PoV Wulan“Kita mau kemana, Bun?” tanya Via. Gadis kecil itu menanyakan tujuan kami hendak kemana. “Kita akan jalan-jalan hari ini, sayang. Via senang kan?” tanyaku menatapnya sembari tersenyum.Kebetulan ini hari minggu, aku bermaksud ingin mengajak Via jalan-jalan. Setelah lama kami nggak bepergian berdua kini saatnya. Kuharap setelah permasalahan yang terjadi kemarin akan membuat Via melupakan ayahnya. Namun, wajah Via menekuk ke bawah seakan menyimpan kesedihan yang mendalam. “Kenapa wajahnya ditekuk begitu, Via nggak suka ya?” tanyaku sembari berjongkok dan menatapnya sendu.“Via pengen ketemu ayah, Bun. Via kangen.” Tubuh Via bergetar, seketika itu air matanya perlahan menetes tanpa permisi membasahi kedua pipinya.Aku menghela nafas panjang. Padahal aku bermaksud ingin membuat Via tak lagi memikirkan Mas Hilman, namun nyatanya ...Apakah pantas seorang ayah tega menelantarkan anaknya demi perempuan lain? Bukankah cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya, tapi kenapa Mas H
“Mas Hilman?!”Aku berteriak keras memanggil namanya dan melangkah menghampirinya yang tengah asik jalan berduaan dengan perempuan lain. Nafasku membara tak kalah dengan dadaku yang bergemuruh hebat yang ingin segera melabraknya. Setelah lama dendam ini tertahan, kini aku harus membalas dia karena telah keterlaluan kepadaku terutama terhadap kedua orang tuaku. “Wulan ...” Dia terkejut melihat kedatanganku yang secara tiba-tiba.“Akhirnya kita ketemu juga di sini ya setelah apa yang sudah terjadi,” ucapku sinis memandang ke arahnya.Mas Hilman gelagapan, ia terlihat resah. Terlihat dari raut wajahnya yang seakan nggak ingin perempuan di sampingnya tahu. Dia pun memegang erat pergelangan tangan Mas Hilman, bersiap psrgi meninggalkanku. “Siapa perempuan ini, Mas?” tanyanya menatap Mas Hilman seperti meminta penjelasan.“Dia bukan siapa-siapa kok sayang, kamu jangan salah sangka terhadap mas,” sahutnya menjawab ngasal. Tega sekali dia berpura-pura tak mengakuiku, ingin sekali mulutnya
“Tunggu, Wulan, kamu mau kemana?” tanya Papa menghentikan aksiku yang akan menutup pintu secara rapat.“Mau jalan lewat belakang.”“Jangan. Lebih baik duduk dulu sini. Ada sesuatu yang ingin Papa perbincangkan dengan kamu,” ucapnya menyuruh.“Ada masalah apa?”Aku lantas menghampiri dan duduk bersebelahan dengan Papa di depan sepasang suami istri dan juga seorang laki-laki yang belum kuketahui siapa namanya. Sepertinya masalah serius yang akan diobrolkan.“Jadi begini, perkenalkan ini Bu Sinta dan Pak Beni. Di sebelahnya Mas Tomi. Mereka datang ke sini bermaksud ingin silaturahmi sekaligus ingin mengenal lebih dekat kamu,” sahut Papa. Aku seakan belum paham maksud yang diucapkan oleh Papa. Apa arti dari perkataan Papa? Secara tiba-tiba ada orang asing yang ingin mengenal dekat dengan aku. Aku pula tak begitu mengenal mereka. Apa jangan-jangan ....“Jadi maksud Papa aku akan dijodohkan dengan dia?” tanyaku menebak sembari menatap sekilas ke arah laki-laki yang sejak tadi hanya memper
Benar. Sudah lama sekali Bima nggak pernah datang lagi ke rumah ini. Sejak kecelakaan waktu itu, hingga sekarang aku belum tahu keadaan Bima lagi. Apa mungkin Bima sekarang sudah kembali sehat dan kembali kepada Dinar? Hah. Mengingat perempuan itu lagi, aku seakan sangat begitu membencinya.“Hmm ... mama sudah nggak mau lagi mikirin soal laki-laki mana pun sayang, Mama hanya ingin fokus membahagiakan kalian, belum tentu juga memiliki suami lagi bakalan hidup bahagia,” helaan nafas membuatku merasa sedikit trauma. “Iya juga sih, mendingan seperti ini, kita juga sudah hidup bahagia sekarang,” balas Gadis.Aku mengangguk. Sesekali tersenyum agar tak menampakkan raut sedih dihadapan Gadis. Jika dipikir secara logika, siapa juga yang menginginkan menjadi seorang janda, semua perempuan di dunia ini nggak bakalan ingin mau kalau seorang suami mampu bertanggung jawab. Di zaman sekarang, kebanyakan seorang suami masih disetir oleh keluarganya, tak hayal kaum istri selalu resah apalagi ditam
“Bukan.” Gadis tersenyum.“Lalu siapa?” Aku heran dan penasaran.“Dia Om Bima.” Gadis menjelaskan. Seketika itu aku langsung bangkit menatap Gadis penuh ketidakpercayaan.“Bima datang ke sini?”Gadis mengangguk. Aku pun lantas bangkit bersiap melenggang keluar dari kamar hendak menjumpai Bima yang berada di ruang tamu. Saat tiba, terlihat Bima sudah duduk di sofa bersama kedua orang tuaku. Melihat kedatanganku, mereka menatap dan segera menyuruhku untuk duduk.“Wulan, kamu apa kabar?” tanya Bima memulai obrolan. Aku duduk di sebelahnya sembari melempar senyum. “Aku baik-baik saja. Ternyata kamu sudah sembuh, ya, Bim. Aku senang melihat kamu lagi.” Reaksi kucoba untuk tetap terlihat tenang. Entah mengapa aku merasa salah tingkah ketika dekat dengannya. “Aku pun demikian, aku sangat senang bisa bertemu dengan kamu lagi di sini.” Bima berucap. “Kedatanganku ke sini ada sesuatu hal yang ingin aku sampaikan kepada kamu,” lanjutnya. “Sesuatu apa?”Bima menghela nafas beberapa detik. L
Laki-laki itu, dia malah berangsur pergi meninggalkan aku sendirian di ruangan ini. Entah akan kemana dia. Nggak ada rasa empati sedikit pun. Disaat rasa sakit pun mulai semakin menggebu, seketika itu beberapa orang datang menghampiriku. Mereka dokter dan juga suster yang sepertinya hendak akan memeriksakan kondosiku.“Sebenarnya Wulan ini sakit apa, Dok. Kok berulang kali dia mengeluh sakit di area kepala?” tanyanya pada laki-laki yang berpenampilan ala dokter.“Menurut dari hasil pemeriksaan, pasien ini menderita gangguan pada sel otak, namun tidak terlalu parah. Saya sarankan pasien untuk beristirahat dan jangan memikirkan sesuatu apapun terlebih dahulu. Untuk resep obatnya sudah saya persiapkan,” jelas Dokter membeberkan.“Tapi dia akan sembuh kan, Dok, saya takut keadaannya malah semakin memburuk?” tanyanya lagi seakan cemas dengan keadaanku.“InsyaAllah. Kita berdoa saja semoga keadaan pasien bisa kembali sembuh total. Kalau begitu saya permisi.” Setelah mengucap hal itu Dokter
“Haa? Jadi maksudmu Bima terpaksa melakukan itu semua?”“Sepertinya iya, tapi nggak tahu juga. Eh tapi ngomong-ngomong kenapa kamu seakan-akan ingin tahu. Kamu kenal dengan dia?” tanya Tomi seakan-akan heran.“Enggak! Aku nggak mengenal dia sama sekali. Aku hanya tertarik saja dengan kisah hidupnya,” ujarku tanpa memberitahu yang sebenarnya kalau memang aku sangat mengenal dekat Bima. Lagipula untuk apa jujur, masalah yang telah berlarut mungkin sudah seharusnya dilupakan. Tetapi, jika dipikir secara logis, jika memang Bima dipaksa kembali rujuk dengan Dinar dan dia sama sekali nggak mencintainya, kenapa mengiyakan, seharusnya sebagai laki-laki mempunyai pendirian apalagi ini menyangkut soal masa depan. Aku hanya terkejut saat dia mengatakan bahwa akan menungguku siap, namun nyatanya ... bulshit!“Ya namanya juga kita nggak tahu alur jalan hidup kita maupun orang lain bagaimana kedepannya, tetapi sebagai manusia tentunya juga punya pilihan dan keinginan. Walaupun aku sebagai temannya
Aku begitu terkejut saat mengetahui bahwa ternyata dia ....“Bima?”Dia memandangku sembari tersenyum. Wajahnya terlihat begitu bersih tak ada bekas noda apapun yang menempel di kedua pipinya. Bima memang cukup tampan, tak hayal, Dinar begitu tergila-gila kepadanya sehingga melakukan segala suatu cara apapun untuk mendapatkan Bima.“Amira,” lirihnya bersuara.“Kenapa kamu dan aku berada di sini? Tempat apa ini?” tanyaku sembari menatap ke sekeliling tempat ini.Bima bergeming, dia pun lalu memalingkan pandangan ke samping. “Wulan, aku ingin meminta maap terhadap kamu karena sudah membuatmu kecewa. Aku merasa menyesal karena sudah membuat luka yang terlalu dalam di hatimu. Jujur, demi apapun hingga detik ini aku sangat mencintaimu. Percaya sama aku, Wulan. Aku nggak lebih mencintai Dinar, aku bingung kenapa ini bisa terjadi lagi.”Nafasnya terengah, Bima menutup wajahnya dengan jari jemari telapak tangannya seakan tak ingin membiarkan aku melihatnya menangis.Mungkin Bima begitu sangat
Aku melangkah pelan bergegas membuka pintu, dan .....''Mas Tomi?''Aku menatap wajah suamiku dengan sedikit terkejut, rupanya yang mengetuk pintu adalah suamiku sendiri bukan seperti apa yang aku bayangkan.''Kamu kenapa?'' Tanya Mas Tomi heran.''Ah, nggak kenapa-napa kok, Mas,'' ucapku sembari terkekeh.Mas Tomi terdiam, dia melenggang dari hadapanku dan segera mencuci wajahnya.''Aku izin pagi ini mau pergi ya, Sayang,'' ujar Mas Tomi meminta izin.''Memangnya mau kemana sepagi ini, Mas?'' Aku kembali bertanya karena penasaran akan kemana perginya suamiku sepagi ini. Terlebih malam tadi kami tidak melakukan malam pert4ma yang seharusnya dilakukan oleh sepasang suami istri yang baru saja melewati proses ijab qobul kemarin, dan malah sekarang meminta izin untuk pergi?''Temanku ada yang meninggal,'' jelasnya lagi sambil menatapku dengan wajah serius.''Temanmu yang mana?'' tanyaku sembari menatap dengan pandangan dingin. Entah kenapa firasatku malah tertuju pada Bima.Ya, siapa lag
Hingga pada akhirnya ....Selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhku terbuka. Sorot mataku menerawang pada sosok laki-laki yang berdiri sembari melayangkan senyuman tipis di sudut bib1rnya.“Bi—bima ....”Aku terperanjat karena keterkejutan dengan apa yang sedang aku lihat saat ini. Untuk apa Bima berada di kamar ini? Mas Tomi? Dia kemana? Kenapa yang datang bukan suamiku. Ada apa ini sebenarnya? Pertanyaan itu seakan melayang di atas kepalaku. Entah mengapa Bima yang tadi tidak datang ke acara pernikahanku, dia malah terang-terangan datang ke kamar ini. Mau apa dia? “Kenapa kamu bisa masuk ke kamar ini, haa?” tanyaku seraya menaikan nada bicara. Aku tak suka dengan kedatangannya yang main nyolonong masuk tanpa permisi. Apa dia nggak tahu kalau kamar ini akan menjadi saksi m4l4m pert4ma aku bersama Mas Tomi, yang kini sudah resmi menjadi suamiku. Betul-betul tidak ada rasa malu. “Aku datang ke sini ingin melihat kamu betapa bahagianya menikah bersama laki-laki itu,” jelasnya sam
