Patni terpaksa melemparkan dirinya ke kiri. Sinar putih menyilaukan lewat di sisi kanannya. Menghantam tembok penjara hingga ambrol. Jalung Dahana yang menyaksikan kehebatan Suro Joyo dan Patni hanya berdiri mematung saking kagetnya.
Dalam benaknya Patni berpikir, kalau dirinya terus menghantamkan kilatan petir jarak jauh, suatu saat bisa kalah. Patni menggunakan jurus lain. Dia menyerang secara langsung menggunakan pedang saktinya. Pedang itu dia tusukkan ke arah dada lawan.
Karena tak menduga bakal diserang secara langsung, Suro Joyo terpaksa menangkisnya. Lagi-lagi terjadi benturan dua senjata sakti. Ledakan terjadi, tubuh Suro Joyo dan Patni sama-sama terpental ke belakang. Punggung Patni menabrak tembok penjara, lalu terbanting ke tanah. Sedangkan tubuh Suro Joyo bersalto ke belakang. Kakinya menggenjot batang pohon besar di belakangnya. Lalu melesat cepat ke arah Patni dengan sabetan pedang untuk membelah kepala lawan!
Mendadak ada sosok pendekar berpakaian serba putih menyambar kepala Denta Singir dengan tendangan keras. Membuat tubuh Denta Singir terjungkal mencium rerumputan!”Jalung, cepatlah menyingkir!” kata Suro Joyo sambil pasang kuda-kuda untuk menghadapi Denta Singir. Bahkan mungkin Mayang Kencana sekaligus. Karena Mayang Kencana ternyata telah menyusulnya!Denta Singir dan Mayang Kencana kini telah bersama-sama untuk serentak menyerang Suro Joyo. Semantara Suro Joyo tiba-tiba tertawa-tawa. Tentu saja menertawakan Denta Singir dan Mayang Kencana. Membuat kedua pasangan itu keheranan.”Apa yang kamu tertawakan, Pendekar Kembara Semesta?” tanya Mayang Kencana gusar.”Hehehe, ternyata kalian pasangan serasi,” ejek Suro Joyo. ”Bukan hanya pasangan pendekar silat yang serasi. Tetapi juga pasangan pendekar selingkuh yang abadi, hehehe....”
Dhuer! Dhuerr! Dhuerrr!Ledakan keras dari senjata berbentuk bundar yang dilemparkan Kentar Dahana membuat ruang pendapa jadi gelap. Setelah asap tebal lenyap, maka ruang pendapa menjadi terang kembali. Namun, Denta Singir, Mayang Kencana, dan Kentar Dahana telah lenyap dari pendapa istana!Denta Singir, Mayang Kencana, dan Kentar Dahana hendak meninggalkan Garaloka. Ketiganya melesat lari meninggalkan Gerbang Istana Kerajaan Garbaloka.”Berhenti! Kalian mau kemana?” tanya Endragiri yang sudah mencegat di luar istana. Suro Joyo dan Jalung Dahana berada di kanan dan kirinya. Sedangkan sembilan prajurit andalan mengepung ketiga orang yang hendak kabur dari istana itu.”Aku ingin mencari tempat luas untuk menghabisi kalian!” kata Kentar Dahana sambil menyerang tiga prajurit
”Mungkinkah Lodra Dahana masih hidup?” gumam Kentar Dahana yang hanya bisa didengar diri sendiri. ”Bukankah tusukan pisau di punggungnya itu menembus jantungnya? Bukankah dia tewas waktu pisau itu menembus jantungnya? Bukankah dia tewas waktu itu?””Kamu jangan bengong kayak macan ompong, Kentar Dahana! Aku...., Lodra Dahana masih hidup...,” kata Lodra Dahana yang berjalan dari balik pohon sambil menggenggam Keris Wisaranu di tangannya. ”Ki Dipoyono yang menolong dan menyembuhkan aku.”“Berkat pertolongan Ki Dipoyono, aku bisa sembuh,” lanjut Lodra Dahana sambil memandang Kentar Dahana dengan pandangan menusuk. Menusuk ulu hati yang terdalam. “Berkan pertolongan Ki Dipoyono, aku masih hidup dan bisa kembali ke Istana Garbaloka.””Apa yang telah terjadi, Pangeran Lodra Dahana?” tanya Endragiri penasaran. ”Oh y
Suro Joyo menyambut dengan hantaman Rajah Cakra Geni. Dhuerrr! Terdengar suara menggelegar ketika terjadi benturan antara senjata sakti yang ada di tangan Mayang Kencana dengan ajian Rajah Cakra Geni. Suaranya keras membuat telinga terasa pekak. Bersamaan dengan lenyapnya suara gelegar, trisula Mayang Kencana hancur berkeping-keping. Kepingan-kepingan senjata itu jatuh berserakan di berbagai penjuru. Senjata trisula hanya tinggal kenangan karena sudah tak ada bekasnya lagi. Tubuh Mayang Kencana mencelat tinggi ke udara. Tubuh si pendekar perempuan melenting tinggi di udara. Selama beberapa saat dia kehilangan kesadaran akibat benturan keras yang tidak pernah dia duga sama sekali. Suro Joyo menghantamkan pukulan Rajah Cakra Geni jarak jauh untuk meleburkan tubuh lawan yang sudah tidak bisa dikasihani. Mayang Kencana sempat melihat pancaran sinar merah dari telapak tangan
Sudah lebih dari satu bulan Banawi menunggu Banawa di depan mulut Goa Barong. Banawa, saudara kembar Banawi, pergi ke Gunung Sumbing untuk memetik Bunga Puspajingga. Banawi tidak tahu apa yang menyebabkan saudara kembarnya belum pulang sampai sekarang.Sebenarnya Banawa dan Banawi berencana untuk menjebol batu besar yang menutup mulut Goa Barong. Mereka ingin memiliki harta karun yang kabarnya disimpan di dalam goa. Dulu mereka mengalami kegagalan ketika ingin menjebol pintu goa. Ilmu tenaga dalam tertinggi yang mereka miliki belum bisa menaklukkan penghalang yang merintang pada penutup goa.Keduanya ingin meningkatkan tenaga dalam dan kesaktiannya masing-masing. Mereka ingin meningkatkan kesaktian dengan minum ramuan Bunga Puspitajingga. Ramuan air yang dicelup Bunga Puspajingga bisa meningkatkan tenaga dalam sampai ribuan tingkatan.Untuk mendapatkan bunga sakti itu, Banawi menyuruh Banawa menuju Gunu
Tiga orang itu termasuk gerombolan perampok dari Goa Barong ini. Gerombolan mereka bernama Gerombolan Iblis Barong. Anggota utama terdiri dari lima orang. Tiga orang yang kini berada di depan Westi Ningtyas bernama Olengpati, Taraksa, dan Rubasa. Sedangkan dua teman mereka bernama Anggitan dan Higrataling, sedang menemui Patih Ganggayuda di Kerajaan Karangtirta. “Mereka ini manusia atau binatang?” gumam Westi Ningtyas lirih yang hanya didengar diri sendiri. “Kalau manusia kok tidak punya tata karma ketika mengamati orang yang belum dikenal. Kalau mereka binatang, kok wujudnya seperti manusia.” Olengpati, Taraksa, dan Rubasa berpakaian serba hitam. Golok besar tersandang menggelantung di pinggang masing-masing. Ketiga orang ini punya ilmu silat yang setara. Hanya saja, Olengpati memiliki satu kelebihan lain, yakni mampu melihat dalam kegelapan tanpa menggunakan lampu penerang. Olengpati juga memiliki kelebihan dibanding kedua temannya, yakni berwajah bersih dan
”Agaknya para perampok itu juga punya kesaktian yang bisa diandalkan,” kata hati Westi Ningtyas. ”Pantas saja kalau mereka mampu bertahan selama puluhan tahun sebagai gerombolan perampok yang ditakuti.” Golok di tangan Taraksa dan Rubasa kembali ke warna semula. Berkilau-kilau tajam. Namun panas masih menebar dari golok-golok itu. Westi Ningtyas dapat merasakan walau jaraknya dengan kedua perampok itu ada lebih dari lima tombak. Taraksa dan Rubasa secara serentak menyerang Westi Ningtyas dengan sabetan-sabetan golok tajam. Berkelebat-kelebat untuk membabat si pendekar wanita. Gerakan golok di tangan mereka sangat cepat sehingga sulit diikuti mata. Westi Ningtyas menghadapi serangan kedua perampok bersenjata golok itu dengan tenang. Tubuhnya yang semampai berkelit ke sana kemari dengan gerakan cepat namun tetap terkendali. Tidak ada rasa panik sedikit pun. “Gila! Dia ternyata bukan pendekar sembarangan!” gumam Taraksa.
Dari balik batu besar muncul sosok pendekar berpakaian dan berikat kepala serba putih. Ikat pinggang warna hitam berhiaskan kepala rajawali melingkari pinggangnya. ”Suro Joyo alias Suro Sinting...!” gumam Westi Ningtyas lebih terbelalak lagi. Tak menduga bahwa bekas musuh bebuyutannya itu kini telah menyelamatkan jiwanya. Olengpati, Taraksa, dan Rubasa saling berpandangan. Mereka pernah mendengar tentang tokoh persilatan berwatak aneh bernama Suro Joyo. Namun mereka belum pernah melihat bagaimana wajah pendekar antik itu. Baru sekarang ini mereka melihat dengan mata kepala sendiri sang pendekar yang berjulukan Pendekar Rajah Cakra Geni. ”Suro Joyo cecurut busuk! Kenapa kamu usil? Mengapa kamu mencampuri urusan orang lain?” bentak Taraksa tidak sabar lagi. ”Cepat kabur dari tempat ini sebelum kusingkirkan! Cepat menyingkir sebelum kuinjak seperti cacing!” ”Hehehehehe..., ada cecurut teriak cecurut,” ejek Suro Joyo dengan tawa kocaknya. ”