Ava“Bolehkah aku dan Calista datang lusa besok?” tanya Ruby. Dia menelepon beberapa menit yang lalu. Aku terkejut, tapi aku senang dia menelepon. Terakhir kali dia kemari, kami berbicara dan aku seketika paham kenapa aku berteman dengannya meskipun dia pacaran dengan Travis. Dia orang yang menyenangkan. Selain itu, dia juga baik dan penuh kasih. Aku segera bersyukur bahwa dia datang di kehidupanku. Aku bergerak kesana-kemari dengan Liliana di gendonganku. Dia menolak untuk tidur siang, dan karena itu sekarang dia penuh tantrum. Setiap kali kutidurkan dia, dia langsung menangis sampai aku menggendongnya kembali. “Ava?”Aku merasa ragu untuk sesaat. Terakhir kali kulihat Calista adalah saat di rumah sakit. Dia belum mengontak atau mengunjungiku. Aku tidak mengerti akan itu, apalagi saat kuketahui dia seharusnya salah satu dari teman dekatku. “Betul dia tidak apa-apa untuk kemari?” tanyaku dengan tidak yakin. “Sebab kami belum berjumpa sejak di rumah sakit.”“Itu karena dia memberim
Jantungku berdegup kencang saat kudengar pembicaraan mereka. ‘Apakah menurutmu dia memberi tahunya yang sebenarnya?’Perkataan itu terus terngiang di benakku seperti kaset rusak. Aku merasa terpaku saat aku menunggu Rowan untuk menjawab. Aku memeluk Liliana erat di gendonganku, sebab aku merasa bukan hanya tanganku, tapi seluruh tubuhku gemetar. Aku mencoba untuk bernafas, tapi aku merasa udara tercekat di kerongkonganku. Aku menyandarkan diriku di tembok untuk membantuku tetap berdiri tegak. Kakiku terasa lemas, dan hal terakhir yang kuinginkan adalah terjatuh di lantai sambil menggendong anakku. Syukurlah Liliana sudah tertidur, kalau tidak, aku pasti sudah ketahuan. “Aku benar-benar tidak tahu,” gumam Rowan dengan suara tercekat. Ingatkah kalian ketika kukatakan jantungku berdegup kencang? Ya, sekarang degupan itu seratus kali semakin parah. “Dia curiga denganmu, berarti seseorang sudah mengatakan sesuatu padanya. Mengingat Ethan membencimu, pastilah dia yang mengatakannya.”
“Ava, bangunlah. Makan malamnya sudah siap.” Suaranya menarikku dari mimpiku. Mimpiku tidaklah bagus, tapi juga tidak buruk. Itu adalah sejenis mimpi yang menggantungkanmu dalam kebingungan dan mimpinya sungguh terasa kabur. “Liliana bagaimana?”“Jangan khawatir. Dia sudah bangun, dia sudah kuberi sebotol susu dan dia kembali tertidur,” jawabnya dengan matanya yang masih mengamatiku. Aku menganggukkan kepalaku, lalu menggeser selimut ke sampingku dan bangun lalu meregangkan badanku. Aku merasakan sendi-sendiku melemas dan seolah tersusun kembali ke tempat yang benar. “Kenapa kamu tidur di sini, kenapa tidak tidur di ranjang kita?” tanya Rowan dengan sorot matanya yang menusuk ke pandanganku. Seketika aku teringat akan hal yang ingin aku kabur saja rasanya. Aku teringat akan alasan mengapa aku di sini dan bukan di kamar utama. Aku merasakan amarah dan rasa jengkel memuncak dalam diriku. Ketenangan diriku sirna sudah, dan yang tertinggal hanyalah rasa kepahitan. Mengapa dia harus b
Kebahagiaan yang kurasakan beberapa saat lalu segera menguap saat kekesalan mengambil alih seluruh bagian tubuhku. “Ketika Ibu berkata semuanya, yang Ibu maksud benar-benar semuanya, Noah. Tidak ada pengecualian,” ujarku dengan gigi yang kugemertakkan. “Tapi aku tidak mau dia datang,” ujarnya dengan ketus. “Siapa Shella?” sela Rowan. “Gadis menyebalkan di kelasku yang tidak kusukai. Dia benar-benar merepotkan, dan melihatnya di hari spesialku akan menghancurkan hari itu bagiku.”Aku paham bahwa Shella membuatnya jengkel, tapi tidak mau mengundangnya ke ulang tahunnya saat semuanya diundang itu termasuk perbuatan yang jahat. “Tahukah kamu seberapa sakit yang akan dirasakannya saat kamu mengundang semuanya kecuali Shella? Dia akan merasa sakit hati,” ujarku untuk memberinya pengertian, tapi aku tahu itu tidak diindahkan olehnya, apalagi saat dia menatapku tajam. “Aku tidak peduli.” Itulah balasannya. Dia mengatakannya dengan nada kasar dan tajam.Aku mulai kehilangan kesabaranku de
Beberapa minggu ini terasa menyesakkan, dan aku tidak membicarakan soal waktu yang kuhabiskan di penjara. Apakah aku baik-baik saja? Tentu saja tidak. Aku jauh dari kata baik-baik saja, dan hidupku terasa tidak wajar sekali sekarang ini. Tidak akan kusembunyikan fakta bahwa aku merasa tersesat. Aku memiliki rencana. Tujuan dan mimpi agar bisa suatu saat bisa bersama Rowan. Aku terfokus pada mimpi itu dengan begitu lama, hingga mimpi itu seolah sudah menjadi nafas hidupku. Segala yang kulakukan, kulakukan karena tujuan mimpiku adalah memiliki Rowan kembali suatu hari nanti. Astaga, maksudku, aku bahkan menjadi pengacara karena dirinya. Aku tahu suatu hari nanti dia akan meminta cerai dari Ava, dan aku akan di sisinya untuk mendukungnya. Aku benar-benar percaya bahwa Ava akan melawannya, dia akan menolak untuk melepasnya, dan aku akan di sana untuk melawannya, sebab aku sama sekali tidak pernah kalah dalam suatu kasus. Akulah pengacara terbaik untuk urusan perceraian. Tapi segalanya s
Bagaimana caraku memberi tahunya bahwa aku merasa tersesat? Bagaimana caraku memberi tahunya bahwa segalanya di hidupku menjadi tidak masuk akal lagi? Kenapa aku bahkan dilahirkan di dunia ini? Aku kehilangan tenaga dan kemauanku untuk melakukan segalanya, sebab aku merasa semuanya menjadi tidak berguna. “Aku hanya mau sendirian, Ibu,” balasku. “Ada hal yang masih harus kupikirkan.”Aku tidak mau mengatakan padanya bahwa aku kesulitan akan segalanya, termasuk identitasku. Dia pasti akan menghubungkannya dengan Rowan dan berkata padaku untuk melupakannya dan meninggalkan masa lalu. Aku tahu itu seharusnya kulakukan, tapi sulit sekali meninggalkan masa lalu ketika kamu sudah hidup bersama masa lalu itu sekian lama. Sulit sekali untuk melepaskannya ketika kamu membiarkannya menjadi sandaran hidupmu. “Ibu tahu. Ibu tahu segalanya tidak mudah bagimu, tapi Ibu janji, ketika kamu memberikan dirimu sendiri kesempatan, segalanya akan membaik dan kamu akan menemukan kebahagiaanmu.” Ibu lalu me
Aku tidak bisa menghentikan rasa panik yang menjalariku atau menghentikan jantungku yang berdegup kencang. Aku sampai takut degupan ini akan membuat dadaku menjadi bolong. Kenapa aku kemari? Kenapa aku kemari alih-alih tempat lain?Pertanyaan-pertanyaan terus muncul di benakku, tapi terus terang saja aku tidak memiliki jawabannya. Ketika aku memutuskan untuk berjalan-jalan, berakhir di tempat tinggal Calvin dan Guntur benar-benar tidak ada dalam pikiranku. Aku hanya berpikir bahwa aku akan jalan-jalan sebentar untuk lari dari suasana depresi yang mengelilingiku, lalu aku akan kembali ke rumah, mandi, dan tidur. Sekarang aku ada di sini, di rumahnya, dan aku bingung akan apa yang harus kulakukan. Haruskah aku pergi? Atau haruskah aku mengunjunginya? Mungkin dia tidak ada di rumah. Ini hari kerja, dan dia pasti sedang bekerja. Hubunganku dengan Calvin itu sulit. Mulai dari saat kami SMA, dia menginginkanku, dan aku tidak. Usahanya untuk memenangkanku ketika kami masih muda sempat mem
