Dua jam telah berlalu tapi entah kenapa operasi yang sedang dijalani Catrina belum juga selesai. Apalagi Aditya tampak mondar mandir tak tenang setelah melihat beberapa perawat keluar masuk dari ruangan operasi sambil membawa kotak yang isinya entah apa."Catrina… bertahanlah, kamu harus bertahan. Aku mohon." Dalam hati Aditya terus saja mengucap doa agar semuanya dilancarkan serta wanita yang dicintainya itu selamat.Lalu setelah sekian jam menunggu terlihat beberapa orang yang berpakaian dokter keluar dari ruangan itu, namun pasien tampak masih belum keluar."Dok, gimana operasinya?" tanya Aditya dengan tergesa-gesa.Dokter yang berhenti melangkah itu terdiam untuk sejenak, dia tampak bingung harus berkata apa."Kenapa Dok? Apa_""Operasinya berjalan lancar, peluru dari tubuhnya sudah kami keluarkan. Tapi_""Tapi apa Dok?""Tapi pasien harus masih menjalani operasi lainnya." Jawab sang Dokter."Operasi lainnya? Apa dia memiliki penyakit lain?" "Pasien sedang mengandung dan bayinya t
Petugas tadi segera pergi untuk menemui Indra yang kebetulan sekali sudah berada di tempat yang bisa dia jangkau dengan cepat karena pria itu sudah tertangkap. Menurutnya tidak akan sulit untuk mendapatkan tanda tangan pria itu, menilai anak semata wayangnya tersebut sedang dalam keadaan kritis.Tapi sayang sekali, pria paruh baya itu benar-benar tidak peduli dan seakan ingin puas. Apalagi setelah dia tahu kalau peluru yang tak sengaja ditembakan olehnya tadi sudah diambil dari tubuhnya dan operasinya berhasil."Biarkan saja, harusnya itu urusan pria yang menghamilinya. Kenapa malah datang padaku? Memangnya aku yang menghamili anak itu?" kata Indra yang masih keras kepala menolak permintaan petugas itu."Secara sah Aditya belum menjadi suaminya, wali yang sah masih Anda." Jawab pak petugas."Oh ya? Apa mereka berzina? Seharusnya bisa aku laporkan agar pria tak tahu diri sadar." Dengus Indra.Sedangkan Calvin yang dari tadi mendengarkan percakapan mereka hanya bisa menghela napas kesal,
"Ada apa Om? Kenapa tidak secepatnya ditandatangani, kasihan Catrina." Tanya Calvin meskipun dia duduk menjauh tapi tampak masih peduli jika menyangkut tentang Katrina."Ingatlah kalau dia tetap anak Om dan dia juga satu-satunya keturunan Om, kalau selama hidup Om tidak bisa baik padanya. Minimal Om mau berbuat baik saat ini, apa salahnya menolong nyawa anak sendiri." Lanjut Calvin terus nyerocos.Mendengar oceh pemuda di sampingnya itu, emosi Indra benar-benar tersulut lalu dia refleks melempar kertas di tangannya ke arah Calvin.Kertas tersebut melayang sekenanya karena terlalu ringan, tapi Calvin tahu jika kertas itu memang sengaja dilempar ke arahnya. Calvin menghela napas lalu memungut kertas tersebut, dia malas untuk marah-marah lagi."Ya Tuhan… lihatlah akibat ulahmu ini, anakmu tidak akan memiliki anak lagi." Kata Calvin yang terkejut setelah membaca kertas tersebut."Benar-benar karma." Kali ini Calvin berbicara bergumam."Aku bahkan tidak tertarik lagi untuk menikahinya, baga
Tampaknya petugas itu bisa menebak isi pikiran Indra, dengan begitu Indra mencoba bersikap tenang namun harus terlihat menyedihkan agar terkesan lebih meyakinkan. Bagaimanapun juga para petugas itu hanyalah manusia biasa yang memiliki naluri dan hati nurani."Saya ingin segera melihat putri saya, ingin meminta maaf padanya dan setelah itu saya bisa tenang meskipun kami harus berpisah untuk selamanya." Jawab Indra memberi alibi yang meyakinkan.Saat sedang berbincang begitu beberapa petugas datang menghampiri petugas tadi."Lama sekali? Apa dia masih tidak mau menolong putrinya?" tanya salah satu petugas itu."Bukan, dia mau ikut melihat putrinya." Jawab petugas yang sudah dari tadi berada disana."Kenapa mau ikut? Mau kabur?" tanya petugas tadi pada Indra.Jangankan petugas pertama, para petugas yang baru datang menghampiri pun berpikiran sama dengannya. Bahkan Calvin juga sempat berpikir jika Indra memiliki niat lain, yaitu niat untuk kabur dan meninggalkan dirinya sendirian disana."
Mendengar penjelasan Indra yang meyakinkan akhirnya salah satu dari ketiga petugas itu pun merasa iba, lalu dia pergi untuk meminta izin pada atasannya. Sebenarnya kedua petugas lainnya tampak tidak mau ikut-ikutan menyetujuinya, tapi petugas itu bersikeras jika mereka terlahir sebagai manusia yang harus memiliki hati nurani karena bisa saja orang ini akan kehilangan putrinya untuk terakhir kalinya.Calvin juga merasa takut jika Indra akan kabur dan melimpahkan semua kesalahan padanya, kini dia harus berpikir keras karena harus menolong dirinya sendiri sebelum orang jahat itu menjerumuskannya lebih dalam lagi."Baiklah ayo ajak dia keluar." Kata petugas satu yang tadi baru saja keluar dan kini datang dengan membawa secarik kertas."Kamu dapat izinnya? Tapi asal kamu tahu, aku tidak mau ikut-ikutan kalau terjadi sesuatu karena jelas kalau aku menolak masalah ini." Tanya petugas kedua yang dari awal mendampingi korban dan juga Aditya selama di rumah sakit."Aku juga." Timpal petugas keti
Kini Indra dan para petugas sudah berada di dalam mobil dengan pengamanan yang amat ketat, jelas jika dia melarikan di perjalanan tidak akan berhasil. Yang dia pikirkan dari berangkat hingga kini adalah bagaimana cara dia bisa lepas dengan mudah tanpa harus mendengar suara tembakan atau dia capek-capek berlari sana sini tanpa tujuan. Pria itu sama sekali tak memikirkan nasib anaknya yang kini butuh segera ditolong olehnya.Sementara itu Aditya yang sudah geram juga tak sabar menunggu surat tersebut amat putus asa, terlebih lagi dokter tak bisa berbuat apa-apa jika tanpa surat izin orang tuanya atau izin dari pasien itu sendiri."Tuan, sudah mau dua jam dan kita belum mendapatkan surat tersebut." Kata seorang Dokter yang menemui Aditya."Maaf Dok, memangnya kita harus banget dengan izin wali sedangkan pasien kondisinya kritis?" tanya Aditya.Dokter tersebut menjawab dengan mengangguk, "soalnya pasien masih belum sadar. Dia baru selesai operasi dan masih dalam pengaruh obat bius.""Buka
"Saya mohon Dokter segera menolongnya, atau saya yang akan memindahkan pasien ke rumah sakit lain!" Mau tidak mau Aditya harus mengancam dengan cara itu, dia benar-benar tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika nyawa Catrina harus melayang begitu saja. Dia memang tidak mengerti medis dan hal lainnya yang begitu rumit itu. Bahkan untuk operasi saja harus ada izin sana sini juga prosedur ini itu. Sayang sekali ini bukan rumah sakit yang biasa tempat kerja Catrina, Aditya bahkan baru ingat kalau kekasihnya itu adalah seorang dokter. Banyak hal yang dia lupakan, banyak waktu yang terbuang sia-sia karena dia hanya mondar mandir di lorong rumah sakit itu."Dok, kalau kalian tidak secepatnya menolong. Mungkin saya akan menghubungi rumah sakit tempatnya bekerja." Kata Aditya setelah pikirannya tenang dan mengingat jika Catrina adalah seorang dokter."Rumah sakit? Dia bekerja di rumah sakit? Sebagai apa?" tanya sang dokter."Dia dokter bedah, hanya saja beberapa minggu dia libur." Jawab Adit
"Kami tahu, teman saya ini hanya asal bicara saja." jawab Aditya sedikit ketus."Oh iya Jo, dia kabur dimana?" lanjutnya bertanya pada Jonathan."Di rumah sakit, tadi di lobby." Jawab Jonathan.Aditya terdiam, jarak antara ruangan dia dan Lobby memang sangat jauh karena dia berada di gedung yang berbeda dan berada di atas beberapa lantai dari Lobby utama rumah sakit tersebut."Bilangnya mau ke toilet dulu, mau membersihkan diri sebelum bertemu putrinya. Eh siapa sangka kalau itu hanya akal bulus untuk mengelabui semua petugas." "Lagipula para petugas bodoh ini benar-benar terlalu meremehkan si tua bangka itu."Jonathan menjelaskan semua yang terjadi di bawah tadi, karena kebetulan dia mengikuti mobil para petugas yang membawa Indra. Siapa tahu apa yang dia pikirkan benar-benar terjadi, Indra benar-benar kabur. Hanya saja Jonathan pikir kalau Indra akan kabur di perjalanan, tapi rupanya orang itu lebih nekad lagi.Tepat setelah Jonathan berbicara demikian, terdengar ada pengumuman cod