Emma. Aku terduduk lemas di selku. Kalau ada yang berkata bahwa penjara itu bagaikan neraka, itu benar adanya. Pekerjaanku adalah untuk membela yang benar dan mengirim kriminal ke penjara. Aku tidak pernah berpikir akulah yang akan dijebloskan ke sini suatu hari nanti.Aku belum tidur nyenyak sejak aku tiba di sini sekitar dua minggu yang lalu. Seolah-olah, begitu aku masuk ke dalam sel, aku menjadi musuh bagi semua narapidana. Entah mengapa, mereka membenciku, dan mereka membuktikan seberapa besar kebencian itu.Di benakku, aku tahu semua ini adalah ulah Rowan. Seharusnya aku tidak pernah menentangnya. Seharusnya aku tidak pernah meremehkan apa yang dia rasakan untuk Ava. Rowan yang aku kenal. Rowan-ku, dia tidak akan pernah menyakitiku. Dia tidak akan pernah melakukan apa pun untuk menyebabkan aku terluka.Bisa dibilang, anak laki-laki yang aku cintai dan hargai selama ini sudah lama hilang. Anak laki-laki yang aku jatuh cinta padanya tidak ada di tempatnya. Di tempatnya ada seorang
Ava.“Ibu, bolehkah Guntur menginap akhir pekan ini?” tanya Noah, tapi pikiranku melayang-layang. Aku dipenuhi dengan rasa gugup. Aku tahu aku bilang akan mengunjungi Ethan saat aku siap, tetapi situasinya telah berubah. Entah kenapa, masalah ini terus menggangguku. Terus merasuki pikiranku hari demi hari.Aku belum sempat berbicara dengan Rowan tentang ini. Dia jelas membenci Ethan. Tidak perlu menjadi orang jenius untuk menyadari itu. Bukan berarti aku ingin meminta izinnya atau semacamnya. Aku tetap akan pergi menemui Ethan, entah dia suka atau tidak.Yang membuatku khawatir adalah reaksinya. Rowan sangat menyayangi Liliana seperti anaknya sendiri. Itu jelas terlihat, tetapi seperti yang aku katakan, juga jelas bahwa dia membenci ayahnya Liliana. Aku yakin dia tidak akan terlalu senang jika aku mengunjungi Ethan. Apa yang aku tidak yakin adalah apakah dia akan membenci ide itu karena dia membenci Ethan atau karena sesuatu yang lain. Mungkin keduanya.“Bu, apakah Ibu mendengarkanku?
“Biasanya kalau pembicaraan dimulai dengan itu, maka berarti ada yang tidak beres.” Alisnya mengerut saat melihatku. Seakan dia mencoba mencari tahu apakah dia sudah berbuat kesalahan. Aku tidak mengatakan apapun. Pertama-tama, aku berusaha menenangkan nafsuku. Kedua, aku tidak tahu cara membicarakan ini padanya. Aku mencoba sebisaku untuk menata pikiranku baik-baik. “Kamu membuatku takut, Ava,” katanya yang mengejutkanku dan membuatku mendengus sedikit.“Tidak ada yang membuatmu takut.”Dan itu adalah kebenaran yang menyebalkan. Tidak ada yang pernah membuat pria di depanku ini takut. Apakah semuanya telah berubah begitu banyak? Apakah sesuatu terjadi dalam rentang waktu ketika aku tidak bisa mengingatnya yang membuatnya takut?Dia berdiri dan berjalan ke arahku. Dia menggenggam pipiku, memberiku ciuman kecil dan cepat. Ciuman itu tidak dipenuhi oleh gairah sekuat yang kami lakukan beberapa saat yang lalu, tetapi itu masih membuatku lemah.“Dulu, iya, tetapi sekarang? Sekarang aku t
