PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU (29)Kendaraan roda duaku melintas dengan sempurna mengikuti arah lokasi yang dikirimkan oleh Papa barusan. Hingga pada akhirnya mobilku berhasil mendarat di depan sebuah rumah bercat putih bergaya Eropa. Nampak pagar besar berwarna hitam berdiri kokoh dihadapan kami.''Kita sudah sampai, Ma?'' tanya Via.''Mama juga nggak tahu ini rumah Om Bima atau bukan, sayang,'' ujarku heran.Aku nggak menyangka jika memang benar ini adalah rumah Bima, rumah ini terkesan sangat megah berbeda sekali dengan rumah Bima sebelumnya yang nampak sekali sederhana. Tanpa mau berfikir panjang, aku lantas mengklakson agar security yang ada di dalam rumah megah itu keluar membuka gerbang.Seketika, seorang laki-laki paruh baya keluar dari gerbang setelah mendengar klakson yang telah aku tekan di mobil. Laki-laki itu menatap ke arah mobil yang tengah kutumpangi bersama Via, lalu melangkah mendekat. Aku pun langsung menekan tombol yang ada di samping agar kaca terbuka.''Mohon
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (29) Secara tiba-tiba datang sebuah mobil Alphard berwarna putih masuk ke halaman rumah ini, aku menatap kedatangan mobil mewah itu dengan terpana. Tak lama berselang, keluar seorang laki-laki memakai kemeja hitam serta celana pendek yang melekat di tubuhnya. Laki-laki itu menatap ke arahku dengan heran. "Wulan?" Sesaat kuketahui bahwa dia adalah Bima dengan secepat kilat aku memalingkan pandangan dan melangkah cepat menggandeng tangan Via agar segera masuk ke mobil. "Sejak kapan kamu ada di sini?'' tanya Bima melangkah mendekat berusaha menghentikan langkah kakiku. "Barusan." Tanpa melirik ke arahnya. "Kenapa buru-buru, aku baru saja sampai?" tanyanya lagi. "Papa barusan telepon meminta aku untuk segera pulang." Aku tersenyum. ''Kalau begitu aku pamit, ya." Tidak mungkin aku menjelaskan yang sebenarnya kepada Bima bahwa aku pulang karena sakit hati atas perkataan Tante Miranda. "Kita masuk saja yuk, sepertinya juga Via terlihat mengant
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (30)Tuhan ... aku bingung! Tolong bantu aku agar nggak merasa bimbang di situasi seperti ini. ''Untuk saat ini mungkin belum dulu, aku nggak bisa mengatakan iya karena aku takut kamu menyesal. Kamu sendiri tahu aku belum lama bercerai dari mantan suamiku dan aku masih dalam masa iddah. Jadi, untuk saat ini maaf aku belum bisa menerima kamu. Ya, aku tahu, ketiga anakku dan juga kedua orang tuaku sangat dekat sekali dengan kamu, mereka bahkan menyuruh aku untuk menerima kamu, tapi kamu tahu sendiri luka yang sudah mantan suamiku perbuat belum sembuh. Aku hanya ingin sendiri dulu untuk saat ini." Aku menjelaskan dengan hati-hati. Aku berharap Bima mengerti perasaanku. "Tapi jika suatu saat nanti ketika kamu telah siap, apakah kamu mau menerima lamaranku?" tanyanya penuh harap. "InsyaAllah."Bima bergeming. Dia masih berdiam diri menatapku, raut wajahnya masih menahan kesedihan, nampak sorot kedua matanya berkaca-kaca. Hatiku merasa bersalah pa