Ah, bahkan soal Guntur. Dia hanyalah seorang anak-anak, tapi aku malah menyakitinya, sampai aku tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki yang sudah kurusak. Dia darah dagingku sendiri, tapi aku malah sekeras mungkin kabur darinya. Aku merasa malu ketika kupikirkan apa yang sudah kulakukan padanya. Aku ingat bagaimana Ava membela Noah mati-matian. Bagaimana dia siap bertarung denganku deminya. Aku ingat bagaimana sorot matanya membara. Dia siap melakukan apapun untuk melindungi anaknya, tapi aku malah menyakiti anakku sendiri. “Waktuku tidak banyak, Emma.” Suara tajamnya membawaku kembali ke kenyataan. “Aku berjalan-jalan dan berakhir di sini,” lirihku dengan merasa canggung. Terakhir kali kulihat dia adalah ketika dia berkata bahwa dia sudah usai berurusan denganku. Aku tidak begitu mengenal Calvin, dan sekarang aku merasa canggung di sekitarnya. Di luar fakta bahwa kami pernah tidur bersama, kami itu sebenarnya orang asing. “Bukannya sudah kukatakan bahwa aku tidak mau melihatmu
Dia mulai berjalan lagi dan aku mengikutinya dari belakang.“Ini kantor Rowan,” ujarnya setelah kami berhenti di depan sebuah pintu.Namanya tertulis di pintu itu. Aku mengangguk, tidak begitu paham kenapa aku perlu tahu soal ini. Ya, aku akan bekerja untuknya, tapi apa aku benar-benar perlu berurusan dengan atasan lain?“Kantorku tepat di sebelahnya, tapi biar kutemani keliling perusahaan dengan cepat sebelum aku minta sekretarisku yang lain untuk menunjukkan sisanya dan membimbingmu tentang tugas-tugasmu nanti.”“Itu benar-benar tidak perlu ... sekretarismu saja pasti bisa menemaniku berkeliling. Kamu pasti punya banyak hal yang harus dikerjakan,” ujarku dengan suara yang dibuat manis.Gabriel terkenal karena sering tidur dengan asisten pribadinya, dan dia tidak pernah benar-benar menyembunyikan fakta kotor itu.Hal itu sangat menggangguku waktu kami masih menikah. Aku benci mengetahui kalau dia suamiku, tapi tetap saja dia tidak bisa menjaga diri. Bukan berarti aku tidak bisa member
“Hana, keluarlah dari mobil sekarang! Kamu membuang-buang waktuku,” bentak Gabriel padaku.Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya. Alisnya mengernyit dan dia terlihat tidak sabar dan kesal. Aku mendesah sebelum turun dari mobil. Inilah Gabriel yang biasa kutemui. Dingin, arogan, dan kasar.Aku merapikan rokku sebelum mengambil tas tangan. Dia mulai berjalan, dan aku mengikutinya dari belakang seperti anak domba yang digiring ke rumah jagal. Rasanya aku sangat gugup, seolah jantungku hampir meloncat keluar dari dadaku.Aku sedang memasuki dunia Gabriel. Wilayahnya. Rasanya tidak nyaman dan menakutkan berada di tempat di mana dia memiliki kendali penuh atas setiap aspek.Gabriel menekan tombol lift, dan pintunya terbuka. Aku masuk, berdiri di sebelahnya, dan mencoba menenangkan detak jantungku yang berdebar kencang."Satu-satunya yang punya akses ke lift ini adalah keluargaku, dan lift ini langsung membawa kita ke lantai atas, tempat kantor kami," ujarnya lalu melanjutkan, "Aku akan mena
