Langit di ufuk barat berpendar keemasan ketika Li Feng dan pasukannya akhirnya melewati gerbang ibu kota. Sorakan bergemuruh dari rakyat yang memenuhi jalanan, menyambut mereka dengan sukacita. Panji kekaisaran berkibar, menandakan kemenangan besar atas pemberontakan di perbatasan.
"Hidup Jenderal Muda Li Feng!" "Prajurit Kekaisaran tidak terkalahkan!" "Pahlawan sejati telah kembali!" Suara-suara itu menggema di udara, membuat hati Li Feng bergetar. Namun, di balik semua sorakan, hatinya terasa berat. Ia tahu kemenangan ini hanyalah awal dari pertempuran lain—bukan di medan perang, melainkan di dalam istana, di mana pedang yang paling berbahaya adalah kata-kata dan tipu daya. Kedatangan yang Menggetarkan Istana Kereta kuda yang membawa Li Feng dan perwira-perwiranya perlahan memasuki halaman istana. Para pejabat tinggi telah berkumpul di depan aula utama, menunggu kedatangannya. Kaisar sendiri duduk di a"Apakah kau akan menerimanya, Li Feng?" Pertanyaan itu menggantung di udara. Kaisar duduk di singgasananya, memandangnya dengan sorot mata tajam yang sulit ditebak. Seisi ruangan sunyi, hanya suara napas para pejabat yang terdengar. Li Feng menundukkan kepala, pikirannya berputar. Tawaran ini bukan sekadar penghargaan atas jasanya di medan perang. Ini adalah jebakan. Jabatan tinggi berarti ia semakin dekat dengan pusat kekuasaan, dan semakin dekat pula dengan bahaya yang mengintai dari dalam istana. Ia bisa merasakan tatapan tajam Jenderal Zhao dari sudut ruangan. Pria itu jelas tidak senang dengan keputusan Kaisar. Jika ia menerima jabatan ini, maka ia resmi menjadi ancaman bagi Jenderal Zhao dan para pejabat lain yang ingin mempertahankan kekuasaan mereka. "Hamba..." Li Feng menarik napas panjang. Ia harus berhati-hati. Jenderal Zhao tiba-tiba menyela, suaranya tenang tapi menusuk. "Yang Mulia, apakah tidak
Li Feng terkejut. Bayangan hitam yang melesat masuk bagaikan angin malam yang dingin, menebarkan aura kematian di dalam kamarnya yang remang-remang. Pedangnya telah terlepas dari tangannya bahkan sebelum ia sempat melihat siapa lawannya. "Tch!" Li Feng melompat mundur, matanya nanar mencari celah dalam kegelapan. Sosok itu berdiri tegak, hanya siluetnya yang tampak samar diterpa cahaya lilin yang bergetar. Napasnya nyaris tak terdengar, tetapi tekanan yang ia pancarkan cukup untuk membuat udara terasa lebih berat. Li Feng tak bisa tinggal diam. Ia menggeser kakinya ke belakang, mencoba mengatur keseimbangan sambil tetap waspada. "Siapa kau?" suaranya tajam, menusuk keheningan malam. Tak ada jawaban. Namun, sesaat kemudian— Sreeet! Sebuah kilatan perak berkelebat menuju lehernya! Li Feng melompat ke samping, nyaris saja serangan itu menggorok lehernya. Tangannya lan
"Berhenti!" Suara itu menggema di seluruh ruangan. Li Feng dan Jenderal Zhao menoleh dengan tajam. Di ambang pintu, berdiri seorang pria berjubah hitam. Sorot matanya penuh wibawa, auranya begitu kuat hingga membuat udara seakan membeku. Li Feng terbelalak. “K-Kaisar?!” Jenderal Zhao mengepalkan tinjunya, rahangnya mengeras. Ada ketegangan yang begitu pekat di dalam ruangan itu, seperti bara yang siap membakar segalanya. Kaisar melangkah masuk dengan tenang, tetapi ada tekanan yang begitu kuat dalam setiap langkahnya. Para prajurit yang berada di sekitar segera menundukkan kepala, tidak berani menatap langsung ke arah penguasa mereka. “Kalian ingin bertarung di hadapan tahta kekaisaran?” Suara Kaisar terdengar lembut, tetapi di baliknya ada ancaman yang jelas. Jenderal Zhao menarik napas panjang, lalu membungkuk dengan hormat. “Hamba tidak berani, Yang Mulia. Hamba hanya ingin me
"Apa…?!" Sebelum Li Feng sempat bereaksi, sebuah pukulan keras menghantam perutnya. "Ugh!" Tubuhnya terlempar ke belakang, jatuh berlutut. Napasnya tersengal, rasa sakit menjalar dari perut ke seluruh tubuhnya. Ia mendongak, menatap Jenderal Zhao yang berdiri di depannya dengan tatapan penuh kemenangan. "Aku sudah menunggu lama untuk saat ini," ujar Jenderal Zhao, suaranya dipenuhi ejekan. Cahaya dingin berkilat saat pedang sang jenderal terangkat tinggi, siap menebas kepala Li Feng! Li Feng memaksakan tubuhnya untuk bergerak. Dengan refleks yang terlatih, ia menendang ke belakang, berguling ke samping tepat sebelum pedang Jenderal Zhao membelah udara di tempatnya tadi. Tebasan itu cukup kuat untuk menghancurkan lantai kayu tempatnya berdiri. "Cepat sekali…!" pikir Li Feng, jantungnya berdegup kencang. Ia berusaha berdiri, tetapi lututnya masih terasa lemas akibat
Di sudut ruangan, seorang bayangan lain mengintai. Mata tajamnya bersinar dalam kegelapan. "Menarik… Jadi ini pendekar yang dikabarkan mampu mengalahkan pasukan hanya dengan satu tebasan? Mari kita lihat… apakah dia benar-benar sehebat itu." Sosok itu menghilang, menyelinap ke dalam bayang-bayang. Pertarungan sesungguhnya belum dimulai. Li Feng berdiri di tengah ruangan yang remang-remang. Nafasnya masih teratur meskipun tubuhnya sedikit tegang. Di hadapannya, Xiao Lan terbaring tak sadarkan diri, terikat di kursi dengan beberapa luka di pergelangan tangannya. Ia bisa merasakan aura membunuh yang mengalir di sekelilingnya. Bukan dari para penjaga yang telah ia lumpuhkan sebelumnya, tetapi dari sesuatu—atau seseorang—yang bersembunyi di dalam bayangan. "Siapa pun dia, kemampuannya tidak biasa," pikirnya. Mata Li Feng menajam. Tangannya meraba gagang pedangnya, Pedan
Langkah kaki terdengar di luar ruangan. Li Feng segera meraih bahu Xiao Lan, membantunya berdiri meskipun tubuh wanita itu masih lemah akibat luka dan ikatan yang menahan pergerakannya terlalu lama. Wajahnya pucat, tetapi matanya menyiratkan tekad. "Kita harus pergi sekarang," bisik Li Feng, matanya mengarah ke pintu yang sedikit terbuka. Dari celah sempit itu, ia bisa melihat bayangan bergerak. Sreet… Sreet… Suara gesekan kain dengan lantai kayu terdengar samar. Setidaknya ada lima orang di luar ruangan ini. Mungkin lebih. Xiao Lan menarik napas dalam-dalam, mencoba berdiri tegak meskipun kakinya sedikit gemetar. "Aku bisa berjalan," katanya lemah. Li Feng mengangguk, meski ia tetap waspada. Ia menajamkan pendengarannya, memastikan setiap langkah yang akan diambil. Tidak ada jalan keluar selain melewati mereka. Namun, sebelum ia bisa bergerak, suara pelan terdengar dari sudut ruangan.
