"Assalamualaikum, Bulek masak sarapan dulu ya."
"Waalaikum salam."
Bu Ipah langsung menuju ke dapur. Mulai sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga. Bu Ipah sangat senang, biasanya hanya dia sendiri di rumah ditemani ternak-ternaknya. Paling tetangga yang terkadang suka datang menemaninya ngobrol.
"Mas, aku tidur lagi ya. Masih ngantuk. Kalau benar aku sudah tiga hari aku hilang, berarti aku sudah tiga hari,tiga malam gak tidur juga gak makan. Pantas tadi malam, lapar sekali. Juga ngantuk sekali, haaaommm." Dewi menutupi mulutnya yang menguap.
Dia tak habis pikir, bagaimana bisa dia melewati tiga hari, tiga malam tanpa asupan apa pun. Bahkan seteguk air tak ada yang masuk ke perutnya.
"Bulek, apa orangtua Roni masih hidup? Siapa Bulek? Roni berhak tau?" cecar Roni. Padahal Bu Ipah belum menjawab apa pun.Bu Ipah malah mengisak, dia menutupi wajahnya untuk meredam isak tangisnya. Roni tak tau harus berbuat apa. Apa harus mendesak Bu Ipah lagi? Bu Ipah sangat terguncang bola harus mengorek luka di masa silam. Pasti ada rahasia besar dibalik semua ini.Roni tertunduk diam, memberi waktu untuk Bu Ipah menenangkan diri. Ada rasa yang tak bisa dia ungkapkan sedang bertahta di hatinya saat ini. Roni penasaran soal orangtua kandungnya. Namun, dia takut mengetahui kenyataan yang akan didengar nanti.Perlahan tangis Bu mereda, berganti dengan senggukan. Roni masih diam memperhatikan. Sengaja Roni tak mendesaknya. Hatinya bilang, Bu Ipah pasti akan mence
"Nah, makan!" titah Bu Ipah, dia memberikan sepiring nasi dan lauk ke tangan Roni. Roni terpaksa menerimanya. Air liurnya terbist juga melihat menu ynag tersedia di piringnya. Bila keadaannya tak seperti sekarang ini. Roni bisa menghabiskan sepiring tempe dan tahu bacem seorang diri.Bu Ipah duduk di hadapanku. mulai menikmati makannya. Masih kulihat dia beberapa kali mengusap sudut matanya. Mencegah buliran bening yang siap melesak keluar lagi. Bagaimana dia tetap bisa menelan makanannya, dengan hati yang sedang gundah gulana.Mereka makan dengan hening. Roni berusaha menikmati makanannya, yang memang tetap terasa nikmat dilidahnya. Makanan kesukaannya sedari kecil. Setiap dia menginap di rumah Bu Ipah, Buleknya itu pasti memasakkan tempe dan tahu bacem. Dia hafal betul kebiasaan Roni yang suka mengemil makanan ini sembari men
"Dia sangat cantik, pintar, baik dan juga ramah sama semua orang. Anaknya sangat rajin," kata Bu Ipah seraya mengusap air mata yang menganak sungai di pipinya.Roni melihat lagi ke fhoto itu. Lebih detail memperhatikan setiap orang yang ada di fhoto. Ada seorang gadis yang di sebelah Bu Ipah yang lebih cantik dari yang lain. Ada desir aneh di hati Roni saat lama menatap fhotonya."Apa … dia salah satu orang yang ada di fhoto ini?" tanya Roni. Bu Ipah kembali menghela nafasnya dalam, ada rasa sesak di dadanya.Langit yang tadinya cerah berubah mendung. Sama dengan hati Roni dan Bu Ipah, kebahagiaan yang baru datang karena Dewi sudah ditemukan. Perlahan sirna, seiring terkuaknya jati diri Roni.
