"Mau kemana, Mas?" alis Hella menaut, saat melihat Jaya keluar kamar sambil memakai jaket."Mau pulang dulu," jawab Jaya."Pulang kemana? Rumah kamu kan di sini, Mas?" sahut Hella dengan mata memicing, berpura protes.Mendengar, Jaya yang ingin balik kerumah, Hanum. Tentu saja, Hella senang bukan kepalang.Toh, terlalu lama di rumahnya. Membuat, Hella merasa muak. Tidak bebas bergerak. Emangnya enak setiap hari harus bertemu dengan bandot tua itu?Jaya membuang nafas kasar, tatapannya lekat menatap Hella."Ada masalah yang harus di selesaikan. Nanti, Mas balik ke sini lagi." jawab Jaya."Tidak balik juga, tak masalah. Asal duitnya saja yang balik." jawab Hella dalam hati.Sudah empat belas hari, Jaya tak pulang kerumah Hanum. Tentu saja ada rasa rindu. Ditambah jarak dari kontrakan Hella ketempat kerja yang lumayan jauh. Membuat badan tuanya, sedikit menderita.Setidaknya, Jaya ingin merayu Hanum sampai uang pensiun dan pesangonnya turun. Setelah itu, tentu saja dia akan menghabiskan
"I-buk ..." lirih Jaya canggung. Terlebih saat melihat ada Ika, dibelakang Hanum yang menatapnya dengan tatapan membu-nuh."Pergiiiii ..." geram Hanum dengan mata melotot.Jaya bergeming, rasa malu dan kesal menjadi satu, keringat basah mulai membasahi seluruh tubuh."Buk, a-ku minta maaf." ujar Jaya terbata. Hanum mendengkus, muak melihat wajah suaminya."Mau apa kau kesini. Semua barang dan bajumu aku sudah buang. Tidak ada lagi alasan, untuk kau pulang kerumah ini!" sengit Hanum dengan wajah penuh kebencian.Jaya menatap lurus dengan pandangan sendu, Hanum berdecis memalingkan wajah."Buk, sudahlah. Aku tahu, aku salah. Tapi tidak perlulah seperti ini, aku masih suamimu." pinta Jaya dengan wajah memelas, mengikis rasa malu.Hanum berdecis, melipat tangan diatas perut. "Masih ngaku jadi suami rupanya! Tidak ingat, kemarin kau bilang muak hidup denganku, kau lupa, hah!" sengit Hanum."Buk, aku khilaf. Saat itu, aku sedang kacau, tolong mengerti--""Mengerti, kalau kau bahkan belum se
"Aduh ... kepala kok sakit sekali ya," ujar Jaya sambil memijat keningnya. Perut tiba-tiba melilit, dan terasa mual.Dengan tertatih, Jaya menyandarkan tubuh disisi tembok, wajah terlihat pucat dengan pandangan berkunang-kunang."Aduh, ya Alloh. Sssttt." Jaya meringis menahan nyeuri. Jantung terasa memompa lebih capat, dada begitu sesak dan nafas yang tersenggal.Jaya ingin bangkit berjalan, namun tubuh begitu lemas, hingga tanpa sadar badannya roboh dengan kepala membentur dinding."Hhhh ... to--long," nafas laki-laki berusia 65 tahun itu sesak, suara terhenti ditenggorokan."Ya Alloh! Pak, kenapa?"Entah siapa yang berbicara, pandangan Jaya sudah menghitam, Jaya ambrug tidak sadarkan diri."Pak, Buk! Kenal sama orang ini tidak?" perempuan berusia 15 tahun teriak didalam warteg milik orangtuanya."Siapa?" gegas, perempuan setengah baya keluar dan melihat keluar warung kecilnya disusul dengan beberapa orang dibelakangnya."Loh, ini tadi yang makan disini," ujar pemilik warung."Ada ap
Jaya bergeming mencerna ucapan, Tono. Tiba-tiba, seperti ada lampu diatas kepalanya saat Tono berbicara tentang ruko milik, Hanum."Kenapa cengar-cengir?" Tono menelisik wajah, Jaya."Ah, tidak. Tidak apa-apa," Jaya melebarkan senyum."Benerkan ucapan ane?" seloroh, Tono. Jaya hanya tersenyum sambil menganggukan kepalanya."Na ... Nina, buatin kopi buat temen, Abah." seru, Tono pada anaknya.Nina yang sedang memasukan mangga muda kedalam mulut, langsung beranjak mendengar perintah, Bapaknya.Pukul empat sore, Jaya memutuskan untuk pamit. Bersilaturahi kerumah teman memang banyak manfaatnya, salah satunya membuka jalan fikiran. Tanpa menunggu waktu, Jaya langsung melajukan kendaraan menuju ruko yang di keloka dengan, Hanum selama ini."Huh ... semoga uang belum di stor, dan belum turun barang." harap, Jaya sambil membuka helm.Tanggal tua, namun ruko Hanum masih ramai pengunjung, Jaya semakin tersenyum lebar membayangkan tumpukan lembaran uang didalam kasir.Sapa'an ramah terlihat dar
Pintu perlahan terbuka, Jaya menoleh, terlihat laki-laki muda berbadan kekar menggendong, Hamdan, sedang menatap heran kearah, Jaya."Siapa?" tanya laki-laki muda itu, sambil menatap lurus kearah Jaya.Jaya menatap lekat, sorot marah terpancar jelas di matanya."Lu yang siapa! Kenapa ada dirumah istri saya?" lantang suara laki-laki berusia 65 tahun itu. Nafasnya tersenggal, aliran darah mulai terasa menggolak-golak.Aissh, Kakek tua ini. Masih mengenal cemburu rupanya."Is-tri?" pemuda tampan itu menautkan alis, menatap tak percaya."Iya. Istri. Kenapa kok kaget?" Jaya petantrang-petentreng."Hella ... Hella!! Keluar kamu!!" teriak, Jaya dengan nafas memburu. Dipandangnya laki-laki dihadapannya dengan bengis."Oh, ya ampun. Mas sudah pulang?" Hella keluar dengan langkah tergesa menghampiri pintu."Siapa dia, hah! Kau selingkuh?" cecar Jaya dengan mata melotot.Hella menatap laki-laki tampan disampingnya, mengedipkan sebelah mata, lalu menoleh kearah Jaya dengan wajah riang dan senyum