PoV Wulan“Bagaimana, Wulan, apakah kamu setuju dengan permintaan aku minggu lalu?” tanya seorang laki-laki, dia duduk sembari tersenyum berharap mendapat jawaban yang dia inginkan dari mulutku.Seminggu lalu, dia mencoba melamarku, lalu setelah itu, aku melakukan shalat istikhoroh agar mendapatkan jawaban atas apa yang aku doakan selama seminggu ini. Dan ternyata ....Akan tetapi, hatiku seakan tak mampu membohongi, aku takut menikah lagi dan gagal untuk yang kedua kalinya. Apalagi aku dan dia belum lama saling mengenal, aku tidak tahu karakternya seperti apa dan bagaimana. Aku selalu merasa bimbang menentukan pilihan.“Jawab, Ma, kenapa diam saja. Gadis sama adik-adik setuju kok kalau Mama mau menikah lagi,” pungkas anak pertamaku menimpali.“Iya, Wulan, mungkin sudah saatnya kamu mulai membuka hati dan menata kehidupan yang baru, Mama sangat berharap kamu bahagia, dan Mama pun setuju jika kamu menikah lagi,” ujar Mama menimpali, sama halnya seperti Gadis.Aku menatap ke sekeliling
Seketika itu, raut wajahku berubah, aku tak percaya dengan apa yang saat ini aku lihat. Ternyata ....“Dinar?” Dinar menatap tajam ke arahku, sorot matanya seakan menahan penuh kebencian.“Aku akan melaporkan ke polisi kalau kamu yang sudah mencelakaiku, Bima,” pungkasnya berucap. Aku tidak tahu sejak kapan Dinar sudah sadarkan diri dari koma, saat sebelum kedatangan polisi bahkan setelah polisi pergi pun aku masih melihat Dinar dengan kedua matanya yang masih tertutup rapat.Apakah dia mendengar ucapanku barusan? Sepertinya iya. Apalagi melihat Dinar yang sengaja menjatuhkan gelas dan berucap bahwa akan melaporkan aku ke pihak kepolisian. Nggak bisa. Dia nggak akan mungkin bisa melapor, untuk bangun saja dia pasti akan sulit, apalagi sampai melapor langsung ke kantor polisi.“Maafkan aku, Dinar, aku nggak sengaja. Ini salah faham. Aku menyesal.” Aku berusaha memohon agar dia memaafkan aku. “Nggak sengaja katamu, hah? Kamu hampir akan membunuh aku, Bima, demi Tuhan, aku nggak ridh
Benar apa yang aku ucapkan, mungkin jika Mama tidak pamit kepada aku, aku tak akan berbuat senekad itu.“Maksud kamu apa bilang begitu, malah menyalahkan Mama?” tanya Mama seakan nggak terima. “Aku melakukan itu karena aku dapat kabar bahwa Mama diculik oleh seseorang. Aku sangka yang menculik itu adalah Dinar, jadi tanpa segan aku langsung datang ke rumahnya dan langsung menusukkan pisau ke arah perutnya.” Aku menjelaskan kronolongi yang sebenarnya.Sebagai laki-laki, aku tidak sejahat itu, aku masih punya hati nurani, apalagi sampai tega menyakiti orang lain. Namun, atas kesalahpahaman yang sudah terjadi, aku bahkan hampir akan membUnuH orang lain, aku merasa sudah menjadi orang jahat karena shdah hampir menghilangkan nyawa orang lain. Aku berharap Dinar kembali siuman, jika dia semakin drop dan nyawanya melayang, aku akan menjadi tersangka menjadi tahanan polisi. Apalagi tadi saat aku kembali ke rumah Dinar beberapa para tetangga hadir menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi. Mun
“Ada apa, Pak?” tanyaku pada Pak Anton dengan wajah yang sangat lusuh.“Nyonya, Pak Bos. Ternyata Nyonya sudah pulang ke rumah barusan,” ujar Pak Anton membuatku terkejut.Apa? Mama pulang? Tanpa pikir panjang aku langsung keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah dengan ngos-ngosan. Terlihat, Mama tengah duduk di ruang keluarga sembari menikmati cemilan yang berada di genggaman tangannya. Dengan perasaan heran yang menggebu di dalam hati aku langsung menghampiri dan duduk di samping ibu yang telah melahirkanku.“Mama dari kemarin kemana, kok nggak pulang?” tanyaku langsung mengintograsi. Mama pun langsung menatap ke arahku sejenak.“Mama itu kemarin habis liburan ke luar kota bareng temen Mama, nah sekarang baru pulang,” jelas Mama membuat dadaku seketika berhenti berdetak.Lalu apa tadi saat ada seseorang yang mengirimkan foto-foto Mama tengah disekap dan semua anggota tubuh nampak terlihat banyak lebam. Wajahnya sama persis seperti Mama. Dan, setelah mendapat pesan itu a