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (31) Aku yang berada di samping Papa sudah pasang mata, tak lupa aku pun menyiarkan siaran di ponsel pintar yang tengah kupegang ini. Jika memang terbukti apa yang Mama katakan benar, atau mungkin barang yang lebih membuat kami terkejut nantinya akan siaran ini akan menjadi bukti yang kuat di kantor kepolisian. Dengan hati yang sudah berdebar, akhirnya barang yang terbungkus itu pun terbuka lebar. Nampak sesuatu menonjol sehingga membuat jantungku berdetak lebih cepat. "Boneka?" Kami heran, ternyata isi di dalamnya sebuah boneka bukan bom yang dimaksud Mama. Boneka itu terlihat sangat kotor, banyak sekali noda. Terlihat sepucuk surat terselit di tubuh boneka itu. Dengan hati-hati aku langsung meraih dan menbukanya. "Kamu akan menyesal karena sudah membuat aku seperti ini, Wulan, tunggu pembalasanku, aku akan membuat kamu menyesal karena telah berbuat tega terhadapku." Degh. Keningku mengerut ketika tahu siapa yang mengirim. Dia pasti mantan
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (32)"Itu lebih bagus." Aku tersenyum bahagia. Perlahan, aku mulai meraih makanan meletakannya tepat di atas piring bersama nasi. Bima pun ikut menikmati."Oh iya, Wulan, penceraian kamu dengan Hilman apakah sudah selesai?" "Belum ada hilal, mungkin secepatnya akan diurus oleh pengacaraku," ucapku sambil tersenyum."Semoga berjalan lancar, ya, aku ingin statusmu jelas dan aku juga ingin kamu lebih bahagia setelah terlepas dari suamimu,'' ujarnya penuh harap."Iya, aku pun demikian begitu. Rasanya setelah sepuluh tahun berlalu semua waktu terbuang sia-sia. Jika saja pernikahanku dengan dia nggak terjadi mungkin—" Aku menunduk pandangan ke bawah tak melanjutkan. Perasaan seakan telah hancur seperti kaca yang pecah tak mampu diperbaiki lagi. Kesetiaanku tak membuat Mas Hilman berteguh pada janji yang telah ia ucapkan saat ijab qobul sepuluh tahun silam."Semua sudah digariskan oleh Tuhan, Wulan. Mungkin jalanmu harus seperti ini. Kamu yang tabah.
Tapi emang benar keyakinanku kalau anak yang dilahirkan oleh Dinar itu bukan darah dagingku," tegas Bima lagi."Apakah kamu yakin sudah melakukan tes DNA?" "Sudah. Hari itu sudah aku coba tes dna dan hasilnya memang aku bukan ayah biologis,'' jelasnya lagi meyakinkan. Aku sendiri pun masih kurang yakin karena belum melihat bukti yang sebenarnya. Jika hanya tuduhan semata semua orang pun bisa. Namun, melihat Bima yang seakan bersungguh-sungguh menyebut bahwa bukan dia yang melakukan perbuatan tak senonoh itu terhadap Dinar di masa lalu membuat aku yakin bahwa Bima tidak menodai Dinar."Kurang 4jar! Tega sekali kamu nggak mengakui anakmu sendiri Bima!" Bu Farida mengecam, tangannya mengepal keras seakan ingin memberi bogeman mentah pada Bima.Bima acuh, dia tidak memperdulikan apa yang dilontarkan oleh Bu Farida. Tangannya dengan cepat meraih dan membawaku pergi dari tempat ini.Terdengar hentakkan kaki dan ucapan sumpah serapah yang memaki kami. Bima hanya tersenyum dan kami lantas ma
Perlahan Bima membuka pintu mobil dan tiba-tiba saja dari kejauhan aku melihat Bima memegang kepalanya seakan tengah merasa sakit. Tak lama berselang dia pun ambruk."Bima ... astagfirulllah!"Aku berlari dan mendekat ke arah Bima mengecek keadaannya yang sekarang tengah pingsan. Aku berusaha membangunkannya, namun Bima sama sekali tak kunjung sadarkan diri. Aku merasa sangat khawatir kepadanya. Tak lama kemudian, tiba-tiba saja Papa dan Mama datang. Kedua orang tuaku menatap dengan heran. "Bima kenapa, Wulan, kok bisa pingsan seperti ini?" tanya Papa."Nggak tahu, Pah. Saat Bima pamit pulang, dia langsung pingsan seperti ini. Kita bawa saja langsung ke Rumah sakit biar secepatnya ditangani dokter,'' ujarku pada Papa.Papa mengangguk, kami saling membantu memapah Bima masuk ke dalam mobil.Sesampainya di Rumah sakit, Bima langsung ditangani oleh dokter dan kedua suster. Saat ini aku tengah berada di ruang tunggu menunggu dokter keluar untuk menanyakan keadaan Bima yang sebenarnya.S
