Bagas mematung di tempat, bisa aku rasakan tangannya terangkat menepuk bahuku dengan pelan. Aku benar-benar ketakutan, namun saat berada di dalam peluknya, rasa takut itu sedikit mengikis."Aaaw." Bagas merintih sakit, sontak membuatku mengurai pelukan dengan panik."Sakit?" tanyaku sambil menatap lekat bola matanya. Bagas tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan.Hening ....Kami bertatapan dengan mulut yang sama-sama terbungkam. Aku tersenyum kikuk, melirik botol minuman yang ada di atas nakas."Mau minum?" tanyaku."Ya." sahut Bagas seraya mengangguk pelan."Ini ..." aku menyodorkan botol minuman setelah membukanya. Bagas meraih botol, minum dengan perlahan."Ka-mu, kenapa ada di sini?" tanyaku kemudian."Bik Narti yang telepon. Kebetulan, kemarin malam baru saja sampai rumah." jawabnya."Makasih ya."Bagas mengangguk, dengan senyum tipis.Kami sama-sama kembali terdiam, Bagas yang biasa selalu ceria melempar tanya, kini hanya tersenyum dengan mulut yang seolah terkunci. Tak sudikah,
Bisa aku rasakan bibir ini terkecup lembut olehnya, Bagas menarik diri meraba hidung dan bibir ini lalu kembali mengecupnya kali ini dengan lumatan manis yang memabukkan.Hhhh ....Mata terpejam erat, hembusan nafas Bagas membuat bulu kuduk meremang seketika.Hhhh ....Bagas menarik diri, mataku terbuka pelan, terlihat Bagas menatap mata ini dengan sangat-sangat sendu."Setiap malam ... aku bahkan selalu bermimpi mencumbui dirimu." lirihnya dengan tatapan lembut. Kembali wajahnya mendekat, kali ini mencium keningku."Sayang kamu ...."Bagas melonggarkan tubuh. Menatap penuh cinta. Aku hanya tersenyum, sedikit menggerakan badan agar sedikit menjauh darinya. Aku benar-benar tegang, tak ingin mati membeku ditempat jika terlalu lama berhadapan. Namun, sebelum aku bergerak jauh, Bagas kembali menarik tubuh ini dan memeluknya dengan erat."Makasih banyak ..." lirih suaranya berbisik di telinga.Selepas mengurai pelukan, kami berdua sama-sama terdiam dengan wajah yang sangat canggung."Aku p
"Riss ... aku tidak salah lihatkan?" Bagas membeku ditempat.Aku mengangguk pelan. Lalu menggelengkan kepala.Itu ... bukankah, seharusnya itu adalah kalimatku?"Dila ... Dila, gemesin banget sih." gumam Bagas menggeleng-gelengkan kepalanya."Ayok masuk." Bagas mendekat sambil mengulurkan tangannya. "Tarik nafas dulu, tegang banget sih." Bagas tersenyum jahil, menjawil hidungku."Oke." aku menarik nafas, melangkah masuk ke dalam rumah.Bukan hanya di halaman, di dalam pun rumah ini benar-benar sangat megah. Televisi sebesar layar bioskop bertengger di ruang tamu, sofa mewah dengan warna coklat tua mengelilingi meja dengan guci yang terlihat mahal yang berada di sudut ruangan.Rumah dengan cat berwarna putih bersih ini, begitu mewah dan elegan. Perabotan mahal dan cantik bertengger manis di dalam lemari kaca besar di sudut ruangan.Wangi bunga lavender menyerang indra penciuman, Bagas menghempaskan tubuh di sofa panjang yang terlihat sangat empuk tersebut."Sini, sayang ..." Bagas mene
"Hah ... cuti menikah?" Pak Abi tertegun saat mendengar kalimatku, yang mengatakan izin untuk menikah."Iya, Pak." sahutku canggung."Ke-napa?" mata Itu mengerjap, tangan Pak Abi yang sejak tadi memegang map terlepas begitu saja."Ma-ksuda saya. Kapan ... ya, kapan kamu akan menikah?" suara itu terdengar terbata-bata. Bibirnya melengkung tipis, seolah terpaksa."Insha Alloh, jika tidak ada halangan, dua minggu dari sekarang." jawabku sopan."Hah?" lagi, Pak Abi terperangah mendengar kalimatku."Si-apa ... siapa laki-laki itu?" alisku menaut mendengar pertanyaannya.Mm ... siapa ya. Bagaimana caraku menjelaskannya?"Tadinya kami berteman, lalu--""Lalu kalian memutuskan untuk menikah, begitu?" Pak Abi menyela kalimatku."Ya ..." aku mengangguk ragu.Terdengar decakan kecil dari bibirnya, laki-laki berhidung mancung dengan jembros tipis itu mengurut kening dengan mata yang terpejam."Kamu yakin mau menikah?" lagi, alisku menaut mendengar pertanyaannya."I-ya, Pak." aku tersenyum canggun