"Awas kau tua bangka. Akan aku permalukan kau didepan teman-temanmu!" geram Hanum dengan wajah penuh dendam.***OfdJalan raya di pagi hari terlihat begitu padat. Kendaraan roda dua dan empat saling menyalip, untuk maju lebih dulu. Hanum sangat gusar, berkali berdecak kesal saat mendapati kemacetan yang membuat perjalannya menjadi lambat.Sepanjang perjalanan, otak Hanum terus berkerja, memikirkan cara mempermalukan suaminya."Awas kau tua bangka!!" geram Hanum.Perasaan begitu jengkel, berkali-kali menghubungi nomer Jaya, namun tidak aktiv sejak dari semalam.Pecundang itu, pasti saja takut. Tidak mau mendengar ocehan pahit dari Hanum.Hanum langsung menerobos masuk kedalam Pabrik setelah membayar ongkos ojek onlinenya. Vira berlari kecil, mengikuti langkah Ibunya yang sudah masuk ke dalam gerbang dengan langkah tergesa-gesa."Huhhh! Bikin malu saja sih!" gerutu Vira dengan wajah jengkel."Tidak masuk?" Hanum terlonjak saat mendengar ucapan, Markus."Iya, sepertinya begitu, Buk. Ini
Rissa mengikuti sorot, Bik Narti. Mata Rissa terbelalak melihat sosok yang berdiri tidak jauh dari hadapannya."Bapak ..." lirih Rissa dengan tatapan tak percaya."Tuh kan, Dedek Hamdan." seru Dila kegirangan."Sssuutttttt!" Rissa menempelkan telunjuk dibibir. "Sebentar, sayang. Jangan teriak dulu ya, bisa?" Rissa menatap lekat manik, Dila, sambil memegang erat tangan kecilnya.Dila mengangguk lemas. "Iya, Mah."Satu troli belanjaan penuh oleh barang-barang dan sembako, Jaya dan Hella terlihat begitu akrab, layaknya keluarga bahagia. Rissa masih tertegun, otak mencerna apa yang sudah terjadi."Apa, Ibu menampung, Hella?" gumam Rissa dengan wajah kebingungan."Tapi aku tidak melihat, Ibu?" Rissa mengedarkan pandangan."Itu, Hella kan, Neng?" Bik Narti bersuara."Hem." balas Rissa, masih mengamati keadaan."Bibik lihat, Neneknya Dila?" tanya Rissa."Tidak lihat, dari tadi Bibik perhatikan cuma Hella sama Hamdan saja. Buk Hanum tidak kelihatan." jawab Bik Narti."Ah, mana mungkin ..." li
Hati Bagas makin berkedut, saat melihat pemandangan Indah, dari pantulan kaca sepionnya."Tankz, Mam. Sering-sering, ajak aku ke Mall." teriak Bagas dalam hati."Sudah?" tanya Bagas."Sudah, Bang. Eh ..." Rissa mendadak kikuk.Bagas tersenyum malu dibalik kaca helmnya. Pelan, dia menghembuskan nafas melalui mulut. Menghalau rasa grogi."Panggil, Abang saja, tidak masalah. Aku suka kok," ujar Bagas pelan."Eh, apa?" tanya Rissa."Bukan apa-apa," jawab Bagas sambil mengeratkan bibir, menahan tawa.Perlahan, kendaraan melaju, Bagas sengaja membawa motor sesantai mungkin. Demi bisa berlama-lamaan dengan, Rissa.Dasar kadal kamu, Gas. Bisa saja mencari kesempatan!"Ehm!" Bagas melonggarkan tenggorokan, membuka kaca helmnya. "Itu, tadi siapa?" tanya Bagas, memecahkan kesunyian."Yang mana?""Yang tadi kamu foto-foto." jawab Bagas. "Aku kok kaya pernah lihat, Mbah-Mbah itu yah." ujar Bagas berusaha mengingat-ingat."Oh, itu. Bukan siapa-siapa." balas Rissa dengan senyum tipis. Bagas yang mel
Pov Larissa."Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih sayang serius banget?" Mas Bagas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Bagas dengan wajah prihatin."Aamiin ..." aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada di dalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Hella terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya D
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ....Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai ..." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Larissa semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapny
Pov Hella."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahku
Pov Hella."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck ..." laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Bebaskan saja, jangan di pendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berpikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak pikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu b
"Mati saja kau, Buk. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ...."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru m
"Mas ...."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu ..," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." titahnya, sok perhatian.Aku mengangguk pelan
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah di depan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles saja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih tidak mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang di persidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya.