Pembalasan istri pelit uang sesungguhnya
Bab 4"Sejuta itu banyak lho, Mas." Aku kembali mengaduk masakan. "Rum, uangmu pasti banyak. Setiap hari kamu jualan, pelanggannya sudah banyak. Setiap bulan aku juga selalu memberimu jatah. Kenapa Agus pinjem duit kamu nggak kasih? Benar apa kata Ibu, kamu kakak ipar pelit."Astagfirullahaladzim, aku beristigfar dalam hati. Ingin rasanya aku menumis lelaki itu di dalam wajan. "Mas, setiap hari kita makan kan? Pagi, siang juga sore. Pakaian kamu selalu rapi, bersih dan juga wangi. Kamu pikir semua itu nggak pake uang? Kamu pikir uang lima ratus ribu per bulan cukup? Kamu pikir listrik, air dan juga arisan dibayar pakai daun? Ha? Benar apa yang dikatakan Ibumu dan juga adikmu itu, aku pelit. Jadi jangan pernah pinjem uang lagi sama aku, Mas." "Ow ya, satu lagi. Aku bakal nyari tahu kemana uang tabungan kita selama ini. Kalau kamu memang nggak pelit, kenapa nggak kamu aja yang ngasih Agus sejuta?"Kini Mas Bayu terdiam, mendengar ucapanku. Lelaki itu tidak lagi berkata sepatah katapun. Dia melengos, lalu pergi meninggalkan aku, aku kembali melanjutkan aktivitas ku mengaduk masakan.Mas Bayu itu sebenarnya baik, dia juga rajin menjalankan ibadah lima waktu. Namun sayang, dia terus saja dipengaruhi Ibu dengan berpikir negatif tentang aku. Padahal dulu lelaki itu berjanji akan selalu membahagiakan ku. Apakah dia lupa akan janji-janji manisnya dulu. Ah, jika sedang di Landa masalah seperti ini, rasanya aku rindu sama Emak di kampung. Aku mematikan kompor setelah masakanku matang. Sembari menunggu pelanggan, aku berselancar di dunia maya. Melihat-lihat status para tetangga di jejaring sosial membuatku hilang penat. Bagaimana tidak, mereka pamer seolah memiliki banyak uang dan juga harta meskipun pada kenyataannya tidak demikian adanya. Dasar, dunia tipu-tipu. Daripada mereka gunakan untuk pamer di sosial media mending digunakan untuk bekerja, seperti yang aku lakukan saat ini. Lihat, dua karyawan sudah aku miliki hasil dari perjuanganku selama ini. Usaha tidak akan mengkhianati hasil bukan. Jadi kalau hasilmu belum memuaskan mungkin usahamu belum maksimal. "Mbak Arum, ini tanggal berapa? Bukannya hari ini Mbak Arum arisan ya?" tanya Siti, karyawan ku."Ow ya, sampai lupa aku. Aku tinggal dulu ya!""Iya, Mbak. Siti doakan semoga kali ini Mbak Arum dapet arisan.""Amin, ya Allah." Aku mengenadahkan tangan. Aku bergegas pulang ke rumah, berniat mengambil buku tabungan yang aku simpan di rumah. Setibanya di rumah, tak kudapati Agus maupun Mas Bayu. Mungkin mereka sudah kembali bekerja, entah mendapatkan uang darimana Agus. Yang pasti aku tidak mau lagi mengeluarkan uang satu sen pun.GlodakSuara gaduh terdengar dari kamar Ibu mertua, aku yang tengah mencari buku tabungan pun. Sejenak berhenti, lalu menajamkan Indra pendengaranku. Suara gaduh itu sudah tidak lagi terdengar, membuatku kembali melanjutkan pencarian. Aku berniat pergi ke rumah Bu RT, karena arisan setiap bulan di adakan di rumah beliau. Langkahku berhenti tatkala aku berpapasan dengan Ibu mertua. Beliau keluar dari kamar dengan mengunakan gamis berwarna merah marun. Gamis yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, sepertinya akhir-akhir ini Ibu mertua mengenakan gamis baru. Aroma minyak wangi menguar dari pakaian Ibu mertua, mengenakan hijab instan yang menjuntai. "Gamis baru ya, Bu?" Spontan aku bertanya ketika melihat Ibu mertua berjalan tepat di hadapanku. Tangannya ditarik keatas hingga meninggalkan suara gelang yang beradu.Aku yakin beliau bermaksud pamer kepadaku. "Iya dong, baju baru, gelang baru sama cincin baru!" Jari jemari Ibu ia mainkan persis anak kecil yang tengah pamer