“Itu sama sekali bukan jawaban,” ketusku.Matanya seolah dipenuhi oleh pusaran badai. Badai berkecamuk di balik pandangannya. Pandangannya seakan menelanku, memerangkapku dan menolak membiarkanku pergi. Saat itulah aku melihatnya. Pertahanannya retak. Alasan mengapa dia tidak mau aku mengunjungi Ethan. Untuk kedua kalinya hari ini, aku terkejut.“Kamu takut, ‘kan?” tanyaku pelan sambil berusaha memahami apa yang baru kusadari ini.Dia bergeser dan memalingkan wajahnya, tetapi sudah terlambat. Aku sudah melihat ketakutan di sinar matanya. Tidak ada jalan kembali dari itu. Aku mendekat dan secara lembut meletakkan tanganku di bahunya. “Rowan, bicaralah padaku.”Aku dengan sadar memijat bahunya ketika aku merasakan ketegangan di sana. Aku hanya ingin memahaminya.Dia mengeluarkan nafas dalam yang dia tahan setelah beberapa saat, lalu akhirnya berbalik untuk menatapku.Untuk pertama kalinya sejak aku mengenal Rowan, aku melihat ketidakpastian di kedalaman matanya.“Kamu benar, Ava. Aku
Aku benar-benar gugup. Seisi badanku seolah bergetar karena takut. Jantungku berdegup kencang dan kurasakan perutku melilit.Aku menatap dinding penjara, tidak yakin apakah aku harus masuk atau tidak. Aku tidak tahu apakah aku pernah mengunjungi Ethan sebelumnya, tapi itu penting. Bagiku, saat ini, rasanya seperti mengunjungi orang asing.“Kamu mau masuk atau hanya akan menatap dinding sepanjang hari? Kamu membuang-buang waktuku,” cibir petugas yang menjaga gerbang, sikap kasarnya terlihat dari caranya menyeringai padaku.Aku memeluk Liliana erat-erat dan menatap tajam ke arahnya.Aku mengerti, tapi pertama, dia tidak perlu sekasar itu … Dan kedua, itu pekerjaannya menjaga pintu gerbang, jadi aku ragu aku mengambil waktu berharganya.“Apa yang barusan kamu katakan padaku?” Aku membentak.Jika ada satu hal yang aku benci, itu adalah sikap kasar, terutama ketika tidak ada alasannya.Dia memutar bola matanya, membuatku semakin marah, hingga aku ingin menamparnya.“Kamu dengar kan; aku pik
Aku menatap ke arah Ayah dari putriku. Pria yang kupercayai dan begitu kuinginkan hingga aku mau tidur dengannya. Pandanganku terarah pada wajahnya saat aku mencoba untuk berpikir. Dia terlihat berbeda. Jangan salah, dia masih terlihat setampan itu, tapi dia terlihat berbeda dari pria yang kulihat dari kilas balik ingatanku. Bahkan dagunya sekarang ditumbuhi oleh janggut. Janggut itulah yang membuatnya jauh lebih rupawan lagi. Aku tahu, aku tahu kalau aku mencintai Rowan, lantas mengapa aku memuja Ethan? Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya menegaskan bahwa dia tampan. “Hai,” akhirnya aku membalas sapaannya. Hanya itulah perkataan yang bisa kukeluarkan dari bibirku. Aku merasa begitu canggung. Aku merasa tidak yakin akan apa yang harus kulakukan atau apa yang harus kukatakan. Pandangannya beralih dari diriku ke arah putri kami. Ekspresinya yang semula tidak bisa kubaca berubah. Air mukanya berganti dengan penuh welas asih. “Bolehkah aku menggendongnya?” tanyanya dengan tata
Rowan. “Kamu harus segera memberikanku informasi, Reaper ... Sungguh, informasi apapun itu,” ujarku dengan suara serak. Aku benar-benar menahan emosiku untuk meledak-ledak. Rasanya begitu memusingkan bahwa kami masih belum tahu siapa yang ada di balik penyerangan Ava. Kepalaku pusing bahwa mengetahui siapapun itu yang menyerangnya masih berkeliaran di luar sana dan berjalan dengan begitu bebasnya, seolah bajingan itu tidak menyakiti wanita yang kucintai. Setiap hari aku meninggalkan rumah atau saat Ava pergi dari rumah kami, kekhawatiran memenuhiku. Aku benar-benar tidak bisa menghentikan seluruh pertanyaan yang membanjiri benakku. Bagaimana jika ada yang menyakitinya saat dia di rumah? Bagaimana jika ada seseorang yang menyerangnya saat dia ada di luaran sana?Aku tahu kalau aku sudah merekrut pengawal terbaik, dan anak buah Reaper juga turut menjaganya, tapi aku benar-benar tidak bisa mengusir berbagai pikiran negatif yang terus membanjiri benakku sepanjang waktu. “Bukan kamu saj
Tanpa membuang waktu lagi, aku segera berjalan melintasi karpet yang melapisi lantai kantorku dan berjalan keluar. Aku berjalan di koridor dan langsung menuju kantornya Gabriel.“Apakah saudaraku ada di dalam?” tanyaku pada sekretarisnya begitu aku sudah sampai di sana. Hanya kamilah anggota petinggi yang ada di lantai ini. Sebab, kami yang mendapat jumlah saham terbanyak, bersamaan dengan ayahku yang sekarang sudah pensiun. “Iya, Pak. Beliau masih di dalam.”Aku menganggukkan kepalaku dan berjalan ke dalam kantornya setelah menyadari bahwa dia merupakan sekretaris baru. Gabriel sudah bergonta-ganti sekretaris berbanyak kali. Yah, pastilah karena dia masih seorang pria yang suka main wanita. Dia meniduri sekretarisnya sendiri, dan ketika mereka mulai bergantung padanya, dia memecatnya. “Rowan ...”“Apa yang terjadi dengan yang satunya?” tanyaku, meskipun aku tahu jawabannya. “Sudah keempat kalinya kamu berganti sekretaris bulan ini.”“Yah, bukan salahku karena mereka terus berharap
Seluruh kekuatanku hilang, dan aku terhuyung mendengar kata-katanya, seolah tidak mampu sepenuhnya memahami apa yang dia katakan atau makna di balik kata-katanya.Terdengar suara terkejut memenuhi ruangan saat semua orang menatap dokter seolah-olah dia adalah sebuah anomali di semesta ini.“Apakah dia sudah sadar? Bisakah kami melihatnya?” tanya Ava.“Dia belum sadar. Dia ada di ICU, dan hanya anggota keluarga inti yang diizinkan melihatnya,” jawab dokter itu. “Aku akan mengatur itu dalam beberapa saat ... Permisi, aku harus memeriksanya.”Kami hanya bisa memandang punggungnya saat dia berjalan pergi. Ini adalah pukulan yang sangat berat begitu mendengar bahwa Emma mungkin tidak akan pernah bisa berjalan lagi.Aku duduk kembali, tidak mampu berdiri lebih lama lagi karena lututku terasa lemas.Aku tidak mengerti. Dia sedang dalam proses pemulihan. Dia baik-baik saja. Dia sedang memperbaiki hidupnya dan membangun semuanya kembali. Kenapa ini harus terjadi padanya?“Kapan dia akan sadar?”
Aku menegakkan badanku, dan mencoba untuk memberi diriku sebuah keberanian palsu. Aku mencoba untuk mengutarakan perkataan untuk memberi tahunya bahwa aku baik-baik saja, tapi lidahku terasa kelu dan tidak ada kata yang bisa keluar dari bibirku. Dia dengan lembut menepuk pundakku. “Aku mengerti. Silakan duduk saja. Sepertinya putramu membutuhkan bahu untuk bersandar sekarang. Kalian bisa menguatkan satu sama lain.”Aku melakukan satu-satunya yang kubisa. Kuanggukkan kepalaku sebelum pergi. Aku mendekat ke Guntur dan duduk di sebelahnya sebelum menariknya di pangkuanku. Kami memeluk dan menguatkan satu sama lain. Aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berjalan sampai aku merasa seseorang mengguncangku. Aku terfokus pada orang itu, rupanya Ava yang menatapku. Alisnya turun, berikut dengan bibirnya dengan kedua pandangannya yang dipenuhi oleh kekhawatiran. “Kami sudah di sini,” gumamnya lembut sebelum duduk di sebelahku. “Apakah dia masih dioperasi?”“Iya,” ujarku dengan suara serak da
