Pembalasan istri pelit uang sesungguhnya
Bab 7Sepertinya Ibu keceplosan bicara, karena terlihat dia gugup dan salah tingkah. Baiklah kalau begitu, urus saja kebutuhanmu sendiri, Mas. Dan tunggu pembalasan istri pelit yang sesungguhnya.Ibu pergi membawa soto satu rantang beserta gorengan. Pasti di rumah wanita itu akan kembali berteriak, karena beras untuk memasak sudah habis. Karena tadi aku juga sempat melihat ember tempat beras, sudah bersih tidak tersisa beras satu gelas pun. Biarlah, biarlah Ibu dan juga Mas Bayu berpikir dengan jernih. Bagaimana aku bekerja keras agar kebutuhan rumah tangga bisa selalu terpenuhi. Eh, malah ibu mertua selalu mengatakan aku pelit."Mbak Arum, punya Ibu mertua sama suami kek begitu kok Mbak Arum Ki masih bertahan?" tanya Siti sembari tangan mengaduk oseng-oseng. "Sit, pernikahan itu bukan main-main. Kalau nggak cocok cerai, kalau nggak suka pisah. Nggak begitu konsepnya, Siti." Aku berkata jujur, rumah tangga bukanlah sesuatu hal yang bisa dipermainkan. Karena pernikahan adalah sebuah ikatan janji suci kita terhadap Tuhan. Hanya saja terkadang kesabaranku habis untuk menghadapi dua manusia seperti mereka. "Sabar, Mbak Arum. Semoga Mas Bayu dan juga Ibu Wati segera disadarkan. Semoga mereka segera taubat, biar nggak seenaknya sendiri sama Mbak Arum. Kadang aku tu gemes lihat Mas Bayu yang diam aja ketika Ibunya ngatain Mbak Arum pelit. Padahal aku lihat sendiri lho, kalau Mbak Arum ini setiap belanja nggak main-main. Semua kebutuhan rumah tangga dia yang memenuhi.""Tapi tidak untuk sekarang, Sit. Aku harus lebih tegas kepada mereka. Mulai sekarang aku akan pelit seperti yang Ibu katakan selama ini. Biar mereka tahu rasanya punya menantu pelit kek aku!""Benar, Mbak Arum. Mbak Arum harus lebih tegas, biar nggak diinjak-injak oleh mereka. Mentang-mentang Mbak Arum diem, mereka seenaknya sendiri. Ya nggak, Mbak Tini?" Kini pandangan Siti beralih kepada Tini. Aku yang sedang menyiapkan semua makanan pada etalase hanya bisa tersenyum geli mendengar dukungan dari para karyawan ku. Mereka ini sudah paham betul watak Ibu mertua. Tidak jarang mereka melihat dan juga mendengar aku selalu di cap pelit oleh mertua. Jadi jika mereka ikut greget melihat tingkah mertua, wajar adanya. "Semua sudah selesai belum, sit. Sudah jam setengah enam. Aku buka ya warungnya?" Aku membuka tulisan tutup menjadi buka. Menyiapkan kursi dan juga meja. Menyapu lalu mengelap meja. Sedangkan kedua karyawan ku masih menyiapkan beberapa menu yang belum matang. Satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Ada yang sarapan soto ada juga yang hanya membungkus makanan untuk dibawa pulang. Terlihat dari kejauhan Agus dan juga istrinya. Mereka datang dengan pakaian rapi hendak berangkat kerja. "Pagi, Mbak Arum. Aku mau sarapan di sini ya. Soto dua sama minuman teh hangat dua." Aku pun menyiapkan pesanan kedua iparku ini. Biasa, dia makan setiap pagi di sini tanpa mau membayar. Dengan dalil masih saudara ipar, dulu aku diam saja. Tapi tidak sekarang, silahkan ambil sesuka kalian tapi nanti aku akan berikan catatan berapa yang harus dibayar. Mulai pagi ini dan seterusnya siapapun yang makan di warung, harus bayar, tanpa terkecuali."Makasih, ya Mbak. Aku berangkat kerja dulu!" ucap Agus sembari mengajak Rani melangkah pergi."Eit, mau kemana?" tanyaku kepada keduanya. Mereka saling melempar pandangan, mungkin bertanya-tanya apa yang aku lakukan."Bayar! Mana uangnya, kalian kan sudah makan. Jadi bayar dulu baru pergi!""Lho? Kok bayar sih, Mbak. Biasanya kan nggak bayar?" tutur Rani membuatku ingin tertawa."Itu dulu, mulai sekarang kalian kalau makan di warung ku harus bayar. Semua yang ada di dunia ini nggak gratis, termasuk