Rangga belum sempat melihat siapa pelakunya tiba-tiba saja tubuhnya dihantam oleh ombak besar sehingga tubuhnya terpental. Rangga berusaha bangun namun hantaman air gelombang kedua mengenai tubuhnya kembali. "Wuuur wuuur!" Rangga kembali terjatuh setelah dihantam gulungan air. Diliriknya Hasta, ternyata pemuda juga bernasib sama seperti dirinya. Hasta juga jatuh bangun dihantam gelombang air. Hasta yang marah berteriak memaki "Hei perempuan nyinyir, pergilah jangan ikut campur urusan kami! Pergi saja ngurus anak dan suamimu!" Perempuan itu melompat ke arah Hasta "Sembarangan ngomong, aku belum punya suami dan anak!" Sekarang Rangga dapat melihat jelas perempuan itu. Dia seorang perempuan muda yang cantik. Berpakaian serba biru dengan kain batik warna biru indigo. Hasta tersenyum mengejek "Ooh belum punya suami. Pantas saja tidak laku wajahmu juga tidak cantik. Mana ada pemuda yang mau menjadikan kamu isteri. Ha ha ha ha." Tiba-tiba semburan air masuk ke mulut Hasta yan
Hari ini hari pertama Rangga datang ke Padepokan Sekar Jagad milik Mpu Waringin untuk belajar silat. Dengan diantar oleh Jalu murid senior di padepokan, tibalah mereka di sebuah ruangan besar berlantai paving terakota yang disusun rapi dengan tikar pandan tergelar di atasnya. Beberapa murid menoleh ke arah Jalu dan Rangga, sedangkan yang lainnya acuh tak acuh asyik rebahan bersantai di tikarnya setelah seharian beraktivitas. Jalu menunjuk ke sudut ruangan. "Ini ruang tidurnya, di pojok sana masih ada tempat kosong." "Baik Kangmas, terimakasih,"jawab Rangga. Rangga berjalan menuju pojok kamar sambil membawa buntelan pakaian ganti melewati beberapa murid yang sudah tiduran di atas tikar. "Permisi, permisi numpang lewat." Tiba-tiba, Rangga merasa keseimbangannya hilang. "Brruuuk," Rangga jatuh tersungkur, seseorang telah menjegal kakinya. "Ha ha ha ha....si anak manja jatuh. Aduuh kasian kamu...sakit ya," Hasta salah satu murid di padepokan dan teman-temannya menertawaka
Samar-samar Rangga mendengar suara langkah kaki menghampirinya dan suara teman-temannya memanggil namanya. Saat Rangga terbangun dia mendapati dirinya berada di kamar dan Mpu Waringin sudah duduk di sampingnya. “Tak kusangka ternyata tubuhmu begitu lemah, baiklah besok kamu tidak usah belajar silat, kamu belajar ilmu pengobatan dengan Gondo,” ujar Mpu Waringin. “Maafkan saya guru, mungkin tadi karena bangun kesiangan, saya tidak sempat sarapan dan langsung berlatih.” “Tidak apa-apa, sekarang istirahatlah dulu. Besok aku mau bertapa selama 3 bulan. Jadi aku tidak dapat mengajar kalian, semua urusan telah kuserahkan pada Jalu dan para murid senior.” Keesokan harinya, situasi bukannya membaik tapi justru semakin memburuk. Bukannya belajar ilmu pengobatan, Jalu menghukum Rangga dengan menyuruhnya bekerja di dapur menyiapkan makanan bersama para abdi yang bekerja di padepokan. Sebelum subuh, Rangga sudah memulai kegiatannya lalu menghidangkan bubur sagu untuk sarapan pada para m
Setibanya di luar, mereka mengikat Rangga di sebuah tonggak, memukuli dan menendangnya sampai babak belur sambil memakinya. “Ampun…tolong hentikan...sakiit! Bukan aku yang membunuhnya!” “Bohong, buktinya sudah ada, kamu kan yang membantu Gondo membunuh Guru!” maki salah seorang murid. Mereka kembali memukuli Rangga tanpa ampun hingga pemuda itu muntah darah. Rangga menderita luka dalam yang teramat parah. “Sudah cukup, tenaga kalian masih diperlukan. Besok kita adili dia, jika terbukti dia bersalah, kalian boleh memukulinya sampai mati. Sementara biar dia di sini dulu, sekarang kita rawat jenazah Guru dan mempersiapkan upacara pemakaman,” perintah salah seorang sesepuh di padepokan. Beberapa murid yang memukuli Rangga masuk ke pondok meninggalkan Rangga sendirian dalam keadaan terikat. Mereka akan merawat jenazah Mpu Waringin dan mempersiapkan upacara pemakaman. Setelah semua orang pergi, suasana kembali sepi dan gelap. Lokasi padepokan yang terletak di hutan di lereng gu
Rangga telah siuman dari pingsannya, dia mendapati dirinya berbaring di tempat tidur batu. Kepalanya masih terasa pusing dan dadanya masih terasa sesak. Aroma ramuan herbal yang pekat menyergap hidungnya. Rangga mencoba bangun, dia mengangkat kepala dan tubuhnya perlahan, tapi ternyata tubuhnya masih terasa sakit ketika bergerak. "Aaargh!"Rangga berseru tertahan. Tubuh Rangga kembali ambruk, pemuda itu merasakan rasa sakit yang luar biasa di dada dan perutnya serta sakit kepala yang luar biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki masuk ke kamar. "Aah...syukurlah kamu sudah bangun!" Rangga terkejut dan menoleh, seorang nenek-nenek berdiri dihadapannya, dia membawa nampan yang penuh dengan guci-guci kecil dan cawan. Tapi lagi-lagi Rangga terkejut ketika menyadari siapa nenek itu. Hampir saja dia berteriak ketakutan. Nenek itu adalah nenek yang membukakan pintu untuknya. "Mbah, ternyata Simbah itu orang ya,"ujar Rangga dengan polosnya. Nenek itu tertegun
Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan. Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin
Ruangan di sebelah kamar Hasta adalah tempat penyimpanan obat dan bahan-bahan obat. Gembong membuka pintu ruang penyimpanan bahan obat, situasi di dalam gudang begitu gelap. Dia mengambil lampu sentir yang tergantung di dinding lalu masuk dan memeriksa di dalamnya. Terdengar bunyi mencicit dan bunyi benda yang saling berbenturan di belakang lemari. "Cit cit cit! Glodak glodak glodak!" Gembong mendekati lemari, beberapa tikus bermunculan dari bawah lemari penyimpanan bahan obat, disusul dengan seekor kucing yang melompat dari atas lemari. Saat melompat, kucing itu menyenggol tangan Gembong yang sedang memegang sentir. "Sialan, tikus tikus !" Tikus-tikus berlarian dari balik lemari. Gembong yang tampak sangar dan perkasa ternyata takut dengan tikus. Karena terjangan kucing, lampu sentir yang dibawa Gembong terjatuh dan minyak kelapa bahan bakar lampu sentir tumpah ke lantai. Minyak yang terkena api langsung terbakar merembet ke tumpukan kayu, akar kering dan rak yang diatas
Suasana malam itu berubah, gundukan tanah dengan batu nisan itu menghilang. Sementara di depannya sedang berlangsung pertarungan yang sengit antar pendekar. Jarak Rangga dengan para pendekar itu cukup dekat hanya berjarak sekitar lima meter saja. Seorang pendekar yang berpakaian seperti seorang Resi berteriak lantang. Suaranya menggelegar bagai petir mengalahkan suara teriakan pertarungan. "Sekar kembalikan Kitab Sang Hyang Agni kepada kami. Najis jika kitab itu dipegang manusia sesat macam kalian!" Terdengar suara wanita yang melengking lantang menusuk telinga. Membuat para pendekar lainnya menutup telinga mereka. "Ha ha ha ha kamu mimpi Dharmaja, kalahkan dulu para pendekar di sini, baru aku ikhlas menyerahkan kitab ini kepadamu!" Setelah itu terdengar suara pertarungan sengit. "Siapa itu Mbah?" "Dia Resi Dharmaja, salah satu pendeta di Sywa Grha yang diutus merebut kembali kitab itu. Sekarang diamlah, kamu sedang melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu,"tukas Mbah
Rangga belum sempat melihat siapa pelakunya tiba-tiba saja tubuhnya dihantam oleh ombak besar sehingga tubuhnya terpental. Rangga berusaha bangun namun hantaman air gelombang kedua mengenai tubuhnya kembali. "Wuuur wuuur!" Rangga kembali terjatuh setelah dihantam gulungan air. Diliriknya Hasta, ternyata pemuda juga bernasib sama seperti dirinya. Hasta juga jatuh bangun dihantam gelombang air. Hasta yang marah berteriak memaki "Hei perempuan nyinyir, pergilah jangan ikut campur urusan kami! Pergi saja ngurus anak dan suamimu!" Perempuan itu melompat ke arah Hasta "Sembarangan ngomong, aku belum punya suami dan anak!" Sekarang Rangga dapat melihat jelas perempuan itu. Dia seorang perempuan muda yang cantik. Berpakaian serba biru dengan kain batik warna biru indigo. Hasta tersenyum mengejek "Ooh belum punya suami. Pantas saja tidak laku wajahmu juga tidak cantik. Mana ada pemuda yang mau menjadikan kamu isteri. Ha ha ha ha." Tiba-tiba semburan air masuk ke mulut Hasta yan
Sambil berjalan Rangga bertanya pada Resi Raju. "Siapa nama pemimpin pandhita di Sywagrha sekarang?"tanya Rangga. "Sekarang Sywagrha dipimpin oleh Pandhita Kanwa."Seorang gadis berjalan membawa sesaji di atas kepala. Tampaknya dia juga ikut mempersiapkan upacara Hari saraswati. Rangga bertanya pada gadis pembawa sesaji. "Dimana Pandhita Kanwa?" Gadis itu menunjuk ke arah satu bangunan candi yang tertinggi. "Beliau ada di sebelah sana di candi Sywa."***** Di candi Sywa terlihat ada seorang pria tua berpakaian serba putih sedang berbincang bersama orang-orang yang mempersiapkan keperluan upacara. Saat Rangga dan Resi Raju tiba di candi Sywa, mereka langsung mendatangi Pandhita Kanwa. "Rahayu Pandhita Kanwa,"ucap Resi Raju dan Rangga. Pria berpakaian serba putih itu menoleh lalu bertanya "Siapa kalian? Sepertinya anda datang dari india?"tanyanya.Suara Pandhita Kanwa begitu lembut dan menenangkan seperti alunan suara doa. "Ya, kami datang dari India. Saya datang bers
Sementara Rangga langsung menyabetkan pedang menyambut serangan lawan. Kembali terdengar bunyi senjata beradu. "Traang traaang traaang....sreeet!" Musuh mencoba menggaet pedang Rangga, namun Rangga segera menarik pedangnya. Percikan api meletik kala pedang dan clurit beradu. Rangga mundur beberapa langkah, kali ini Rangga menyadari, kemampuan lawannya tidak bisa disepelekan, dia harus berhati-hati jika masih ingin hidup. Musuh kembali mengayunkan clurit menebas ke arah wajah Rangga. Rangga berkelit menjauhi serangan sambil menangkis dengan pedangnya. Kali ini musuh menyabetkan clurit lebih cepat dari serangan awal. Makin lama serangan itu makin cepat. Clurit musuh seolah berada di mana-mana sehingga Rangga sulit membedakan mana clurit yang asli mana yang bayangan. Merasa kesal Rangga juga menambah kecepatan dua kali lebih besar daripada tadi. Kali ini musuh mulai terlihat kewalahan. Rangga yang ingin segera menyelesaikan pertarungan melihat ada celah di serangan lawan. Pedangny
