Aku tertawa menyeringai menatap Delisa, nampak layar monitor seketika menunjukkan bahwa saat ini jantung Delisa semakin lemah. Mungkin sebentar lagi saat-saat dirinya sudah tak mampu bernafas lagi.Krekk!Pintu tiba-tiba saja terbuka membuatku terkejut setengah mati. Aku merasa gagal karena belum berhasil membuat perempuan itu m4t1. Aku takut ada orang yang tahu aksiku yang ingin menghabisi nyawa Delisa. “Eh, Sus.” Aku tersenyum memandang suster yang menghampiriku. Dia nampak sedikit keheranan.“Kenapa, Pak?” tanyanya sembari mengerutkan kening.“Nggak kenapa-napa kok,” ucapku seakan salah tingkah. Suster semakin heran. S14l4n! Mengganggu saja! Gumamku mengerutkan pipi. Terlihat, Suster memeriksa keadaan Delisa dan dia membenarkan kembali infusan yang terpasang pada hidung Delisa. “Saya permisi keluar, Sus.” Aku pamit melenggang pergi. Suster hanya mengangguk tak menjawab ucapanku. Dadaku seketika berhenti berdetak ketika saat suster itu masuk ke ruangan UGD. Aku menyesalkan kare
Pagi hari yang begitu cerah, aku terbangun dari lelahnya malam. Tubuhku merasa nggak enak, mungkin karena semalam pulang larut sehingga bangun tidur pun malah pukul 08:00 WIB. Aku berusaha menggapai ujung ranjang bersiap bangun. Kepala rasanya pusing sekali, aku pun hanya bisa terdiam beberapa saat agar rasa pusing memudar. Seketika, ponsel yang tergeletak di atas nakas berdering. Aku menghela nafas gusar lalu meraih ponsel itu dan menatap layar yang rupanya Diana. Sepagi ini dia menelepon. Ada apa sih! Geramku di dalam hati. Jika tidak mengangkat, dia pasti akan marah. Terpaksa aku mengangkat panggilan darinya.“Iya, hallo, sayang. Kenapa?” tanyaku saat panggilan telepon telah terhubung.“Semalam mas ngomong katanya mau ke rumah mau ngasih surprise tapi daritadi aku tunggu kok belum kunjung datang. Mas di mana sekarang?” tanyanya sedikit kesal.“Mas baru bangun tidur, sayang. Semalam Mas pulang larut malam sekali. Sekarang mau siap-siap mandi, habis itu langsung otw.” Jelasku pada
“Nenek?!” Diana bangkit menatap marah neneknya. Dia nggak suka melihat perlakuan neneknya terhadapku. Begitu pun aku, seumur hidup aku nggak akan pernah mau memaafkan perkataan yang begitu sangat menyakitkan dari mulut nenek tua itu. Dia pikir aku nggak bisa menjadi lelaki yang baik untuk cucunya. Namun, tunggu saja tanggal mainnya kamu pasti akan segera mat1 perlahan di tanganku. “Apa? Kamu mau membela laki-laki itu dibanding Nenek hah? Diana ... hei! Buka kedua matamu. Kamu sudah dewasa, jangan terbujuk rayuan manis dia. Nenek sangat amat yakin bahwa laki-laki yang menurutmu ini baik nggak beda jauh dengan mantan suamimu yang nggak tahu diri itu! Inget ya Diana, sampai mati pun Nenek nggak akan setuju jika kamu menikah dengan dia!” Tunjuknya seraya menatap wajahku dengan penuh kebencian. Sorot kedua matanya seakan ingin aku tusuk hingga mengeluarkan darah. “Jangan mencampuri urasanku, nek. Bagaimana pun juga aku yang akan menjalaninya. Nenek nggak usah bersusah payah mengurusi hi
PoV Wulan“Kita mau kemana, Bun?” tanya Via. Gadis kecil itu menanyakan tujuan kami hendak kemana. “Kita akan jalan-jalan hari ini, sayang. Via senang kan?” tanyaku menatapnya sembari tersenyum.Kebetulan ini hari minggu, aku bermaksud ingin mengajak Via jalan-jalan. Setelah lama kami nggak bepergian berdua kini saatnya. Kuharap setelah permasalahan yang terjadi kemarin akan membuat Via melupakan ayahnya. Namun, wajah Via menekuk ke bawah seakan menyimpan kesedihan yang mendalam. “Kenapa wajahnya ditekuk begitu, Via nggak suka ya?” tanyaku sembari berjongkok dan menatapnya sendu.“Via pengen ketemu ayah, Bun. Via kangen.” Tubuh Via bergetar, seketika itu air matanya perlahan menetes tanpa permisi membasahi kedua pipinya.Aku menghela nafas panjang. Padahal aku bermaksud ingin membuat Via tak lagi memikirkan Mas Hilman, namun nyatanya ...Apakah pantas seorang ayah tega menelantarkan anaknya demi perempuan lain? Bukankah cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya, tapi kenapa Mas H
