Lembu Sora masih belum puas dengan jawaban Sanjaya, dia akan mengajukan pertanyaan lanjutan, ketika tiba-tiba puluhan anak panah menghujani mereka.
“Arg!!” seorang prajurit terkena anak penah tepat di dadanya dan langsung jatuh terkapar. Sedangkan anak panah yang lainnya tidak mengenai sasaran.
Adijaya dan yang lainnya segera menghunus senjata mereka siap untuk menghadapi serangan.
Sanjaya menghentakkan tangannya, sehingga terlepas dari pegangan dua prajurit yang memegang tangannya. Kemudian dengan cepat dia mengambil pedang salah satu prajurit dan mulai menyerang rombongan Adijaya.
Puluhan orang berpakaian hitam bersenjata pedang dan muka tertutup kain datang menyerbu dari seluruh penjuru rumah itu.
Dengan segera terjadi pertarungan sengit di dalam rumah itu. Adijaya dengan pedangnya menghadapi para penyerang dengan gerakan lugas dan tangkas. Pedangnya menyambar-nyambar, membuat beberapa penyerangnya langsung terkapar. Rombongan Adijay
Lembu Sora merasakan sakit di dada dan punggungnya, dia segera berguling ke kanan untuk menghidari serangan selanjutnya. Sanjaya segera bangkit dan menyerang Lembu Sora dibantu oleh penyerang berpakaian hitam-hitam. Serangan dari kedua orang itu membuat Lembu Sora cukup kewalahan, tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Dengan kecepatan dan ilmu bela diri yang lebih tinggi dari dua penyerangnya, Lembu Sora berhasil mengatasi keadaan. Lembu Sora membuat gerakan memutar dan melakukan tendangan memutar yang membuat penyerang berbaju hitam terkejut dan tekena tendangan itu. Secepat kilat Lembu Sora mengarahkan pedangnya ke arah penyerang yang sudah kena tendang itu, mengakibatkan luka memanjang pada perutnya dan darahnya memercik ke udara.Sanjaya yang melihat hal itu segera menerjang ke arah Lembu Sora. Tetapi kali ini dia salah perhitungan, pedang Lembu Sora sudah lebih dahulu mengenai tangannya, membuat Sanjaya mengaduh kesakitan. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Lembu Sora
Tegal. Malam hari. Di depan rumah pedagang ikan. Sanjaya duduk terdiam dikelilingi oleh Adijaya, Bhre Wiraguna, Lembu Sora, dan Arya Tejawungu beserta prajurit kadipaten Tegal.“Banyak pertanyaan yang harus kamu jawab,” kata Adijaya.“Sebaiknya ceritakan saja dari awal,” usul Lembu Sora.“Ya, ceritakan semuanya!” kata Bhre Wiraguna dengan nada mengancam, karena dia adalah korban ikan beracun yang dimasak Sanjaya.Semua menunggu apa yang akan dikatakan Sanjaya. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Sanjaya mulai bercerita.Setelah pertempuran dengan pasukan kalian di Sindang Laut, kami melarikan diri ke hutan. Di sanalah kami bertemu dengan pasukan asing di bawah pimpinan Samiri. Pasukan asing itu mempunya senjata dan kekuatan yang luar biasa, tidak akan pernah kalian jumpai sebelumnya di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Mereka mempunyai senjata kecil yang bisa mengeluarkan sinar maut yang mampu melump
Malam hari. Masih di rumah pedagang ikan, Tegal. Sanjaya masih duduk dikeliling para prajurit Tegal. Malam semakin dingin, angin malam bertiup pelan. Waktu yang nikmat untuk istirahat. Tapi Adijaya dan prajurit Tegal lainnya masih mencoba mengorek keterangan dari Sanjaya. Terlalu banyak misteri, terlalu banyak yang tidak mereka ketahui dari cerita Sanjaya. Senjata aneh, Samiri, pulau misterius, makhluk-makhluk aneh, semuanya seolah hanya dongeng saja.“Sebenarnya, apa tugas yang dibebankan padamu?” tanya Adijaya penasaran.“Eeh, sebenarnya aku ditugaskan meracuni seluruh pasukan Mataram yang akan menyerang Batavia,” jawab Sanjaya.“Apa tujuannya?”“Untuk melemahkan pasukan Mataram, sehingga gagal menyerang Batavia!”“Siapa yang sebenarnya merencanakan semua ini?” tanya Adijaya.“Semua berasal dari Samiri, orang yang tahu segalanya itu,” jawab Sanjaya.“Siapa
Adijaya dan kawan-kawannya semakin terdesak oleh serbuan pasukan penyerang. Pasukan penyerang semakin banyak berdatangan menyerbu laksana air bah. Adijaya hanya bisa menangkis dan mundur, tidak dapat menyerang sama sekali. Musuh semakin ganas menyerang, beberapa prajurit Tegal tampak mulai terluka. Darah tampak mengalir dari tubuh mereka. Pasukan musuh semakin gencar menyerang dengan semangat untuk menghabisi perlawanan pasukan Tegal.Adijaya sudah kehabisan ruang untuk menyerang, musuh terlalu banyak dan rapat. Pedangnya lebih sering beradu dengan pedang penyerangnya. Hal yang sama terjadi juga pada Lembu Sora, Bhre Wiraguna dan Arya Tejawungu. Mereka sama sekali sudah tidak bisa menyerang. Tenaga mereka juga sudah terkuras karena menahan gempuran serangan lawan. Pada saat yang kritis itu, terdengar suara auman yang keras, bersamaan dengan itu pasukan penyerang mendadak kocar-kacir tidak karuan.Seekor makhluk mengerikan mengamuk, membabi-buta, menyerang pasukan berpa
Mata Sanjaya yang merah melotot ke arah suara yang mencegahnya. Cakarnya yang semula siap digunakan untuk mencabik mangsa di depannya yang sudah terangkat di udara kembali diturunkan. Nafasnya naik turun tidak beraturan, rambutnya yang panjang melambai tertiup angin malam yang kencang. Ekornya yang tebal dan panjang bergerak naik turun.Kyai Rangga tampak duduk di atas kudanya diiringi oleh puluhan pasukan panah berkuda yang siap melepaskan anak panahnya. Rupanya dialah yang meminta Sanjaya untuk menghentikan serangannya. Kyai Rangga melompat turun dari kudanya dan berjalan mendekati Sanjaya.Sanjaya memandangi Kyai Rangga yang perlahan mendekatinya. Sanjanya memandang Kyai Rangga dengan matanya yang merah, nafasnya semakin memburu, dan dia menyerang Kyai Rangga dengan cakarnya.Kyai Rangga tidak menghindari serangan Sanjaya, tetapi dengan tangan kanannya dia menangkap tangan Sanjaya yang terayun ke arahnya. Setelah menangkap tangan Sanjaya, dengan gerakan
Malam hari. Rumah pedagang ikan. Tegal. Kyai Rangga duduk bersila di depan penyerang yang terbaring pingsan. Tangan kanannya memegang lengan penyerang itu. Adijaya memberi isyarat pada semua yang hadir untuk ikut duduk bersila dan tidak mengeluarkan suara apa pun. Maka hampir serentak semua yang hadir duduk bersila dan diam menunggu apa yang akan dilakukan oleh Kyai Rangga.Dalam keheningan malam, angin bertiup pelan membawa hawa dingin, membuat semua yang hadir mulai merasakan hawa dingin menusuk tulang mereka.Kyai Rangga memegang lengan penyerang itu dan mulai mencoba memasuki alam bawah sadar orang itu.“Dengarkan kata-kataku, dengarkan dan ikuti semua yang kukatakan, kamu akan merasa nyaman, tenang, tentram, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tidak ada yang perlu ditakutkan. Semua aman, tentram, nyaman. Suara sepoi angin malam akan membuatmu tidur semakin dalam, semakin dalam, dan semakin nyenyak. Tetapi kamu masih bisa tersadar dan masih bisa menjab
Malam semakin dingin. Kyai Rangga masih bersila di hadapan Rudrapaksi, mencoba mengorek keterangan lebih jauh.“Darimana kalian tahu rencana penyerangan ke Batavia?” tanya Kyai Rangga pada Rudrapaksi yang masih tenggelam dalam alam bawah sadarnya.“Banyak mata-mata di sebar ke seluruh wilayah kekuasaan Mataram!”Kyai Rangga manggut-manggut.“Berapa orang mata-mata yang ada di Tegal?” tanya Kyai Rangga dengan mimik serius.“Ada dua orang!”“Siapa mereka?”Jleb!!! Sebuah anak panah berukuran sejengkal menembus tenggorokan Rudrapaksi, membuatnya berhenti bernapas selamanya. Kyai Rangga dengan cepat mencari asal anak panah itu. Dilihatnya sekelebat bayangan hitam berlari di atas atap.“Sial!” teriak Kyai Rangga sambil melompat ke atas atap untuk mengejar bayangan hitam itu.Bayangan itu melesat bagai busur anak panah di kegelapan malam. Kyai Rangga denga
Malam hari. Jalan menuju Kendal. Kyai Rangga dan dan sepuluh prajurit pengawalnya masih berhenti di tempat itu. Kyai Rangga menunggu sampai rombongan yang menuju kadipaten benar-benar telah lenyap dari pandangan.“Malam ini cukup gelap, jalanan juga sulit dilihat, kita hanya berpedoman pada bintang di langit,” kata Kyai Rangga.“Kita akan kemana?” tanya Dewangga, kepala pasukan pengawal.“Kita akan menuju ke Kendal, menemui Tumenggung Bahurekso,” jawab Kyai Rangga.“Kendal? Bukankah tadi Kanjeng Tumenggung mengatakan kita akan pergi besok?” tanya Dewangga.“Itu hanya siasat, agar tidak ada yang tahu aku pergi ke Kendal malam ini, banyak mata-mata yang sudah menyusup di Tegal, jadi aku harus hati-hati,” jelas Kyai Rangga.Dewangga mengangguk, memahami penjelasan Kyai Rangga.“Mohon maaf Kanjeng Tumenggung, apakah kuda-kuda kita dapat melakukan perjalanan dalam kegelapan?
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke
Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg
Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya
Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a