Segera Suro Joyo membopong tubuh Westi Ningtyas. Dia bawa tubuh si gadis ke depan mulut goa. Cepat-cepat gadis itu diterlentangkan. Beberapa saat Westi Ningtyas seperti sudah mati, walau tubuhnya panas. Bahkan serasa sangat panas untuk ukuran suhu tubuh manusia.
Suro Joyo kebingungan setelah menelentangkan tubuh molek itu di depan mulut goa. Bingung untuk berbuat apa. Bingung mau melakukan apa.
Apa yang mesti kulakukan untuk menolong Westi Ningtyas? Begitu Suro Joyo bertanya-tanya dalam hati. Apalagi aku tidak tahu apa yang menyebabkan tubuh Westi Ningtyas panas dan pingsan seketika.
Beberapa saat Suro Joyo mondar-mandir kebingungan di depan goa. Semetara Westi Ningtyas sangat membutuhkan pertolongannya. Saking paniknya, dia terduduk di dekat Westi Ningtyas sambil berpikir keras.
”Apa yang harus kulakukan sekarang? Memijit-mijit tubuhnya? Ah, nanti dikira mau berbuat mesum!” gumam Suro Joyo sendirian
Terlempar ke Dasar JurangBanawi tak sempat mengelak karena tombak-tombak yang melesat ke arahnya itu berkelebat sangat cepat. Secepat sambaran kilat. Hanya satu yang dia lakukan untuk menyelamatkan nyawanya.Trang! Ting! Tang!Pedang di tangan Banawi memutar cepat menangkis tombak-tombak yang melesat dari tiga mata angin. Tombak-tombak bertumbangan di dasar goa. Berserakan menjadi beberapa potongan.Setelah lolos dari bahaya, pelan-pelan Banawi mendekati peti baja dengan sangat hati-hati. Cahaya dari pedang sakti Banawi dapat memberi penerangan dalam jarak dekat. Dia sekarang terus mendekati peti baja.Setelah dekat, tangan kanannya hendak membuka penutup peti baja. Sedangkan tangan kiri masih tetap menggenggam pedang saktinya. Ketika peti baja dia buka, mata Banawi terpana. Benar-benar terpana. Sepanjang hidupnya, belum pernah dia melihat harta yang begitu banyaknya. Emas, intan, berlian, dan uang ema
“Karena kita segera membagi harta karun ini menjadi dua bagian,” jawab Delingwisa singkat.Janurwasis bersorak dalam hati. Kini saatnya dia akan melaksanakan rencana yang semula dipendam dalam hati. Rencana yang dia siapkan dalam hati agar tidak diketahui Delingwisa.Tujuan Janurwasis datang ke Goa Barong adalah untuk menguasai harta karun secara keseluruhan. Bukan hanya separuhnya. Hal itu sesuai dengan syarat yang pernah ditetapkan Keksi Anjani ketika Janurwasis melamarnya beberapa waktu yang lalu. Kalau Janurwasis tidak menyerahkan seluruh harta karun yang terdapat dalam Goa Barong, maka Keksi Anjani akan menolak lamarannya.Untuk mendapatkan gadis secantik bidadari, memang tidak mudah. Kata Janurwasis di dalam hati yang terdalam. Aku akan menggunakan semua cara supaya bisa mendapatkan seluruh harta karun ini. Bukan hanya Delingwisa, tapi siapa saja yang mencoba merebut harta karun ini akan kuhabisi!Janurwasis merup
”Soal perintah itu, nanti. Sekarang terimalah ini dulu!”Delapan anak buah Delingwisa saling pandang. Mereka tidak paham maksud kata-kata yang diucapkan tuan mereka. Namun kata ‘terimalah’ itu membuat mereka ‘nyicil ayem’, merasa senang di dalam hati. Mereka yakin Delingwisa akan memberikan sesuatu, suatu benda, atau uang.Delingwisa membuka peti baja. Mengambil segenggam uang emas. Lalu dibagi-bagikan kepada anak buahnya itu masing-masing dua puluh keping. Para begundal terbelalak mata ketika menerima uang emas itu. Mereka membungkuk-bungkuk sangat dalam sebagai tanda ucapan terima kasih. Mental sebagai budak terlihat dari sikap mereka.”Terima kasih, tuan. Semoga tuan selalu panjang umur dan selalu jaya sepanjang masa,” kata mereka serentak.Delingwisa tersenyum sambil mengangguk-angguk. Lalu dia berkata, ”Sekarang timbun lubang jebakan itu!”Maka secara serentak dan penuh
Janurwasis hanya menurut saja. Siapa menolak dipapah gadis cantik yang beraroma harum? Aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Sebuah kesempatan yang beum tentu bakal terulang seribu tahun lagi! Begitu lanturan Janurwasis. Untung saja aku tidak mati tertimbun tanah. Kalau aku mati, tidak bakalan punya kesempatan berdekatan dengan gadis ini. Sampai di bawah pohon ingas, Wening Kusuma menggelar beberapa lembar daun pisang. Lalu menyuruh Janurwasis tiduran di atas alas daun itu. Dengan sangat halus dan hati-hati, Wening Kusuma kembali mengurut-urut sekujur kaki Janurwasis. Wening Kusuma melakukan pertolongan secara tulus. Meskipun dia belum mengenal Janurwasis, tetapi ketika Janurwasis membutuhkan pertolongan, dirinya tidak lepas tangan. “Berbuat baik kepada siapa saja, itu kewajiban kita sebagai manusia,” begitu pesan ibunya saat Wening Kusuma masih anak-anak. Pesan yang bagus itu telah membenam d
”Tidak.””Nah, aku menolak pemberian yang tidak kusuka, masa dianggap aneh? Pemikiranmu dan pemikiran orang-orang yang menganggapku aneh, itu perlu diluruskan. Aku menolak jadi raja karena tidak mampu.”“Sebentar…,” Westi Ningtyas menjeda. “Yang benar itu, kamu tidak mampu menjadi raja ataukah merasa tidak mampu menjadi raja?”Suro Joyo tercekat. Dia memandang wajah cantik Westi Ningtyas seperti memandang orang asing yang belum dikenal. Westi Ningtyas dengan pertanyaannya itu membuatnya serasa makhluk asing yang benar-benar terasa asing bagi Suro Joyo.“Pertanyaanmu tidak mungkin bisa kujawab,” kata Suro Joyo. “Itu pertanyaan yang tidak mungkin bisa dijawab oleh siapa pun.”“Memangnya kenapa? Semua pertanyaan tentu ada jawabannya.”“Begini, Westi Ningtyas, alasan tidak mampu itu bisa diartikan macam-macam. Setiap o
Serentak kelima perampok mencabut golok masing-masing. Mereka serempak menyerang Suro Joyo dan Westi Ningtyas. Empat orang, yakni Anggitan, Olengpati, Taraksa, dan Rubasa menyerang Suro Joyo dengan sabetan-sabetan golok. Sedangkan Higrataling mencecar Westi Ningtyas dengan libasan-libasan goloknya yang berkilat-kilat. Suro Joyo melesat ke udara, berjumpalitan beberapa kali di udara. Tebasan empat golok yang mengarah tubuhnya hanya menghantam angin. Sedangkan Westi Ningtyas berkelit dengan melompat menjauhi lawan. Sehingga golok di tangan Higrataling hanya menyabet tempat kosong. Sementara itu, setelah bersalto di udara beberapa kali, tubuh Suro Joyo melesat ke arah Westi Ningtyas. Dengan cepat dia sambar tangan Westi Ningtyas. Lalu keduanya melesat bagai terbang ke arah barat daya. Menghindari pertarungan dengan gerombolan perampok yang membabi buta tersebut. ”Kejar...!” perintah Anggitan dengan lantang. Mereka berlima mengejar. Hany
”Ya..., mungkin orang seperti kita ini sudah digariskan untuk jadi miskin,” tanggapan orang yang bertubuh pendek. “Sedangkan orang seperti Den Delingwisa itu digariskan jadi kaya. Itu sudah garis hidup. Garis nasib.” ”Aku percaya pada kata-katamu. Aku percaya pada omongan. Tapi kenapa yang dapat harta karun kok dia? Padahal dia sudah kaya raya. Harta berlimpah, uang segudang, rumah berderet-deret seperti istana,” nada suara si kerempeng berkulit gelap. ”Ada satu lagi tentang Den Delingwisa....” ”Apa?” ”Dia juga kaya istri....” Kedua pencari kayu itu tertawa ngakak. Keluh kesah kehidupan mereka yang penuh resah seolah-olah lenyap ditiup angin semilir. Banawi sudah tidak begitu memperhatikan apa yang diomongkan kedua pencari kayu itu. Otaknya kini sedang memikirkan tentang apa yang baru saja dibicarakan mereka. Harta karun dari Goa Barong itu! Kini harta karun itu ada di tangan Delingwisa. Apa yang sebenarnya telah terjadi setelah De
”Entahlah,” jawab Banawi jujur. “Gerombolan pemberontak itu bisa melakukan pemberontakan ke kerajaan apa saja. Yang jelas ada kelompok atau gerombolan yang ingin memberontak. Dan ini harus kita cegah!”Ketiga orang itu terus melangkahkan kaki. Sampai waktu menjelang malam mereka belum sampai tujuan. Maka diputuskan menginap di rumah seorang penduduk.Malam terus merambat, cerita sementara beralih ke rumah megah Delingwisa. Rumah megah itu terdiri dari empat rumah besar dan saling terhubung antara satu dengan lainnya.Rumah megah dikelilingi tembok tinggi berjarak lebih dari delapan tombak. Tembok tinggi ini lebih tinggi daripada rumah yang dipagarinya. Di depan pintu gerbang terdapat gardu yang dijaga dua anak buah terletak di bagian belakang rumah megahnya.Malam yang semakin dingin ini Delingwisa tidur bersama wanita muda yang baru jadi istrinya beberpa hari lalu. Karena waktu itu dia buru-buru ke Goa Barong, maka dia