Perlahan Bima membuka pintu mobil dan tiba-tiba saja dari kejauhan aku melihat Bima memegang kepalanya seakan tengah merasa sakit. Tak lama berselang dia pun ambruk."Bima ... astagfirulllah!"Aku berlari dan mendekat ke arah Bima mengecek keadaannya yang sekarang tengah pingsan. Aku berusaha membangunkannya, namun Bima sama sekali tak kunjung sadarkan diri. Aku merasa sangat khawatir kepadanya. Tak lama kemudian, tiba-tiba saja Papa dan Mama datang. Kedua orang tuaku menatap dengan heran. "Bima kenapa, Wulan, kok bisa pingsan seperti ini?" tanya Papa."Nggak tahu, Pah. Saat Bima pamit pulang, dia langsung pingsan seperti ini. Kita bawa saja langsung ke Rumah sakit biar secepatnya ditangani dokter,'' ujarku pada Papa.Papa mengangguk, kami saling membantu memapah Bima masuk ke dalam mobil.Sesampainya di Rumah sakit, Bima langsung ditangani oleh dokter dan kedua suster. Saat ini aku tengah berada di ruang tunggu menunggu dokter keluar untuk menanyakan keadaan Bima yang sebenarnya.S
Jika saja Dinar tidak melakukan hal konyol dulu, mungkin kejadian ini nggak akan terjadi, hidupku akan tenang tanpa adanya kegagalan dalam rumah tangga."Wulan!"Terdengar teriakan dari seberang jalan, seketika itu aku langsung berpaling ke sumber suara. Rupanya Bima memanggil namaku sembari terus melangkah hendak menyerangi jalan. Sekilas dari arah samping terlihat sebuah kendaraan roda dua melaju dengan kencang. Aku terkejut dan langsung menyuruhnya untuk tidak menyeberang jalan.“Bima awas!”Saat mendengar teriakanku, Bima menoleh ke arah kanan. Dan, tak lama kemudian. “Argh ....!” Teriaknya tak sempat menghindar. Dia tertabrak terlempar ke aspal. “Astagfirullah Bima!” Aku terkejut dan langsung menghampirinya. Darah seketika itu keluar dari kepala dan tubuhnya. Jantungku tak berhenti berdetak saat melihat Bima sudah tak mampu menggerakan anggota badannya.“Innalillahi, YaAllah ....”Aku seakan tak mampu berkata apapun, aku menangis sejadi-jadinya sembari menggoyangkan tubuh Bima.
“Kenapa diam, hah? Awas saja kalau sampai anak saya kenapa-napa. Kebiasaan kamu!” Tanpa ingin meladeninya aku lekas mematikan sambungan telepon secara sepihak. Ucapannya seakan membekas dan masih terasa sakit sekali. Namun kenyataannya benar, itu semua sudah menjadi masa lalu. Suratan takdir yang mengharuskan hubungan aku dan Bima dulu kandas. Namun, jika sampai suatu saat nanti ibu Bima tak merestui hubunganku dengan Bima hanya karena sakit jantung dia di masa lalu, aku tak mampu berbuat banyak, karena aku sendiri pun sangat tahu betul bahwa laki-laki jika sudah menikah pun milik ibu bukan milik sepunuhnya istri . Sebagai perempuan dengan janda empat orang anak aku sendiri pun sangat tahu diri, tidak mungkin statusku diterima baik oleh keluarga Bima. Mereka pasti akan mengira aku hanya ingin menumpang hidup. Tapi sekarang aku harus bagaimana? Aku sangat tertarik dengan perasaanku kini. “Apa kata ibu Bima Wulan kok wajahmu sedih?” tanya mama. “Katanya, beliau akan segera ke sini,
PoV Hilman“Terima kasih ya, Mas, aku senang banget seharian ini bisa jalan-jalan sama kamu,” ucap Diana sumringah, dia terlihat sangat bahagia karena barusaja membeli barang yang ia inginkan selama ini. Aku pun turut bahagia melihatnya. Walaupun aku harus merogoh kocek yang besar untuk membelanjakan apapun keinginan dia hari ini.“Sama-sama, sayang. Nanti kalau kamu menginginkan sesuatu lagi bilang saja, Mas akan mengusahakan untuk kamu,” sahutku sembari memegang tubuh rampingnya yang sexy. Diana mengangguk, kami pun lantas masuk ke dalam mobil bersiap akan mengantarkannya pulang ke rumah. Diana berbeda sekali dengan perempuan yang sebelumnya pernah kutemui, selain cantik dia memiliki gagasan dalam berbisnis, dia memiliki beberapa bisnis restoran, memiliki brand parfum yang sangat laris, dan juga menjalankan usaha proferti yang telah tersebar di Indonesia. Oleh karena itu, aku sangat royal agar ia terpikat seolah-olah aku benar tulus mencintainya. Selain itu, kami juga sama-sama be
“Mas Hilman, aku akan membocorkan rahasia yang selama ini kamu tutupi pada Wulan dan keluarganya, kamu akan menyesal sudah memutuskan hubungan denganku!” Tiba-tiba Dewi mengatakan hal itu membuatku tersentak. Si4lan! Rupanya dia ingin mencoba bermain-main denganku.“Maksud kamu apa berkata seperti itu, mau macam-macam denganku, hah?” tanyataku saat menghampirinya kembali.“Kalau kamu tetap kekeuh ingin putus dengan aku, kamu akan tahu akibatnya, kamu akan menyesal, Mas,” ucapnya lagi. Ingin sekali aku melayangkan tamparan tepat pada wajahnya agar ia menyesali ucapan yang barusaja ia katakan. Rahasia apa yang dimaksud olehnya, apa jangan-jangan tentang ... ah, mana mungkin, nggak ada satu orang pun yang tahu tentang semua ini. Dewi mungkin hanya menggertakku saja agar aku tak meninggalkannya. “Silahkan saja lakukan apapun yang kamu mau Dewi, aku sudah nggak peduli. Lagipula laki-laki mana yang betah memiliki pasangan sepertimu, kamu bisanya hanya meminta tanpa mau sedikit pun bekerj
Kami dari pihak kepolisian ingin mengabarkan bahwa saudara Delisa barusaja mengalami kecelakaan dan saat ini sedang dibawa ke Rumah sakit terdekat,” ucap suara dari balik ponsel yang mengaku dari polisi. Aku terperengah heran mendengar penjelasannya. Sejak kapan polisi yang menghubungiku mengetahui nomor ponselku? Dan, kenapa dia bisa tahu Delisa, herannya malah menghubungiku memberitahu kabar tentang dia? “Delisa siapa?” Saya masih penasaran dan ingin tahu lebih detail. Bisa saja yang menghubungiku adalah seorang penipu yang mengaku sebagai anggota kepolisian. Aku tidak boleh gegabah. “Tadi saat kecelakaan korban menyebut namanya Delisa dan dia ingin bertemu dengan saudara Hilman. Kebetulan petugas kami mengenali pria yang maksudnya, maka dari itu kami pun juga menghubungi nomer ini dan memberitahukan kepada Anda,” jelasnya semakin membuat tak percaya. Namun, aku berusaha untuk mempercayai ucapannya karena saat tadi aku meninggalkan Delisa sendirian di jalan bisa saja memang be
Aku tertawa menyeringai menatap Delisa, nampak layar monitor seketika menunjukkan bahwa saat ini jantung Delisa semakin lemah. Mungkin sebentar lagi saat-saat dirinya sudah tak mampu bernafas lagi.Krekk!Pintu tiba-tiba saja terbuka membuatku terkejut setengah mati. Aku merasa gagal karena belum berhasil membuat perempuan itu m4t1. Aku takut ada orang yang tahu aksiku yang ingin menghabisi nyawa Delisa. “Eh, Sus.” Aku tersenyum memandang suster yang menghampiriku. Dia nampak sedikit keheranan.“Kenapa, Pak?” tanyanya sembari mengerutkan kening.“Nggak kenapa-napa kok,” ucapku seakan salah tingkah. Suster semakin heran. S14l4n! Mengganggu saja! Gumamku mengerutkan pipi. Terlihat, Suster memeriksa keadaan Delisa dan dia membenarkan kembali infusan yang terpasang pada hidung Delisa. “Saya permisi keluar, Sus.” Aku pamit melenggang pergi. Suster hanya mengangguk tak menjawab ucapanku. Dadaku seketika berhenti berdetak ketika saat suster itu masuk ke ruangan UGD. Aku menyesalkan kare
Pagi hari yang begitu cerah, aku terbangun dari lelahnya malam. Tubuhku merasa nggak enak, mungkin karena semalam pulang larut sehingga bangun tidur pun malah pukul 08:00 WIB. Aku berusaha menggapai ujung ranjang bersiap bangun. Kepala rasanya pusing sekali, aku pun hanya bisa terdiam beberapa saat agar rasa pusing memudar. Seketika, ponsel yang tergeletak di atas nakas berdering. Aku menghela nafas gusar lalu meraih ponsel itu dan menatap layar yang rupanya Diana. Sepagi ini dia menelepon. Ada apa sih! Geramku di dalam hati. Jika tidak mengangkat, dia pasti akan marah. Terpaksa aku mengangkat panggilan darinya.“Iya, hallo, sayang. Kenapa?” tanyaku saat panggilan telepon telah terhubung.“Semalam mas ngomong katanya mau ke rumah mau ngasih surprise tapi daritadi aku tunggu kok belum kunjung datang. Mas di mana sekarang?” tanyanya sedikit kesal.“Mas baru bangun tidur, sayang. Semalam Mas pulang larut malam sekali. Sekarang mau siap-siap mandi, habis itu langsung otw.” Jelasku pada