Tiba-tiba, terdengar nada pesan masuk ke aplikasi Whatsap milikku, aku menatap dengan heran pada pemilik nomer telepon yang begitu tak kukenali siapa karena tidak tersimpan di kontak telepon. Aku pun dengan heran lantas segera membuka dan melihat pesan yang dia kirim. Tiba-tiba dadaku seakan berhenti berdetak, kedua mataku melotot seperti ingin keluar dari kelopaknya. Tubuhku pun ikut meregang kaku ketika menatap beberapa foto Mama yang dikirim oleh dia. Terlihat Mama tengah berkurai lemas, wajahnya lebam ungu mengeluarkan darah dari mulut dan hidungnya yang seperti dihantam dan dipukuli oleh seseorang orang. Namun, ada seseorang yang begitu sangat kukenali di samping Mama, dia tersenyum kecut menghadap ke arah camera. Ternyata dia—“Astagfirullah. Mama?!”Br3ngsEk! Jadi dia orangnya! Bener-bener keterlalu4n. B14d4b. Dia ternyata sudah gil4, bisa-bisanya dia mencul1k dan meny3k4p mama kandungku sampai-sampai terluka seperti itu. Aku harus menemuinya sekarang juga sebelum nyawa Mama
POV BIMA“Akhirnya kamu sudah sadar, Mas, aku senang melihat kamu bisa siuman lagi,” ucap suara perempuan yang terdengar begitu sangat familiar. Dari suaranya dia terdengar begitu sangat bahagia.Secara perlahan, aku mulai membuka kedua mata dan langsung menatap perempuan yang berada di sampingku. Saat itu juga, bola mataku seakan hampir akan keluar dari kelopaknya, aku benar-benar terkejut saat tahu bahwa perempuan itu ternyata ....Kenapa dia bisa ada di sini? Apa yang sudah terjadi? Dan, apa yang akan dia lakukan terhadapku? Seketika pertanyaan itu mulai menggema di kepala. Aku takut dia akan melakukan sesuatu hal cara sehingga membuatku menderita. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku memandangnya penuh ketidaksukaan.“Aku di sini karena ingin terus menjaga kamu, Mas. Pasca kecelakaan minggu lalu sampai sekarang aku berada di sini menunggu kamu sadar dari masa kritis,” ujarnya menjawab.Aku menggeleng tak percaya, mana mungkin dia mau menunggu aku di sini selama itu, sementara se
“Jadi aku apa, Wulan, ayo teruskan?” ucap Tomi seakan penasaran ingin menantikan jawaban.“Aku insyaAllah siap ....”Tiba-tiba saja mulutku malah berucap seperti itu, nyatanya aku bimbang antara siap menerima pinangannya atau siap mengalami penderitaan seperti yang selalu kualami di pernikahan sebelumnya. Rasa trauma seakan membuatku diambang ketakutan, aku tak mampu lagi membayangkan bagaimana jadinya jika Tomi sama seperti Mas Hilman yang selalu membuatku menderita.“Kamu menerima lamaranku, Wulan?” Dia tersenyum girang. “Alhamdulillah ... akhirnyaa ...”Aku hanya terdiam memandangnya yang terlihat begitu senang padahal aku belum mengakatakan siap menjadi istrinya, tapi Tomi sudah merasa bahagia.Apa ini akhir dari perjuanganku setelah pasca perpisahanku dengan mantan suamiku?“Sebelum itu, aku ingin meminta untuk shalat istikhoroh terlebih dahulu, dengan begitu, semoga saja niat baik ini diberikan kelancaran, apakah kamu setuju?” ujarku padanya. Dengan sigap, Tomi langsung mengan