Rangga sesekali melirik ke arah dua orang tadi. Keduanya masih ada di sana sibuk dengan hidangan di depannya. "Kamu dan aku sama-sama pendatang baru di dunia persilatan. Tapi kalau ada kejadian seperti ini, siapa dan apa yang sebenarnya terjadi? Apakah dia mengincarku atau mengincarmu terkait dengan Bapakmu di masa lalu,"ucap Rangga."Entahlah, Bapak tidak pernah terbuka dengan masa lalunya.""Kami tidak pernah bertemu atau berseteru dengan sekte Bulan Sabit Emas. Aku curiga, setelah kejadian Nyai Wijil, bisa jadi mereka sedang mengincar pusaka yang kalian miliki. Pedang Inti Air dan Kapak Setan,"tambah Blandhong."Ya tapi kami kan bukan pendekar terkenal. Masa berita tentang pusaka ini sudah tersebar?"tanya Rangga.Blandhong terbahak mendengar pertanyaan Rangga.kalian"Ha ha ha ha kaliang ini lugu sekali. Rangga, berapa kali pedangmu kamu gunakan di depan banyak orang? Ketua, Kapak Setan dalam gembolanmu itu juga menarik perhatian para pemburu pusaka. Apalagi saat berada di pengina
Hasta sedang minum tuak di kapalnya berdama Tunggul dan Gembong saat Rama datang melapor."Kangmas Hasta, sepertinya kali ini lawanmu berat. Rangga ternyata bersahabat dengan Gerombolan Kapak Setan, gerombolan perampok yang paling ditakuti di Pajang.Hasta mengerutkan keningnya, dia baru saja mendengar nama gerombolan Kapak Setan."Ah, masa sih aku belum pernah mendengar kehebatan mereka di Timur,"ucap Hasta dengan nada meremehkan.Rama tersenyum melihat sikap Hasta yang memang suka merendahkan orang."Tapi kalau kamu tahu ilmu andalan mereka, pasti kamu juga menginginkan pusaka Kapak Setan itu. Dulu Liman adalah pemimpin mereka dengan senjata andalannya kapak setan. Di tangan Liman, kapak itu menjadi sebuah kapak yang bahkan mampu membelah bumi,"ungkap Rama."Ah, itu pasti cuma dongeng saja. Memangnya kamu pernah melihat sendiri kehebatan kapak itu?"tanya Hasta sambil menenggak tuaknya.Rama menggeleng"Belum pernah, aku mendengarnya dari Bapakku. Saat itu Liman ketua mereka masih ma
Sebuah kapal besar dan mewah tampak bersandar di dermaga. Pemilik kapal itu pastilah seorang bangsawan atau pedagang kaya. Terlihat Hasta yang berdiri di geladak kapal, sedang melihat kesibukan di pelabuhan Pajang. Di sebelahnya kirinya berdiri Tunggul sahabat sekaligus pengikutnya. Sedangkan di sebelah Tunggul seseorang yang berpakaian seperti pendekar ikut berbincang bersama Hasta. Saat mereka sedang asyik berbincang, Gembong naik ke kapal dengan tergesa-gesa, sepertinya ada hal penting yang akan disampaikan."Gembong, kamu ini kenapa?"tanya Hasta heran."Huuh, aku melihat bocah itu berada di sini juga. Kukira dia sudah mati, tapi ternyata dia masih hidup."Hasta mengerutkan keningnya dan bertanya"Siapa bocah yang kamu maksud?""Rangga, dia ada di sini!""Lho, mau apa dia kemari?"tanya Hasta terkejut."Sudahlah Kangmas Hasta, kedatangan kita ke Pajang ini kan untuk menemui Bhre Pajang lalu menyampaikan surat perintah dari Gusti Ratu Tribuana agar Bhre Pajang mewakili Gusti Ratu T