"kenapa?" Bagas mengkerutkan alis, menatap bingung."Hei ..." tangannya mengibas di depan wajahku. "Hem?" Bagas menatap sendu."Ini ... ini bukan mimpikan?" lirihku bersuara.Bagas tersenyum simpul, tangannya menarik pipiku dengan gemas."Issh ..." aku mencoba menghindar."Sakit?" tanyanya dengan senyum lebar."Tidak juga sih," jawabku seraya meringis mengusap pipi bekas jawilannya."Lagian aneh, masa mimpi." Bagas tertawa renyah."Kamu suka yang mana, ayok, di coba. Pasti kamu makin cantik pakai gaun ini." Bagas mengamati gaun pengantin berwarna putih tulang dengan teliti, matanya berbinar, mungkin kagum dengan kecantikan gaun pengantin di depannya."Hei, Rissa, kenapa diam saja?" Mamih berjalan mendekat kearahku."Mah, Dila mau pakai gaun ini ya. Cantik sekali ..." Dila memamerkan gaun pengantin persi kecil di hadapanku. Aku tersenyum seraya mengangguk, mata ini sudah berkaca-kaca.Rasanya, hati masih belum percaya. Aku dan Dila, di perlakukan seistimewa ini."Tant ..." aku menatap
Tubuh ini membeku di tempat, nafas mendadak berhembus tak karuan."Mah, itu Ayah ..." Dila menarik ujung bajuku. "Ada Nenek, Hanum juga." Dila berlari menuju pagar rumah, berhamburan memeluk, Ayahnya."Dila kangen, Yah." Mas Rudi menggendong, Dila. Memeluknya dengan erat."Ayah juga sayang ..." Mas Rudi menghujani ciuman di pipi dan kepala anaknya. Bisa aku lihat, mata Mas Rudi memerah berkaca-kaca."Emm ... cucu cantiknya, Nenek." Ibu Mas Rudi ikut mencium gemas pipi anakku.Aku lihat, mantan Ibu mertua tersenyum kikuk berjalan kearahku kedua tangannya membawa paperbag besar."Assalamuallaikum ..." salam Ibu Hanum, mengiringi langkahnya."Waalaikumsallam," aku menjawab dengan suara pelan."Rissa sehat?" Ibu Hanum menyapa dengan senyum ramah. Aku langsung mencium tangannya, saat jarak kami sudah sangat dekat.Aah ... mengapa aku sangat tegang. Aku bahkan bisa mendengar detak jantungku sendiri."Hem? Rissa sehat?" Ibu Hanum mengulang pertanyaan. Tangannya menggenggam jemariku dengan e
"Riss ... aku ingin rujuk.""Aku ingin menikah ..." aku berbalik badan menyela kalimatnya.Mas Rudi terperangah, menatap tak percaya, detik berikutnya bibir itu tertarik terkulum senyum."Iya, Riss. Secepatnya kita akan menikah." langkahnya lebar mendekatiku."Hahh?" aku memandang tak percaya. Percaya diri sekali dia."Aku memang ingin menikah, tapi ... bukan denganmu." Mas Rudi mengkerutkan kening. Aku mengangkat tangan, menunjukan cincin berlian pemberian calon suamiku."Ma-ksud mu?" Mas Rudi terlihat bingung."Sembilan hari lagi ... aku akan menikah dengan oranglain." tegasku. Mas Rudi menggelengkan kepala, matanya memerah dan berkabut."Ka-mu sudah mempunyai calon?" ucapnya terbata. Aku mengangguk tegas."Ya. Aku sudah punya." jawabku."Kenapa secepat itu. Kita baru bercerai satu tahun, kenapa secepat itu, kamu mencari penggantiku." cercanya seolah tak percaya dengan kata-kataku."Kamu bercanda'kan?" matanya menatap dengan lekat. "Kamu masih sakit hati padaku?" cecarnya semakin me
Hati berdebar-debar, telapak tangan seperti memegang bongkahan es. Aku mencoba menenangkan diri, menarik nafas panjang dari hidung, mengeluarkan perlahan melalui mulut.Benda pipih aku tengok hampir setiap detik, jantung ini berdetak seolah keluar dari tempatnya."Kenapa, Neng? Kok wajahnya panik begitu?" Bik Narti menyentuh pundakku."Paman, Mahmud, apa sudah datang, Bik?" tanyaku sambil mencoba menghubunginya.Sanking banyaknya pikiran, aku sampai lupa menghunginya Adik dari, Bapak. Kalau bukan dia, siapa lagi yang akan menjadi wali untuk pernikahanku."Pasti datang, Neng. Pak Mahmud, kan sudah di hubungi dua hari sebelum pernikahan." Bik Narti menenangkan. Aku kembali menarik nafas, mengingat tanpa wali perempuan, pernikahan tidak akan sah. Kepalaku jadi berputar, khawatir Paman tidak datang.Jarak dari rumah, Paman ke kotaku memakan waktu tiga jam. Semoga tidak ada halangan suatu apapun."Ini sudah jam 07:00, supir Mas Bagas, sudah datang, Neng." ujar Bik Narti."Kita tunggu, samp