makan di warung ku ini.""Ya Allah, Mbak Arum. Kamu lupa siapa yang ngasih kamu modal biar usaha seperti ini? Setelah usaha Mbak Arum lancar, malah jadi seperti ini? Mbak Arum itu Seperti kacang lupa kulitnya ya!""Jaga bicaramu, Rani. Kamu juga ingat, suamiku sudah membayar kontrakan untuk kalian sebesar lima juta? Ingat nggak? Kalian kembalikan tidak uang tersebut? Dan inget ya Rani, aku sudah mengembalikan uang yang digunakan untuk modal usaha ini. Malah Mbak lebihkan, jadi sebaiknya kalian nggak usah ungkit-ungkit masalah itu." Terlihat bibir Rani mencebik ketika aku berkata demikian."Mbak Arum ini memang pelit ya! Malu, Mbak di lihat orang-orang. Nagih bayaran pada saudara sendiri!" Kini giliran Agus, berbicara kata malu dihadapanku."Sebenarnya yang seharusnya malu itu kalian, kalian berpenampilan seperti pekerja kantoran. Namun cuma bayar tiga puluh ribu saja nggak mau! Nggak malu!" Kini Agus dan juga Rani terlihat tidak suka mendengar ucapanku. Biar saja, biar mereka sadar bahwa warungku ini bukan tempat makan gratis untuk mereka yang sok kaya namun malas bayar."Halah, cuma tiga puluh ribu? Bayar, Mas. Jangan bikin aku malu, lihat semua orang sudah ngeliatin kita!" Agus segera merogoh sakunya mencari uang dengan lembaran puluhan berjumlah tiga. Lalu melemparnya tepat di wajahku.Astagfirullahaladzim, kelakuan mereka benar-benar nggak sopan. Aku segera mengambil lembaran uang itu yang jatuh dilantai. Lalu membersihkan piring dan juga gelas bekas para pelanggan. Membawanya ke dalam cucian lalu aku duduk di meja kasir. Pagi ini pagi yang begitu melelahkan harus menghadapi manusia-manusia yang kelewat batas. Aku yakin bahwa kedua iparku pasti akan mengadu pada Mas Bayu. Dan aku harus bersiap jika lelaki itu datang sewaktu-waktu.Jam menunjukan angka delapan. Sosok yang bergelar suami itu tidak nampak di warung, mungkin Mas Bayu sudah berangkat bekerja tanpa datang terlebih dahulu ke warung. Syukurlah, semoga tidak ada huru hara lagi setelah ini.Aku menghitung uang yang lumayan banyak, alhamdulilah tidak berhenti aku mengucap syukur karena pagi ini daganganku lumayan laris.Aku mencatat sayur apa yang akan dibeli, kebutuhan warung apa saja yang sudah habis. Tidak lupa aku membawa buku tabungan, sengaja aku menyimpan uang pada rekening sendiri yang beberapa hari lalu sudah aku buat tentunya tanpa sepengetahuan Mas Bayu."Sit, aku kepasar dulu. Belanja buat dagangan besok. Kalian tunggu warung ya?""Siap, Mbak.""Ati-ati, Mbak Arum," titah Siti dan juga Tini. Meskipun mereka ini bukan saudara namun perhatian dan juga pengertian mereka melebihi saudara kandung. Aku bersyukur memiliki karyawan yang baik seperti mereka. Aku baru saja naik pada jok motor matic, hendak menstater motor namun segera aku urungkan ketika melihat Ibu mertua sudah kembali datang ke warung. Tentunya dengan wajah masam. Aku tahu, pasti Rani dan juga Agus sudah mengadu pada Ibu. Ah, kita lihat saja apa yang akan terjadi. Pastinya huru-hara akan kembali bergema."Ada apa lagi, Bu?" "Arum, kamu itu benar-benar kelewatan ya!"Bersambungpembalasan istri pelit yang sesungguhnyabab 8"Ada apa lagi, Bu?" "Arum, kamu itu benar-benar kelewatan ya!"****"Kelewatan bagaimana?" jawabku dengan santai."Kamu ini keterlaluan! Tadi gula sama kopi habis, sekarang beras juga habis kamu nggak beli? Gimana sih kamu itu sebagai istri? Harusnya kamu itu sadar, dan juga tahu diri. Kalau kebutuhan rumah habis, biasanya tanpa bicara kamu belanja sendiri. Kenapa justru hari ini kamu bertingkah aneh!""Aneh? Maksud Ibu apa?" Aku berlagak tidak tahu, meskipun memang aku sengaja tidak berbelanja. Karena tadi aku mendengar sendiri kata Ibu bahwa aku tidak becus mengatur keuangan. Jadi Mas Bayu memberikan sebagian besar gajinya pada Ibu karena dia pintar mengatur keuangan. Kalau begitu mulai sekarang aku tidak mau tahu lagi tentang kebutuhan rumah tangga. Aku hanya akan berbelanja dengan uang lima ratus ribu itu saja. Kalau uang itu sudah habis ya sudah, selesai."Sekarang kamu mau pergi kemana?" tanya Ibu menatap penampilanku dari ujung k
