“Mas Hilman?!”Aku berteriak keras memanggil namanya dan melangkah menghampirinya yang tengah asik jalan berduaan dengan perempuan lain. Nafasku membara tak kalah dengan dadaku yang bergemuruh hebat yang ingin segera melabraknya. Setelah lama dendam ini tertahan, kini aku harus membalas dia karena telah keterlaluan kepadaku terutama terhadap kedua orang tuaku. “Wulan ...” Dia terkejut melihat kedatanganku yang secara tiba-tiba.“Akhirnya kita ketemu juga di sini ya setelah apa yang sudah terjadi,” ucapku sinis memandang ke arahnya.Mas Hilman gelagapan, ia terlihat resah. Terlihat dari raut wajahnya yang seakan nggak ingin perempuan di sampingnya tahu. Dia pun memegang erat pergelangan tangan Mas Hilman, bersiap psrgi meninggalkanku. “Siapa perempuan ini, Mas?” tanyanya menatap Mas Hilman seperti meminta penjelasan.“Dia bukan siapa-siapa kok sayang, kamu jangan salah sangka terhadap mas,” sahutnya menjawab ngasal. Tega sekali dia berpura-pura tak mengakuiku, ingin sekali mulutnya
“Tunggu, Wulan, kamu mau kemana?” tanya Papa menghentikan aksiku yang akan menutup pintu secara rapat.“Mau jalan lewat belakang.”“Jangan. Lebih baik duduk dulu sini. Ada sesuatu yang ingin Papa perbincangkan dengan kamu,” ucapnya menyuruh.“Ada masalah apa?”Aku lantas menghampiri dan duduk bersebelahan dengan Papa di depan sepasang suami istri dan juga seorang laki-laki yang belum kuketahui siapa namanya. Sepertinya masalah serius yang akan diobrolkan.“Jadi begini, perkenalkan ini Bu Sinta dan Pak Beni. Di sebelahnya Mas Tomi. Mereka datang ke sini bermaksud ingin silaturahmi sekaligus ingin mengenal lebih dekat kamu,” sahut Papa. Aku seakan belum paham maksud yang diucapkan oleh Papa. Apa arti dari perkataan Papa? Secara tiba-tiba ada orang asing yang ingin mengenal dekat dengan aku. Aku pula tak begitu mengenal mereka. Apa jangan-jangan ....“Jadi maksud Papa aku akan dijodohkan dengan dia?” tanyaku menebak sembari menatap sekilas ke arah laki-laki yang sejak tadi hanya memper
Benar. Sudah lama sekali Bima nggak pernah datang lagi ke rumah ini. Sejak kecelakaan waktu itu, hingga sekarang aku belum tahu keadaan Bima lagi. Apa mungkin Bima sekarang sudah kembali sehat dan kembali kepada Dinar? Hah. Mengingat perempuan itu lagi, aku seakan sangat begitu membencinya.“Hmm ... mama sudah nggak mau lagi mikirin soal laki-laki mana pun sayang, Mama hanya ingin fokus membahagiakan kalian, belum tentu juga memiliki suami lagi bakalan hidup bahagia,” helaan nafas membuatku merasa sedikit trauma. “Iya juga sih, mendingan seperti ini, kita juga sudah hidup bahagia sekarang,” balas Gadis.Aku mengangguk. Sesekali tersenyum agar tak menampakkan raut sedih dihadapan Gadis. Jika dipikir secara logika, siapa juga yang menginginkan menjadi seorang janda, semua perempuan di dunia ini nggak bakalan ingin mau kalau seorang suami mampu bertanggung jawab. Di zaman sekarang, kebanyakan seorang suami masih disetir oleh keluarganya, tak hayal kaum istri selalu resah apalagi ditam
“Bukan.” Gadis tersenyum.“Lalu siapa?” Aku heran dan penasaran.“Dia Om Bima.” Gadis menjelaskan. Seketika itu aku langsung bangkit menatap Gadis penuh ketidakpercayaan.“Bima datang ke sini?”Gadis mengangguk. Aku pun lantas bangkit bersiap melenggang keluar dari kamar hendak menjumpai Bima yang berada di ruang tamu. Saat tiba, terlihat Bima sudah duduk di sofa bersama kedua orang tuaku. Melihat kedatanganku, mereka menatap dan segera menyuruhku untuk duduk.“Wulan, kamu apa kabar?” tanya Bima memulai obrolan. Aku duduk di sebelahnya sembari melempar senyum. “Aku baik-baik saja. Ternyata kamu sudah sembuh, ya, Bim. Aku senang melihat kamu lagi.” Reaksi kucoba untuk tetap terlihat tenang. Entah mengapa aku merasa salah tingkah ketika dekat dengannya. “Aku pun demikian, aku sangat senang bisa bertemu dengan kamu lagi di sini.” Bima berucap. “Kedatanganku ke sini ada sesuatu hal yang ingin aku sampaikan kepada kamu,” lanjutnya. “Sesuatu apa?”Bima menghela nafas beberapa detik. L
Laki-laki itu, dia malah berangsur pergi meninggalkan aku sendirian di ruangan ini. Entah akan kemana dia. Nggak ada rasa empati sedikit pun. Disaat rasa sakit pun mulai semakin menggebu, seketika itu beberapa orang datang menghampiriku. Mereka dokter dan juga suster yang sepertinya hendak akan memeriksakan kondosiku.“Sebenarnya Wulan ini sakit apa, Dok. Kok berulang kali dia mengeluh sakit di area kepala?” tanyanya pada laki-laki yang berpenampilan ala dokter.“Menurut dari hasil pemeriksaan, pasien ini menderita gangguan pada sel otak, namun tidak terlalu parah. Saya sarankan pasien untuk beristirahat dan jangan memikirkan sesuatu apapun terlebih dahulu. Untuk resep obatnya sudah saya persiapkan,” jelas Dokter membeberkan.“Tapi dia akan sembuh kan, Dok, saya takut keadaannya malah semakin memburuk?” tanyanya lagi seakan cemas dengan keadaanku.“InsyaAllah. Kita berdoa saja semoga keadaan pasien bisa kembali sembuh total. Kalau begitu saya permisi.” Setelah mengucap hal itu Dokter
“Haa? Jadi maksudmu Bima terpaksa melakukan itu semua?”“Sepertinya iya, tapi nggak tahu juga. Eh tapi ngomong-ngomong kenapa kamu seakan-akan ingin tahu. Kamu kenal dengan dia?” tanya Tomi seakan-akan heran.“Enggak! Aku nggak mengenal dia sama sekali. Aku hanya tertarik saja dengan kisah hidupnya,” ujarku tanpa memberitahu yang sebenarnya kalau memang aku sangat mengenal dekat Bima. Lagipula untuk apa jujur, masalah yang telah berlarut mungkin sudah seharusnya dilupakan. Tetapi, jika dipikir secara logis, jika memang Bima dipaksa kembali rujuk dengan Dinar dan dia sama sekali nggak mencintainya, kenapa mengiyakan, seharusnya sebagai laki-laki mempunyai pendirian apalagi ini menyangkut soal masa depan. Aku hanya terkejut saat dia mengatakan bahwa akan menungguku siap, namun nyatanya ... bulshit!“Ya namanya juga kita nggak tahu alur jalan hidup kita maupun orang lain bagaimana kedepannya, tetapi sebagai manusia tentunya juga punya pilihan dan keinginan. Walaupun aku sebagai temannya
Aku begitu terkejut saat mengetahui bahwa ternyata dia ....“Bima?”Dia memandangku sembari tersenyum. Wajahnya terlihat begitu bersih tak ada bekas noda apapun yang menempel di kedua pipinya. Bima memang cukup tampan, tak hayal, Dinar begitu tergila-gila kepadanya sehingga melakukan segala suatu cara apapun untuk mendapatkan Bima.“Amira,” lirihnya bersuara.“Kenapa kamu dan aku berada di sini? Tempat apa ini?” tanyaku sembari menatap ke sekeliling tempat ini.Bima bergeming, dia pun lalu memalingkan pandangan ke samping. “Wulan, aku ingin meminta maap terhadap kamu karena sudah membuatmu kecewa. Aku merasa menyesal karena sudah membuat luka yang terlalu dalam di hatimu. Jujur, demi apapun hingga detik ini aku sangat mencintaimu. Percaya sama aku, Wulan. Aku nggak lebih mencintai Dinar, aku bingung kenapa ini bisa terjadi lagi.”Nafasnya terengah, Bima menutup wajahnya dengan jari jemari telapak tangannya seakan tak ingin membiarkan aku melihatnya menangis.Mungkin Bima begitu sangat
“Jadi aku apa, Wulan, ayo teruskan?” ucap Tomi seakan penasaran ingin menantikan jawaban.“Aku insyaAllah siap ....”Tiba-tiba saja mulutku malah berucap seperti itu, nyatanya aku bimbang antara siap menerima pinangannya atau siap mengalami penderitaan seperti yang selalu kualami di pernikahan sebelumnya. Rasa trauma seakan membuatku diambang ketakutan, aku tak mampu lagi membayangkan bagaimana jadinya jika Tomi sama seperti Mas Hilman yang selalu membuatku menderita.“Kamu menerima lamaranku, Wulan?” Dia tersenyum girang. “Alhamdulillah ... akhirnyaa ...”Aku hanya terdiam memandangnya yang terlihat begitu senang padahal aku belum mengakatakan siap menjadi istrinya, tapi Tomi sudah merasa bahagia.Apa ini akhir dari perjuanganku setelah pasca perpisahanku dengan mantan suamiku?“Sebelum itu, aku ingin meminta untuk shalat istikhoroh terlebih dahulu, dengan begitu, semoga saja niat baik ini diberikan kelancaran, apakah kamu setuju?” ujarku padanya. Dengan sigap, Tomi langsung mengan