Sudah lebih dari satu bulan Banawi menunggu Banawa di depan mulut Goa Barong. Banawa, saudara kembar Banawi, pergi ke Gunung Sumbing untuk memetik Bunga Puspajingga. Banawi tidak tahu apa yang menyebabkan saudara kembarnya belum pulang sampai sekarang.
Sebenarnya Banawa dan Banawi berencana untuk menjebol batu besar yang menutup mulut Goa Barong. Mereka ingin memiliki harta karun yang kabarnya disimpan di dalam goa. Dulu mereka mengalami kegagalan ketika ingin menjebol pintu goa. Ilmu tenaga dalam tertinggi yang mereka miliki belum bisa menaklukkan penghalang yang merintang pada penutup goa.
Keduanya ingin meningkatkan tenaga dalam dan kesaktiannya masing-masing. Mereka ingin meningkatkan kesaktian dengan minum ramuan Bunga Puspitajingga. Ramuan air yang dicelup Bunga Puspajingga bisa meningkatkan tenaga dalam sampai ribuan tingkatan.
Untuk mendapatkan bunga sakti itu, Banawi menyuruh Banawa menuju Gunu
Tiga orang itu termasuk gerombolan perampok dari Goa Barong ini. Gerombolan mereka bernama Gerombolan Iblis Barong. Anggota utama terdiri dari lima orang. Tiga orang yang kini berada di depan Westi Ningtyas bernama Olengpati, Taraksa, dan Rubasa. Sedangkan dua teman mereka bernama Anggitan dan Higrataling, sedang menemui Patih Ganggayuda di Kerajaan Karangtirta. “Mereka ini manusia atau binatang?” gumam Westi Ningtyas lirih yang hanya didengar diri sendiri. “Kalau manusia kok tidak punya tata karma ketika mengamati orang yang belum dikenal. Kalau mereka binatang, kok wujudnya seperti manusia.” Olengpati, Taraksa, dan Rubasa berpakaian serba hitam. Golok besar tersandang menggelantung di pinggang masing-masing. Ketiga orang ini punya ilmu silat yang setara. Hanya saja, Olengpati memiliki satu kelebihan lain, yakni mampu melihat dalam kegelapan tanpa menggunakan lampu penerang. Olengpati juga memiliki kelebihan dibanding kedua temannya, yakni berwajah bersih dan
”Agaknya para perampok itu juga punya kesaktian yang bisa diandalkan,” kata hati Westi Ningtyas. ”Pantas saja kalau mereka mampu bertahan selama puluhan tahun sebagai gerombolan perampok yang ditakuti.” Golok di tangan Taraksa dan Rubasa kembali ke warna semula. Berkilau-kilau tajam. Namun panas masih menebar dari golok-golok itu. Westi Ningtyas dapat merasakan walau jaraknya dengan kedua perampok itu ada lebih dari lima tombak. Taraksa dan Rubasa secara serentak menyerang Westi Ningtyas dengan sabetan-sabetan golok tajam. Berkelebat-kelebat untuk membabat si pendekar wanita. Gerakan golok di tangan mereka sangat cepat sehingga sulit diikuti mata. Westi Ningtyas menghadapi serangan kedua perampok bersenjata golok itu dengan tenang. Tubuhnya yang semampai berkelit ke sana kemari dengan gerakan cepat namun tetap terkendali. Tidak ada rasa panik sedikit pun. “Gila! Dia ternyata bukan pendekar sembarangan!” gumam Taraksa.
Dari balik batu besar muncul sosok pendekar berpakaian dan berikat kepala serba putih. Ikat pinggang warna hitam berhiaskan kepala rajawali melingkari pinggangnya. ”Suro Joyo alias Suro Sinting...!” gumam Westi Ningtyas lebih terbelalak lagi. Tak menduga bahwa bekas musuh bebuyutannya itu kini telah menyelamatkan jiwanya. Olengpati, Taraksa, dan Rubasa saling berpandangan. Mereka pernah mendengar tentang tokoh persilatan berwatak aneh bernama Suro Joyo. Namun mereka belum pernah melihat bagaimana wajah pendekar antik itu. Baru sekarang ini mereka melihat dengan mata kepala sendiri sang pendekar yang berjulukan Pendekar Rajah Cakra Geni. ”Suro Joyo cecurut busuk! Kenapa kamu usil? Mengapa kamu mencampuri urusan orang lain?” bentak Taraksa tidak sabar lagi. ”Cepat kabur dari tempat ini sebelum kusingkirkan! Cepat menyingkir sebelum kuinjak seperti cacing!” ”Hehehehehe..., ada cecurut teriak cecurut,” ejek Suro Joyo dengan tawa kocaknya. ”
Segera Suro Joyo membopong tubuh Westi Ningtyas. Dia bawa tubuh si gadis ke depan mulut goa. Cepat-cepat gadis itu diterlentangkan. Beberapa saat Westi Ningtyas seperti sudah mati, walau tubuhnya panas. Bahkan serasa sangat panas untuk ukuran suhu tubuh manusia.Suro Joyo kebingungan setelah menelentangkan tubuh molek itu di depan mulut goa. Bingung untuk berbuat apa. Bingung mau melakukan apa.Apa yang mesti kulakukan untuk menolong Westi Ningtyas? Begitu Suro Joyo bertanya-tanya dalam hati. Apalagi aku tidak tahu apa yang menyebabkan tubuh Westi Ningtyas panas dan pingsan seketika.Beberapa saat Suro Joyo mondar-mandir kebingungan di depan goa. Semetara Westi Ningtyas sangat membutuhkan pertolongannya. Saking paniknya, dia terduduk di dekat Westi Ningtyas sambil berpikir keras.”Apa yang harus kulakukan sekarang? Memijit-mijit tubuhnya? Ah, nanti dikira mau berbuat mesum!” gumam Suro Joyo sendirian
Terlempar ke Dasar JurangBanawi tak sempat mengelak karena tombak-tombak yang melesat ke arahnya itu berkelebat sangat cepat. Secepat sambaran kilat. Hanya satu yang dia lakukan untuk menyelamatkan nyawanya.Trang! Ting! Tang!Pedang di tangan Banawi memutar cepat menangkis tombak-tombak yang melesat dari tiga mata angin. Tombak-tombak bertumbangan di dasar goa. Berserakan menjadi beberapa potongan.Setelah lolos dari bahaya, pelan-pelan Banawi mendekati peti baja dengan sangat hati-hati. Cahaya dari pedang sakti Banawi dapat memberi penerangan dalam jarak dekat. Dia sekarang terus mendekati peti baja.Setelah dekat, tangan kanannya hendak membuka penutup peti baja. Sedangkan tangan kiri masih tetap menggenggam pedang saktinya. Ketika peti baja dia buka, mata Banawi terpana. Benar-benar terpana. Sepanjang hidupnya, belum pernah dia melihat harta yang begitu banyaknya. Emas, intan, berlian, dan uang ema
“Karena kita segera membagi harta karun ini menjadi dua bagian,” jawab Delingwisa singkat.Janurwasis bersorak dalam hati. Kini saatnya dia akan melaksanakan rencana yang semula dipendam dalam hati. Rencana yang dia siapkan dalam hati agar tidak diketahui Delingwisa.Tujuan Janurwasis datang ke Goa Barong adalah untuk menguasai harta karun secara keseluruhan. Bukan hanya separuhnya. Hal itu sesuai dengan syarat yang pernah ditetapkan Keksi Anjani ketika Janurwasis melamarnya beberapa waktu yang lalu. Kalau Janurwasis tidak menyerahkan seluruh harta karun yang terdapat dalam Goa Barong, maka Keksi Anjani akan menolak lamarannya.Untuk mendapatkan gadis secantik bidadari, memang tidak mudah. Kata Janurwasis di dalam hati yang terdalam. Aku akan menggunakan semua cara supaya bisa mendapatkan seluruh harta karun ini. Bukan hanya Delingwisa, tapi siapa saja yang mencoba merebut harta karun ini akan kuhabisi!Janurwasis merup
”Soal perintah itu, nanti. Sekarang terimalah ini dulu!”Delapan anak buah Delingwisa saling pandang. Mereka tidak paham maksud kata-kata yang diucapkan tuan mereka. Namun kata ‘terimalah’ itu membuat mereka ‘nyicil ayem’, merasa senang di dalam hati. Mereka yakin Delingwisa akan memberikan sesuatu, suatu benda, atau uang.Delingwisa membuka peti baja. Mengambil segenggam uang emas. Lalu dibagi-bagikan kepada anak buahnya itu masing-masing dua puluh keping. Para begundal terbelalak mata ketika menerima uang emas itu. Mereka membungkuk-bungkuk sangat dalam sebagai tanda ucapan terima kasih. Mental sebagai budak terlihat dari sikap mereka.”Terima kasih, tuan. Semoga tuan selalu panjang umur dan selalu jaya sepanjang masa,” kata mereka serentak.Delingwisa tersenyum sambil mengangguk-angguk. Lalu dia berkata, ”Sekarang timbun lubang jebakan itu!”Maka secara serentak dan penuh
Janurwasis hanya menurut saja. Siapa menolak dipapah gadis cantik yang beraroma harum? Aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Sebuah kesempatan yang beum tentu bakal terulang seribu tahun lagi! Begitu lanturan Janurwasis. Untung saja aku tidak mati tertimbun tanah. Kalau aku mati, tidak bakalan punya kesempatan berdekatan dengan gadis ini. Sampai di bawah pohon ingas, Wening Kusuma menggelar beberapa lembar daun pisang. Lalu menyuruh Janurwasis tiduran di atas alas daun itu. Dengan sangat halus dan hati-hati, Wening Kusuma kembali mengurut-urut sekujur kaki Janurwasis. Wening Kusuma melakukan pertolongan secara tulus. Meskipun dia belum mengenal Janurwasis, tetapi ketika Janurwasis membutuhkan pertolongan, dirinya tidak lepas tangan. “Berbuat baik kepada siapa saja, itu kewajiban kita sebagai manusia,” begitu pesan ibunya saat Wening Kusuma masih anak-anak. Pesan yang bagus itu telah membenam d