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYA.bab 9Ibu pemilik warung menghitung belanjaan Ibu mertua. "Jangan lupa pakai nota ya, Bu!""Siap, Bu Wati.""Astaga … kamu nggak salah hitung kan, Bu?" tanya Ibu mertua kepada pemilik warung. Kedua matanya melotot seakan hendak keluar dari tempatnya, ketika melihat deretan angka di kertas nota.Ibu mertua terlihat tidak percaya, ketika melihat jumlah uang yang harus dibayar saat berbelanja.Beras sepuluh kilogram, sabun mandi, kopi, serta gula setengah kilogram. Serta tidak lupa membeli sabun cuci dan juga shampo, Ibu harus mengeluarkan uang sebesar seratus lima puluh ribu. Padahal uang pemberian Mas Bayu hanya dua ratus ribu, sisa lima puluh ribu. Ibu mertua terlihat mendengus kesal, lalu membawa sekantong belanjaan dengan bibir mencebik."Bu, semua kebutuhan rumah itu mahal. Jadi kalau Ibu keluar uang banyak itu lumrah," ucapku pelan membuat Ibu semakin terlihat tidak menyukaiku. Mungkin dalam hatinya merutuki dirinya sendiri. *****"Tumbe
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 10"Lihat, Bayu. Lihat! Seperti itu tingkah istrimu! Benar-benar tidak punya sopan santun, blas." Terdengar Ibu terus nyerocos meskipun aku sudah tidak lagi berada diantara mereka. Aku langsung bergegas menuju kamar lalu menutup pintu rapat-rapat.****Aku duduk di sisi ranjang, air mataku akhirnya lolos juga. Setelah dengan sekuat tenaga aku menahannya agar tidak keluar. Mataku mulai basah, mendengar ucapan Ibu mertua baru saja, rasanya begitu sakit. Lelaki yang aku harap mau membelaku justru dia terkesan diam, entah diamnya itu takut menambah masalah atau memang aku yang tidak dianggap olehnya. Ah, rasanya begitu menyesal sudah menikah dengan lelaki itu.Astagfirullahaladzim, aku terus saja beristighfar dalam hati. Untuk sekarang penyesalan bukanlah jalan keluar untuk masalahku. CeklekTerdengar suara pintu dibuka seseorang, ternyata Mas Bayu. Lelaki itu memutar knop lalu kembali menutup pintu kamar. Terdengar suara kakinya yang berjalan
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYA.Bab 11Hari ini aku libur berjualan, mungkin besok juga masih libur. Aku sengaja bangun pagi setelah mendengar adzan subuh berkumandang. Meskipun tadi jam tiga aku sempat membuka mata. Aku segera bergegas mengambil wudhu lalu menunaikan sholat subuh. Aku membangunkan Mas Bayu agar dia juga segera menunaikan kewajibannya. Setelah itu aku pergi menuju dapur, menyalakan kompor berniat memasak air untuk menyeduh kopi. Terlihat Ibu mertua yang turut bangun lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi. Aku pun hanya diam saja, tanpa mau menyapa terlebih dahulu. Kejadian tempo hari cukup membuatku malas berbicara dengan wanita tua itu. Aku membuka kulkas mencari tahu apa yang bisa aku masak untuk sarapan pagi. Ternyata tidak ada apa-apa, hanya ada satu butir telur dan satu papan tempe. Aku kembali menutup kulkas, setelah mengeluarkan tempe dan juga telur tersebut. Nasi kemarin masih ada, aku segera mengeluarkannya dari magic com. Ibu mertua hanya mem