Rangga belum melihat sosok Nyai Wijil namun suaranya seolah-olah begitu dekat dengan mereka. Beberapa saat kemudian, terdengar lagi suara berkelebat di udara. Dari arah belakang perahu muncul Nyai Wijil. Kali ini Rangga terkagum-kagum dengan ilmu meringankan tubuhnya. Nyai Wijil melompat ke sungai. Saat akan mendarat di air, kakinya menutul air sungai laku melompat lagi, bagai berjalan di atas air.Setelah dengan perahu, wanita itu langsung melompat ke dalam perahu."Wijil, kenapa kamu tidak pernah berhenti mengganggu hidupku?"Nyai Wijil melihat ke arah Dhesta yang sedang terbaring di perahu dengan tatapan penuh kebencian."Itu anakmu dengan penari murahan itu kan?"Tapi Liman pura-pura tak mendengar, dia menghadang Nyai Wijil."Dia terkena racun Lali Jiwo milikmu, berikan obat penawarnya!""Aku mau memberikan penawarnya tapi dengan satu syarat!"Liman tertegun, matanya menatap curiga pada Nyai Wijil."Apa yang kamu inginkan dariku?""Tinggalkan penari murahan itu dan ikutlah dengank
"Dhesta!"seru Rangga cemas."Rangga, Dhesta keracunan, aku sudah berusaha mengeluarkan racunnya dari paru-parunya.Tapi hanya sedikit yang berhasil keluarkan."Mendengar suara yang yang sangat dikenalnya, Rangga segera menghampiri orang itu menyapanya."Ki Liman, anda di sini?"Liman tersenyum dan mengangguk, lalu dengan nada cemas dia berkata."Anakku satu-satunya yang selama bertahun-tahun tidak pernah keluar kampung. Tiba-tiba saja meninggalkan rumah pergi merantau. Tentu saja aku sangat mencemaskannya. Jadi aku memutuskan untuk menyusulnya kemari. Ternyata firasatku benar, pantas saja hatiku tidak tenang. Racun ini hanya orang-orang dari sekte ular hijau yang punya obatnya.""Ya, biar saya coba mengobatinya semoga saja berhasil. Tadi dia terkena asap beracun yang ditiupkan dari lubang di jendela itu. Saya tidak tahu racun jenis apa itu."Rangga segera mengeluarkan peralatannya dan mulai memeriksa Dhesta. Pemuda itu masih pingsan, wajahnya sudah mulai membiru.Celaka, racun itu tel
Para pengeroyoknya terperangah melihat Rangga yang dengan santainya berdiri di atas dahan pohon Hujan yang lemah. Rangga tampak anteng dan tenang di atas dahan pohon. Tak sekalipun dia terlihat kerepotan menjaga keseimbangan. Sesekali tubuhnya bergerak mengikuti gerakan dahan yang terkena angin. Orang-orang itu tersadar, kali ini lawan yang mereka hadapi bukanlah lawan sembarangan. Kini mereka semakin waspada terhadap lawannya. "Hei, jangan cari aman sendiri di atas pohon. Kalau kamu memang pemberani, turunlah lawan kami di bawah!" Rangga berkelebat turun dari pohon lalu berseru. "Ayo majulah, lawan aku!" Para pengeroyoknya langsung menyerang Rangga. Pedang Inti Air berkelebat menangkis serangan mereka. Tenaga dalam sudah dikerahkan ke tangan Rangga, lalu pedangnya membuat gerakan memotong. "Traang traang traang!" "Klontrang klontraang!" Terdengar bunyi besi jatuh disusul bunyi teriakan kematian. "Aaaarrrrghh....aaarrgh....aaargh!" "Bruuuk...bruuuk...bruuuk!" Tubuh para p