Dingin mulai membasuh tubuhku bersamaan dengan nafasku yang menderu. Aku tidak bisa bernafas saat rasa sakit di dadaku mulai meningkat. Aku membawa Guntur lebih dekat padaku, dan berpelukan padanya seolah dialah yang bisa menahanku di dunia ini. Ini tidak bisa terjadi. Tidak bisa terjadi. Dia harus sehat-sehat saja. Aku terus mengulang perkataan itu layaknya sebuah mantra, sebab itulah yang menahanku untuk menjadi gila. Keajaiban harus segera terjadi. Dia tidak bisa pergi sekarang. Tidak ketika Guntur baru saja memutuskan untuk memberikannya kesempatan untuk menerimanya kembali dalam hidupnya. Aku tahu anakku, dan kematian Emma akan membuatnya hancur. Dia hanya berharap untuk memiliki seoranng Ibu. Untuk Emma menjadi ibunya dan menerimanya. Kejam sekali rasanya saat dia akhirnya mendapat kesempatan itu bersamaan dengan dirinya yang kehilangan ibunya. “Pasien baik-baik saja, dia baik-baik saja,” ujar Eric dengan suara penuh nada kelegaan. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini mende
“Ayolah, Emma. Bukalah kedua matamu.” Aku terus memohon demi diriku dan Guntur. “Bukankah kamu ingin agar aku memaafkanmu? Maka bangunlah!”Dia tidak bangun, matanya tetap tertutup. Kulitnya berubah putih sepucat kertas, dan rambutnya terburai di belakangnya. Kalau bukan karena darah yang mengelilinginya, dia akan terlihat seperti sebuah boneka. Menunggunya di sini sungguh menyiksa. Aku terus memeriksa denyut nadinya untuk memastikan bahwa dia masih bernafas. Sekarang, lebih banyak kerumunan lagi yang mengerumuni kami, tapi masa bodoh. Tidak ketika Emma terlihat seperti mayat. Degup jantungnya lemah. “Sialan.” Aku bangkit dan siap untuk mengambil mobil dari garasiku untuk membawanya ke rumah sakit, sebab sepertinya ambulans akan lama datangnya. Baru saja aku mau berbalik badan, aku mendengar sirinenya. Hatiku mencelos lega saat aku menoleh melihat mereka mendekat. Kerumunan itu melonggar untuk memberi jalan bagi ambulans. Dua orang paramedis bergegas dengan tandu ke arah kami. “Say
Calvin. Hari ini adalah hari untuk bersantai dan rileks. Tidak banyak hal yang harus kulakukan, jadi setelah Guntur dan aku menyelesaikan pekerjaan rumah, dia meminta izin apakah dia boleh pergi menemui Emma. Aku awalnya terkejut, tapi aku sudah berjanji bahwa aku akan memberikannya hak untuk memilih. Bahwa aku akan menghormati keputusannya kalau dia mau mengenal Emma dan memperbolehkannya untuk hadir di hidupnya. Dia selalu menyapanya setiap mereka bertemu dan berbicara dengannya, meski Guntur tidak terlalu banyak bicara padanya. Sejujurnya, aku berpikir dia sengaja mengatur waktu agar mereka bisa bertemu. Entah saat Guntur berangkat sekolah dan dia berangkat bekerja, atau saat dia pulang sekolah, dan dia pulang dari bekerja. Lalu, dia mengiriminya hadiah ulang tahun. Kupikir dia hanya mau menyogoknya dengan hadiah, tapi pemikiran itu sirna setelah aku membaca kartu yang tertera di kado. Tulisannya pendek, tapi dibuat dengan sepenuh hati. Intinya, dia mengatakan pada Guntur bahwa
Aku menatapnya sejenak, lalu melepaskan sarung tanganku.“Sekarang, apa yang kamu lakukan?” Dia tampak terhibur dengan tindakanku.“Yah, kamu adalah guruku. Jika menurutmu lebih baik menggunakan tangan kosong, maka itulah yang akan kulakukan.”Aku mengikuti apa yang dia lakukan dan mencampur tanah dengan tangan. Aku tidak tahu apakah ini karena memegang tanah langsung dengan tangan kosong, atau karena dia ada di dekatku, atau mungkin keduanya, tapi ada kedamaian tertentu yang menyelimuti diriku. Aku merasa ringan, seolah melayang di atas awan.Kekhawatiranku lenyap saat Guntur mengajariku tentang berkebun. Tidak heran dia dan Ava sangat menyukai hal ini. Sangat menenangkan, dan entah bagaimana aku merasa terhubung dengan bumi.“Terima kasih atas hadiahnya,” ujar Guntur, yang membuat aku mengalihkan perhatianku kepadanya.Aku sudah memutuskan akan memberinya hadiah ulang tahun dan Natal untuk setiap tahun yang aku lewatkan. Beberapa hari yang lalu, aku memberinya satu hadiah. Aku tidak