“Mas Hilman?!”Aku berteriak keras memanggil namanya dan melangkah menghampirinya yang tengah asik jalan berduaan dengan perempuan lain. Nafasku membara tak kalah dengan dadaku yang bergemuruh hebat yang ingin segera melabraknya. Setelah lama dendam ini tertahan, kini aku harus membalas dia karena telah keterlaluan kepadaku terutama terhadap kedua orang tuaku. “Wulan ...” Dia terkejut melihat kedatanganku yang secara tiba-tiba.“Akhirnya kita ketemu juga di sini ya setelah apa yang sudah terjadi,” ucapku sinis memandang ke arahnya.Mas Hilman gelagapan, ia terlihat resah. Terlihat dari raut wajahnya yang seakan nggak ingin perempuan di sampingnya tahu. Dia pun memegang erat pergelangan tangan Mas Hilman, bersiap psrgi meninggalkanku. “Siapa perempuan ini, Mas?” tanyanya menatap Mas Hilman seperti meminta penjelasan.“Dia bukan siapa-siapa kok sayang, kamu jangan salah sangka terhadap mas,” sahutnya menjawab ngasal. Tega sekali dia berpura-pura tak mengakuiku, ingin sekali mulutnya
“Tunggu, Wulan, kamu mau kemana?” tanya Papa menghentikan aksiku yang akan menutup pintu secara rapat.“Mau jalan lewat belakang.”“Jangan. Lebih baik duduk dulu sini. Ada sesuatu yang ingin Papa perbincangkan dengan kamu,” ucapnya menyuruh.“Ada masalah apa?”Aku lantas menghampiri dan duduk bersebelahan dengan Papa di depan sepasang suami istri dan juga seorang laki-laki yang belum kuketahui siapa namanya. Sepertinya masalah serius yang akan diobrolkan.“Jadi begini, perkenalkan ini Bu Sinta dan Pak Beni. Di sebelahnya Mas Tomi. Mereka datang ke sini bermaksud ingin silaturahmi sekaligus ingin mengenal lebih dekat kamu,” sahut Papa. Aku seakan belum paham maksud yang diucapkan oleh Papa. Apa arti dari perkataan Papa? Secara tiba-tiba ada orang asing yang ingin mengenal dekat dengan aku. Aku pula tak begitu mengenal mereka. Apa jangan-jangan ....“Jadi maksud Papa aku akan dijodohkan dengan dia?” tanyaku menebak sembari menatap sekilas ke arah laki-laki yang sejak tadi hanya memper
Benar. Sudah lama sekali Bima nggak pernah datang lagi ke rumah ini. Sejak kecelakaan waktu itu, hingga sekarang aku belum tahu keadaan Bima lagi. Apa mungkin Bima sekarang sudah kembali sehat dan kembali kepada Dinar? Hah. Mengingat perempuan itu lagi, aku seakan sangat begitu membencinya.“Hmm ... mama sudah nggak mau lagi mikirin soal laki-laki mana pun sayang, Mama hanya ingin fokus membahagiakan kalian, belum tentu juga memiliki suami lagi bakalan hidup bahagia,” helaan nafas membuatku merasa sedikit trauma. “Iya juga sih, mendingan seperti ini, kita juga sudah hidup bahagia sekarang,” balas Gadis.Aku mengangguk. Sesekali tersenyum agar tak menampakkan raut sedih dihadapan Gadis. Jika dipikir secara logika, siapa juga yang menginginkan menjadi seorang janda, semua perempuan di dunia ini nggak bakalan ingin mau kalau seorang suami mampu bertanggung jawab. Di zaman sekarang, kebanyakan seorang suami masih disetir oleh keluarganya, tak hayal kaum istri selalu resah apalagi ditam
“Bukan.” Gadis tersenyum.“Lalu siapa?” Aku heran dan penasaran.“Dia Om Bima.” Gadis menjelaskan. Seketika itu aku langsung bangkit menatap Gadis penuh ketidakpercayaan.“Bima datang ke sini?”Gadis mengangguk. Aku pun lantas bangkit bersiap melenggang keluar dari kamar hendak menjumpai Bima yang berada di ruang tamu. Saat tiba, terlihat Bima sudah duduk di sofa bersama kedua orang tuaku. Melihat kedatanganku, mereka menatap dan segera menyuruhku untuk duduk.“Wulan, kamu apa kabar?” tanya Bima memulai obrolan. Aku duduk di sebelahnya sembari melempar senyum. “Aku baik-baik saja. Ternyata kamu sudah sembuh, ya, Bim. Aku senang melihat kamu lagi.” Reaksi kucoba untuk tetap terlihat tenang. Entah mengapa aku merasa salah tingkah ketika dekat dengannya. “Aku pun demikian, aku sangat senang bisa bertemu dengan kamu lagi di sini.” Bima berucap. “Kedatanganku ke sini ada sesuatu hal yang ingin aku sampaikan kepada kamu,” lanjutnya. “Sesuatu apa?”Bima menghela nafas beberapa detik. L