pada temannya. Membuatku menggelengkan kepala lalu berjalan menuju motor."Arum, tunggu Ibu. Kamu ini iri ya lihat penampilan Ibu cetar membahana?""Siapa yang iri, Bu. Arum ini banyak pekerjaan, setelah setor arisan Arum mau kembali lagi ke warung.""Halah, alesan. Ow ya. Tadi Agus sudah Ibu kasih uang, besok lagi kalau adikmu itu pinjem duit kamu kasih. Setidaknya dia dulu pernah bantu kamu pas lagi kere. Jadi kamu jangan sombong, mentang-mentang usaha kamu mulai lancar." Aku memutar bola mata dengan malas. Aku yakin pasti Ibu akan kembali mengungkit masalah tadi siang. Aku melajukan motor menuju rumah Bu RT. Ibu yang duduk di jok belakang, terus saja memperhatikan gelang maupun cincin yang melingkar di jari telunjuknya. Aku memperhatikan sikap ibu di balik spion. Tidak berapa lama sampai juga di rumah Bu RT. Sudah banyak orang yang hadir, langkah Ibu semakin dibuat-buat ketika banyak orang yang memperhatikannya."Cie, Bu Wati. Perhiasannya baru lagi, sekarang gonta-ganti gamis. Ah, aku jadi iri deh sama Bu Wati. Anak sulungnya bisa diandalkan," celetuk salah satu warga. Aku yang mendengar ucapan beliau langsung melirik ke arah Ibu mertua. Benar saja, beliau terlihat salah tingkah. Jika yang dimaksud mereka adalah Mas Bayu, jadi Ibu bisa membeli perhiasan maupun gamis itu karena mendapatkan uang dari Mas Bayu? Jadi selama ini Mas Bayu memberikan Ibu uang? Berapa banyak? Setahuku, dia juga harus membayar cicilan motor dan juga cicilan perabot rumah tangga. Sehingga pemberian Mas Bayu yang hanya lima ratus ribu itu aku tidak pernah komplain, karena aku tahu ada banyak cicilan yang harus dibayar oleh Mas Bayu. Tapi jika begini akhirnya, Sebenarnya gaji Mas Bayu itu berapa? Hingga aku tidak tahu, apakah aku terlalu sibuk berjualan hingga tidak tahu."Arum, kamu beruntung punya suami baik seperti Bayu. Dia masih memikirkan ibunya meskipun sudah menikah. Selalu ngasih uang sama Ibunya, tiap bulan pula!" Mendengar penuturan salah satu tetangga membuatku hanya membalas dengan senyuman. Sesekali aku melirik ke arah Ibu mertua, beliau terlihat salah tingkah. Ibu selalu minta uang kepadaku untuk membeli kebutuhan pribadinya. Dengan alasan tidak bekerja, aku sebagai menantu yang baik, selalu memberikan uang kepada Ibu setiap dia meminta. Dia juga selalu berbicara bahwa Bayu tidak pernah memberinya uang. Membuatku kerap kali memberikan beliau uang untuk sekedar pegangan. Namun sekarang, didepan banyak orang. Para tetangga memuji Mas Bayu yang begitu perhatian dan juga begitu menyayangi Ibu dengan memberinya uang setiap gajian. Berarti selama ini apa yang dikatakan Ibu kepada semuanya bohong?Astaga, betapa bodohnya aku. Atau terlalu pintar Ibu bersandiwara. Baiklah, jika Mas Bayu selama ini memberikan Ibu uang tanpa sepengetahuan ku. Aku juga akan bersikap demikian. Kita lihat siapa diantara kita yang bergelar pelit.BersambungPEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABab 5"Mas, aku pengen bicara sesuatu sama kamu." Aku duduk di sisi ranjang. Melihat Mas Bayu yang tengah berbaring di ranjang sembari bermain ponsel."Bicara apa, Rum? Bicara saja, aku mendengarkan kok!" jawab Mas Bayu, namun matanya masih fokus pada layar yang menyala. "Kalau boleh tahu, sebenarnya gajimu itu berapa? Setiap bulan Mas Bayu ngasih Arum cuma lima ratus ribu.""Kamu nggak percaya sama Mas?" Kini pandangan Mas Bayu beralih kepadaku. Menatap kedua manik matanya yang terlihat tidak suka mendengar pertanyaanku."Bukannya nggak percaya, Mas. Hanya saja, lima ratus ribu itu tidak cukup.""Tidak cukup? Bukannya selama ini aku berikan uang sebesar itu kamu tidak pernah marah, tidak pernah komplain apalagi meminta lebih. Terus kenapa sekarang bertanya? Apa kamu tidak ikhlas membantuku?""Bukannya tidak Ikhlas, Mas. Hanya saja sepertinya ada yang kamu tutup-tutupi dariku. Kamu pakai uang tabungan untuk membayar kontrakan Agus saja tidak b
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABab 6"Mas, aku pengen bicara sesuatu sama kamu." Aku duduk di sisi ranjang. Melihat Mas Bayu yang tengah berbaring di ranjang sembari bermain ponsel."Bicara apa, Rum? Bicara saja, aku mendengarkan kok!" jawab Mas Bayu, namun matanya masih fokus pada layar yang menyala. "Kalau boleh tahu, sebenarnya gajimu itu berapa? Setiap bulan Mas Bayu ngasih Arum cuma lima ratus ribu.""Kamu nggak percaya sama Mas?" Kini pandangan Mas Bayu beralih kepadaku. Menatap kedua manik matanya yang terlihat tidak suka mendengar pertanyaanku."Bukannya nggak percaya, Mas. Hanya saja, lima ratus ribu itu tidak cukup.""Tidak cukup? Bukannya selama ini aku berikan uang sebesar itu kamu tidak pernah marah, tidak pernah komplain apalagi meminta lebih. Terus kenapa sekarang bertanya? Apa kamu tidak ikhlas membantuku?""Bukannya tidak Ikhlas, Mas. Hanya saja sepertinya ada yang kamu tutup-tutupi dariku. Kamu pakai uang tabungan untuk membayar kontrakan Agus saja tidak b
Pembalasan istri pelit uang sesungguhnyaBab 7Sepertinya Ibu keceplosan bicara, karena terlihat dia gugup dan salah tingkah. Baiklah kalau begitu, urus saja kebutuhanmu sendiri, Mas. Dan tunggu pembalasan istri pelit yang sesungguhnya.Ibu pergi membawa soto satu rantang beserta gorengan. Pasti di rumah wanita itu akan kembali berteriak, karena beras untuk memasak sudah habis. Karena tadi aku juga sempat melihat ember tempat beras, sudah bersih tidak tersisa beras satu gelas pun. Biarlah, biarlah Ibu dan juga Mas Bayu berpikir dengan jernih. Bagaimana aku bekerja keras agar kebutuhan rumah tangga bisa selalu terpenuhi. Eh, malah ibu mertua selalu mengatakan aku pelit."Mbak Arum, punya Ibu mertua sama suami kek begitu kok Mbak Arum Ki masih bertahan?" tanya Siti sembari tangan mengaduk oseng-oseng. "Sit, pernikahan itu bukan main-main. Kalau nggak cocok cerai, kalau nggak suka pisah. Nggak begitu konsepnya, Siti." Aku berkata jujur, rumah tangga bukanlah sesuatu hal yang bisa diperm
pembalasan istri pelit yang sesungguhnyabab 8"Ada apa lagi, Bu?" "Arum, kamu itu benar-benar kelewatan ya!"****"Kelewatan bagaimana?" jawabku dengan santai."Kamu ini keterlaluan! Tadi gula sama kopi habis, sekarang beras juga habis kamu nggak beli? Gimana sih kamu itu sebagai istri? Harusnya kamu itu sadar, dan juga tahu diri. Kalau kebutuhan rumah habis, biasanya tanpa bicara kamu belanja sendiri. Kenapa justru hari ini kamu bertingkah aneh!""Aneh? Maksud Ibu apa?" Aku berlagak tidak tahu, meskipun memang aku sengaja tidak berbelanja. Karena tadi aku mendengar sendiri kata Ibu bahwa aku tidak becus mengatur keuangan. Jadi Mas Bayu memberikan sebagian besar gajinya pada Ibu karena dia pintar mengatur keuangan. Kalau begitu mulai sekarang aku tidak mau tahu lagi tentang kebutuhan rumah tangga. Aku hanya akan berbelanja dengan uang lima ratus ribu itu saja. Kalau uang itu sudah habis ya sudah, selesai."Sekarang kamu mau pergi kemana?" tanya Ibu menatap penampilanku dari ujung k
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYA.bab 9Ibu pemilik warung menghitung belanjaan Ibu mertua. "Jangan lupa pakai nota ya, Bu!""Siap, Bu Wati.""Astaga … kamu nggak salah hitung kan, Bu?" tanya Ibu mertua kepada pemilik warung. Kedua matanya melotot seakan hendak keluar dari tempatnya, ketika melihat deretan angka di kertas nota.Ibu mertua terlihat tidak percaya, ketika melihat jumlah uang yang harus dibayar saat berbelanja.Beras sepuluh kilogram, sabun mandi, kopi, serta gula setengah kilogram. Serta tidak lupa membeli sabun cuci dan juga shampo, Ibu harus mengeluarkan uang sebesar seratus lima puluh ribu. Padahal uang pemberian Mas Bayu hanya dua ratus ribu, sisa lima puluh ribu. Ibu mertua terlihat mendengus kesal, lalu membawa sekantong belanjaan dengan bibir mencebik."Bu, semua kebutuhan rumah itu mahal. Jadi kalau Ibu keluar uang banyak itu lumrah," ucapku pelan membuat Ibu semakin terlihat tidak menyukaiku. Mungkin dalam hatinya merutuki dirinya sendiri. *****"Tumbe
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 10"Lihat, Bayu. Lihat! Seperti itu tingkah istrimu! Benar-benar tidak punya sopan santun, blas." Terdengar Ibu terus nyerocos meskipun aku sudah tidak lagi berada diantara mereka. Aku langsung bergegas menuju kamar lalu menutup pintu rapat-rapat.****Aku duduk di sisi ranjang, air mataku akhirnya lolos juga. Setelah dengan sekuat tenaga aku menahannya agar tidak keluar. Mataku mulai basah, mendengar ucapan Ibu mertua baru saja, rasanya begitu sakit. Lelaki yang aku harap mau membelaku justru dia terkesan diam, entah diamnya itu takut menambah masalah atau memang aku yang tidak dianggap olehnya. Ah, rasanya begitu menyesal sudah menikah dengan lelaki itu.Astagfirullahaladzim, aku terus saja beristighfar dalam hati. Untuk sekarang penyesalan bukanlah jalan keluar untuk masalahku. CeklekTerdengar suara pintu dibuka seseorang, ternyata Mas Bayu. Lelaki itu memutar knop lalu kembali menutup pintu kamar. Terdengar suara kakinya yang berjalan
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYA.Bab 11Hari ini aku libur berjualan, mungkin besok juga masih libur. Aku sengaja bangun pagi setelah mendengar adzan subuh berkumandang. Meskipun tadi jam tiga aku sempat membuka mata. Aku segera bergegas mengambil wudhu lalu menunaikan sholat subuh. Aku membangunkan Mas Bayu agar dia juga segera menunaikan kewajibannya. Setelah itu aku pergi menuju dapur, menyalakan kompor berniat memasak air untuk menyeduh kopi. Terlihat Ibu mertua yang turut bangun lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi. Aku pun hanya diam saja, tanpa mau menyapa terlebih dahulu. Kejadian tempo hari cukup membuatku malas berbicara dengan wanita tua itu. Aku membuka kulkas mencari tahu apa yang bisa aku masak untuk sarapan pagi. Ternyata tidak ada apa-apa, hanya ada satu butir telur dan satu papan tempe. Aku kembali menutup kulkas, setelah mengeluarkan tempe dan juga telur tersebut. Nasi kemarin masih ada, aku segera mengeluarkannya dari magic com. Ibu mertua hanya mem
PEMBALASAN ISTRI PELIT UANG SESUNGGUHNYABAB 12Pemandangan yang luar biasa, tadi Ibu tidak mau keluar uang buat membeli ayam. Sekarang justru mengeluarkan uang tidak sedikit hanya untuk cucu kesayang. Wah-wah, benar-benar. Aku menggeleng pelan melihat Ibu mertuaku."Mas harap kamu mau menepati janjimu, Gus!"Janji? Janji apa? Janji apa yang diberikan Agus pada Mas Bayu?****"Iya, Mas. Aku bakal balikin semua uang-uang yang aku pakai, tenang saja," ucap Agus dengan santai. Sesekali lelaki itu melirik kearah istrinya dengan senyuman meremehkan. Entah, siapa yang ia remehkan. "Ingat, Gus. Ini terakhir kalinya Mas Bantuin kamu, selebihnya itu Mas nggak mau tahu lagi.""Kamu itu, Yu. Sudah mulai terpengaruh sama Arum. Arum itu cuma ngasih dampak negatif sama kamu. Dulu, kamu itu tidak pernah mengeluh saat Agus maupun Ibu meminta uang. Berapapun yang kami minta, kamu pasti memberikannya. Namun, semua itu tidak berlangsung lama. Setelah Arum menjadi istri sah kamu, kamu berubah!" ucap Ibu
Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.