Roni merasakan hatinya berdenyut nyeri. Perasaannya mengatakan, Widuri adalah ibunya. Seandainya benar …."Entahlah, sejak hari itu Widuri berubah. Biasanya, meskipun pemalu, dia itu anaknya periang. Namun, sejak dia ditemukan. Dia gak pernah buka mulut atas apa yang terjadi. Sehingga banyak orang berkesimpulan, Widuri diculik hantu seperti kata Dukun yang dipanggil keluarga Widuri. Masa itu, di kampung asal Bulek, masyarakat masih banyak yang belum faham agama. Masih banyak yang mengandalkan dukun."Bu Ipah melanjutkan ceritanya dengan lebih tenang. Sehingga Roni bisa fokus untuk mencari benang merah dari cerita Bu Ipah. Tentang kaitan cerita Bu Ipah dengan orang tua kandungnya."Setiap hari Bulek menemani Widuri, biarpun dia tak merespon Bulek. Bulek selalu me
Jantung Roni berdebar menanti jawaban dari mulut Bu Ipah. Apa yang harus dia lakukan seandainya Ibunya masih hidup? Perasaannya kacau tak karuan. Ada rasa rindu seketika di hatinya. Dari cerita Bu Ipah, dia tau, Ibunya tak bersalah. Ibunya pasti telah menjadi korban kebiadaban manusia tak bertanggung jawab. Tak mungkin dia anak setan, tak ada yang aneh pada dirinya. Keinginannya untuk bertemu Ibu yang telah melahirkannya menjadi sangat kuat. Dia harus mencari keadilan untuk sang Ibu.Bu Ipah menatap nanar ke arah luar rumahnya melalui pintu dapur. Memperhatikan ayam-ayamnya yang mengais-ngais tanah sekedar mencari makan. Banyak anak ayam yang baru menetas, berjalan beriringan dengan masing masing induknya."Bulek tak tau, apa Widuri masih hidup atau sudah meninggal," katanya dengan lirih hingga bibirnya bergetar. Masih jelas gurat ke
"Bulek … bisa Roni minta alamat Ibu?" tanya Roni. Kening Bu Ipah melipat."Kamu mau cari Ibumu?" tanyanya balik.Roni diam, suasana menjadi hening untuk sesaat. Roni sebenarnya masih bingung, apa yang harus dia lakukan. Namun, mendadak ada rasa rindu untuk orang yang seharusnya dipanggil Ibu."Ya Bulek. Bagaimanapun, dia adalah Ibu kandung Mas Roni. Mas Roni wajib berbakti, salah satunya dengan mencari keberadaannya." Dewi mewakili Roni menjawab pertanyaan Bulek. Dewi tau, suaminya sedang dalam kebimbangan.Bu Ipah bangkit dari tempat duduknya, dia berjalan menuju kamarnya. Roni dan Dewi hanya diam tak ada dialog antara mereka Mendadak lidah mereka kelu untuk bercakap-cakap. Hanya suara ayam dan angsa p
"Bulek, foto yang tadi Roni bawa ya. Siapa tau nanti dibutuhkan disana.""Bawa saja, tapi jangan hilang. Itu satu-satunya kenangan yang Bulek punya. Dulu, kehidupan kami sangat susah. Gak bisa selalu berfoto. Jadi kalau berfoto, itu jadi kenangan yang sangat berharga," pesan Bu Ipah."Foto apa Mas?" tanya Dewi. Dia tadi belum melihat foto yang ditunjukkan Bu Ipah pada Roni."Foto Ibu," jawab Roni singkat."Lihat dong Mas," pinta Dewi. Roni reflek mencari foto itu. Dia lupa, dimana tadi meletakkan foto itu?Dia memeriksa kantong celananya. Tak ada. Dia bangkit, mungkin jatuh dibangku yang didudukinya juga tak ada. Mata mereka semua celinguk
"Dulu … Bulek, Widuri, Minati sama Wiyah berteman dekat. Memang Bulek lebih akrab dengan Ibumu. Wiyah, sama Minati ikut Bapakmu, saat mereka pindah. Setelah Suci meninggal. Orang tua mereka, Eyangmu sudah gak ada dua-dua. Makanya Bapakmu yang mengasuh mereka. Walaupun usia mereka sudah cukup untuk menikah waktu itu, tapi belum ketemu jodohnya," jelas Bu Ipah dengan pandangan menerawang. Senyum tipis sesekali tersungging di bibirnya, tapi matanya tetap saja berkabut."Apa Bulek gak pernah nanya tentang mereka sama Bapak?" tanya Roni."Pernah. Tapi kata Bapakmu mereka pergi merantau jadi TKW. Sampai sekarang gak ada kabarnya. Dulu, waktu kamu masih sangat kecil, mereka masih sering datang ke sini. Herannya Bapakmu kok gak pernah nyariin mereka ya?" kata Bu Ipah, seakan menyesalkan tindakan Pak Darma.
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit
"Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu
Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.
TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid
Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa