di pestanya itu benar-benar kejam. Aku tidak mau memiliki putra yang seorang pembenci. Selain itu, dia tidak harus berbicara atau berinteraksi dengannya. Aku yakin pasti ada banyak anak-anak di sana nanti yang akan menyibukkann
“Benar, tapi anakmu nanti juga akan rupawan ... maksudku, kamu cantik dan Travis, di luar sifatnya, dia seksi sekali,” sahut Calista. “Kamu belum melihatnya telanjang. Pria itu benar-benar pahatan sempurna,” ujar Ruby dengan senyum miringnya. Aku menggaruk hidungku. “Kumohon berhentilah,” mohonku padanya. Kami memang bukan saudara kandung, tapi seumur hidupku, kukenal dia sebagai kakakku. Mendengar Ruby membicarakan ini tentangnya membuatku ingin terjun bebas saja. Dia menatapku dan tertawa, tapi dia tidak melanjutkan topik ini. Aku berbalik pada Calista. “Bagaimana denganmu?”“Sepertinya kamu harus coba mengencani Gabriel,” saran Ruby. Calista terlihat mengernyitkan dahi, lucu sekali. “Keren bukan kalau kita semua mengencani ketiga sahabat itu?”“Tidak, terima kasih. Gabriel itu pemain wanita, astaga. Katanya dia ada wanita baru setiap minggunya. Selain itu, dia bukan tipeku,” dia berhenti sejenak. “Ditambah, aku tidak ada waktu untuk berkencan atau untuk berada di hubungan serius
“Jadi, menurutmu aku harus apa?” tanya Calista sambil melihat ke kami berdua dan menunggu jawaban. “Oke, hal pertama. Apakah kamu menginginkannya?” tanyaku dengan penasaran. Itulah pertanyaan pertama yang harus ditanyakannya pada dirinya sendiri. Kami tidak akan membicarakannya lebih lanjut sampai dia menjawab pertanyaan itu. “Yah, aku benar-benar tertarik padanya, tapi aku tidak tahu apakah aku harus terlibat dengannya. Polisi masih mengejarnya, dan aku tidak mau hubungan ini akan menjadi pedang bermata dua dan menghancurkan segala yang sudah kukerjakan,” jawabnya setelah beberapa saat. Aku mengerti apa yang dimaksud olehnya. Reaper bukan orang biasa. Dia seorang kriminal, yang berarti terlibat dengannya akan ada konsekuensi besar menunggu, dan itu membuatku bertanya-tanya apa yang kupikirkan sampai aku berteman dengan pria itu. Aku paham bahwa dia adalah pamannya Liliana, tapi pria itu berbahaya dan dikejar oleh polisi. “Menurutku kamu harus mencobanya. Tidurlah bersama denganny
“Betulkah?” tanya Ruby dengan terkejut. “Iya,” jawabku. “Aku mengobrak-abrik lemariku hari ini untuk bersiap, dan tidak ada yang pantas untuk dipakai kencan. Aku bahkan tidak memiliki gaun pendek hitam.”Jujur saja, ini mengejutkan. Aku mengingat satu ingatan bersama Ethan. Kami berkencan dan aku memakai dress ketat yang cantik berwarna merah. Bukannya aku berencana memakai itu, tapi itu tidak ada di lemariku. Di sana hanya ada jins dan gaun musim panas.“Jangan khawatir, teman kami yang terkasih. Kami akan membantumu. Ah, sepertinya kita harus berbelanja,” ujar Calista dengan riang. Itu terdengar menyenangkan, tapi aku tidak bisa melupakan Liliana. Aku tidak mau membawanya berbelanja, sebab kita semua tahu bahwa berbelanja itu lama dan melelahkan, aku juga tidak mau meninggalkannya sendirian di sini.“Aku tidak tahu,” gumamku sambil menggigit bibirku. Bukannya aku tidak memercayai Teresa, tapi aku merasa tidak nyaman kalau meninggalkannya bersamanya. Aku tidak masalah kalau ada No
“Tentu.”Setelah itu, dia memutus sambungan. Aku menghela nafas, merasa kecewa dia tidak menawarkan solusi. Dalam titik ini, aku berpikir aku akan menerima tawaran Calista atau kami akan pergi bersama Liliana, yang mana akan memusingkan. Berbelanja bersama bayi memang memusingkan. Aku membawa ponselku bersamaku dan aku menuruni tangga. Liliana masih tertidur, dan Ruby serta Calista berbincang. Makanan ringan yang dibawakan Teresa sudah hampir habis. “Jadi, apa katanya?” tanya Ruby setelah menelan biskuit. Aku menjawabnya sambil mengedikkan bahu. “Tidak banyak. Dia hanya menyuruhku menunggu sampai dia terpikir akan sesuatu.”Aku duduk dan mengambil sepotong biskuit. Aku memakannya dan mengunyahnya sambil hampir mendesah akan seberapa enaknya biskuit ini. Teresa berkata padaku bahwa dia menggunakan resep rahasia yang diwariskan dari nenek buyutnya. Aku belum menerornya untuk memintanya berbagi resep rahasia itu padaku. “Astaga, Teresa benar-benar jago memasak. Rasanya enak sekali,” p
“Ambil ini,” perintahnya sambil memberiku kartu kreditnya yang merupakan black card. Aku menatap kartu itu dengan tidak yakin. “Rowan ...”“Ambillah, Ava. Kamu istriku sekarang, yang berarti apa yang menjadi milikku juga milikmu. Kamu mungkin memiliki uang, tapi selama kita bersama, kamu tidak boleh menggunakannya.”Aku mengerutkan dahiku dengan bingung, lalu pandanganku beralih dari kartu itu ke dirinya. Aku tidak mengerti apa yang dimaksud olehnya dengan ‘Aku memiliki uang’. Aku tidak ada waktu untuk menanyakan itu atau mendebatnya, sebab dari caranya melihatku, aku tahu dia akan bersikukuh. “Baiklah,” gumamku sambil mengambil kartu itu. “Terima kasih.”Aku tidak berencana untuk menggunakannya, tapi dia tidak perlu tahu itu, ‘kan? Setelah mengucapkan selamat tinggal, aku pergi dari rumah kami. Kami bertiga pergi pakai satu mobil, dan satu dari pengawal menyupir kami ke mall. Aku benar-benar merasa senang dan rasa senang itu tidak tertahankan. Segera saja, kami sampai, dan setelah
Aku mematut diriku di depan kaca, merasa senang akan penampilanku. Rambutku digelung ke bawah dan sisa rambut yang diombak dan membingkai wajahku. Malam ini, aku mau terlihat berbeda, sebab ini kencan pertamaku dengan Rowan, jadi aku memutuskan terlihat sopan tapi seksi. Aku mengenakan riasan mata dengan aksen gelap dan lipstik merah. Untuk gaunku, aku memilih gaun hitam selutut. Leherku dilingkari dengan kain tipis di gaun itu. Gaun itu menunjukkan cukup sedikit belahanku, cukup untuk terlihat menggoda, tapi tidak terlihat murahan. Punggungku terbuka dan aku yakin akan membuat pria manapun menggila. Aku terus mematut diriku saat aku mengelus kain itu. Gaun ini memperjelas lekuk tubuhku, dan karena aku baru melahirkan, aku cukup berisi di tempat yang benar. “Ya ampun, sayang. Kalau aku belok, pasti aku akan segera melahapmu,” puji Ruby dengan riang. “Seksi sekali dirimu. Bahkan model papan atas tidak ada apa-apanya.”“Benar,” sahut Calista. Mereka sudah pergi beberapa jam lalu. Kam