Kedua orang itu masuk kedalam rumah. Bowo memberi jalan. Sedangkan Ranti yang berhasil sampai di dekat Bowo. Menatap nanar ke arah suaminya. Bowo mengangguk. Membiarkan kedua orang itu bekerja sesuai tugasnya."Pak, tapi saya hanya mendorong pelan kok. Mana mungkin anaknya Mbak Arum meninggal. Nggak usah lebay deh!" Rani berteriak. Ia mengusap kasar jejak air matanya. Yang tidak dipungkiri begitu takut jika itu terjadi."Silahkan Anda jelaskan dikantor. Silahkan ikut kami."Semula kedua polisi itu bersikap sopan. Berharap Rani tidak memberontak lantas dengan kesadaran berjalan beriringan namun sayang, Rani membelot. Seolah dia ingin lari dari kedua orang itu. Terpaksa Rani harus ditarik dengan paksa menuju mobil polisi. Sebenarnya beberapa waktu lalu pihak polisi sudah mengirim surat panggilan kepada Rani untuk datang ke kantor polisi namun sayang surat itu tidak pernah ia terima. Karena alamat yang dituju adalah alamat dimana rumah Rani tinggal bersama Agus. Entah mengapa Agus tidak
Arum memandikan anak itu lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian Khaila yang dulu tertinggal. Lalu dia mengajak anak itu untuk makan. Dan terakhir Khaila tidur siang dikamar. Bayu tengah umroh bersama teman-temanya. Sudah tujuh hari lamanya, sebentar lagi dia akan pulang. Selama Bayu tidak ada di rumah Khaila akan menjadi teman tidurnya.*****"Khaila, beresin mainan kamu! Berantakan tau!" teriak Rani. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Khaila. Khaila yang semula anteng bermain boneka seketika menunduk. Dia takut melihat sang Ibu yang tengah melotot ke arahnya.Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk bekerja. Entah bagaimana nasibnya. Mungkin akan mendapat surat pemecatan karena dia sering absen datang ke tempat kerja. Padahal dia harus mencukupi kebutuhan Khaila, dimana saat ini Agus tidak cukup bisa diandalkan."Apa-apaan sih kamu?! Anak itu diajari bukan dimarahi!" sahut Bowo, ayah Rani. Dia terlihat meraih tangan cucunya lalu membantu memunguti mainan."Kita beresin sama-
"Nggak usah repot-repot, Mbak.""Nggak papa." Arum berjalan ke dapur. Menyiapkan pisang goreng dalam piring. Tidak lupa membuatkan kedua ayah dan anak itu minuman. Arum kembali ke ruang tamu tentunya dengan nampan yang ada di tangan."Silahkan diminum cantik, pisangnya dimakan ya!" pinta Arum membuat Khaila tersenyum."Kamu belum daftarkan dia ke sekolah?" tanya Arum pandangannya kini tertuju pada Agus yang tengah menyesap teh."Belum, Mbak. Belum ada uang!""Terus selama ini kamu ngapain saja di rumah?""Khaila nggak ada yang jaga, Mbak. Aku nggak enak jika harus menitipkan dia sama Mbak terus.""Kalau kamu nggak kerja. Gimana sekolah Khaila? Gimana makan dia?"Agus hanya diam. Bagaimanapun dia tetap saudara kandung Bayu. Bagaimanapun juga dia tetap memikirkan Khaila. Khaila anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan lihat, dia tidak mau minum teh itu maupun mengambil makannya. Padahal dulu, dia sangat cerewet dan juga manja jika dengan Arum."Sayang, kok nggak makan?" tanya Arum. Dia