"Eh ... aduh." aku meringis dengan wajah tak enak melihat Bagas."Ayah kamu, ganteng Dila." suara bisik Keyla terdengar di telingaku."Iya, dong. Ayah siapa dulu ..." Dila berucap dengan bangga menatap Bagas dengan mata berbinar-binar. Aku semakin menggaruk kepala yang terasa seperti bongkahan es batu. Sangat dingin.Namun wajah, entah mengapa terasa begitu hangat."Dila ... ya ampun." aku meringis, melirik malu kearah, Bagas."Key, tuh Bunda Ayu manggilin kamu." aku tersenyum manis kearah, bocah berkuncir kuda itu, jemariku menunjuk kearah Bunda Ayu yang sibuk di depan gerobak bakso."Iya, Bunda ..." Keyla menoleh ke Bundanya, lalu berlari kecil meninggalkan Dila."Huhh ..." aku meringis, menarik pelan tubuh Dila yang terus merapat pada Bagas."Ayok, kita beli ice cream." aku berujar lepas, mencoba menghindar dari tatapan Bagas yang menatapku dengan tatapan sendu.Aaiissh ... apa sih yang aku pikirkan.Aku masih belum berani menegur, Dila. Sebab, Bagas yang sejak tadi mengekori langk
Bagas menegakkan badan, lalu mengulang kalimat yang sama ....Aku terpaku, cukup terkejud mendengar ucapannya. Bagas masih terdiam, menunggu jawabanku. Mata beralih pada cincin yang berteger manis di dalam kotak, lalu berganti memandang Bagas yang tersenyum tipis dengan wajah tegang."Riss ....""Eh," aku tergagap, mengambil nafas panjang menyenderkan tubuh yang sempat membeku ini."Kamu mau menikah denganku?" wajah itu menyimpan harapan, menatap dengan lekat."Gas, aku ini ja-nda ..." aku terbata, mengingat status saat ini. Bagas masih bujang, tampan dan mapan. Rasanya, aku masih belum percaya dengan sikapnya yang tiba-tiba seperti ini."Apa masalahnya. Aku nyaman sama kamu, sayang sama kamu. Dan Dila ... aku sudah menganggapnya seperti anakku sendiri." Aku tertegun, menatap dalam sorot matanya."Gas ..." aku mulai tak nyaman. Jantung mendadak bertalu dengan kencang."Kamu kenapa, Riss." Bagas menaruh kotak perhiasan itu di atas meja, menatap cemas kearahku."Muka kamu pucat, Riss.
Suara adzan subuh lamat-lamat terdengar, mata mengejrap pelan meraba bawah bantal mencari benda pipih. Waktu menunjukan pukul 04:35, aku meregangkan otot lalu kembali menarik selimut. Mata terasa begitu lengket, tak mau terbuka sedikit pun. Aku memejamkan mata, sambil menunggu alarm berbunyi."Mah ... Mamah," suara Dila terdengar, seirama dengan tepukan dipipi ini. Aku menarik nafas, kembali menarik selimut."Mah, ayok sholat subuh, sudah jam 6." suara Dila kembali terdengar, membuat aku berusaha membuka mata."Sholat dulu, Mah, nanti tidur lagi." cerocos, Dila. Meniru kata-kataku, setiap membangunkannya sholat subuh."Iya," jawabku dengan suara serak. Menggerakkan tubuh, duduk bersandar di sisi ranjang."Dila sudah sholat?" bocah perempuan, yang sedang melepas mungkena itu mengangguk dengan cepat."Tadi Dila ke bangun karna mulas, ya sudah sekalian sholat sama Bik Narti. Mamah di bangunin susah." jelasnya dengan nada penuh semangat."Oh, iya." aku mengangguk, sambil menguap panjang.
Bagas mematung di tempat, bisa aku rasakan tangannya terangkat menepuk bahuku dengan pelan. Aku benar-benar ketakutan, namun saat berada di dalam peluknya, rasa takut itu sedikit mengikis."Aaaw." Bagas merintih sakit, sontak membuatku mengurai pelukan dengan panik."Sakit?" tanyaku sambil menatap lekat bola matanya. Bagas tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan.Hening ....Kami bertatapan dengan mulut yang sama-sama terbungkam. Aku tersenyum kikuk, melirik botol minuman yang ada di atas nakas."Mau minum?" tanyaku."Ya." sahut Bagas seraya mengangguk pelan."Ini ..." aku menyodorkan botol minuman setelah membukanya. Bagas meraih botol, minum dengan perlahan."Ka-mu, kenapa ada di sini?" tanyaku kemudian."Bik Narti yang telepon. Kebetulan, kemarin malam baru saja sampai rumah." jawabnya."Makasih ya."Bagas mengangguk, dengan senyum tipis.Kami sama-sama kembali terdiam, Bagas yang biasa selalu ceria melempar tanya, kini hanya tersenyum dengan mulut yang seolah terkunci. Tak sudikah,
Bisa aku rasakan bibir ini terkecup lembut olehnya, Bagas menarik diri meraba hidung dan bibir ini lalu kembali mengecupnya kali ini dengan lumatan manis yang memabukkan.Hhhh ....Mata terpejam erat, hembusan nafas Bagas membuat bulu kuduk meremang seketika.Hhhh ....Bagas menarik diri, mataku terbuka pelan, terlihat Bagas menatap mata ini dengan sangat-sangat sendu."Setiap malam ... aku bahkan selalu bermimpi mencumbui dirimu." lirihnya dengan tatapan lembut. Kembali wajahnya mendekat, kali ini mencium keningku."Sayang kamu ...."Bagas melonggarkan tubuh. Menatap penuh cinta. Aku hanya tersenyum, sedikit menggerakan badan agar sedikit menjauh darinya. Aku benar-benar tegang, tak ingin mati membeku ditempat jika terlalu lama berhadapan. Namun, sebelum aku bergerak jauh, Bagas kembali menarik tubuh ini dan memeluknya dengan erat."Makasih banyak ..." lirih suaranya berbisik di telinga.Selepas mengurai pelukan, kami berdua sama-sama terdiam dengan wajah yang sangat canggung."Aku p
"Riss ... aku tidak salah lihatkan?" Bagas membeku ditempat.Aku mengangguk pelan. Lalu menggelengkan kepala.Itu ... bukankah, seharusnya itu adalah kalimatku?"Dila ... Dila, gemesin banget sih." gumam Bagas menggeleng-gelengkan kepalanya."Ayok masuk." Bagas mendekat sambil mengulurkan tangannya. "Tarik nafas dulu, tegang banget sih." Bagas tersenyum jahil, menjawil hidungku."Oke." aku menarik nafas, melangkah masuk ke dalam rumah.Bukan hanya di halaman, di dalam pun rumah ini benar-benar sangat megah. Televisi sebesar layar bioskop bertengger di ruang tamu, sofa mewah dengan warna coklat tua mengelilingi meja dengan guci yang terlihat mahal yang berada di sudut ruangan.Rumah dengan cat berwarna putih bersih ini, begitu mewah dan elegan. Perabotan mahal dan cantik bertengger manis di dalam lemari kaca besar di sudut ruangan.Wangi bunga lavender menyerang indra penciuman, Bagas menghempaskan tubuh di sofa panjang yang terlihat sangat empuk tersebut."Sini, sayang ..." Bagas mene
"Hah ... cuti menikah?" Pak Abi tertegun saat mendengar kalimatku, yang mengatakan izin untuk menikah."Iya, Pak." sahutku canggung."Ke-napa?" mata Itu mengerjap, tangan Pak Abi yang sejak tadi memegang map terlepas begitu saja."Ma-ksuda saya. Kapan ... ya, kapan kamu akan menikah?" suara itu terdengar terbata-bata. Bibirnya melengkung tipis, seolah terpaksa."Insha Alloh, jika tidak ada halangan, dua minggu dari sekarang." jawabku sopan."Hah?" lagi, Pak Abi terperangah mendengar kalimatku."Si-apa ... siapa laki-laki itu?" alisku menaut mendengar pertanyaannya.Mm ... siapa ya. Bagaimana caraku menjelaskannya?"Tadinya kami berteman, lalu--""Lalu kalian memutuskan untuk menikah, begitu?" Pak Abi menyela kalimatku."Ya ..." aku mengangguk ragu.Terdengar decakan kecil dari bibirnya, laki-laki berhidung mancung dengan jembros tipis itu mengurut kening dengan mata yang terpejam."Kamu yakin mau menikah?" lagi, alisku menaut mendengar pertanyaannya."I-ya, Pak." aku tersenyum canggun
"kenapa?" Bagas mengkerutkan alis, menatap bingung."Hei ..." tangannya mengibas di depan wajahku. "Hem?" Bagas menatap sendu."Ini ... ini bukan mimpikan?" lirihku bersuara.Bagas tersenyum simpul, tangannya menarik pipiku dengan gemas."Issh ..." aku mencoba menghindar."Sakit?" tanyanya dengan senyum lebar."Tidak juga sih," jawabku seraya meringis mengusap pipi bekas jawilannya."Lagian aneh, masa mimpi." Bagas tertawa renyah."Kamu suka yang mana, ayok, di coba. Pasti kamu makin cantik pakai gaun ini." Bagas mengamati gaun pengantin berwarna putih tulang dengan teliti, matanya berbinar, mungkin kagum dengan kecantikan gaun pengantin di depannya."Hei, Rissa, kenapa diam saja?" Mamih berjalan mendekat kearahku."Mah, Dila mau pakai gaun ini ya. Cantik sekali ..." Dila memamerkan gaun pengantin persi kecil di hadapanku. Aku tersenyum seraya mengangguk, mata ini sudah berkaca-kaca.Rasanya, hati masih belum percaya. Aku dan Dila, di perlakukan seistimewa ini."Tant ..." aku menatap
Pov Larissa."Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih sayang serius banget?" Mas Bagas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Bagas dengan wajah prihatin."Aamiin ..." aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada di dalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Hella terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya D
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ....Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai ..." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Larissa semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapny
Pov Hella."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahku
Pov Hella."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck ..." laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Bebaskan saja, jangan di pendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berpikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak pikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu b
"Mati saja kau, Buk. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ...."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru m
"Mas ...."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu ..," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." titahnya, sok perhatian.Aku mengangguk pelan
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah di depan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles saja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih tidak mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang di persidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya.