Seperti biasa jika sudah puas menggauli Mentari, Billy pun akan memberikan Mentari hadiah dan mengabulkan apa yang Mentari minta. Masih sama-sama berbaring di balik selimut, Mentari membelai dada Billy."Kamu minta apa?" tanya Billy sambil membelai Mentari.Mentari menghela napas, "Nggak ada Om. Sementara ini semua sudah cukup untukku."Billy menatap Mentari, jauh dari dasar lubuk hatinya yang paling dalam Billy sangat menyayangi Mentari. Bagi Billy, Mentari itu seperti sahabat untuk bertukar pikiran, kekasih dan seorang anak.Billy tau jika hubungan Mentari dengan keluarganya tidak begitu dekat bahkan mereka sering kali bertengkar. Mentari sering bercerita kepadanya. Dan, Billy pun berusaha untuk membuat Mentari merasakan kasih sayang dalam bentuk yang lain.."Kenapa Om sayang sama aku?" tanya Mentari. Billy tertawa kecil, "Kamu pantas untuk disayangi, Mentari.""Sejak dulu, Mama selalu saja membandingkan antara aku dengan Bulan dan mas Buana. Di mata Mama, selalu aku yang salah dan
"Mas, rencanamu untuk buka praktek di rumah jadi?" tanya Rembulan malam itu. Aldo mengangguk, "Tentu saja, Sayang. Kamu mengizinkan 'kan?" tanya Aldo."Masa aku melarang suamiku melakukan sesuatu yang baik dan terlebih itu untuk memberikan aku nafkah," jawab Rembulan, "besok, aku akan meminta orang yang ahli di bidang bangunan untuk merenovasi paviliun kita. Nantinya itu akan menjadi ruang praktekmu. Kamu bisa mulai praktek di sore hari, Mas."Aldo terbelalak dan langsung memeluk erat tubuh Rembulan."Ah, kamu memang terbaik, Bulan. Terima kasih, Sayang.""Sama -sama, Mas. Lalu siapa nanti perawat yang akan membantumu?" tanya Rembulan.Aldo tampak berpikir sejenak dan satu nama pun langsung melintas di benaknya."Suster Nina. Dia paling baik dan cekatan. Lagi pula dia juga sangat dekat denganmu, Lan. Bagaimana menurutmu?" tanya Aldo."Ah, tentu saja aku setuju, Mas. Suster Nina itu ramah sekali, aku setuju."***"Pagi, Dok..." sapa Nina seperti biasanya. Kali ini Nina dibantu oleh Adi
Dengan wajah serius dan tegangnya, Aldo menjemput kembali Rembulan ke rumah mertuanya. Dengan menenteng satu bungkusan yang berisi tiga buah alat tes kehamilan, Aldo mendatangi rumah mama mertuanya ini.“Ma?” panggilnya saat memasuki ruang keluarga.Rembulan langsung bangun dari duduknya dan menghampiri Aldo. Wajah mereka sama-sama tegang.“Kita ke dokter aja ya, Sayang ? Nanti, aku buatkan janji temu sama obgyn di tempatku kerja. Ada satu dokter perempuan yang sangat kompeten,” ujar Aldo tergesa-gesa.“Tapi, Mas. Kata Mama, enaknya periksa pake testpack aja dulu. Aku nggak pede juga kalau langsung ke dokter gitu,” Rembulan menghela napas panjang. “Lagian, emang aku udah positif? Kalo nanti udah dateng ke dokter terus taunya nggak ada isinya, gimana?” katanya dengan wajah yang menggemaskan.Rembulan sudah berlendotan manja di lengan Aldo. Berharap bujukannya kali ini berhasil. Setidaknya, menurut Rembulan, kalau dia menggunakan alat tes kehamilan itu dulu di rumah, dan hasilnya negati
“Kamu emang nggak praktek di rumah hari ini? Nanti kalau ada pasien yang menunggu bagaimana, Mas?” tanya Rembulan.“Aku sudah telepon Nina tadi waktu aku ke apotek. Aku bilang kemungkinan aku nggak bisa praktek. Tadi, waktu Surti bilang mau beli tespack untukmu aku langsung mengambil inisiatif,” jawab Aldo.Kemudian Aldo langsung masuk ke kamar mandi, meninggalkan Rembulan sendiri terpekur di tepi ranjang. Perlahan, Rembulan arahkan tangannya ke atas perut, dia usapkan dengan lembut di atas sana.‘Halo, sweety baby. Kamu sungguh sudah ada di sini?’ ucap Rembulan dalam hati.Datang ke rumah sakit tidak pernah menjadi setegang ini untuk Rembulan.Sepanjang menunggu giliran masuk ke ruangan periksa Dokter Nela Mirzani Sp.Og (K), Rembulan tak henti meremas tangan Aldo dan Ayunda bergantian. Jarinya dingin, kukunya pucat. Dia benar-benar merasa gugup.“Nyonya Rembulan,” panggil perawat. Seketika degup jantung Rembulan makin cepat.Dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, Aldo mengajak Re
