Malam menjelang dengan sunyi yang merambat pelan di seluruh sudut rumah megah itu. Lampu-lampu gantung menyala temaram, menyisakan bayangan panjang di lantai marmer putih. Shireen duduk diam di sofa ruang tamu, memeluk lutut, matanya menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara. Ia sudah mencoba makan malam, tapi hanya menyentuh beberapa suap sebelum kehilangan selera. Pikirannya terus kembali ke pagi tadi. Ke suara pecahan gelas. Genggaman kasar di wajahnya. Tatapan tajam itu. Dan sekarang, setiap menit yang berjalan hanya membuatnya semakin gelisah. Entah karena takut Liam pulang… atau karena menanti sesuatu yang tidak ia pahami. Hatinya terasa aneh. Ingin Liam datang, tapi juga tidak. Ingin menjauh, tapi terlanjur terikat. Ketika suara mobil memasuki halaman, jantung Shireen langsung berdegup cepat. Napasnya memburu. Ia berdiri, namun tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya berdiri di tempatnya—menunggu. Pintu utama terbuka. Langkah sepatu kulit terdengar teratur di lo
Klub malam itu dipenuhi asap rokok, lampu temaram, dan dentuman musik yang memekakkan telinga. Di salah satu sofa VIP yang terletak agak tersembunyi, Nick sedang bersandar dengan kepala miring, sebotol minuman keras di tangan, dan dua wanita berpakaian minim duduk menempel di kedua sisinya.Tertawa. Mabuk. Tak peduli dunia.Namun, tawa itu berhenti seketika saat salah satu wanita yang bersandar di bahunya menegakkan tubuh, lalu menunduk ketakutan. “I-Itu… siapa dia?”Langkah sepatu hitam menginjak karpet mewah ruangan itu, lambat dan berwibawa. Liam muncul dari balik kegelapan dengan tatapan yang tak terbaca, ditemani dua pria berbadan besar di belakangnya. Sorot matanya menusuk ke arah Nick seperti singa yang hendak menerkam.“Tuan Liam?” gumam Nick pelan, matanya menyipit karena efek alkohol. Ia mencoba duduk tegak, menepis tangan wanita di sampingnya. “Apa yang kamu lakukan di sini?”Liam tak menjawab. Ia hanya menarik kursi di seberang Nick dan duduk, menyilangkan kaki dengan tena
Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian itu. Rumah megah yang kini menjadi tempat tinggal Shireen masih terasa asing baginya, tetapi ia mulai terbiasa dengan keheningan dan rutinitasnya. Liam jarang pulang tepat waktu, dan saat pun ia ada di rumah, percakapan mereka hanya secukupnya. Tidak ada yang benar-benar berubah, selain bahwa kini Shireen tengah menunggu perceraian resmi dengan Nick.Pagi itu, seorang pelayan mengetuk pintu kamar Shireen. Wanita muda itu masuk sambil membawa sebuah kotak berwarna krem dengan pita emas yang terikat rapi."Tuan Liam meminta Anda memakai ini hari ini," ucapnya sopan. "Beliau akan membawa Anda ke luar kota. Mobil akan berangkat dalam dua jam."Shireen mengernyit. "Keluar kota? Untuk apa?""Saya tidak diberi tahu, Nona. Tapi Tuan Liam meminta Anda bersiap."Setelah pelayan itu pergi, Shireen menatap kotak itu cukup lama sebelum akhirnya membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah gaun panjang berwarna lembut—bukan yang terlalu mencolok, justru tampak
Cahaya matahari menelusup lewat tirai tipis yang menggantung di jendela kamar hotel mewah itu. Shireen mengerjapkan matanya perlahan, membiasakan diri dengan cahaya terang yang menyambutnya. Kamar itu masih sunyi, hanya suara pendingin ruangan yang samar terdengar.Namun, sepi itu terasa berbeda. Ketika tangannya meraba sisi kasur di sebelahnya, Shireen terdiam. Kosong. Tidak ada Liam di sana."Liam?" panggilnya pelan, tapi tidak ada sahutan.Ia bangkit duduk, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang masih terasa hangat oleh sisa-sisa keintiman semalam. Perasaannya campur aduk—malu, canggung, tapi juga ada sesuatu yang tak ingin ia akui: kerinduan.Kakinya menyentuh lantai dingin saat ia berdiri, melangkah ke kamar mandi, namun tetap tak menemukan Liam di dalam sana. Shireen mulai merasa aneh. Tanpa buang waktu, ia mengenakan pakaian seadanya dan membuka pintu kamar, menelusuri koridor hotel yang mewah itu dengan jantung berdebar.Ia membuka satu demi satu pintu yang dibiarkan tid
Hari itu, Liam duduk di ruang rapat kantor pusat perusahaannya yang menjulang tinggi di jantung kota. Seorang manajer tengah berdiri di depan layar proyektor, menjelaskan strategi pemasaran kuartal berikutnya dengan penuh semangat. Namun, mata Liam kosong. Tatapannya tak benar-benar tertuju pada layar, melainkan mengawang, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.Bayangan wajah Shireen terus menghantui benaknya. Tatapan wanita itu yang penuh luka, air matanya yang jatuh tanpa bisa dibendung, dan tamparan yang mendarat di pipinya masih terasa membekas, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Liam bukan tipe pria yang mudah goyah, tetapi Shireen berhasil mengguncangnya dengan cara yang tak terduga."Tuan Liam, bagaimana menurut Anda tentang pendekatan yang kami ajukan untuk segmen remaja?" suara sang manajer memecah keheningan.Liam tersentak. Ia menoleh perlahan, tak langsung menjawab. Semua orang di ruang rapat menatapnya dengan cemas, menunggu tanggapan. Beberapa terlihat m
Cahaya matahari menembus kaca jendela besar ruang makan, menghangatkan lantai marmer yang dingin. Beberapa pelayan mondar-mandir menyiapkan sarapan, tapi suasana rumah itu tetap terasa sunyi, seolah menahan napas menunggu sesuatu.Liam duduk di meja makan, mengenakan kemeja putih yang digulung sampai siku dan celana bahan gelap. Secangkir kopi masih mengepulkan aroma di hadapannya, namun tak tersentuh. Matanya kosong menatap piring di depannya, pikirannya entah melayang ke mana. Sejak semalam, bayangan Shireen terus mengganggunya. Wajahnya yang pucat, tubuhnya yang lemah... dan kata-katanya yang tajam.Tiba-tiba langkah pelan terdengar dari arah tangga. Liam mendongak.Dan di sana... berdiri Shireen.Ia mengenakan gaun sederhana berwarna krem dengan rambut panjangnya yang tergerai lembut di bahu. Wajahnya masih terlihat sedikit pucat, tapi matanya tampak jauh lebih hidup dibanding semalam. Tegas, berani, dan... dingin.Liam berdiri dari kursinya, tampak terkejut. “Kamu... bangun pagi,
“Pakailah lingerie ini sayang,” ucap Nick seraya memberikan lingerie berwarna merah maroon transparan.Shireen memandang lingerie tersebut dengan tatapan campuran antara keinginan dan rasa malu yang terpancar jelas dari wajahnya. Kedua pipi Shireen seketika itu juga langsung memerah membayangkan dirinya memakai pakaian itu, karena seluruh tubuhnya akan terlihat karena pakaiannya yang transparan.“Aku malu, Nick,” ucap Shireen sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.Rasa gugup dan ketidaknyamanan mulai melanda hatinya. Bagaimana mungkin dia bisa tampil seksi di depan suaminya sendiri? Meskipun mereka baru saja menikah, tapi perasaan malu tetap ada dalam diri Shireen.“Sayang, aku sudah menjadi suamimu. Maka kamu harus terlihat seksi dan menggoda di depan suamimu sendiri. Jadi, tidak perlu malu lagi,” ucap Nick dengan penuh kelembutan mencoba membujuk Shireen agar mau mengenakan lingerie tersebut. Dia ingin membuat istri barunya merasa percaya diri dan cantik dalam penampilannya.
Ketika menyadari bahwa laki-laki itu semakin dekat dengannya, Shireen panik dan bergegas menuju kamar mandi sebagai tempat perlindungan sementara. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini, tetapi dia merasa jika kamar mandi adalah tempat yang aman untuk saat ini daripada harus berlari keluar dengan keadaan seperti ini.Namun sayangnya, takdir berkata lain. Ketika Shireen hampir mencapai pintu kamar mandi, laki-laki itu tiba-tiba berlari lebih cepat darinya dan dengan sigap berdiri di depan pintu kamar mandi tepat di depan Shireen. Hatinya berdegup kencang dan dia merasa terjebak dalam situasi yang semakin rumit.Shireen menatap pria itu dengan tatapan takut dan bingung. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Hatinya berdegup kencang, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang mencekam ini. Sementara pria itu meraih tangan Shireen dengan paksa, ia menyeretnya pergi dari sana dan melemparnya di atas ranjang yang empuk.Shireen terkejut oleh perlakuan kasar pria
Cahaya matahari menembus kaca jendela besar ruang makan, menghangatkan lantai marmer yang dingin. Beberapa pelayan mondar-mandir menyiapkan sarapan, tapi suasana rumah itu tetap terasa sunyi, seolah menahan napas menunggu sesuatu.Liam duduk di meja makan, mengenakan kemeja putih yang digulung sampai siku dan celana bahan gelap. Secangkir kopi masih mengepulkan aroma di hadapannya, namun tak tersentuh. Matanya kosong menatap piring di depannya, pikirannya entah melayang ke mana. Sejak semalam, bayangan Shireen terus mengganggunya. Wajahnya yang pucat, tubuhnya yang lemah... dan kata-katanya yang tajam.Tiba-tiba langkah pelan terdengar dari arah tangga. Liam mendongak.Dan di sana... berdiri Shireen.Ia mengenakan gaun sederhana berwarna krem dengan rambut panjangnya yang tergerai lembut di bahu. Wajahnya masih terlihat sedikit pucat, tapi matanya tampak jauh lebih hidup dibanding semalam. Tegas, berani, dan... dingin.Liam berdiri dari kursinya, tampak terkejut. “Kamu... bangun pagi,
Hari itu, Liam duduk di ruang rapat kantor pusat perusahaannya yang menjulang tinggi di jantung kota. Seorang manajer tengah berdiri di depan layar proyektor, menjelaskan strategi pemasaran kuartal berikutnya dengan penuh semangat. Namun, mata Liam kosong. Tatapannya tak benar-benar tertuju pada layar, melainkan mengawang, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.Bayangan wajah Shireen terus menghantui benaknya. Tatapan wanita itu yang penuh luka, air matanya yang jatuh tanpa bisa dibendung, dan tamparan yang mendarat di pipinya masih terasa membekas, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Liam bukan tipe pria yang mudah goyah, tetapi Shireen berhasil mengguncangnya dengan cara yang tak terduga."Tuan Liam, bagaimana menurut Anda tentang pendekatan yang kami ajukan untuk segmen remaja?" suara sang manajer memecah keheningan.Liam tersentak. Ia menoleh perlahan, tak langsung menjawab. Semua orang di ruang rapat menatapnya dengan cemas, menunggu tanggapan. Beberapa terlihat m
Cahaya matahari menelusup lewat tirai tipis yang menggantung di jendela kamar hotel mewah itu. Shireen mengerjapkan matanya perlahan, membiasakan diri dengan cahaya terang yang menyambutnya. Kamar itu masih sunyi, hanya suara pendingin ruangan yang samar terdengar.Namun, sepi itu terasa berbeda. Ketika tangannya meraba sisi kasur di sebelahnya, Shireen terdiam. Kosong. Tidak ada Liam di sana."Liam?" panggilnya pelan, tapi tidak ada sahutan.Ia bangkit duduk, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang masih terasa hangat oleh sisa-sisa keintiman semalam. Perasaannya campur aduk—malu, canggung, tapi juga ada sesuatu yang tak ingin ia akui: kerinduan.Kakinya menyentuh lantai dingin saat ia berdiri, melangkah ke kamar mandi, namun tetap tak menemukan Liam di dalam sana. Shireen mulai merasa aneh. Tanpa buang waktu, ia mengenakan pakaian seadanya dan membuka pintu kamar, menelusuri koridor hotel yang mewah itu dengan jantung berdebar.Ia membuka satu demi satu pintu yang dibiarkan tid
Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian itu. Rumah megah yang kini menjadi tempat tinggal Shireen masih terasa asing baginya, tetapi ia mulai terbiasa dengan keheningan dan rutinitasnya. Liam jarang pulang tepat waktu, dan saat pun ia ada di rumah, percakapan mereka hanya secukupnya. Tidak ada yang benar-benar berubah, selain bahwa kini Shireen tengah menunggu perceraian resmi dengan Nick.Pagi itu, seorang pelayan mengetuk pintu kamar Shireen. Wanita muda itu masuk sambil membawa sebuah kotak berwarna krem dengan pita emas yang terikat rapi."Tuan Liam meminta Anda memakai ini hari ini," ucapnya sopan. "Beliau akan membawa Anda ke luar kota. Mobil akan berangkat dalam dua jam."Shireen mengernyit. "Keluar kota? Untuk apa?""Saya tidak diberi tahu, Nona. Tapi Tuan Liam meminta Anda bersiap."Setelah pelayan itu pergi, Shireen menatap kotak itu cukup lama sebelum akhirnya membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah gaun panjang berwarna lembut—bukan yang terlalu mencolok, justru tampak
Klub malam itu dipenuhi asap rokok, lampu temaram, dan dentuman musik yang memekakkan telinga. Di salah satu sofa VIP yang terletak agak tersembunyi, Nick sedang bersandar dengan kepala miring, sebotol minuman keras di tangan, dan dua wanita berpakaian minim duduk menempel di kedua sisinya.Tertawa. Mabuk. Tak peduli dunia.Namun, tawa itu berhenti seketika saat salah satu wanita yang bersandar di bahunya menegakkan tubuh, lalu menunduk ketakutan. “I-Itu… siapa dia?”Langkah sepatu hitam menginjak karpet mewah ruangan itu, lambat dan berwibawa. Liam muncul dari balik kegelapan dengan tatapan yang tak terbaca, ditemani dua pria berbadan besar di belakangnya. Sorot matanya menusuk ke arah Nick seperti singa yang hendak menerkam.“Tuan Liam?” gumam Nick pelan, matanya menyipit karena efek alkohol. Ia mencoba duduk tegak, menepis tangan wanita di sampingnya. “Apa yang kamu lakukan di sini?”Liam tak menjawab. Ia hanya menarik kursi di seberang Nick dan duduk, menyilangkan kaki dengan tena
Malam menjelang dengan sunyi yang merambat pelan di seluruh sudut rumah megah itu. Lampu-lampu gantung menyala temaram, menyisakan bayangan panjang di lantai marmer putih. Shireen duduk diam di sofa ruang tamu, memeluk lutut, matanya menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara. Ia sudah mencoba makan malam, tapi hanya menyentuh beberapa suap sebelum kehilangan selera. Pikirannya terus kembali ke pagi tadi. Ke suara pecahan gelas. Genggaman kasar di wajahnya. Tatapan tajam itu. Dan sekarang, setiap menit yang berjalan hanya membuatnya semakin gelisah. Entah karena takut Liam pulang… atau karena menanti sesuatu yang tidak ia pahami. Hatinya terasa aneh. Ingin Liam datang, tapi juga tidak. Ingin menjauh, tapi terlanjur terikat. Ketika suara mobil memasuki halaman, jantung Shireen langsung berdegup cepat. Napasnya memburu. Ia berdiri, namun tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya berdiri di tempatnya—menunggu. Pintu utama terbuka. Langkah sepatu kulit terdengar teratur di lo
Pagi itu, sinar matahari menelusup malu-malu melalui sela tirai kamar berdesain klasik modern yang megah. Shireen membuka matanya perlahan, menatap langit-langit tinggi dengan lampu gantung yang tampak seperti milik istana. Rasa canggung segera menyelimuti dirinya. Rumah ini terlalu mewah, terlalu asing baginya. Ia bukan bagian dari dunia ini—dunia pria bernama Liam yang kini menjadi tuannya, secara tidak resmi. Shireen bangkit dari tempat tidur, kakinya menyentuh permadani lembut yang lebih mahal dari seluruh isi rumah kontrakan lamanya. Ia menghela napas panjang. Meskipun ada rasa nyaman yang tak bisa ia sangkal, ia tetap tahu diri. Ia tidak boleh terlena. Begitu mendapatkan pekerjaan, ia harus segera pergi dari tempat ini. Dari Liam. Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. "Nona, Tuan Liam meminta Anda untuk segera sarapan pagi. Tuan akan berangkat kerja sebentar lagi," ucap seorang pelayan perempuan dari balik pintu dengan nada sopan. Shireen buru-buru merapikan dirinya.
Mobil berhenti di depan apartemen Nick. Shireen duduk terpaku di kursinya, menatap gedung itu dengan mata penuh rasa benci dan trauma. Liam, yang duduk di sebelahnya, mulai kehilangan kesabaran. “Kenapa tidak turun?” tanya Liam dingin, sorot matanya tajam ke arah Shireen. “Aku sudah repot-repot mengantarmu.” Shireen menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata. “Aku... aku tidak bisa kembali ke sana.” “Alasan apa lagi kali ini?” suara Liam terdengar penuh ketidaksabaran. Shireen menoleh padanya, air matanya mulai mengalir. “Karena aku tidak mau! Itu bukan lagi rumahku!” katanya dengan nada hampir memohon. Liam mengangkat alis, lalu mendekat, wajahnya kini hanya beberapa inci dari Shireen. “Shireen, kita sudah membuat kesepakatan. Aku membelimu dari Nick. Kau milikku sekarang. Jadi, berhenti bersikap seperti kau masih punya pilihan.” Shireen terdiam, napasnya tercekat mendengar kata-kata itu. Hatinya terasa seperti dipukul keras, mengingat kenyataan pahit yang coba ia lupak
Shireen menghela napas berat, mencoba menenangkan diri. Ia memutuskan untuk meminta maaf kepada Liam atas keingintahuannya yang mungkin membuat pria itu tidak nyaman. "Maaf, Liam. Aku tidak bermaksud penasaran dengan kehidupanmu," ucap Shireen dengan suara rendah, penuh rasa bersalah juga takut. Liam menatapnya dengan dingin, sorot matanya keras dan tak terbaca. "Shireen, k6au dibayar bukan untuk bertanya banyak hal. Kamu hanya perlu melakukan apa yang kuminta," balas Liam tegas, suaranya terdengar tanpa emosi. Shireen menunduk, merasa semakin kecil di hadapan pria itu. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut darinya, Liam berbalik dan keluar dari ruangan VIP. Shireen, tak punya pilihan lain, mengikuti langkah Liam yang panjang dan tegap kembali ke tempat pesta yang masih berlangsung. Musik yang memekakkan telinga menyambut mereka saat mereka kembali ke aula utama. Liam berjalan menuju bar dan duduk di salah satu kursi yang tersedia. Tanpa banyak bicara, ia memesan segelas wine. S