Perjalanan kami tidaklah lama, dan selain dari perbincangan kecil kami, kami banyak terdiam. Untuk kali pertama dari yang bisa kuingat, keheningan di antara kami ini terasa nyaman. Pada beberapa kesempatan langka ketika kami berkendara bersama, Rowan selalu berusaha keras untuk mengabaikanku, sementara aku mencoba sekuat tenaga untuk mengajaknya bicara. Akibatnya, suasana selalu terasa canggung dan aneh. “Mengapa kamu tersenyum?” tanyaku saat dia keluar dari mobil untuk membantuku turun. Senyumnya seharusnya jadi senjata pemusnah massal untuk wanita. Tentu, dia tampan, tapi ketika Rowan tersenyum, penampilannya seolah naik ke level yang lebih tinggi. “Apa aku tidak boleh senang karena sedang mengajak wanitaku pergi?” tanyanya dengan kepalanya sedikit ditolehkan ke arahku. Entah kenapa aku tertawa kencang. Padahal aku bukan tipe wanita yang suka tertawa seperti itu. Aku tidak pernah melakukannya seumur hidupku. Bahkan, aku dulu merasa jijik ketika melihat wanita dewasa tertawa
Dia mulai berjalan lagi dan aku mengikutinya dari belakang.“Ini kantor Rowan,” ujarnya setelah kami berhenti di depan sebuah pintu.Namanya tertulis di pintu itu. Aku mengangguk, tidak begitu paham kenapa aku perlu tahu soal ini. Ya, aku akan bekerja untuknya, tapi apa aku benar-benar perlu berurusan dengan atasan lain?“Kantorku tepat di sebelahnya, tapi biar kutemani keliling perusahaan dengan cepat sebelum aku minta sekretarisku yang lain untuk menunjukkan sisanya dan membimbingmu tentang tugas-tugasmu nanti.”“Itu benar-benar tidak perlu ... sekretarismu saja pasti bisa menemaniku berkeliling. Kamu pasti punya banyak hal yang harus dikerjakan,” ujarku dengan suara yang dibuat manis.Gabriel terkenal karena sering tidur dengan asisten pribadinya, dan dia tidak pernah benar-benar menyembunyikan fakta kotor itu.Hal itu sangat menggangguku waktu kami masih menikah. Aku benci mengetahui kalau dia suamiku, tapi tetap saja dia tidak bisa menjaga diri. Bukan berarti aku tidak bisa member
“Hana, keluarlah dari mobil sekarang! Kamu membuang-buang waktuku,” bentak Gabriel padaku.Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya. Alisnya mengernyit dan dia terlihat tidak sabar dan kesal. Aku mendesah sebelum turun dari mobil. Inilah Gabriel yang biasa kutemui. Dingin, arogan, dan kasar.Aku merapikan rokku sebelum mengambil tas tangan. Dia mulai berjalan, dan aku mengikutinya dari belakang seperti anak domba yang digiring ke rumah jagal. Rasanya aku sangat gugup, seolah jantungku hampir meloncat keluar dari dadaku.Aku sedang memasuki dunia Gabriel. Wilayahnya. Rasanya tidak nyaman dan menakutkan berada di tempat di mana dia memiliki kendali penuh atas setiap aspek.Gabriel menekan tombol lift, dan pintunya terbuka. Aku masuk, berdiri di sebelahnya, dan mencoba menenangkan detak jantungku yang berdebar kencang."Satu-satunya yang punya akses ke lift ini adalah keluargaku, dan lift ini langsung membawa kita ke lantai atas, tempat kantor kami," ujarnya lalu melanjutkan, "Aku akan mena
HanaHandi, salah satu sopir Gabriel, membukakan pintu untukku, dan aku masuk lalu diikuti Gabriel yang duduk di sampingku. Aku masih belum percaya bahwa aku setuju untuk ini, tapi jauh di lubuk hati aku tahu ini masuk akal. Gabriel benar, tidak ada cara yang lebih baik untuk mendapatkan pengalaman dalam mengelola perusahaan selain belajar dari yang terbaik. Dalam hal bisnis, Gabriel dan Rowan adalah yang terbaik. Mereka bahkan melampaui Ayah mereka, yang sudah pensiun tapi masih menjadi kepala dewan direksi.Butuh waktu untuk bersiap-siap karena aku tidak bisa memutuskan pakaian apa yang akan kupakai. Kebanyakan waktu aku bekerja dari rumah, dan saat aku pergi ke kantor, aku mengenakan pakaian kasual karena perusahaan tempatku bekerja dulu agak santai dalam hal pakaian. Aku ingin terlihat rapi dan memberi kesan pertama yang baik. Aku tidak punya banyak pakaian kerja dan berencana untuk berbelanja akhir pekan ini. Uangku memang terbatas, tapi aku masih bisa membeli beberapa rok dan blu