Langit malam masih diliputi kesunyian yang mencekam. Li Feng dan Xiao Lan terus berlari tanpa henti, napas mereka tersengal-sengal. Jalanan berbatu di gang sempit menjadi saksi bisu pelarian mereka dari kejaran musuh yang entah berapa jumlahnya. Namun, ada sesuatu yang mengganggu Li Feng sejak tadi. Pedang Naga Langit yang ia genggam terasa semakin berat, seolah ada energi misterius yang perlahan-lahan membebani tubuhnya. "Li Feng… kita harus berhenti sebentar," ujar Xiao Lan dengan suara lemah. Kakinya gemetar, dan wajahnya pucat. Li Feng menoleh, menyadari betapa lelahnya wanita itu. Tanpa pikir panjang, ia menarik Xiao Lan ke balik sebuah bangunan tua yang tampaknya sudah lama ditinggalkan. Mereka bersembunyi di balik tumpukan peti kayu, berusaha mengatur napas. "Tunggu sebentar," kata Li Feng. "Aku akan memastikan kita aman." Ia mengintip dari celah peti. Bayangan hitam masih tampak berkelebat di kejauhan
Li Feng menatap Nona Lan dengan mata terbelalak. Pengungkapan tentang kutukan Pedang Naga Langit mengguncang hatinya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, sementara pikirannya berputar mencari jawaban. "Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanyanya dengan suara bergetar. Nona Lan menghela napas panjang. "Li Feng, pilihan ada di tanganmu. Kau bisa membuang pedang itu dan menjalani hidup biasa, atau menerimanya sepenuhnya dan menghadapi konsekuensinya. Li Feng terdiam. Bayangan ibunya yang sakit di desa Ping An muncul di benaknya. Ia merantau ke ibu kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik, namun takdir membawanya ke jalan yang penuh bahaya. "Jika aku meninggalkan pedang ini, apakah kutukannya akan hilang?" tanyanya. Nona Lan mengangguk. "Ya, tetapi kau juga akan kehilangan kekuatan yang telah kau peroleh. Kau akan kembali menjadi Li Feng yang dulu, seorang pemuda desa biasa. Li Feng menata
Li Feng terdiam di puncak bukit, memandangi panorama kekaisaran yang terbentang di bawah kaki. Matahari terbenam di balik pegunungan yang jauh, melukiskan langit dengan semburat oranye yang redup. Semua yang telah ia lalui terasa seperti mimpi yang mengabur, tetapi rasa berat yang terpendam di dadanya, rasa tak terhindarkan, adalah kenyataan yang tidak bisa ia elakkan. Di balik kegelapan malam yang datang, Li Feng tahu bahwa takdirnya telah digariskan oleh kekuatan yang lebih besar dari dirinya—sebuah permainan politik yang ia tak pernah inginkan. "Aku... aku hanya seorang pemuda desa," gumamnya pelan, hampir seperti sebuah doa. "Mengapa aku harus terjerat dalam semua ini?" Suaranya penuh kebingungan, seolah menanyakan pada dunia yang tak memberi jawaban. Namun, jawaban itu sudah ia temui, meski pahit. Pedang Naga Langit, senjata yang membawa kutukan yang mengekangnya, bukan hanya sebuah pusaka yang diperebutkan oleh para penguasa. Ia kini tahu bahwa ta
Li Feng berdiri tegak di ruang bawah tanah yang remang, cahaya samar dari lentera yang tergantung di langit-langit memberi kilau redup pada dinding batu yang dingin. Udara terasa berat, seakan dipenuhi dengan beban masa lalu yang telah lama terkubur di tempat ini. Dalam sekejap, sebuah suara yang familiar—yang selama ini terpendam dalam benaknya—terdengar lagi. Suara itu datang dari arah belakang, jauh dari tempat ia berdiri, dan hati Li Feng berdebar kencang. Langkah kaki yang lambat namun pasti, diikuti dengan suara napas berat, membawa Li Feng pada ingatan-ingatan yang ia coba lupakan. Tidak salah lagi. Itu adalah suara yang sudah lama tidak ia dengar. "Guru Liang…" kata Li Feng perlahan, mengucapkan nama yang sudah lama ia anggap hilang bersama bayangan masa lalu. Suaranya serak, penuh kebingungannya sendiri. Guru Liang muncul dari balik bayang-bayang, sosok yang seakan keluar dari dimensi waktu itu sendiri. Pakaian peluhnya yang dulu
Li Feng berjalan perlahan, kaki terasa berat seperti membawa beban dunia. Di depannya, langit senja perlahan berubah menjadi kelam, menyelimuti desa yang telah lama ia tinggalkan. Suasana kedai Tianxiang kini terasa sangat berbeda. Tanpa orang-orang yang biasa berkerumun, tanpa suara tawa atau canda, semuanya terasa sunyi dan hampa. Sudah lama sekali sejak Li Feng meninggalkan tempat ini. Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan pertarungan dan penderitaan, ia akhirnya kembali ke tempat yang pernah menjadi titik awal hidupnya yang baru. Tempat yang, meskipun tidak besar, menyimpan kenangan akan masa-masa yang telah berlalu. Setiap langkah terasa seakan membawa kembali semua kenangan pahit dan manis yang pernah ia alami di sini. Bagaimana ia dulu bekerja sebagai tukang cuci piring, berjuang untuk sekadar bertahan hidup, dan bagaimana semua itu berubah setelah pertemuannya dengan Putri Ling’er, Pedang Naga Langit, dan semua musuh yang mengejarnya.
Hutan berkabut itu terasa lebih pekat dari biasanya. Pohon-pohon besar menjulang tinggi dengan cabang-cabangnya yang rapat, menghalangi cahaya matahari yang hanya sedikit menembus. Udara dingin dan lembap menyelimuti sekujur tubuh Li Feng, membuatnya merasa seolah-olah hutan ini bukan tempat biasa. Sesuatu yang gelap, yang tak terlihat, mengintai setiap gerakannya. Jantungnya berdegup kencang, dan dalam keheningan yang mencekam itu, ia bisa merasakan adanya mata yang terus mengawasi. "Apa yang kau rasakan, Li Feng?" suara itu muncul dalam benaknya, suara yang sama yang tidak pernah ia lupakan—suara Pedang Naga Langit. Suara yang seolah-olah berasal dari dalam jiwanya sendiri, namun selalu berhasil membuatnya terperangah. Kali ini, suara itu terdengar seperti bisikan yang penuh desakan. "Aku merasakan bahaya. Sesuatu yang mengintai... yang akan datang." Li Feng menatap pedang di tangannya dengan penuh keraguan. Selama ini pedang itu selalu
Li Feng merasakan hawa dingin yang menusuk tulang menembus tubuhnya. Malam itu, langit di atas Gunung Esmeralda begitu gelap, hanya diterangi oleh pendar cahaya redup dari pedangnya yang kini tergeletak di tanah. Dalam keheningan yang hampir mencekam, pikirannya terperangkap oleh bayang-bayang yang terus menghantuinya. Bayang-bayang yang berasal dari kutukan Pedang Naga Langit, dan lebih lagi, bayang-bayang yang berasal dari dirinya sendiri.Tapi saat ini, ada sesuatu yang lebih besar yang mengancamnya. Sesuatu yang lebih mengerikan dari apapun yang pernah ia hadapi sebelumnya.Di kejauhan, terdengar suara langkah kaki. Lambat, namun pasti. Semakin mendekat, semakin jelas. Langkah itu datang dari arah yang tak terduga. Dari kegelapan yang penuh misteri. Hanya suara itu yang terdengar, meski segala sesuatu di sekelilingnya tetap sunyi. Li Feng mendongak dan melihat sosok yang berdiri di atas batu besar, memandang ke arahnya. Sosok itu mengenakan jubah hitam yang mel
Malam itu, angin dingin berhembus kencang di Gunung Ranjing, membawa aroma hutan basah dan keheningan yang dalam. Li Feng berdiri di tepi jurang, memandangi langit yang gelap, di mana bintang-bintang tampak pudar di balik kabut yang mulai turun. Pedang Naga Langit terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah mengingatkan akan beban yang harus ia tanggung. Tangannya gemetar, namun ia tetap menggenggam erat, tak mau melepaskannya.Putri Ling’er berdiri di belakangnya, dengan mata yang penuh keraguan. Ia tahu betul bahwa perjalanan ini sudah berada di ujungnya. Namun, yang membuat hatinya semakin berat adalah kenyataan bahwa Li Feng kini berada di persimpangan jalan yang tak bisa lagi dihindari. Kutukan pedang itu semakin mencekik mereka berdua.“Li Feng…” suara Ling’er terdengar pelan, namun mengandung beban yang begitu besar. Ia berjalan mendekat, berhenti beberapa langkah di belakangnya, dan menatap punggung pemuda itu. “Kita harus berhenti. Kau tak bisa terus sepert