EmmaAku memandangi kekacauan yang ada di depanku. Aku tidak begitu yakin harus apa. Aku sudah memikirkannya selama beberapa hari ke belakang ini, dan masih saja tidak bisa kutemukan jawaban tepat akan kenapa aku merasa seperti ini. Aku sudah mencoba untuk memikirkannya, tapi sama sekali tidak ada yang terpikir olehku. Apa yang kutahu adalah aku merasa aneh. Seakan ada hal yang salah atau buruk yang akan terjadi. Aku tidak bisa menepis perasaan itu, tidak peduli sekeras apa yang kucoba. Perasaan itu masih menghampiriku dan tertancap di hatiku. Pernahkah kalian merasa seperti itu? Seolah kalian mendapat ramalan soal sesuatu yang akan terjadi? Hal ini membuatku frustasi, sebab aku tidak bisa menepisnya, dan aku seolah akan gila dibuatnya. Aku menghela nafas dan menatap tanganku yang ditutupi sarung tangan. Mia menyarankan agar aku melakukan sesuatu untuk melupakan kekhawatiranku dan rileks. Kemarin, aku berbicara dengan Ava dan berbicara padanya soal ini. Dia menyarankan agar aku mula
“Aku akan berbicara dengan orang tuaku.”Kami berbalik, dan terkejut saat melihat Ava berdiri beberapa langkah dari kami, fokusnya tertuju pada Travis.“Balas dendam mereka sudah berlangsung terlalu lama.”“Belum cukup lama menurutku,” sahut Reaper dengan suara penuh rasa jijik. “Mengingat perlakuanmu terhadap Ava, aku tidak akan berhenti jika aku jadi mereka.”“Serius? Lalu bagaimana dengan saudaramu? Dia mempermainkannya dan memanfaatkannya,” balas Travis dengan penuh amarah.“Itu benar, tapi dia akan membayar untuk itu untuk waktu yang sangat lama ... Tapi, bagaimana denganmu dan keluargamu? Ethan mempermainkannya selama beberapa bulan tetapi akhirnya jatuh cinta padanya. Kamu, di sisi lain, memperlakukannya dengan sangat buruk sejak dia masih kecil. Bisakah kamu benar-benar membayar rasa sakit hati yang telah kamu sebabkan padanya?”Rowan menegang saat mendengar nama Ethan dan cinta yang dimilikinya untuk Ava. Aku mengenal saudaraku, dan kami sudah membicarakan ini beberapa kali. D
Gabriel.Kami melihat Ayah kami pergi, langsung menuju ke arah Ibu kami. Menurutnya, kami membosankan, jadi dia memilih Ibu kami, yang katanya lebih menyenangkan daripada kami.Begitu dia berada di luar jangkauan pendengaran, Travis berbalik ke arah kami dengan alis mengernyit.“Aku tidak mengerti kenapa dia ada di sini,” gerutu Travis sambil menatap tajam Reaper.“Ada masalah?” tanya Reaper. Meskipun nadanya tenang, tidak dipungkiri auranya diselimuti oleh aura berbahaya. Tatapan matanya yang berkilat, meskipun terlihat tenang dan terkendali, sudah cukup jadi peringatan bahwa tidak seorang pun seharusnya macam-macam dengannya. Dia adalah ancaman yang nyata, tapi sahabatku terlalu bodoh untuk menyadari itu. Untuk menyadari bahwa Reaper bukan orang lemah, meskipun sekarang dia tampak tidak berbahaya.“Ya, aku punya masalah!” Travis menggeram. “Kamu membunuh ayahku, dan berani-beraninya kamu kemari?”“Aku di sini bersama tunanganku. Apapun masalahmu itu, selesaikanlah sendiri.”Rowan da