Gabriel. Aku bangun dengan menggeram dan kejantananku yang sekeras batu. Sial, ketika aku menandatangani surat kontrak pernikahan dengan Hana, aku tidak memperkirakan seberapa menyiksanya ini. Aku tidak memperkirakan bagaimana dia akan membuatku merasa seperti ini. Aku tengah terangsang, dan kejantananku seolah protes seberapa sulitnya menahan ini. Aku beranjak dari ranjangku dan berjalan ke kamar mandiku yang tempatnya dekat dengan kejantananku yang mengeras. Aku masih tidak paham bagaimana hal ini bisa terjadi. Maksudku, aku bukanlah seorang remaja yang tidak bisa mengendalikan nafsunya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku terbangun dengan kejantananku yang menegak. Bahkan belum sebulan sejak Hana kembali, dan aku bertingkah layaknya anak SMA. Aku jujur tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Aku tidak tahu bagaimana bisa dia memengaruhiku seperti ini, padahal dulunya tidak. Selain dari kemolekan tubuh dan sifatnya, dia masihlah Hana yang sama yang kukenal dulu, jadi aku tidak
“Apa yang kamu lihat larut malam begini?” Suara berat dari belakang mengejutkanku.“Astaga, kamu membuatku kaget,” gumamku sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdebar kencang. “Jangan pernah muncul diam-diam seperti itu lagi.”Gabriel berjalan mengelilingi meja dapur dan berdiri di sisi seberang. Begitu dia berdiri di situ dan aku melihatnya, tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. Aku merasa kehausan, seolah-olah sudah lama tidak minum, dan menelan ludah pun menjadi masalah besar.Gabriel tidak mengenakan apa pun kecuali celana olahraga abu-abu yang menggantung rendah di pinggulnya. Pria ini seperti karya seni dengan tubuh Dewa Yunani. Bahunya yang lebar, perutnya yang berotot, dan garis “V” yang pasti membuat siapa pun tergila-gila.Ada jejak rambut gelap yang dimulai dari pusarnya dan menghilang ke dalam celananya. Seolah-olah itu menunjuk ke arah kejantanannya.Aku ingin memalingkan mata, tapi itu mustahil. Mataku menikmati pemandangan itu seolah-olah dia adalah satu-satunya
GabrielAku masih bisa merasakan lembutnya kulitnya di bawah sentuhanku. Sesaat, aku ingin menggesekkan ibu jariku di persendian lengannya yang berdenyut.Versi baru dirinya ini menarik perhatian. Dia dipenuhi oleh semangat, dan sikap barunya adalah sesuatu yang bisa membuatku terobsesi. Aku suka wanita yang percaya diri, seksi, dan punya kepribadian berapi-api. Aku suka sekali ketika mereka melawan dan menantang balik.Dia telah bertransformasi menjadi tipe wanita seperti itu, dan ini membuatku tertarik. Dia tangguh dan tidak takut mengatakan padaku untuk pergi jauh. Kenapa aku tidak akan tertarik pada itu?Saat kami menikah, dia membosankan. Kepribadiannya yang hambar membuatnya tampak kusam di mataku. Tidak ada yang menarik darinya. Dia terlalu penurut, sementara aku menyukai wanita yang memiliki ‘cakar’. Dia melakukan segalanya untuk menyenangkan dan menarik perhatianku.Dia berusaha keras untuk membuatku tertarik padanya, tanpa menyadari bahwa hal itu justru membuatku semakin menj
