Mendengar penjelasan Indra yang meyakinkan akhirnya salah satu dari ketiga petugas itu pun merasa iba, lalu dia pergi untuk meminta izin pada atasannya. Sebenarnya kedua petugas lainnya tampak tidak mau ikut-ikutan menyetujuinya, tapi petugas itu bersikeras jika mereka terlahir sebagai manusia yang harus memiliki hati nurani karena bisa saja orang ini akan kehilangan putrinya untuk terakhir kalinya.Calvin juga merasa takut jika Indra akan kabur dan melimpahkan semua kesalahan padanya, kini dia harus berpikir keras karena harus menolong dirinya sendiri sebelum orang jahat itu menjerumuskannya lebih dalam lagi."Baiklah ayo ajak dia keluar." Kata petugas satu yang tadi baru saja keluar dan kini datang dengan membawa secarik kertas."Kamu dapat izinnya? Tapi asal kamu tahu, aku tidak mau ikut-ikutan kalau terjadi sesuatu karena jelas kalau aku menolak masalah ini." Tanya petugas kedua yang dari awal mendampingi korban dan juga Aditya selama di rumah sakit."Aku juga." Timpal petugas keti
Kini Indra dan para petugas sudah berada di dalam mobil dengan pengamanan yang amat ketat, jelas jika dia melarikan di perjalanan tidak akan berhasil. Yang dia pikirkan dari berangkat hingga kini adalah bagaimana cara dia bisa lepas dengan mudah tanpa harus mendengar suara tembakan atau dia capek-capek berlari sana sini tanpa tujuan. Pria itu sama sekali tak memikirkan nasib anaknya yang kini butuh segera ditolong olehnya.Sementara itu Aditya yang sudah geram juga tak sabar menunggu surat tersebut amat putus asa, terlebih lagi dokter tak bisa berbuat apa-apa jika tanpa surat izin orang tuanya atau izin dari pasien itu sendiri."Tuan, sudah mau dua jam dan kita belum mendapatkan surat tersebut." Kata seorang Dokter yang menemui Aditya."Maaf Dok, memangnya kita harus banget dengan izin wali sedangkan pasien kondisinya kritis?" tanya Aditya.Dokter tersebut menjawab dengan mengangguk, "soalnya pasien masih belum sadar. Dia baru selesai operasi dan masih dalam pengaruh obat bius.""Buka
"Saya mohon Dokter segera menolongnya, atau saya yang akan memindahkan pasien ke rumah sakit lain!" Mau tidak mau Aditya harus mengancam dengan cara itu, dia benar-benar tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika nyawa Catrina harus melayang begitu saja. Dia memang tidak mengerti medis dan hal lainnya yang begitu rumit itu. Bahkan untuk operasi saja harus ada izin sana sini juga prosedur ini itu. Sayang sekali ini bukan rumah sakit yang biasa tempat kerja Catrina, Aditya bahkan baru ingat kalau kekasihnya itu adalah seorang dokter. Banyak hal yang dia lupakan, banyak waktu yang terbuang sia-sia karena dia hanya mondar mandir di lorong rumah sakit itu."Dok, kalau kalian tidak secepatnya menolong. Mungkin saya akan menghubungi rumah sakit tempatnya bekerja." Kata Aditya setelah pikirannya tenang dan mengingat jika Catrina adalah seorang dokter."Rumah sakit? Dia bekerja di rumah sakit? Sebagai apa?" tanya sang dokter."Dia dokter bedah, hanya saja beberapa minggu dia libur." Jawab Adit
"Kami tahu, teman saya ini hanya asal bicara saja." jawab Aditya sedikit ketus."Oh iya Jo, dia kabur dimana?" lanjutnya bertanya pada Jonathan."Di rumah sakit, tadi di lobby." Jawab Jonathan.Aditya terdiam, jarak antara ruangan dia dan Lobby memang sangat jauh karena dia berada di gedung yang berbeda dan berada di atas beberapa lantai dari Lobby utama rumah sakit tersebut."Bilangnya mau ke toilet dulu, mau membersihkan diri sebelum bertemu putrinya. Eh siapa sangka kalau itu hanya akal bulus untuk mengelabui semua petugas." "Lagipula para petugas bodoh ini benar-benar terlalu meremehkan si tua bangka itu."Jonathan menjelaskan semua yang terjadi di bawah tadi, karena kebetulan dia mengikuti mobil para petugas yang membawa Indra. Siapa tahu apa yang dia pikirkan benar-benar terjadi, Indra benar-benar kabur. Hanya saja Jonathan pikir kalau Indra akan kabur di perjalanan, tapi rupanya orang itu lebih nekad lagi.Tepat setelah Jonathan berbicara demikian, terdengar ada pengumuman cod
Aditya tidak menjawab, bahkan dia enggan untuk masuk dan melihat wajah Catrina yang terakhir kalinya. Dia memilih berdiam diri dan duduk di luar ruangan tempat tubuh tak bernyawa Catrina terlentang dengan tenang."Tolong beri aku ruang Jo, tinggalkan aku sendirian bersama Catrina. Siapapun yang masuk cegahlah, jangan biarkan siapapun mengganggu kami." Pinta Aditya terdengar lesu.Jonathan mengangguk lalu menjauh, dari kejauhan itu dia menghubungi para penjaga Aditya juga teman satu gengnya agar datang ke rumah sakit dan menjaga Aditya yang sedang sedih.Namun tampaknya Aditya masih belum masuk untuk menemui Catrina, para dokter dan staf rumah sakit sudah sangat khawatir dengan jasad Catrina yang tidak mungkin dibiarkan begitu saja karena bagaimanapun juga Catrina sudah meninggal."Bagaimana ini? Jasad tidak bisa dibiarkan begitu saja. Setidaknya berilah kami waktu untuk memandikannya, semakin kaku jasadnya akan semakin sulit kita urus." Celetuk seorang paramedis di rumah sakit tersebu
"Jo kamu harus hubungi seseorang." Kata Jhon setelah dia ingat sesuatu."Siapa?" tanya Jo penasaran."Orang tuanya, siapa tahu dia mau nurut." Jawab Jhon."Ah_"Jonathan akhirnya teringat seseorang yang mungkin saja bisa membujuk Aditya yang keras kepala itu. Akhirnya dia segera menghubungi orang tersebut agar segera datang, untungnya orang itu tidak sulit untukdia hubungi."Sudah, kita tunggu saja semoga nyonya besar cepat datang." Kata Jonathan pada Jhon.Jhon tampak mengelus-elus dadanya, sepertinya pria itu merasa sedikit lega. Tidak ada yang bisa dia lakukan, dia juga tidak bisa melihat Catrina secara langsung selain dari balik kaca ruangan tersebut karena Aditya duduk tepat di depan pintu ruangan itu dan menghalangi siapapun yang akan memasuki ruangan itu.Sedangkan Jonathan dengan perlahan tampak berjalan mendekati Aditya."Hey ayolah, kasian dia." Masih berusaha membujuk.Jonathan lalu berjongkok agar bisa berbicara lebih dekat dengan atasan sekaligus sahabatnya itu."Tuan Adi
Sandra terus berbicara agar anak sambungnya itu sadar dari sikap omong kosongnya itu."Aditya dengarkan saya sekali ini_""Sejak kapan saya tidak pernah mendengarkanmu? Bukankah selama ini saya selalu menurut?" potong Aditya bertanya.Sandra menghela napas, dia juga tahu kalau putra sambungnya ini sedang dalam proses depresi akut. Hanya saja tingkat depresinya sangat mengkhawatirkan, yang lain bisa menangis, bersedih, menyalahkan diri sendiri atau marah-marah untuk meluapkan emosinya. Tapi Aditya hanya diam saja tanpa melakukan apapun, masalahnya jika dia tidak menghalangi orang-orang untuk mengurus mayat Catrina tidak jadi masalah mau bersikap begini, tapi Aditya menghalangi dan mengacaukan segalanya."Maksud ibu, apa harus ibumu yang langsung bicara padamu? Ibumu sekarang masih lemah dan terbaring di rumah sakit, tapi ibumu masih baik-baik saja. Sementara Catrina… dia sudah tiada, tubuhnya butuh segera diurus.""Lalu… apa kamu juga menganggap aku sehat sampai bisa datang kesini? Tid
Sementara Aditya belum cukup puas memandangi wajah Catrina untuk terakhir kalinya, namun kini paramedis seakan memaksanya harus segera berpisah dengan wanita itu. Benar saja apa kata teman-temannya dan Sandra, kalau dia akan menyesalinya."Tolong, biarkan aku sebentar lagi. Tolonglah…." Pinta Aditya memohon."Maafkan kami tuan Aditya, jasadnya harus segera kami bersihkan sebelum terlambat." Kata-kata paramedis itu benar-benar menyakiti hati Aditya, "bukankah memang sudah terlambat? Dia sudah mati, apalagi yang membuat semua ini tidak terlambat?""Dia tidak akan hidup lagi, bukankah semuanya sudah terlambat?""Ya beliau memang sudah tiada, tubuhnya kaku dan kulitnya mulai membiru. Apa Anda akan puas saat tubuh ini mulai membusuk? Apa itu yang Anda inginkan?" balas paramedis tersebut.Rasanya jantung Aditya berhenti berdetak, dia menyesali segalanya tapi dia juga masih ingin melihat wajah Catrina untuk beberapa saat lagi."Sudahlah ikhlaskan dia, kasihan tubuhnya." Kata Jonathan sambil