PEMBALASAN ISTRI PELIT UANG SESUNGGUHNYABAB 12Pemandangan yang luar biasa, tadi Ibu tidak mau keluar uang buat membeli ayam. Sekarang justru mengeluarkan uang tidak sedikit hanya untuk cucu kesayang. Wah-wah, benar-benar. Aku menggeleng pelan melihat Ibu mertuaku."Mas harap kamu mau menepati janjimu, Gus!"Janji? Janji apa? Janji apa yang diberikan Agus pada Mas Bayu?****"Iya, Mas. Aku bakal balikin semua uang-uang yang aku pakai, tenang saja," ucap Agus dengan santai. Sesekali lelaki itu melirik kearah istrinya dengan senyuman meremehkan. Entah, siapa yang ia remehkan. "Ingat, Gus. Ini terakhir kalinya Mas Bantuin kamu, selebihnya itu Mas nggak mau tahu lagi.""Kamu itu, Yu. Sudah mulai terpengaruh sama Arum. Arum itu cuma ngasih dampak negatif sama kamu. Dulu, kamu itu tidak pernah mengeluh saat Agus maupun Ibu meminta uang. Berapapun yang kami minta, kamu pasti memberikannya. Namun, semua itu tidak berlangsung lama. Setelah Arum menjadi istri sah kamu, kamu berubah!" ucap Ibu
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 13"Lho kok begitu sih, Bu? Mas Bayu itu cuma nganter lho Bu!""Pokoknya Ibu mau, Bayu tetap di rumah!"Kini pandangan Mas Bayu beralih ke arahku.Ayo, Mas Bayu kini pilihan ada di tanganmu. Mengantarku ke rumah Emak atau menurut dengan ucapan Ibumu?****"Jangan seperti anak kecil, Bu. Bayu hanya mengantar tidak ikut menginap. Lagian, nanti sore Bayu juga sudah ada di rumah.""Ibu tetap melarang!""Astagfirullahaladzim," ucapku pelan, lalu aku menggelengkan kepala. Tidak percaya dengan tingkah Ibu baru saja. "Kalau memang kamu nggak mau nganter nggak papa kok, Mas. Aku bisa pulang sendiri!""Jangan begitu, Rum. Mas nggak enak sama Emak. Nanti mereka pikir aku nggak tanggung jawab.""Nah, itu tahu." Aku kini mengalihkan pandanganku ke arah Ibu mertua Beliau masih sama, memasang wajah masam bak anak kecil yang tidak mau ditinggal sendirian. Entahlah, ibu memang terkadang seperti anak kecil saja."Mas, keburu siang. Kalau kamu memang nggak
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 14Ah, apakah ini semua salahku? Salahku yang tidak bisa bersikap tegas? Apakah sebaiknya aku juga berubah, setelah aku perhatikan Arum kini tidak mau mengeluarkan uang sedikitpun. Apakah aku juga harus berubah seperti dia? Agar rumah tanggaku bisa bahagia?Jika aku memperlakukan Arum sebagaimana mestinya, apakah rumah tanggaku akan bahagia seperti orang-orang? Tapi bagaimana dengan Ibu? Bagaimanapun dia tetap Ibu yang sudah merawat ku sejak kecil.***POV ArumKedatanganku disambut hangat oleh Emak. Wanita paruh baya itu memelukku erat. Ada rindu yang menggunung ketika kami sudah lama tidak berjumpa. Karena kesibukanku berjualan adalah alasannya."Mak, apa kabar? Emak sehatkan?" tanyaku pada Emak sembari melonggarkan pelukan."Alhamdulilah, emak sehat. Kamu gimana jualannya, Lancar?" tanya Emak tangannya masih sibuk mengusap lenganku."Alhamdulilah, lancar Mak. Ini libur sama besok, capek. Mau istrirahat.""Iya, kalau capek istirahat. Jan
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABab 15"Mana uangnya, Rum. Mas buru-buru mau pulang, sudah di telepon sama Ibu." mas Bayu memperlihatkan layar ponselnya."Tapi ada syaratnya Mas.""Iya, Rum. Syaratnya apa?"****"Mulai bulan depan uang gaji kamu Arum yang ngatur, Mas. Nanti semua keperluan kamu dan kebutuhan rumah aku yang urus!"Mas Bayu membelalak, seolah tidak percaya dengan apa yang aku katakan baru saja. Terlihat dia menelan ludah dengan susah payah. Benar-benar pemandangan yang sangat lucu. Aku gemas sekali melihat ekspresi Mas Bayu, seakan aku ingin mencubit kedua pipinya."Gimana mau nggak? Aku akan kasih Mas Bayu dua juta sekarang." Mas Bayu masih tidak menjawab pertanyaanku. Mungkin ini adalah keputusan yang sangat luar biasa. Hingga dia harus berpikir ribuan kali untuk menyerahkan ATM itu kepadaku. Jika itu terjadi semua gaji Mas Bayu aku akan mengetahuinya berapa besarnya.Kring … kring Ponsel Mas Bayu kini kembali berdering, dengan cepat Mas Bayu mengangkatnya.
Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.
Kedua orang itu masuk kedalam rumah. Bowo memberi jalan. Sedangkan Ranti yang berhasil sampai di dekat Bowo. Menatap nanar ke arah suaminya. Bowo mengangguk. Membiarkan kedua orang itu bekerja sesuai tugasnya."Pak, tapi saya hanya mendorong pelan kok. Mana mungkin anaknya Mbak Arum meninggal. Nggak usah lebay deh!" Rani berteriak. Ia mengusap kasar jejak air matanya. Yang tidak dipungkiri begitu takut jika itu terjadi."Silahkan Anda jelaskan dikantor. Silahkan ikut kami."Semula kedua polisi itu bersikap sopan. Berharap Rani tidak memberontak lantas dengan kesadaran berjalan beriringan namun sayang, Rani membelot. Seolah dia ingin lari dari kedua orang itu. Terpaksa Rani harus ditarik dengan paksa menuju mobil polisi. Sebenarnya beberapa waktu lalu pihak polisi sudah mengirim surat panggilan kepada Rani untuk datang ke kantor polisi namun sayang surat itu tidak pernah ia terima. Karena alamat yang dituju adalah alamat dimana rumah Rani tinggal bersama Agus. Entah mengapa Agus tidak
Arum memandikan anak itu lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian Khaila yang dulu tertinggal. Lalu dia mengajak anak itu untuk makan. Dan terakhir Khaila tidur siang dikamar. Bayu tengah umroh bersama teman-temanya. Sudah tujuh hari lamanya, sebentar lagi dia akan pulang. Selama Bayu tidak ada di rumah Khaila akan menjadi teman tidurnya.*****"Khaila, beresin mainan kamu! Berantakan tau!" teriak Rani. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Khaila. Khaila yang semula anteng bermain boneka seketika menunduk. Dia takut melihat sang Ibu yang tengah melotot ke arahnya.Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk bekerja. Entah bagaimana nasibnya. Mungkin akan mendapat surat pemecatan karena dia sering absen datang ke tempat kerja. Padahal dia harus mencukupi kebutuhan Khaila, dimana saat ini Agus tidak cukup bisa diandalkan."Apa-apaan sih kamu?! Anak itu diajari bukan dimarahi!" sahut Bowo, ayah Rani. Dia terlihat meraih tangan cucunya lalu membantu memunguti mainan."Kita beresin sama-
"Nggak usah repot-repot, Mbak.""Nggak papa." Arum berjalan ke dapur. Menyiapkan pisang goreng dalam piring. Tidak lupa membuatkan kedua ayah dan anak itu minuman. Arum kembali ke ruang tamu tentunya dengan nampan yang ada di tangan."Silahkan diminum cantik, pisangnya dimakan ya!" pinta Arum membuat Khaila tersenyum."Kamu belum daftarkan dia ke sekolah?" tanya Arum pandangannya kini tertuju pada Agus yang tengah menyesap teh."Belum, Mbak. Belum ada uang!""Terus selama ini kamu ngapain saja di rumah?""Khaila nggak ada yang jaga, Mbak. Aku nggak enak jika harus menitipkan dia sama Mbak terus.""Kalau kamu nggak kerja. Gimana sekolah Khaila? Gimana makan dia?"Agus hanya diam. Bagaimanapun dia tetap saudara kandung Bayu. Bagaimanapun juga dia tetap memikirkan Khaila. Khaila anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan lihat, dia tidak mau minum teh itu maupun mengambil makannya. Padahal dulu, dia sangat cerewet dan juga manja jika dengan Arum."Sayang, kok nggak makan?" tanya Arum. Dia