HanaHandi, salah satu sopir Gabriel, membukakan pintu untukku, dan aku masuk lalu diikuti Gabriel yang duduk di sampingku. Aku masih belum percaya bahwa aku setuju untuk ini, tapi jauh di lubuk hati aku tahu ini masuk akal. Gabriel benar, tidak ada cara yang lebih baik untuk mendapatkan pengalaman dalam mengelola perusahaan selain belajar dari yang terbaik. Dalam hal bisnis, Gabriel dan Rowan adalah yang terbaik. Mereka bahkan melampaui Ayah mereka, yang sudah pensiun tapi masih menjadi kepala dewan direksi.Butuh waktu untuk bersiap-siap karena aku tidak bisa memutuskan pakaian apa yang akan kupakai. Kebanyakan waktu aku bekerja dari rumah, dan saat aku pergi ke kantor, aku mengenakan pakaian kasual karena perusahaan tempatku bekerja dulu agak santai dalam hal pakaian. Aku ingin terlihat rapi dan memberi kesan pertama yang baik. Aku tidak punya banyak pakaian kerja dan berencana untuk berbelanja akhir pekan ini. Uangku memang terbatas, tapi aku masih bisa membeli beberapa rok dan blu
Gabriel. Aku bangun dengan menggeram dan kejantananku yang sekeras batu. Sial, ketika aku menandatangani surat kontrak pernikahan dengan Hana, aku tidak memperkirakan seberapa menyiksanya ini. Aku tidak memperkirakan bagaimana dia akan membuatku merasa seperti ini. Aku tengah terangsang, dan kejantananku seolah protes seberapa sulitnya menahan ini. Aku beranjak dari ranjangku dan berjalan ke kamar mandiku yang tempatnya dekat dengan kejantananku yang mengeras. Aku masih tidak paham bagaimana hal ini bisa terjadi. Maksudku, aku bukanlah seorang remaja yang tidak bisa mengendalikan nafsunya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku terbangun dengan kejantananku yang menegak. Bahkan belum sebulan sejak Hana kembali, dan aku bertingkah layaknya anak SMA. Aku jujur tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Aku tidak tahu bagaimana bisa dia memengaruhiku seperti ini, padahal dulunya tidak. Selain dari kemolekan tubuh dan sifatnya, dia masihlah Hana yang sama yang kukenal dulu, jadi aku tidak
“Apa yang kamu lihat larut malam begini?” Suara berat dari belakang mengejutkanku.“Astaga, kamu membuatku kaget,” gumamku sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdebar kencang. “Jangan pernah muncul diam-diam seperti itu lagi.”Gabriel berjalan mengelilingi meja dapur dan berdiri di sisi seberang. Begitu dia berdiri di situ dan aku melihatnya, tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. Aku merasa kehausan, seolah-olah sudah lama tidak minum, dan menelan ludah pun menjadi masalah besar.Gabriel tidak mengenakan apa pun kecuali celana olahraga abu-abu yang menggantung rendah di pinggulnya. Pria ini seperti karya seni dengan tubuh Dewa Yunani. Bahunya yang lebar, perutnya yang berotot, dan garis “V” yang pasti membuat siapa pun tergila-gila.Ada jejak rambut gelap yang dimulai dari pusarnya dan menghilang ke dalam celananya. Seolah-olah itu menunjuk ke arah kejantanannya.Aku ingin memalingkan mata, tapi itu mustahil. Mataku menikmati pemandangan itu seolah-olah dia adalah satu-satunya
GabrielAku masih bisa merasakan lembutnya kulitnya di bawah sentuhanku. Sesaat, aku ingin menggesekkan ibu jariku di persendian lengannya yang berdenyut.Versi baru dirinya ini menarik perhatian. Dia dipenuhi oleh semangat, dan sikap barunya adalah sesuatu yang bisa membuatku terobsesi. Aku suka wanita yang percaya diri, seksi, dan punya kepribadian berapi-api. Aku suka sekali ketika mereka melawan dan menantang balik.Dia telah bertransformasi menjadi tipe wanita seperti itu, dan ini membuatku tertarik. Dia tangguh dan tidak takut mengatakan padaku untuk pergi jauh. Kenapa aku tidak akan tertarik pada itu?Saat kami menikah, dia membosankan. Kepribadiannya yang hambar membuatnya tampak kusam di mataku. Tidak ada yang menarik darinya. Dia terlalu penurut, sementara aku menyukai wanita yang memiliki ‘cakar’. Dia melakukan segalanya untuk menyenangkan dan menarik perhatianku.Dia berusaha keras untuk membuatku tertarik padanya, tanpa menyadari bahwa hal itu justru membuatku semakin menj
Hana“Apa maumu, Gabriel? Seperti yang kamu lihat, aku sedang tidak ingin bicara.” Aku bangkit dari lantai sambil menghapus air mataku.Kata-kata Lilly masih terngiang di kepalaku serta menyayat hatiku berulang kali. Aku mengusap rambutku untuk mencoba mengusir rasa sakit yang kurasakan. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu dia mungkin tidak akan menerimanya dengan baik.Maksudku, bagaimana bisa seseorang menerimanya dengan baik ketika ibunya tiba-tiba mengungkapkan bahwa pria yang selama ini dianggapnya Ayah ternyata bukan ayahnya? Bahwa dia telah dibohongi dan tidak ada yang mau memberi tahu kebenarannya hingga keadaan memaksa. Aku mengerti perasaannya dan paham reaksinya. Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapi kata-katanya dan rasa sakit yang kulihat di matanya.“Dia tidak benar-benar bermaksud begitu,” ujar Gabriel sambil berjalan lebih dekat ke kamarku.Aku menatapnya tajam dan merasakan sesuatu yang buruk membuncah di dalam diriku. “Bagaimana kamu tahu? Kamu bahkan belum cukup
HanaMinggu ini benar-benar kacau. Sejak kembali ke kota ini, rasanya aku terus-menerus berlarian menyelesaikan berbagai urusan tanpa sempat istirahat sedikit pun.Setidaknya Lilly sekarang merasa lebih nyaman. Gabriel menolak untuk mengirim kasurnya karena kasur di sini lebih nyaman, tapi dia setuju untuk mengirimkan seprai dan selimutnya. Itu sudah cukup membuat perubahan, dan sekarang dia bisa tidur nyenyak sepanjang malam.Gabriel … dari mana aku harus memulainya? Dia pulang ke rumah meskipun larut malam, tapi hanya sebatas itu. Kami saling menghindari dan mencoba hidup seperti tidak saling ada. Kurasa ini cara terbaik untuk kami. Ini akan mencegah Lilly melihat kami bertengkar terus-menerus.“Ibu, katanya ingin bicara denganku?” Suara Lilly menarikku dari lamunanku.Aku meletakkan pakaian yang sedang kulipat dan duduk di tempat tidur sebelum memberi isyarat padanya untuk melakukan hal yang sama. Dia melangkah mendekat dengan dahi berkerut dan duduk di sebelahku.Kami berada di kam
Punggung wanita itu membelakangiku, begitu juga dengan Guntur. Aku tidak perlu mengkhawatirkan Calvin, sebab dia terlihat begitu tergila-gila dan mengarahkan perhatiannya pada setiap perkataan wanita itu dengan senyuman lembut di bibirnya.Lagi-lagi, perasaan tidak nyaman menyusupi diriku. Mengapa aku merasa aku tidak bisa bernafas? Kerongkonganku terasa tercekat melihatnya. Aku berfokus pada mereka. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan karena mereka berjarak beberapa meja dariku, tapi kedamaian dan kebahagiaan di wajah Calvin sudah cukup untuk membuatku tahu apa yang tengah terjadi. Dia sedang berkencan dan Guntur ikut. Wanita itu bahkan tidak mempermasalahkannya, tapi tidak mungkin aku akan membiarkan wanita lain menggantikanku di kehidupan putraku. Aku tidak bisa melihat Guntur, tapi aku tahu, seperti dengan Calvin, dia senang bisa berada di sini. Calvin pasti akan langsung pergi dengan putra kami kalau dia merasa sebaliknya. Entah mengapa, aku tetap ada di sana meski