Dua pengawal yang tadinya hendak mendorong Herley ke laut kini berusaha keras bertahan dari badai yang semakin menggila. Mereka terpental ke samping, jatuh menabrak pagar dek. Tali yang mengikat Herley mulai longgar karena guncangan yang tak terkendali. Dengan gerakan cepat, pria itu menggoyangkan tubuhnya, melepaskan diri dari lilitan tali kapal yang keras. Setelah itu, ia berdiri tegak di tengah dek, di mana angin dan ombak seolah enggan menyentuhnya.Dario yang masih berusaha berdiri, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ini tidak mungkin!" teriaknya, matanya melotot ke arah Herley yang kini bebas dari ikatan. "Kau seharusnya tidak bisa lolos!"Herley melangkah perlahan ke arah Dario, setiap langkahnya stabil meski kapal berguncang hebat. "Kalian pikir bisa mengendalikan segalanya dengan uang dan kekuasaan," kata Herley dengan suara yang tenang namun penuh ancaman. "Tapi kalian lupa satu hal... alam tidak bisa dibeli."Dario yang mulai ketakutan, mundur sambil meraba-raba paga
Dengan satu gerakan cepat, Herley menarik Dario ke atas dek, menyelamatkannya dari maut. Pria itu terkapar di lantai dek, tubuhnya basah kuyup dan gemetar. Ia mencoba bangkit, tapi lututnya lemas, membuatnya tersungkur lagi. Herley berdiri di hadapannya, bayangannya menjulang seperti sosok malaikat kematian yang siap menuntut balas."Kau tahu," suara Herley terdengar tenang, namun setiap kata yang keluar dari mulutnya penuh dengan ancaman dingin, "orang-orang seperti kau selalu merasa di atas segalanya. Uang, kekuasaan, dan status sosial yang kau punya membuatmu merasa tak tersentuh. Tapi lihatlah dirimu sekarang. Tak ada satu pun dari itu yang bisa menyelamatkanmu dari badai ini. Atau dari aku."Dario menelan ludah, napasnya tersengal-sengal. "Aku... aku minta maaf, sungguh... aku benar-benar menyesal..."Herley menggeleng pelan, tatapannya penuh penghinaan. "Kata-kata itu, tak ada artinya bagiku. Penyesalanmu hanya muncul saat kau berada di ujung kematian. Kalau badai ini tak perna
DOOR! Pria berbadan besar itu tergeletak di lantai dek, darah menyembur dari luka tembak di kepalanya. Tubuh yang tadinya penuh tenaga, kini hanya seonggok daging tak bernyawa di bawah kaki Leo. Semua orang yang menyaksikan kejadian itu terdiam sejenak, seolah tak percaya pada apa yang baru saja terjadi. Leo menatap tubuh tak bernyawa itu dengan tatapan dingin, lalu memutar pistolnya, memastikan tidak ada lagi yang mencoba mengambil apa yang menjadi miliknya. “Dengar baik-baik!” Leo berteriak, suaranya menggema di tengah raungan badai. “Tak ada seorang pun yang boleh merebut milikku! Apapun yang ada di kapal pesiar ini adalah milikku! Dan aku akan mempertahankannya sampai mati!” Para penumpang yang masih bertahan memandangnya dengan ketakutan, tak ada yang berani mendekat. Mereka tahu, di bawah tekanan dan ketakutan, Leo sudah kehilangan kendali. Dia akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan dirinya sendiri, termasuk mengorbankan nyawa orang lain. Tiba-tiba, suara teriakan lain
"Sudah cukup, Leo," kata pria itu dengan suara rendah tapi tegas. "Kau tak bisa mengendalikan semuanya. Badai ini akan menghancurkan kita semua, dan uangmu tak akan menyelamatkanmu kali ini."Leo menatap pria itu dengan tatapan penuh kebencian, "Diam! Kau tak tahu apa-apa! Aku akan keluar dari sini hidup-hidup! Dan tak ada yang bisa menghentikanku!"Pria itu menggeleng pelan, seolah menyayangkan kejatuhan Leo ke dalam kegilaan. "Mungkin kau bisa menyelamatkan dirimu sendiri, Leo, tapi ingatlah ini. Kau akan mati sendirian."Sebelum Leo bisa membalas, pria itu berjalan menuju lemari pelampung yang masih tersisa, diikuti oleh beberapa penumpang lain yang kini lebih memilih mengikuti arahan pria tersebut daripada terjebak dalam kegilaan Leo. Namun, Leo tak peduli. Dia hanya punya satu tujuan: bertahan hidup, apapun caranya.Badai semakin menggila, dan kapal itu pun terus berguncang. Semua orang, termasuk Leo, kini berada di ujung tanduk, di antara hidup dan mati, tak ada yang bisa memast
Kerajaan Aradorn berdiri megah di bawah langit senja, dikelilingi oleh benteng kokoh dan menara-menara tinggi. Raja Herley, seorang pemimpin muda yang bijaksana dan kejam pada lawan, duduk di atas singgasananya di aula istana yang megah. Permaisuri Elara, yang terkenal akan kecantikannya, berdiri di sisinya, tersenyum manis pada rakyat yang berkumpul untuk merayakan peringatan tahunan kemenangan kerajaan mereka.Musik dan tarian mengisi aula, sementara para bangsawan dan rakyat jelata menikmati pesta yang melimpah. Herley, dengan tatapan penuh cinta, menatap Elara yang mengenakan gaun berhiaskan permata, memancarkan kilau di bawah cahaya obor. Di balik senyum itu, Elara menyembunyikan ambisi gelap yang telah lama dia rencanakan."Hari ini, kita merayakan kemenangan besar kita. Aradorn terus berdiri kokoh berkat keberanian dan pengorbanan kita semua," ucap Raja Herley seraya menggenggam tangan permaisurinya. Permaisuri Elara tersenyum lembut menatap sang pria yang mencintainya, "Anda
Di tengah keheningan malam, Jenderal Tertinggi dan Elara, permaisuri yang cantik jelita, melakukan hubungan badan di atas ranjang, tak jauh dari tubuh Herley yang terbaring tak sadarkan diri. Racun mematikan yang diberikan Jenderal Tertinggi telah membuat pria itu tak berdaya dan tak bisa melawan. Elara yang mengenakan gaun tipis berwarna merah marun memandang Jenderal Tertinggi dengan tatapan penuh nafsu, tangannya meraba pria itu dengan rakus. Jenderal Tertinggi yang kekar dan bermata tajam itu membalas tatapan Elara, lalu mencium bibirnya dengan ganas. Di tengah permainan asmara mereka, suara desahan dan rasa nikmat terus keluar dari mulut Elara. Sementara itu, Jenderal Tertinggi tak henti-hentinya menggerakkan tubuhnya dengan kuat, seolah ingin menaklukkan permaisuri itu sepenuhnya. Suara desahan dan rintihan nikmat keduanya semakin menggema di ruangan itu, seolah mengejek Herley yang terbaring tak berdaya. Di saat yang sama, wajah Herley yang pucat dan keringat dingin yang be
Leo tersentak, mencoba mengendalikan mobil yang mulai oleng. Herley, yang berdiri di tengah jembatan, merasakan angin kencang saat mobil mendekat dengan cepat. Refleksnya tajam; ia melompat ke samping dengan kelincahan yang luar biasa, menghindari tabrakan tepat pada waktunya.Mobil sport itu bergoyang keras, hampir menabrak pembatas jembatan sebelum Leo berhasil mengendalikannya kembali. Mobil berhenti dengan berdecit tajam, hanya beberapa meter dari tempat Herley berdiri.Leo dan wanita itu terengah-engah, jantung mereka berdebar kencang. "Apa yang baru saja terjadi?" Leo memandang ke arah Herley dengan mata terbelalak. "Siapa pria itu?"Wanita itu masih terguncang, tetapi tatapannya mengarah ke Herley dengan rasa ingin tahu yang bercampur ketakutan. "Aku tidak tahu, tapi dia terlihat seperti... dari dunia lain."Herley menatap mereka dengan pandangan tajam, mencoba memahami situasi yang aneh ini. Tetapi instingnya mengatakan bahwa mereka mungkin bisa membantunya memahami dunia baru
Herley melanjutkan perjalanannya dengan beberapa lembar uang bernilai tinggi di genggamannya. Langkah-langkahnya mantap, tatapannya terfokus pada kota elit yang semakin mendekat di hadapannya. Setelah melewatai jembatan, ia akhirnya memasuki pusat kota yang ramai. Kerumunan orang berlalu lalang, kendaraan bermotor melaju cepat, dan lampu-lampu kota bersinar terang, menciptakan pemandangan yang memukau namun membingungkan bagi Herley.Tatapan Herley semakin intens ketika melihat keramaian kota. Pakaian yang ia kenakan, compang-camping dan tidak layak, menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Bisikan dan tatapan risih mengarah padanya, tetapi Herley tidak peduli. Dia terus berjalan. Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sebuah toko pakaian di sudut jalan. "Kenapa orang-orang ini menatapku seperti itu?" gumam Herley pada dirinya sendiri, merasa risih dengan tatapan dan bisikan di sekitarnya.Herley mengingat Calista yang mengatakan untuk membeli pakaian baru. Pada akhirnya, pria it