Di minggu kedua pasca mengetahui kehamilannya baik-baik saja, dan Rembulan sudah kembali bekerja seperti biasa, meskipun Buana membatasi jam kerjanya. Dara pun bersikap lebih protektif lagi kepada atasan sekaligus sahabatnya itu.Seperti saat ini, Rembulan dan Buana juga Dara harus presentasi di luar kantor untuk memenangkan tender. Acara yang berlangsung selama tiga jam itu sudah sukses dilakukan. Dan perusahaan mereka pun keluar sebagai pemenang tender itu. Dara menghampiri Rembulan dan memberikan sahabatnya itu sebotol air mineral.“Capek nggak Lan? Ingat usia kandunganmu itu belum terlalu kuat untuk pekerjaan yang melelahkan?” tanya Dara beruntun.Rembulan lebih dulu menenggak minumannya sebelum menjawab Dara. Rembulan menggeleng tegas, “Nggak. Capek dari mana? Kan hanya presentasi aja. Itu juga kan dibantu kalian.”“Aldo apa dia baik-baik saja? Kamu sudah melakukan apa yang aku katakan, kan?” tanya Dara. Sampai hari ini wanita itu memang belum sepenuhnya percaya jika Aldo tida
Sebelum membuka pintu kamar rawat istrinya itu, Aldo mencoba menghela napas dalam-dalam. Dia terpukul, jelas saja. Tapi, inilah ketentuan yang diberikan Tuhan pada mereka. Hanya dua minggu mereka dibiarkan mengalami kebahagiaan paling tinggi usai menikah.Pintu dibuka oleh Aldo. Dara terlihat duduk di kursi tunggu. Dan Rembulan, terlihat masih menangis di pelukan Buana.Perlahan, Buana melepas pelukan mereka dan mengajak serta Dara untuk keluar bersama. Membiarkan sepasang suami istri itu memiliki privasinya sendiri.“Mas...” Air mata Rembulan sudah mengembun. Bibirnya bergetar menahan tangis saat melihat Aldo menghampirinya.Aldo tersenyum, meski sesak jelas sekali meronta dalam hatinya. Kehilangan tak pernah terasa biasa.Tanpa banyak kata, Aldo langsung memeluk Rembulan. Ia sadar betul... bila dirinya terguncang, maka Rembulan lah orang yang paling terguncang saat ini.Rembulan menangis meraung-raung, melepas rasa sesal, rasa sedih yang sedari tadi coba dia tahan. Berteriak menyala
Mentari tengah berada di kamar mandi dengan memegang alat berukuran pipih di tangannya.“Aku hamil,” gumamnya.Gadis itu menghela napas panjang, selama ini ia hanya berhubungan dengan dua orang saja. Billy dan Aldo. Dapat dipastikan jika anak yang saat ini ada dalam kandungannya adalah anak dari Aldo karena Billy sudah menjalani vasektomi sehingga dia tidak akan dapat membuahi sel telur Mentari.Seharusnya memang hal ini membuatnya senang karena ini adalah tujuannya, merebut Aldo dari tangan Rembulan. Tapi, masih banyak kontrak yang harus ia selesaikan.Mentari menghela napas panjang, “Aku harus melenyapkan anak ini, aku masih ingin bebas berkarir dan bebas,” gumamnya lagi.TING TONG!Tiba-tiba bel pintunya berbunyi. Mentari pun segera membukanya dan langsung memeluk Aldo saat ia melihat sang kekasih datang dengan wajah yang lesu.Sebelumnya ia memang sudah tau jika Rembulan mengalami keguguran."Kamu nggak apa-apa ninggalin dia? Apa lagi kalian sedang ada di rumah mama dan papa. Na
Merasakan tubuh Mentari sudah berbaring dengan nyaman di meja makan, Aldo menyusul naik menahan tubuhnya. Lalu Aldo menarik tali yang terjulur dari kap lampu di atas kepalanya. Sehingga hanya ruang tamu itu yang terang, sedangkan sekelilingnya tetap gelap. Membuat suasana tetap dramatis.Sekarang Mentari baru melihat bahwa sudah dalam keadaan telanjang, dengan botol selai di tangan. Aldo merenggut blus yang dipakai Mentari, sehingga kedua bukitnya langsung menyembul menyambut.Sebelum Mentari sempat menduga-duga, Aldo menumpahkan selai coklat di belahan dada Mentari. Lalu Aldo membenamkan wajahnya di sana, menjilati selai itu dengan rakus“Aldo!” pekik Mentari dengan tubuh bergetar hebat.Mentari berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Aldo, namun Aldo menahannya lebih rapat ke atas meja.“Jangan bergerak,” katanya tegas. “Kamu harus pasrah, menyerahkan semuanya kepadaku.”Dengan patuh Mentari mengikuti perintah kekasihnya itu. Ia berbaring terlentang dengan pasrah. Membebaskan