Jika saja Dinar tidak melakukan hal konyol dulu, mungkin kejadian ini nggak akan terjadi, hidupku akan tenang tanpa adanya kegagalan dalam rumah tangga."Wulan!"Terdengar teriakan dari seberang jalan, seketika itu aku langsung berpaling ke sumber suara. Rupanya Bima memanggil namaku sembari terus melangkah hendak menyerangi jalan. Sekilas dari arah samping terlihat sebuah kendaraan roda dua melaju dengan kencang. Aku terkejut dan langsung menyuruhnya untuk tidak menyeberang jalan.“Bima awas!”Saat mendengar teriakanku, Bima menoleh ke arah kanan. Dan, tak lama kemudian. “Argh ....!” Teriaknya tak sempat menghindar. Dia tertabrak terlempar ke aspal. “Astagfirullah Bima!” Aku terkejut dan langsung menghampirinya. Darah seketika itu keluar dari kepala dan tubuhnya. Jantungku tak berhenti berdetak saat melihat Bima sudah tak mampu menggerakan anggota badannya.“Innalillahi, YaAllah ....”Aku seakan tak mampu berkata apapun, aku menangis sejadi-jadinya sembari menggoyangkan tubuh Bima.
Aku melangkah pelan bergegas membuka pintu, dan .....''Mas Tomi?''Aku menatap wajah suamiku dengan sedikit terkejut, rupanya yang mengetuk pintu adalah suamiku sendiri bukan seperti apa yang aku bayangkan.''Kamu kenapa?'' Tanya Mas Tomi heran.''Ah, nggak kenapa-napa kok, Mas,'' ucapku sembari terkekeh.Mas Tomi terdiam, dia melenggang dari hadapanku dan segera mencuci wajahnya.''Aku izin pagi ini mau pergi ya, Sayang,'' ujar Mas Tomi meminta izin.''Memangnya mau kemana sepagi ini, Mas?'' Aku kembali bertanya karena penasaran akan kemana perginya suamiku sepagi ini. Terlebih malam tadi kami tidak melakukan malam pert4ma yang seharusnya dilakukan oleh sepasang suami istri yang baru saja melewati proses ijab qobul kemarin, dan malah sekarang meminta izin untuk pergi?''Temanku ada yang meninggal,'' jelasnya lagi sambil menatapku dengan wajah serius.''Temanmu yang mana?'' tanyaku sembari menatap dengan pandangan dingin. Entah kenapa firasatku malah tertuju pada Bima.Ya, siapa lag
Hingga pada akhirnya ....Selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhku terbuka. Sorot mataku menerawang pada sosok laki-laki yang berdiri sembari melayangkan senyuman tipis di sudut bib1rnya.“Bi—bima ....”Aku terperanjat karena keterkejutan dengan apa yang sedang aku lihat saat ini. Untuk apa Bima berada di kamar ini? Mas Tomi? Dia kemana? Kenapa yang datang bukan suamiku. Ada apa ini sebenarnya? Pertanyaan itu seakan melayang di atas kepalaku. Entah mengapa Bima yang tadi tidak datang ke acara pernikahanku, dia malah terang-terangan datang ke kamar ini. Mau apa dia? “Kenapa kamu bisa masuk ke kamar ini, haa?” tanyaku seraya menaikan nada bicara. Aku tak suka dengan kedatangannya yang main nyolonong masuk tanpa permisi. Apa dia nggak tahu kalau kamar ini akan menjadi saksi m4l4m pert4ma aku bersama Mas Tomi, yang kini sudah resmi menjadi suamiku. Betul-betul tidak ada rasa malu. “Aku datang ke sini ingin melihat kamu betapa bahagianya menikah bersama laki-laki itu,” jelasnya sam
PoV Wulan“Bagaimana, Wulan, apakah kamu setuju dengan permintaan aku minggu lalu?” tanya seorang laki-laki, dia duduk sembari tersenyum berharap mendapat jawaban yang dia inginkan dari mulutku.Seminggu lalu, dia mencoba melamarku, lalu setelah itu, aku melakukan shalat istikhoroh agar mendapatkan jawaban atas apa yang aku doakan selama seminggu ini. Dan ternyata ....Akan tetapi, hatiku seakan tak mampu membohongi, aku takut menikah lagi dan gagal untuk yang kedua kalinya. Apalagi aku dan dia belum lama saling mengenal, aku tidak tahu karakternya seperti apa dan bagaimana. Aku selalu merasa bimbang menentukan pilihan.“Jawab, Ma, kenapa diam saja. Gadis sama adik-adik setuju kok kalau Mama mau menikah lagi,” pungkas anak pertamaku menimpali.“Iya, Wulan, mungkin sudah saatnya kamu mulai membuka hati dan menata kehidupan yang baru, Mama sangat berharap kamu bahagia, dan Mama pun setuju jika kamu menikah lagi,” ujar Mama menimpali, sama halnya seperti Gadis.Aku menatap ke sekeliling
Seketika itu, raut wajahku berubah, aku tak percaya dengan apa yang saat ini aku lihat. Ternyata ....“Dinar?” Dinar menatap tajam ke arahku, sorot matanya seakan menahan penuh kebencian.“Aku akan melaporkan ke polisi kalau kamu yang sudah mencelakaiku, Bima,” pungkasnya berucap. Aku tidak tahu sejak kapan Dinar sudah sadarkan diri dari koma, saat sebelum kedatangan polisi bahkan setelah polisi pergi pun aku masih melihat Dinar dengan kedua matanya yang masih tertutup rapat.Apakah dia mendengar ucapanku barusan? Sepertinya iya. Apalagi melihat Dinar yang sengaja menjatuhkan gelas dan berucap bahwa akan melaporkan aku ke pihak kepolisian. Nggak bisa. Dia nggak akan mungkin bisa melapor, untuk bangun saja dia pasti akan sulit, apalagi sampai melapor langsung ke kantor polisi.“Maafkan aku, Dinar, aku nggak sengaja. Ini salah faham. Aku menyesal.” Aku berusaha memohon agar dia memaafkan aku. “Nggak sengaja katamu, hah? Kamu hampir akan membunuh aku, Bima, demi Tuhan, aku nggak ridh
Benar apa yang aku ucapkan, mungkin jika Mama tidak pamit kepada aku, aku tak akan berbuat senekad itu.“Maksud kamu apa bilang begitu, malah menyalahkan Mama?” tanya Mama seakan nggak terima. “Aku melakukan itu karena aku dapat kabar bahwa Mama diculik oleh seseorang. Aku sangka yang menculik itu adalah Dinar, jadi tanpa segan aku langsung datang ke rumahnya dan langsung menusukkan pisau ke arah perutnya.” Aku menjelaskan kronolongi yang sebenarnya.Sebagai laki-laki, aku tidak sejahat itu, aku masih punya hati nurani, apalagi sampai tega menyakiti orang lain. Namun, atas kesalahpahaman yang sudah terjadi, aku bahkan hampir akan membUnuH orang lain, aku merasa sudah menjadi orang jahat karena shdah hampir menghilangkan nyawa orang lain. Aku berharap Dinar kembali siuman, jika dia semakin drop dan nyawanya melayang, aku akan menjadi tersangka menjadi tahanan polisi. Apalagi tadi saat aku kembali ke rumah Dinar beberapa para tetangga hadir menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi. Mun
“Ada apa, Pak?” tanyaku pada Pak Anton dengan wajah yang sangat lusuh.“Nyonya, Pak Bos. Ternyata Nyonya sudah pulang ke rumah barusan,” ujar Pak Anton membuatku terkejut.Apa? Mama pulang? Tanpa pikir panjang aku langsung keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah dengan ngos-ngosan. Terlihat, Mama tengah duduk di ruang keluarga sembari menikmati cemilan yang berada di genggaman tangannya. Dengan perasaan heran yang menggebu di dalam hati aku langsung menghampiri dan duduk di samping ibu yang telah melahirkanku.“Mama dari kemarin kemana, kok nggak pulang?” tanyaku langsung mengintograsi. Mama pun langsung menatap ke arahku sejenak.“Mama itu kemarin habis liburan ke luar kota bareng temen Mama, nah sekarang baru pulang,” jelas Mama membuat dadaku seketika berhenti berdetak.Lalu apa tadi saat ada seseorang yang mengirimkan foto-foto Mama tengah disekap dan semua anggota tubuh nampak terlihat banyak lebam. Wajahnya sama persis seperti Mama. Dan, setelah mendapat pesan itu a
Tiba-tiba, terdengar nada pesan masuk ke aplikasi Whatsap milikku, aku menatap dengan heran pada pemilik nomer telepon yang begitu tak kukenali siapa karena tidak tersimpan di kontak telepon. Aku pun dengan heran lantas segera membuka dan melihat pesan yang dia kirim. Tiba-tiba dadaku seakan berhenti berdetak, kedua mataku melotot seperti ingin keluar dari kelopaknya. Tubuhku pun ikut meregang kaku ketika menatap beberapa foto Mama yang dikirim oleh dia. Terlihat Mama tengah berkurai lemas, wajahnya lebam ungu mengeluarkan darah dari mulut dan hidungnya yang seperti dihantam dan dipukuli oleh seseorang orang. Namun, ada seseorang yang begitu sangat kukenali di samping Mama, dia tersenyum kecut menghadap ke arah camera. Ternyata dia—“Astagfirullah. Mama?!”Br3ngsEk! Jadi dia orangnya! Bener-bener keterlalu4n. B14d4b. Dia ternyata sudah gil4, bisa-bisanya dia mencul1k dan meny3k4p mama kandungku sampai-sampai terluka seperti itu. Aku harus menemuinya sekarang juga sebelum nyawa Mama
POV BIMA“Akhirnya kamu sudah sadar, Mas, aku senang melihat kamu bisa siuman lagi,” ucap suara perempuan yang terdengar begitu sangat familiar. Dari suaranya dia terdengar begitu sangat bahagia.Secara perlahan, aku mulai membuka kedua mata dan langsung menatap perempuan yang berada di sampingku. Saat itu juga, bola mataku seakan hampir akan keluar dari kelopaknya, aku benar-benar terkejut saat tahu bahwa perempuan itu ternyata ....Kenapa dia bisa ada di sini? Apa yang sudah terjadi? Dan, apa yang akan dia lakukan terhadapku? Seketika pertanyaan itu mulai menggema di kepala. Aku takut dia akan melakukan sesuatu hal cara sehingga membuatku menderita. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku memandangnya penuh ketidaksukaan.“Aku di sini karena ingin terus menjaga kamu, Mas. Pasca kecelakaan minggu lalu sampai sekarang aku berada di sini menunggu kamu sadar dari masa kritis,” ujarnya menjawab.Aku menggeleng tak percaya, mana mungkin dia mau menunggu aku di sini selama itu, sementara se
“Jadi aku apa, Wulan, ayo teruskan?” ucap Tomi seakan penasaran ingin menantikan jawaban.“Aku insyaAllah siap ....”Tiba-tiba saja mulutku malah berucap seperti itu, nyatanya aku bimbang antara siap menerima pinangannya atau siap mengalami penderitaan seperti yang selalu kualami di pernikahan sebelumnya. Rasa trauma seakan membuatku diambang ketakutan, aku tak mampu lagi membayangkan bagaimana jadinya jika Tomi sama seperti Mas Hilman yang selalu membuatku menderita.“Kamu menerima lamaranku, Wulan?” Dia tersenyum girang. “Alhamdulillah ... akhirnyaa ...”Aku hanya terdiam memandangnya yang terlihat begitu senang padahal aku belum mengakatakan siap menjadi istrinya, tapi Tomi sudah merasa bahagia.Apa ini akhir dari perjuanganku setelah pasca perpisahanku dengan mantan suamiku?“Sebelum itu, aku ingin meminta untuk shalat istikhoroh terlebih dahulu, dengan begitu, semoga saja niat baik ini diberikan kelancaran, apakah kamu setuju?” ujarku padanya. Dengan sigap, Tomi langsung mengan