Hana“Apa maumu, Gabriel? Seperti yang kamu lihat, aku sedang tidak ingin bicara.” Aku bangkit dari lantai sambil menghapus air mataku.Kata-kata Lilly masih terngiang di kepalaku serta menyayat hatiku berulang kali. Aku mengusap rambutku untuk mencoba mengusir rasa sakit yang kurasakan. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu dia mungkin tidak akan menerimanya dengan baik.Maksudku, bagaimana bisa seseorang menerimanya dengan baik ketika ibunya tiba-tiba mengungkapkan bahwa pria yang selama ini dianggapnya Ayah ternyata bukan ayahnya? Bahwa dia telah dibohongi dan tidak ada yang mau memberi tahu kebenarannya hingga keadaan memaksa. Aku mengerti perasaannya dan paham reaksinya. Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapi kata-katanya dan rasa sakit yang kulihat di matanya.“Dia tidak benar-benar bermaksud begitu,” ujar Gabriel sambil berjalan lebih dekat ke kamarku.Aku menatapnya tajam dan merasakan sesuatu yang buruk membuncah di dalam diriku. “Bagaimana kamu tahu? Kamu bahkan belum cukup
HanaMinggu ini benar-benar kacau. Sejak kembali ke kota ini, rasanya aku terus-menerus berlarian menyelesaikan berbagai urusan tanpa sempat istirahat sedikit pun.Setidaknya Lilly sekarang merasa lebih nyaman. Gabriel menolak untuk mengirim kasurnya karena kasur di sini lebih nyaman, tapi dia setuju untuk mengirimkan seprai dan selimutnya. Itu sudah cukup membuat perubahan, dan sekarang dia bisa tidur nyenyak sepanjang malam.Gabriel … dari mana aku harus memulainya? Dia pulang ke rumah meskipun larut malam, tapi hanya sebatas itu. Kami saling menghindari dan mencoba hidup seperti tidak saling ada. Kurasa ini cara terbaik untuk kami. Ini akan mencegah Lilly melihat kami bertengkar terus-menerus.“Ibu, katanya ingin bicara denganku?” Suara Lilly menarikku dari lamunanku.Aku meletakkan pakaian yang sedang kulipat dan duduk di tempat tidur sebelum memberi isyarat padanya untuk melakukan hal yang sama. Dia melangkah mendekat dengan dahi berkerut dan duduk di sebelahku.Kami berada di kam
Punggung wanita itu membelakangiku, begitu juga dengan Guntur. Aku tidak perlu mengkhawatirkan Calvin, sebab dia terlihat begitu tergila-gila dan mengarahkan perhatiannya pada setiap perkataan wanita itu dengan senyuman lembut di bibirnya.Lagi-lagi, perasaan tidak nyaman menyusupi diriku. Mengapa aku merasa aku tidak bisa bernafas? Kerongkonganku terasa tercekat melihatnya. Aku berfokus pada mereka. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan karena mereka berjarak beberapa meja dariku, tapi kedamaian dan kebahagiaan di wajah Calvin sudah cukup untuk membuatku tahu apa yang tengah terjadi. Dia sedang berkencan dan Guntur ikut. Wanita itu bahkan tidak mempermasalahkannya, tapi tidak mungkin aku akan membiarkan wanita lain menggantikanku di kehidupan putraku. Aku tidak bisa melihat Guntur, tapi aku tahu, seperti dengan Calvin, dia senang bisa berada di sini. Calvin pasti akan langsung pergi dengan putra kami kalau dia merasa sebaliknya. Entah mengapa, aku tetap ada di sana meski