Hujan gerimis masih mengguyur hutan lebat di perbatasan utara Kekaisaran. Udara dipenuhi aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Di antara kabut yang menggantung rendah, tiga sosok berdiri dalam lingkaran batu kuno yang terukir dengan simbol-simbol tua. Li Feng menggenggam Pedang Naga Langit erat-erat. Di depannya, dua orang tua berjubah hitam berdiri diam bagaikan arca. Mata mereka—tajam dan penuh kenangan—menatapnya tanpa berkedip. Mereka adalah pemilik dua pedang kembar: Pedang Angin dan Pedang Petir. Merekalah dua penjaga rahasia terdalam dunia persilatan. Dan kini, rahasia itu terkuak. "Jadi... kalian bilang darahku berasal dari garis keturunan yang mengikat tiga pedang ini?" Li Feng bertanya, suaranya lirih namun bergetar. Orang tua berjanggut putih, pemilik Pedang Angin, mengangguk pelan. "Bukan sekadar berasal. Kau adalah warisan terakhir dari klan Leluhur Langit. Tiga pedang ini—Naga, Angin, dan Petir—diciptakan untuk sat
Kabut tipis menyelimuti puncak Gunung Ranjing saat matahari mulai tergelincir ke balik cakrawala. Udara menggigit tulang, dan hembusan angin yang menusuk seolah ingin menyingkap rahasia yang telah lama terkubur di puncak sunyi ini.Li Feng berdiri mematung di sisi tebing, memandangi cakrawala yang perlahan memerah. Tubuhnya masih terasa dingin oleh penglihatan mengerikan yang ia lihat sebelumnya — penglihatan tentang dirinya sendiri, membunuh Putri Ling’er dengan tangannya sendiri. Dada Li Feng sesak, napasnya memburu. "Apa... apa semua ini hanya mimpi buruk...?""Tidak, ini adalah peringatan," bisik suara dari dalam Pedang Naga Langit."Diam kau!" Li Feng menggertakkan gigi, menahan amarah yang naik dari dalam dirinya. Tangannya mencengkeram gagang pedang erat-erat, seolah berharap bisa membungkam suara itu selamanya. Tapi pedang itu bergetar pelan... seolah merasa gelisah.Tiba-tiba, suara langkah kaki bergema di antara bebatuan. Suara itu tenan
Langit di atas Gunung Esmeralda tampak kelabu, seolah menyatu dengan kabut pekat yang menggulung di sekitar kaki gunung. Aroma tanah basah dan darah yang lama mengering menyelimuti udara. Li Feng berdiri tegak, matanya menatap tajam sosok berjubah hitam di hadapannya—Penjaga Gerbang Neraka. Di tangan kanannya, Pedang Naga Langit bergetar pelan, seakan ikut merasakan ketegangan yang menggerogoti udara."Hancurkan pedang itu sekarang juga, sebelum terlambat," ujar si Penjaga, suaranya datar namun tegas. Tak ada emosi, hanya keyakinan.Li Feng menggeleng perlahan. "Tidak. Pedang ini telah membawaku sejauh ini. Ia bukan hanya senjata, tapi saksi dari segala pengorbanan.""Pengorbanan? Hmph," suara si Penjaga merendah seperti gemuruh jauh di bawah tanah. "Itu hanya awal. Kutukan pedang itu tidak mengenal belas kasihan. Ia akan membunuh semua yang kau cintai. Satu demi satu.""Bohong!""Apakah kau benar-benar yakin?"Tiba-tiba, dunia d